“Mungkin itu perasaanku saja, karena melamun merasa Dimas lewat,” gumamnya lagi menenangkan diri.
Arif terus berjalan di suasana malam yang sepi, membuatnya merasa seolah-olah dunia hanya miliknya. Kebebasan yang sudah lama terpendam mengalir dalam nadinya, tetapi ketakutan akan masa depan menghantuinya.
Dia tahu bahwa melangkah pergi bukanlah keputusan yang mudah, namun rasa terpuruk yang selama ini menggerogoti hatinya membuatnya tak lagi mampu bertahan.
“Seandainya aku tidak bercerita dengan Gibran, pasti orang tuaku tidak akan semalu ini,” sesalnya lagi sembari mengembuskan napas.
Hingga Arif tersadar bahwa saat ini dia berada antara batas desa dan hutan di Misahan. Perasaan ragu kembali menghampirinya saat akan melangkah masuk ke dalam hutan, dia merasakan kegelapan di sekelilingnya. Bayangan pohon-pohon besar menakutkan di bawah cahaya bulan.
“Apa yang bisa terjadi jika aku pergi ke sana?” tanyanya, bergumul dengan rasa ingin tahunya. Rasa takutnya bercampur dengan harapan akan petualangan baru.
Malam juga semakin gelap dan udara terasa semakin dingin. Arif menatap hutan sekali lagi. Di dalam pikirannya, dia membayangkan kehidupan yang jauh berbeda, di mana dia bisa menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa tekanan dari orang-orang yang seharusnya mendukungnya.
“Seandainya semua bayangan ini adalah kenyataan, aku mungkin tidak akan mendapat hinaan dan tekanan dari mereka. Bahkan orang tuaku pasti tidak akan merasakan hari buruk seperti saat ini, dunia begitu kejam,” ujarnya dalam hati, seolah mencemooh dunia.
Dia ingin berlari, meninggalkan semua hinaan dan kesedihan. Namun, saat dia berbalik menghadap rumahnya, rasa bersalah menyergapnya. Dia mencintai keluarganya meskipun sering disakiti.
Dengan tekad bulat, dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Tidak ada jalan kembali,” pikirnya.
Arif melangkah maju, memasuki kegelapan hutan yang memanggilnya. Suara hutan berbisik, seolah-olah menantangnya untuk meneruskan perjalanan.
“Lanjutkan perjalananmu, Arif...” bisikan dalam pikirannya silih berganti dibawa angin.
Setiap langkah membawa harapan dan rasa takut yang saling beradu, tetapi di dalam hatinya, dia berjanji untuk menemukan dirinya sendiri, apapun yang terjadi. Suara langkah kakinya menyusuri dedaunan di dalam hutan, sebagai nyanyian merdu malam.
Srek!
Arif berhenti sejenak saat mendengar langkah lain di dekatnya. Saat ini, jika kembali, tidak mungkin dia masih penat untuk menghadapi kekecewaan orang tuanya.
Srek!
Suara itu terdengar lagi, sampai Arif melihat sebuah mata menyala di sebelah kirinya, tepat di dekat dedaunan. Arif ingin lari, tapi rasa penasaran mendorongnya untuk mendekat, perlahan tapi pasti. Sampai sebuah ranting jatuh tepat mengenai mata yang menyala.
Lengkingan suara kucing membuatnya tertawa. Degup jantungnya kembali normal.
“Sialan!” umpat Arif, tertawa, “Aku pikir apaan tadi,” gumamnya sendiri.
Kegelapan kembali menyambutnya, dan saat dia menginjakkan kaki lebih dalam, Arif merasakan sesuatu yang aneh. Apakah dia benar-benar melangkah menuju kebebasan, atau justru ke dalam perangkap yang lebih menakutkan?
Hutan gelap dan sepi, hanya suara langkah kakinya yang menggema di antara pepohonan besar yang menjulang tinggi. Dedaunan basah oleh embun malam berdesir, dan suara binatang malam menggema di kejauhan, menambah rasa angker yang menyelimuti.
“Ke mana perginya kucing itu? Seharusnya dia menemaniku saat ini, walaupun aku sempat takut,” gumamnya lagi menutup kesepian.
