“Bagaimana? Apakah aku sudah bisa bergerak?” tanya Arif berbisik, dia berusaha mengontrol rasa takutnya.
Sampai angin bertiup kencang, dan membuat para nokturnal kegelapan itu terbang dan berlarian. Arif langsung lemas sambil mengumpat kesal. “Sialan! Aku pikir tadi itu apa? Ternyata kelelawar dan burung hantu!”
Mereka terus menyusuri hutan tanpa henti, bahkan siang dan malam tidak terasa saat ini, ditutup oleh rimbunnya pohon yang menjulang tinggi menutup langit.
Hingga hari berganti, Arif masih berjuang melawan kelelahan di tengah hutan yang semakin suram. Setiap langkah terasa semakin berat, seiring rasa putus asa menggerogoti hatinya.
"Dimas, kita sudah berjalan jauh. Apakah kau yakin kita berada di jalur yang benar?" tanya Arif, suaranya bergetar oleh keletihan. Dimas menghentikan langkah, meneliti sekeliling.
"Seharusnya kita sudah dekat. Tapi ada sesuatu yang tidak beres di sini," jawabnya, mata Dimas menyusuri bayangan pohon-pohon rimbun.
Suara-suara aneh mulai mengganggu ketenangan mereka, membuat Arif merasa seolah ada yang mengawasi mereka lagi.
"Aku tidak suka suasana di sini," ungkapnya, Arif meremas tangannya menahan rasa takut.
Mendengar itu, Dimas langsung menatap Arif dengan tajam. "Jangan dengarkan suara-suara itu! Mereka hanya ingin mengalihkan perhatianmu."
Namun, keraguan masih merayap di benak Arif. "Apa kita terjebak di sini selamanya?" tanyanya, napasnya semakin berat.
"Kita tidak akan terjebak! Kita hanya perlu terus bergerak.” Dimas berusaha meyakinkan, meski raut wajahnya menunjukkan ketidakpastian.
Saat mereka melanjutkan perjalanan, hutan semakin gelap dan menakutkan. Suara gemerisik di sekeliling semakin intens, seolah ada sesuatu yang mengikuti mereka. Arif merasa harapannya semakin tipis, di tengah kegelapan yang menakutkan. Ketika malam tiba, mereka tiba-tiba mendengar tawa mengerikan di antara pepohonan.
Hihihi...!
"Apa itu?!" teriak Arif, panik.
Dimas menarik Arif untuk berlari, tetapi arah yang mereka pilih tampak membingungkan. Kegelapan semakin menebal dan saat itu, Arif merasakan sesuatu yang dingin menyentuh punggungnya. Dalam ketakutan, mereka berlari tanpa tujuan, berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat.
“Dimas, ada yang menyentuh punggungku,” ungkap Arif yang terus berlari dengan napas tersengal. Tapi Dimas tidak menghiraukan, dia terus menarik tangan Arif untuk terus berlari. Sampai napas mereka mulai terengah-engah, sebuah bayangan melintas di depan mereka.
"Kau kembali, Arif?" suara Mbah Mijan muncul dari kegelapan, nadanya meyakinkan.
Pria tua itu tampak seperti muncul dari kegelapan itu sendiri, pakaiannya yang loreng merah-hitam menyatu dengan latar belakang malam yang kelam. Arif terkejut, dia merasa belum ada keluar dari hutan itu dan belum ada ke arah kembali ke tempat dia bertemu Mbah Mijan.
"Mbah Mijan! Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, rasa takut menyelinap dalam nada suaranya.
Mbah Mijan tersenyum, tetapi senyumnya tidak menenangkan. "Aku datang untuk menanyakan, apakah kau masih menginginkan kekayaan yang kau impikan?”
Dimas menoleh pada Arif, ekspresinya campur aduk antara ketakutan dan ketidakpastian.
"Apa kita harus mempercayainya, Arif? Kita sudah hampir hancur di sini." Namun Arif merasa terjebak dalam dilema.
Mbah Mijan melanjutkan, "Kekayaan itu bisa menjadi milikmu, tetapi ingat, setiap janji ada harganya. Harganya mungkin lebih besar dari yang kau duga."
Ketakutan melanda Arif saat dia berpikir tentang konsekuensi setiap langkahnya. Dia teringat semua hinaan dari keluarganya dan semua rasa sakit yang dia alami. "Aku—aku ingin kekayaan," ucapnya pelan.
