Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 01. Godaan Kekayaan

Share

Pesugihan Genderuwo
Pesugihan Genderuwo
Penulis: Wenchetri

01. Godaan Kekayaan

Brak!

Pintu kayu rapuh ditendang oleh seseorang. Muncul pria berbadan besar bersama anak buahnya.

“Bagas, bayar utang kamu sekarang! Ayo cepetan!” teriak si pria yang tidak lain adalah Juragan Suwandi, seorang rentenir di Desa Karang Jati.

Bagas dan Ratihーistrinya, terkejut. Mereka meletakkan piring menyudahi sarapannya. Keduanya segera berdiri dengan gugup dan ketakutan. 

Bagas berlutut. Memohon belas kasih Juragan Suwandi,  “Maaf, Juragan. Saya belum bisa bayar. Saya belum ada uang."

Ekspresi Suwandi kelam. “Ah! Yang benar aja! Kamu udah menunggak 8 bulan. Bunganya udah membengkak. Gimana sih kamu, Bagas?!” 

"Usaha saya sepi, Juragan," kata Bagas, memberikan alasan. "Ladang saya gersang dan Istri saya lagi sakit. Mohon maaf Juragan," lanjutnya, berbicara.

Suwandi semakin naik pitam saat Bagas mulai beralasan lagi. 

Suwandi menggosok-gosok ujung hidung. “Kamu selalu aja alasan. Kamu pikir, saya ini ngasih uang dengan cuma-cuma?!"

Suwandi menatap anak buahnya. "Hei, kalian! Cepet ambil barang berharga mereka!” perintahnya.

Bagas mendongakkan kepala. “Jangan, Juragan!" Bagas meraih tangan Suwandi. "Saya mohon, kami nggak punya apa-apa lagi."

Ratih yang sejak tadi hanya diam, ikut berlutut dan memohon kepada Suwandi, juragan tanah berusia 50 tahun.

“Saya mohon, Juragan! Kami janji bakalan bayar secepatnya,” kata Ratih, gugup.  

Suwandi tidak peduli dengan keduanya. Selayaknya rentenir yang lain, dia hanya memikirkan keuntungan saja. Maka, Bagas dan Ratih pasrah saat anak buah Suwandi membawa barang-barang mereka. 

Setelah Suwandi pergi, Bagas berdiri di lahan kebunnya yang gersang. Dia sudah mengupayakan segala hal untuk menafkahi Ratih, tetapi nasib baik tidak juga datang padanya. 

Bagas membakar rokok. "Aku nggak bisa cuma diem aja. Aku harus menemukan cara untuk keluar dari kemiskinan ini."

Hati Bagas berkecamuk. Bayangan utang, ladang yang tak kunjung menghasilkan, dan masa depan keluarganya yang suram membuatnya merasa semakin terpuruk. 

Di tengah keheningan, suara langkah kaki mendekat. Bagas menoleh dan melihat Mbah Damarーtetua desa, usianya sekitar 70 tahun. Dia terkenal bijaksana dan misterius.

“Bagas,” sapa Damar, tenang.

Bagas berusaha menutupi kondisinya yang memprihatinkan. "Mbah Damar mau ke mana sendirian begini?"

Damar tidak membalas. Mendadak, raut wajahnya berubah serius. 

Damar berkata, “Aku tau, Bagas. Akhir-akhir ini kamu lagi kesulitan. Utang, ladang yang gagal panen dan masa depanmu yang nggak menentu.”

Bagas terdiam. Dia tertunduk lesu. Terlebih lagi, dia merasa malu karena masalahnya begitu terlihat di mata orang lain. 

“Iya, Mbah. Saya udah berusaha sekuat tenaga, tapi hasilnya gini-gini aja,” sahut Bagas, lirih.

Damar tersenyum tipis. “Nggak perlu malu, Le! serunya. "Karena setiap orang di dunia ini punya masalahnya sendiri. Tapi kadang, masalah itu datang bukan untuk hancurin kita, melainkan untuk menguji seberapa kuat kita bisa bertahan.”

Kata-kata Damar terdengar bijaksana. Bagas merasa telah mendapatkan kekuatannya lagi. 

Bagas menghela napas panjang. “Tapi, Mbah, saya merasa udah nggak berdaya lagi. Saya kasihan sama Ratih. Saya takut nggak bisa bertahan.”

Damar mengangguk. Kemudian, dia mengeluarkan sebatang rokok linting dari saku celana, lalu membakarnya. 

Detik berikutnya, Damar menghela napas panjang. Wajahnya terlihat lebih serius daripada tadi.

Damar menatap Bagas dalam-dalam. “Ada satu cara yang bisa bantu kamu keluar dari kesulitan ini, Bagas."

Damar mendekati daun telinga Bagas. Dia berbisik, "Satu cara yang nggak biasa.”

Bagas penasaran. Dia segera menjauhkan diri dari Damar. Lalu, menatap Damar dengan kening berkerut. 

Dengan hati yang bergejolak, Bagas bertanya, “Cara apa, Mbah?”

Damar berbisik lagi, “Eyang Ki Raden Praja.”

Suara Damar tenang dan serak saat menyebutkan nama Ki Raden Praja. Tatapannya sulit diartikan oleh Bagas. 

Bagas mengernyitkan dahi. Karena nama itu sangat asing baginya. 

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Bagas bertanya, “Siapa dia, Mbah?”

Damar memandangi ladang Bagas yang tandus, seolah dia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab Bagas. 

“Dia seorang Dukun sakti yang tinggal di hutan sebelah utara desa. Dulu, banyak orang datang kepadanya untuk meminta bantuan …." 

Suara Damar semakin pelan hingga nyaris tidak terdengar. 

Kemudian, Damar berkata, "Ya, bantuan ... termasuk bantuan kekayaan.”

Damar menoleh dan tersenyum miring kepada Bagas. Dia menunggu reaksi Bagas. 

“Bantuan kekayaan?!” Bagas mengulangi kata-kata Damar. “Maksud Mbah Damar … pesugihan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status