Malam semakin pekat, kegelapan menyelimuti Arif dengan cepat. Dia merasa kecil dan tak berdaya, seolah-olah hutan ini adalah makhluk hidup yang menginginkan dirinya terjebak di dalamnya.
“Aku ternyata sudah terlalu dalam, seharusnya aku tidak masuk ke sini,” gumamnya sendiri, menutup kesunyian.
Namun, saat Arif membungkuk untuk melihat lebih dekat, suara mendesis tiba-tiba terdengar dari belakangnya.
“Ssshhh...” Arif terlonjak, jantungnya berdetak kencang. Dia berbalik dengan cepat, tetapi tidak ada siapa pun di sana, hanya hutan yang sunyi dan kelam.
“Siapa di sana?!” teriaknya, suaranya bergema dalam keheningan.
Arif tidak mendapatkan jawaban, hanya suara derit pepohonan yang bergetar oleh angin malam. Rasa panik mulai menyergapnya. Dia merasakan sesuatu mengintai di balik kegelapan, dan mengawasi setiap gerakannya.
Arif kembali berteriak, “Siapa di sana?!”
Tidak ada seorang pun menyahutinya. Arif menjadi penasaran.
"Apa aku pulang saja?"
Arif merasa seolah hutan ini bukan hanya sekadar tempat biasa, melainkan labirin berbahaya. Tentunya penuh dengan rahasia yang tak terungkap. Dia berusaha untuk kembali ke jalan yang dia lewati. Namun, setiap langkah terasa salah. Bayangan di sekelilingnya bergerak semakin dekat, membuatnya merinding. Ssshhh!Suara desisan itu terdengar lagi, membuat mata Arif membelalak. Bahkan degup jantungnya berderu kencang sampai terdengar di telinga. Srek! Srek!Ditambah suara langkah kaki yang beriringan dengan desisan semakin menggema di telinga Arif.Arif mulai berlari. Dia terjerembab dalam semak-semak, mencoba menemukan arah pulang. Hatinya berdebar kencang, setiap detak jantungnya menggema dalam kesunyian malam. Saat dia berlari, suara langkah kaki di belakangnya semakin mendekat, seolah-olah mengikutinya. “Apa ini?!” teriaknya, tetapi suaranya seolah hilang ditelan kegelapan. Dalam kepanikannya, Arif melihat ke belakang. Ada bayangan besar muncul di antara pepohonan. Sesuatu yang
“Siapa kamu?!” teriak Arif yang setelahnya kegelapan dan kabut itu menghilang.Tidak lama hawa dingin menggigit kulit Arif saat dia berdiri di tengah Desa Kandang Bubrah, sebuah tempat yang menyimpan aura misterius. Di sekitar, bangunan-bangunan dengan arsitektur indah namun tampak terlupakan memberikan kesan seolah waktu telah berhenti di sini. “Di mana ini?” bisiknya, menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu dan ketakutan. Arif mendekati sebuah bangunan setengah hancur di dekatnya, tiba-tiba suara mendesis memecah keheningan. Ssshhh!Dia berbalik, dan dari kegelapan, sosok seorang pria tua muncul. Pria itu berpakaian loreng merah-hitam. Wajahnya keriput, tetapi matanya berbinar penuh makna, menyimpan rahasia yang tak terkatakan. “Ah, anak muda. Kau terlihat bingung.” Pria dengan perkiraan usia 80 tahun itu menghampiri Arif. “Aku Mijan Trembesi. Apa tujuan kamu kemari? Pasti ingin mengubah nasibmu!” Suara Mbah Mijan menggema, membawa rasa keinginan sekaligus ancaman.