"Tapi apa yang harus aku bayar?" tanya Arif, dengan bibir bergetar.
Mbah Mijan melangkah lebih dekat, aroma kemenyan dan tanah basah menyelimuti mereka. "Kau harus menawarkan sesuatu yang berharga, sesuatu dari dalam dirimu. Dan mungkin, kau harus memilih antara kekayaan dan orang-orang terkasihmu."
Dimas mencoba mencegahnya. "Arif, jangan lakukan ini! Kita bisa menemukan cara lain." Namun Arif merasa putus asa.
"Tapi aku sudah terjebak! Ini satu-satunya cara untuk mengubah hidupku!"ungkapnya, tanpa berpikir panjang.
Dengan suasana mencekam yang mengelilingi mereka, Mbah Mijan mengajukan pertanyaan yang menakutkan. "Apakah kau berani mengambil risiko, bahkan jika itu berarti kehilangan semuanya?"
Kegelapan sekelilingnya semakin dalam dan suara bisikan di hutan mulai kembali, menambah suasana mencekam. Arif merasakan tenggorokannya mengering, setiap harapannya terasa rapuh di hadapan pilihan yang menakutkan ini.
"Jika aku melakukannya, apa yang harus aku korbankan?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Dalam ketegangan yang menggantung di udara, Arif harus memilih. Apakah dia akan mengambil tawaran Mbah Mijan dan mempertaruhkan segalanya, ataukah dia akan mundur dan menghadapi ketidakpastian yang lebih besar? Dengan kegelapan yang semakin mengancam, keputusan itu terasa semakin mendekat, dan nasib mereka terjebak dalam permainan yang tidak mereka inginkan.
“Kamu akan tahu, setelah sampai di sana. Temui Mbah Niah, dia yang akan menuntunmu selanjutnya.” Mbah Mijan setelahnya tertawa, lalu melanjutkan kata-katanya lagi. “Kamu hanya perlu ke Dusun Misahan sebelum jam 2.00 malam dini hari kalian harus segera keluar dari tempat itu, Desa Srengege hanya akan terbuka malam ini, di arah tenggelamnya matahari batas Dusun Misahan. Ingat, tidak dapat berbalik lagi jika kamu sudah sampai di sana,” ujarnya dengan mata yang tajam.Saat Arif melihat jam di pergelangan tangannya, waktu sudah sangat terbatas. Arif kembali ingin berbicara dengan Mbah Mijan. “Tapi, Mbah....” Arif terdiam melihat sosok Mbah Mijan yang menghilang. Dengan wajah panik, Arif langsung mengajak Dimas sambil menarik pria itu bersamanya, “Kita harus bergegas, sudah tidak ada waktu. Saat ini sudah menunjukkan hampir jam 12 malam.”Akhirnya, Arif dan Dimas melanjutkan perjalanan ke Desa Misahan, terjebak dalam suasana malam yang kelam. Setiap langkah terasa berat, tertekan oleh
“Rif, kamu yakin? Kalau kita nanti terlambat keluar bagaimana? Kamu lihat di sana, pedagangnya masih muda, tidak ada yang seperti mbah-mbah,” ujar Dimas mengingatkan. Sampai saat ini tubuh Dimas masih tetap terlihat pucat dan ketakutan, dia ingin Arif berpikir masak-masak sebelum melewati altar menuju pasar desa Srengege. “Ayolah, kalau kamu tidak yakin aku saja yang akan ke sana. Mungkin dia memang awet muda walau usianya sudah tua. Sudah terlalu banyak hal aneh yang aku alami, jadi ini menurutku biasa saja. Ini jalanku, Dim, aku mau ke sana.” Arif melangkah menuju tempat itu tanpa menghiraukan Dimas mau lanjut bersamanya atau berpisah di tempat itu saat ini. Dimas terdiam, sampai Arif benar-benar mau melangkah masuk. “Tunggu, Rif,” ujar Dimas yang menyusul sambil berlari. Mereka akhirnya memasuki sebuah gerbang bercahaya yang ditunjukkan oleh wanita tua. Terlihat sosok wanita muda yang selalu dipanggil Mbah Niah oleh para pembelinya. Arif terkejut saat wanita itu menatapnya ta