“Aku harus segera pergi dari sini, tapi di mana letak hutan itu?” tanyanya pada diri sendiri. Arif sudah tidak ambil pusing dengan keadaan di sekitarnya yang terasa janggal. Suasana hutan saat itu terasa sepi, tiba-tiba awan menjadi mendung di siang hari. Arif teringat peringatan Mbah Mijan. “Hanya malam Jumat Kliwon, tepat di hari Kamis Legi. Waktu itu, Desa Srengege akan muncul.” Saat itu, Arif merasa jantungnya berdebar, teringat betapa pentingnya malam itu. Dia bertanya-tanya mengapa hanya malam tertentu desa itu bisa ditemukan, dan apa yang menunggu di dalam kegelapan. Arif teringat kembali kata-kata Mbah Mijan. “Desa itu terperangkap dalam dimensi lain,” kata Mbah Mijan terbayang di benaknya. “Hanya pada malam itu, gerbang menuju Srengege terbuka.” Arif merasakan keraguan menghampiri. Bagaimana jika dia terjebak di tempat itu selamanya?Mendengar suara gemerisik di semak-semak, Arif menahan napas. Dia mengedarkan pandangan, berusaha menemukan sumber suara itu, ketika tib
“Bagaimana? Apakah aku sudah bisa bergerak?” tanya Arif berbisik, dia berusaha mengontrol rasa takutnya. Sampai angin bertiup kencang, dan membuat para nokturnal kegelapan itu terbang dan berlarian. Arif langsung lemas sambil mengumpat kesal. “Sialan! Aku pikir tadi itu apa? Ternyata kelelawar dan burung hantu!” Mereka terus menyusuri hutan tanpa henti, bahkan siang dan malam tidak terasa saat ini, ditutup oleh rimbunnya pohon yang menjulang tinggi menutup langit. Hingga hari berganti, Arif masih berjuang melawan kelelahan di tengah hutan yang semakin suram. Setiap langkah terasa semakin berat, seiring rasa putus asa menggerogoti hatinya. "Dimas, kita sudah berjalan jauh. Apakah kau yakin kita berada di jalur yang benar?" tanya Arif, suaranya bergetar oleh keletihan. Dimas menghentikan langkah, meneliti sekeliling. "Seharusnya kita sudah dekat. Tapi ada sesuatu yang tidak beres di sini," jawabnya, mata Dimas menyusuri bayangan pohon-pohon rimbun. Suara-suara aneh mulai men
“Kamu akan tahu, setelah sampai di sana. Temui Mbah Niah, dia yang akan menuntunmu selanjutnya.” Mbah Mijan setelahnya tertawa, lalu melanjutkan kata-katanya lagi. “Kamu hanya perlu ke Dusun Misahan sebelum jam 2.00 malam dini hari kalian harus segera keluar dari tempat itu, Desa Srengege hanya akan terbuka malam ini, di arah tenggelamnya matahari batas Dusun Misahan. Ingat, tidak dapat berbalik lagi jika kamu sudah sampai di sana,” ujarnya dengan mata yang tajam.Saat Arif melihat jam di pergelangan tangannya, waktu sudah sangat terbatas. Arif kembali ingin berbicara dengan Mbah Mijan. “Tapi, Mbah....” Arif terdiam melihat sosok Mbah Mijan yang menghilang. Dengan wajah panik, Arif langsung mengajak Dimas sambil menarik pria itu bersamanya, “Kita harus bergegas, sudah tidak ada waktu. Saat ini sudah menunjukkan hampir jam 12 malam.”Akhirnya, Arif dan Dimas melanjutkan perjalanan ke Desa Misahan, terjebak dalam suasana malam yang kelam. Setiap langkah terasa berat, tertekan oleh
“Rif, kamu yakin? Kalau kita nanti terlambat keluar bagaimana? Kamu lihat di sana, pedagangnya masih muda, tidak ada yang seperti mbah-mbah,” ujar Dimas mengingatkan. Sampai saat ini tubuh Dimas masih tetap terlihat pucat dan ketakutan, dia ingin Arif berpikir masak-masak sebelum melewati altar menuju pasar desa Srengege. “Ayolah, kalau kamu tidak yakin aku saja yang akan ke sana. Mungkin dia memang awet muda walau usianya sudah tua. Sudah terlalu banyak hal aneh yang aku alami, jadi ini menurutku biasa saja. Ini jalanku, Dim, aku mau ke sana.” Arif melangkah menuju tempat itu tanpa menghiraukan Dimas mau lanjut bersamanya atau berpisah di tempat itu saat ini. Dimas terdiam, sampai Arif benar-benar mau melangkah masuk. “Tunggu, Rif,” ujar Dimas yang menyusul sambil berlari. Mereka akhirnya memasuki sebuah gerbang bercahaya yang ditunjukkan oleh wanita tua. Terlihat sosok wanita muda yang selalu dipanggil Mbah Niah oleh para pembelinya. Arif terkejut saat wanita itu menatapnya ta
"Kamu harus kuat, Dim, kita cari air. Tapi waktunya sudah semakin sedikit!" Arif berteriak dengan napas yang tersengal, mengguncang keheningan malam. Dia memapah tubuh Dimas yang terluka, setengah terbata-bata. Mereka terus berjalan, namun langkah mereka semakin berat, dan waktu terasa semakin sempit.Dimas hanya bisa mengangguk lemah. Wajahnya pucat, darah mengalir dari luka-luka yang menembus kulitnya. Keringat membasahi dahinya. Arif bisa merasakan betapa tubuh Dimas mulai goyah, tak kuasa menopang dirinya sendiri. Mereka sudah terlalu jauh ke dalam hutan, jauh dari perkampungan, dan semakin jauh dari harapan."Arif... aku merasa pusing," suara Dimas teredam oleh bisikan angin yang semakin berembus kencang. Tubuhnya limbung, dan kaki-kakinya hampir tidak bisa menahan beban."Jangan jatuh, Dim!" Arif hampir berteriak, menahan tubuh Dimas yang nyaris terjatuh. "Kita harus bertahan... Bertahan sedikit lebih lama."Arif bisa merasakan nafasnya yang semakin terengah. Setiap langkahnya te
"Apa yang terjadi, Arif? Kau… kau hilang selama seminggu!" Suara Ibu menggema dalam rumah yang hening. Arif berdiri di ambang pintu, mata kosong dan penuh kekhawatiran.Tangannya memegang erat persyaratan yang diberikan Mbah Mijan minyak fambo, kemeyan madu, bunga setaman, dua kain mori dari makam keramat. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang menyatu dengan kenyataan. Dia baru saja kembali dari sebuah tempat yang lebih mengerikan daripada yang bisa dibayangkan siapa pun."Satu minggu? Rasanya lebih lama dari itu, Bu." Arif menjawab, suaranya serak, hampir tak mengenali dirinya sendiri.Ibu menatapnya bingung, seakan mencari jawaban di mata Arif yang kini lebih kelam. "Kau tampak berbeda. Apa yang terjadi padamu?"Arif hanya terdiam. Kepalanya penuh dengan gambar-gambar gelap, dengan suara-suara bisikan yang tidak bisa dia lupakan. Sosok-sosok di hutan, tangan dingin yang menariknya jatuh, suara Mbah Mijan yang terdengar lebih menyeramkan dari sebelumnya. Semua itu mencekamnya, mem
Angin dingin berembus pelan saat Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara meninggalkan rumah Mbah Niah. Udara di Desa Srengege terasa semakin berat, seolah mereka baru saja membuat kesepakatan dengan sesuatu yang tidak terlihat.Di genggaman Lila, kain hitam pemberian Mbah Niah terasa dingin, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar perlindungan."Kandang Bubrah ada di mana?" tanya Dimas, suaranya terdengar serak.Mbah Niah berdiri di ambang pintu rumahnya, tatapannya tajam ke arah jalanan berkabut. "Kalian hanya perlu mengikuti jalan ini."Lila menatap jalanan setapak yang terbentang di depan mereka. Jalur itu gelap, diselimuti kabut pekat yang menggantung rendah di atas tanah."Begitu kalian melewati batas Desa Srengege," lanjut Mbah Niah, "kalian tidak akan berada di dunia ini lagi."Lila menelan ludah. "Maksudmu?"Mbah Niah