"Kamu harus kuat, Dim, kita cari air. Tapi waktunya sudah semakin sedikit!" Arif berteriak dengan napas yang tersengal, mengguncang keheningan malam. Dia memapah tubuh Dimas yang terluka, setengah terbata-bata. Mereka terus berjalan, namun langkah mereka semakin berat, dan waktu terasa semakin sempit.Dimas hanya bisa mengangguk lemah. Wajahnya pucat, darah mengalir dari luka-luka yang menembus kulitnya. Keringat membasahi dahinya. Arif bisa merasakan betapa tubuh Dimas mulai goyah, tak kuasa menopang dirinya sendiri. Mereka sudah terlalu jauh ke dalam hutan, jauh dari perkampungan, dan semakin jauh dari harapan."Arif... aku merasa pusing," suara Dimas teredam oleh bisikan angin yang semakin berembus kencang. Tubuhnya limbung, dan kaki-kakinya hampir tidak bisa menahan beban."Jangan jatuh, Dim!" Arif hampir berteriak, menahan tubuh Dimas yang nyaris terjatuh. "Kita harus bertahan... Bertahan sedikit lebih lama."Arif bisa merasakan nafasnya yang semakin terengah. Setiap langkahnya te
"Apa yang terjadi, Arif? Kau… kau hilang selama seminggu!" Suara Ibu menggema dalam rumah yang hening. Arif berdiri di ambang pintu, mata kosong dan penuh kekhawatiran.Tangannya memegang erat persyaratan yang diberikan Mbah Mijan minyak fambo, kemeyan madu, bunga setaman, dua kain mori dari makam keramat. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang menyatu dengan kenyataan. Dia baru saja kembali dari sebuah tempat yang lebih mengerikan daripada yang bisa dibayangkan siapa pun."Satu minggu? Rasanya lebih lama dari itu, Bu." Arif menjawab, suaranya serak, hampir tak mengenali dirinya sendiri.Ibu menatapnya bingung, seakan mencari jawaban di mata Arif yang kini lebih kelam. "Kau tampak berbeda. Apa yang terjadi padamu?"Arif hanya terdiam. Kepalanya penuh dengan gambar-gambar gelap, dengan suara-suara bisikan yang tidak bisa dia lupakan. Sosok-sosok di hutan, tangan dingin yang menariknya jatuh, suara Mbah Mijan yang terdengar lebih menyeramkan dari sebelumnya. Semua itu mencekamnya, mem
"Ada apa, Nek? Kenapa pucat begitu?" tanya Arif ketika melihat wajah Bunyu Mahoni yang tampak lebih pucat dari biasanya. Tubuh neneknya gemetar, tangannya mencengkeram ujung selimut dengan kekuatan yang tersisa."Aku mimpi buruk, Rif... rumah kita... ada api besar, tapi bukan api biasa..." suara Bunyu parau, hampir tak terdengar. Matanya yang keruh menatap Arif dengan sorot penuh ketakutan.Arif menggeleng, mencoba menyangkal. "Ah, itu cuma mimpi, Nek. Jangan dipikirkan." Tapi dadanya terasa berat, seolah ada batu yang menghimpit. Pikiran itu tak mudah diabaikan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar rumah, merasakan hawa yang berbeda. Lebih dingin, lebih gelap.Bunyu batuk kecil, suaranya pecah. "Hati-hati, Rif... ada yang tak beres. Rasanya seperti ada sesuatu... di sini."Malam itu, meski tubuhnya lelah, pikiran Arif tidak bisa tenang. Setiap bayangan di sudut ruangan terasa hidup, seperti mata-mata yang mengawasi. Namun, dia menepis ketakutan itu. Mbah Mijan sudah menjelaskan s