Wanita berkebaya hitam itu berdiri diam di tengah jalan. Rambutnya panjang, menutupi sebagian wajahnya.Namun, saat ia perlahan mengangkat kepala, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menyimpan sesuatu yang lebih dalam.Lila merasakan udara di sekitarnya menjadi berat. Jantungnya berdegup kencang hingga ia hampir merasa sesak.Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke wanita itu, tetapi anehnya… cahaya tidak mampu menyentuh sosoknya. Seolah wanita itu berdiri di dimensi yang berbeda dari mereka."Dia siapa?" bisik Lila.Ustadz Harman tidak menjawab. Ia melangkah maju dengan tenang, matanya tajam menatap wanita itu."Mbah Niah," sapanya dengan suara datar.Wanita itu menyeringai, sedikit lebih lebar. "Sudah lama aku menunggu kalian."Su
Lila berdiri di tepian jurang, jantungnya berdetak begitu kencang hingga hampir terasa menyakitkan.Di hadapannya, Ustadz Harman berdiri tegak di atas sesuatu yang tak kasat mata. Seolah-olah ada lantai yang menyangga tubuhnya, meskipun yang terlihat hanyalah kegelapan yang menganga lebar."Jangan ragu," kata Ustadz Harman dengan suara tenang. "Jika kau ragu, kau akan jatuh."Lila menelan ludah. Tangannya berkeringat saat menggenggam erat Jatinegara, yang berdiri diam di sampingnya.Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke depan. Cahaya terang itu melayang… tanpa menyentuh apa pun. Seolah-olah tidak ada yang bisa dipijak."Ini gila," gumamnya. "Tidak ada jembatan di sini."Ustadz Harman menoleh padanya. "Tidak terlihat, bukan berarti tidak ada."Lila menarik napas dalam. Tidak ada pilihan lain.Ia menatap wajah Jatinegara yang pucat dalam cahaya remang. "Jati, kamu percaya sama Ibu?"Jatinegara mengangguk pelan.Lila menggenggam tangannya lebih erat. Lalu…Ia mengangkat kakinya d
Langit telah sepenuhnya gelap ketika Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara tiba di jalan setapak yang menuju hutan tempat Desa Srengege konon berada.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Lila mengeratkan genggamannya pada tangan Jatinegara, sementara Dimas menyalakan senter untuk menerangi jalan.Ustadz Harman berjalan paling depan. Suaranya tenang, tapi tegas. "Sekali kita masuk, kita tidak bisa berbalik sebelum waktunya tiba."Lila menelan ludah. "Berarti… kita hanya bisa keluar setelah ritual selesai?"Ustadz Harman mengangguk. "Benar. Desa Srengege hanya muncul di malam Jumat Kliwon, dan akan menghilang sebelum fajar. Jika kita masih ada di dalam saat matahari terbit… kita tidak akan pernah kembali."Lila merasakan jantungnya mencelos.Dimas menoleh ke arah mereka. "Kalau begitu, kita harus cepat."Ustadz Harman melangkah ke depan, dan mereka mengikuti.Langkah pertama memasuki hutan terasa
Suara langkah kaki di luar rumah semakin jelas. Seolah ada lebih dari satu makhluk yang sedang mengitari mereka.Lila menahan napas. Tangan dinginnya mencengkeram erat bahu Jatinegara yang duduk diam di pangkuannya.Dimas sudah berdiri dengan posisi waspada, sementara Ustadz Harman tetap duduk tenang, meski matanya tajam menatap ke arah pintu.Lalu…Tok. Tok. Tok.Ketukan itu terdengar lagi. Pelan, tapi mencengkeram jiwa. Sama seperti yang Lila dengar di rumahnya tadi malam.Tapi kali ini, suara itu diiringi oleh bisikan. "Lila… keluarlah…"Napas Lila tercekat. ”Itu suara Arif, tidak mungkin Arif sudah mati.”Dimas menoleh padanya, tatapannya mengisyaratkan sesuatu. ’Jangan dengarkan.’Namun, suara itu kembali bergema—lebih pelan, lebih dingin. "Jatine