Arif berjalan mondar-mandir di ruang tamu, matanya tertuju pada lembaran-lembaran kontrak yang telah ia tandatangani dengan Mbah Mijan. Sesuatu dalam dirinya meronta, merasakan kegelisahan yang kian menumpuk, meskipun kekayaan yang ia dambakan mulai mengalir deras. Rumahnya kini terlihat lebih megah, dengan renovasi yang terus berjalan tanpa henti. Namun, meski tampak sejahtera, perasaan cemas itu tidak juga hilang.“Rif, sudah waktunya makan,” panggil ibunya dari dapur. Suaranya serak, masih penuh kelelahan setelah beberapa hari terakhir yang penuh kekacauan, menyusul kematian mendadak nenek Bunyu. Arif mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu depan rumah, seolah berharap sesuatu akan muncul di baliknya.Arif teringat akan mimpinya semalam, wajah nenek Bunyu yang penuh luka dan penderitaan. Tawa yang mengerikan itu masih terngiang di telinganya, seolah memperingatkan bahwa jalan yang dia pilih bukanlah jalan yang benar. Tetapi, Arif tidak bisa mundur lagi. Semuanya t
Arif berdiri mematung di halaman belakang, pandangannya tak bisa lepas dari jendela rumahnya yang gelap. Sosok itu masih berdiri di sana, memandangnya dengan mata merah menyala. Meskipun dia tahu dirinya tak salah lihat, bagian dalam dirinya bagian yang rasional berusaha membujuknya bahwa itu hanya imajinasinya saja.Perasaan aneh semakin menguasai dirinya. Arif merasa seperti ada yang memerintahkannya untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang tidak bisa Arif jelaskan. Dalam kebingungannya, Arif berbalik dan melangkah cepat ke dalam rumah, membanting pintu belakang dengan keras. Nafasnya terengah-engah, dan tubuhnya gemetar.“Siapa... siapa itu?” bisiknya, meskipun tahu tak ada jawaban yang akan datang.Tiba-tiba, suara ketukan di jendela depan terdengar jelas. Suara itu membuat hatinya hampir melompat keluar dari dadanya. Arif segera berjalan menuju jendela dengan langkah ragu-ragu, tangan gemetar saat Arif meraih tirainya. Dengan sekali tarik, Arif membuka tirai itu dan jantungnya hampi
Ketika Arif memasuki kamarnya, kegelapan malam itu terasa lebih pekat daripada sebelumnya. Udara dingin menyelimuti ruangannya, dan suara jangkrik yang biasanya terdengar dari luar kini seolah menghilang. Arif mengangkat tangan untuk menutup pintu, tetapi matanya tertuju pada bayangan yang berdiri tepat di depan pintu kamar.Itu sosok yang sama. Sosok gelap yang dia lihat beberapa malam lalu. Mata merah menyala itu menatapnya dengan penuh kebencian. Arif merasa tubuhnya membeku, tak mampu bergerak. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, seolah menunggu.Arif menggigit bibirnya, mencoba menenangkan dirinya. Ini tidak bisa terjadi. Dia sudah melakukan segalanya dengan benar. Ritual itu harusnya memberinya kekuatan, tapi mengapa sosok itu tetap ada? Mengapa Arif merasa seperti ada yang mengintai setiap langkahnya?"Siapa... siapa kamu?" Arif akhirnya bisa berbicara, suara suaranya terdengar serak.Sosok itu tidak menjawab. Hanya menatapnya dengan tatapan yang semakin tajam, semaki
Di dalam hatinya, Lila merasa terombang-ambing antara cinta dan amarah. Ia ingin menyelamatkan Arif, suami yang dulu ia cintai, namun ia juga tak bisa menahan rasa sakit dan kecewa atas keputusan-keputusan yang telah membawanya ke titik ini. Ia mulai bertanya-tanya apakah segala sesuatu yang mereka jalani, semua kebahagiaan mereka hanyalah ilusi yang dibangun di atas dosa dan pengorbanan.Lila duduk di samping Arif yang terbaring lemah, matanya menatap suaminya dengan penuh kecemasan."Arif..." suara Lila terhenti, terisak pelan. "Apa yang sudah kita lakukan? Kenapa kita harus terjerumus sejauh ini? Kenapa kamu memilih jalan ini?"Arif tidak menjawab. Wajahnya pucat, tubuhnya semakin lemah. Hanya ada keheningan yang semakin menebal di antara mereka. Lila merasa seolah berada di persimpangan jalan yang gelap dan tak ada arah. Setiap pilihan yang ia pikirkan terasa salah. Namun, ia tidak bisa mundur sekarang.