Lila masih berdiri kaku di halaman rumah, matanya terpaku ke jendela kamar. Sosok Arif dan bayangan-bayangan lainnya memang sudah menghilang, tapi perasaan tidak enak masih mencengkeram dadanya.Di sampingnya, Jatinegara tetap diam, tatapannya kosong seperti seseorang yang baru saja bangun dari tidur panjang.Dimas menyentuh bahu Lila, menyadarkannya. "Kita pergi dari sini sekarang."Lila menelan ludah, lalu mengangguk. Ia menggandeng Jatinegara menuju mobil Dimas. Saat mereka akan masuk, Jatinegara tiba-tiba menoleh lagi ke arah rumah."Ibu..."Lila menegang. "Kenapa, sayang?"Jatinegara mengangkat tangannya, menunjuk ke pintu rumah yang setengah terbuka. "Ayah belum ikut dengan kita."Dimas dan Lila bertukar pandang. Dimas berbisik tegas, "Jangan dengarkan dia, Lila. Kita pergi sekarang."Tapi sebelum Lila sempat merespons, angin kencang tiba-tiba berhembus dari dalam rumah. Pintu depan berderak keras, kemudian.BRAK!Pintu itu menutup sendiri dengan suara yang menggema. Seolah ada
Lila berdiri mematung. Matanya terpaku pada cermin yang tertutup kain, tetapi bayangan hitam di dalamnya masih bisa terlihat samar, seolah sosok itu tetap berdiri di balik kain tipis.”Senyum itu…” gumam Lira lirih.Itu bukan senyum Arif yang ia kenal. Senyum itu bukan sekadar menyapa. Senyum itu mengancam.Tiba-tiba, kain yang menutupi cermin mulai bergerak sendiri, seolah ada tangan tak terlihat yang menyibaknya perlahan.Lila ingin berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Jatinegara yang berada di sampingnya menoleh dengan tatapan kosong ke arah cermin. Bibirnya bergerak pelan.“Ibu… dia ingin keluar.” Lila merasakan darahnya berhenti mengalir. Seketika, ia menarik anaknya ke dalam pelukan, tangannya berusaha meraih kain itu untuk menutupi cermin lebih erat. Tapi saat jemarinya menyentuh kain, sesuatu yang dingin merambat ke tubuhnya.Jari seseorang dari dalam cermin sedang mencengkeram kain itu dari balik kaca.Lila terlonjak mundur.Brak!Lampu kamar mereka tiba-tiba b
Lila menggeliat gelisah di ranjangnya. Sudah tiga malam berturut-turut ia terbangun di jam yang sama pukul dua pagi dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Ada sesuatu di rumah ini, sesuatu yang mengawasinya dalam kegelapan.Di sebelahnya, Jatinegara tidur pulas, tetapi sesekali tubuhnya bergerak gelisah seolah sedang bermimpi buruk. Lila mengusap kepala anaknya dengan lembut, mencoba menenangkan diri.“Apa aku hanya terlalu lelah?” gumamnya.Namun, kegelisahan itu semakin sulit diabaikan ketika suara langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu. Lila menegang. Suara itu pelan, menyeret, dan terputus-putus.Bulu kuduknya berdiri. Ia menoleh ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka, menatap kegelapan di luar. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari sesuatu yang janggal. Lampu ruang tamu tadi ia matikan sebelum tidur, tetapi kini ada semburat cahaya samar dari celah pintu.&nbs
Udara berubah drastis, Lila terjatuh ke tanah dengan keras, tubuhnya terasa ringan namun lemah. Sesaat, ia tidak bisa merasakan apa pun selain dingin yang menjalari kulitnya. Napasnya tersengal-sengal, jantungnya masih berdetak cepat akibat adrenalin yang belum hilang.Jatinegara terkapar di sampingnya, mengerang pelan. Wina terduduk dengan tubuh gemetar, satu tangannya masih melindungi perutnya, sementara Ustadz Harman berusaha bangkit dengan sisa tenaga yang ada.”Mereka… kembali.”Lila memejamkan matanya sesaat, mencoba memahami situasi. Tidak ada lagi udara berat yang menyesakkan, tidak ada suara jeritan dari roh-roh yang terperangkap, tidak ada gemuruh tanah yang bergetar.Kandang Bubrah telah lenyap. Tapi sesuatu masih terasa kurang. Matanya langsung terbuka, mencari seseorang.”Arif...” Lila menoleh ke kanan dan kiri dengan panik, Arif tidak