Lila menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan amarah, kesedihan, dan rasa kehilangan yang mendalam. Dengan hati yang hancur, ia merasakan keputusan yang harus diambil oleh suaminya.Di luar, warga desa mulai mendekati rumah Mahoni. Mereka sudah hampir mencapai gerbang, dan suara mereka semakin mendekat. Lila berlari keluar, menatap mereka dengan tatapan penuh kebingungan dan kesedihan."Mereka datang," kata Lila, suaranya serak. "Arif... mereka datang."Arif menatap Lila dengan tatapan terakhir yang penuh dengan pengorbanan. "Lila... ini waktunya. Aku siap. Jagalah Jatinegara."Dengan langkah berat, Lila mengangguk, mengucapkan selamat tinggal pada Arif dengan hati yang hancur. Ia tahu bahwa ia akan kehilangan pria yang pernah ia cintai, namun ia juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan diri dari kutukan yang telah menghancurkan mereka.Arif, dalam pengor
Ketegangan di rumah Arif semakin memuncak. Warga desa yang marah telah memasuki halaman rumah dengan penuh amarah, memaksa Lila untuk segera mengambil keputusan.Setiap langkah mereka terasa seperti petir yang mengguncang dunia yang sudah hancur di sekelilingnya. Suara teriakan semakin keras, semakin mendekat ke pintu rumah, dan Lila merasa terjebak antara rasa takut dan kebingungan yang tak terungkapkan.Arif terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat, tubuhnya ringkih. Hidungnya mencium bau darah yang samar-samar, dan napasnya semakin terengah. Namun, meskipun tubuhnya tak lagi kuat, matanya yang penuh penyesalan masih tampak terang dengan perasaan yang dalam. Kini, dia tahu bahwa dia harus memilih jalan yang tak bisa kembali.Lila mendekat, duduk di sisi tempat tidur Arif. "Arif," suara Lila bergetar. "Kita... kita bisa melarikan diri. Kita bisa mencari jalan keluar bersama. Kita bisa… kita bisa pergi jauh dari
Setelah beberapa waktu berdiskusi, mereka sepakat untuk bertindak. Dengan penuh semangat, mereka bergerak menuju rumah Mahoni, dengan langkah-langkah cepat dan penuh tekad.”Kalau tidak bergerak sekarang, Arif bisa kabur,” ujar salah satu warga memprovokasi.”Betul! Betul! ” Serentak sorakan lantang tu menyeruak ke udara memenuhi desa Misahan.Namun, perjalanan itu tak berlangsung tanpa halangan. Mereka tahu bahwa jika mereka menyerang rumah Mahoni, mereka harus siap menghadapi segala konsekuensinya. Tetapi rasa sakit dan pengkhianatan yang mereka rasakan lebih besar dari ketakutan apapun.Sementara itu, di rumah Mahoni, Lila sedang berusaha menghadapi kenyataan yang baru saja terungkap. Dia merasa terjebak antara rasa cinta dan kebencian, antara keinginan untuk membangun kembali hidupnya dan kenyataan pahit yang harus dihadapi. Namun, hari itu, saat ia sedang duduk sendiri di ruang tamu, terdengar suara langkah-langkah yang mendekat. Ia mendengar bisikan yang semakin keras dari luar,
Arif terdiam. Ia tidak bisa melihat mata Lila, hanya menatap kosong ke dinding. "Aku... aku sengaja melakukan inseminasi dengan donor. Agar kau tetap bisa punya keturunan. Aku takut, Lila, kalau anak-anak kita adalah keturunan Mahoni, mereka akan menjadi tumbal ritual ini. Sebab itu Jatinegara aman saat ini, tidak ada setetespun darah Mahoni dalam tubuhnya," kata Arif, suara penuh keraguan.Lila terperanjat, hatinya seperti dipenuhi oleh amarah yang membakar. "Jadi, kau melakukan semua itu demi kekuatan dan kekayaan, Arif? Semua yang kita jalani selama ini, semua kebahagiaan kita, hanyalah kebohongan?!" Lila merasa tubuhnya semakin lemas. Semua yang ia percayai selama ini ternyata sebuah ilusi.Arif menggelengkan kepala, wajahnya penuh dengan air mata. "Aku tidak tahu lagi, Lila. Aku sudah terjebak dalam ini. Aku ingin berhenti, tapi aku tidak tahu bagaimana. Aku hanya ingin kita bisa hidup lebih baik... Aku hanya ingin kau bahagia," ucap Arif dengan suara tercekat.Lila merasa hatiny
Lila duduk di sudut ruang tamu, matanya kosong menatap jam dinding yang berdetak pelan. Setiap detik terasa berat, menambah beban kecemasan yang sudah lama menggerogoti hatinya.’Kenapa begini, kamu janji waktu dulu akan terus bersamaku. Kenapa begini, Arif . Aku mohon kamu bisa,’ harap Lila di dalam hati.Di depannya, Arif terbaring lemah di atas sofa. Tubuhnya tampak semakin kurus, wajahnya pucat, seolah-olah hidupnya tergantung pada seutas benang. Penyakit yang menggerogoti tubuh Arif memperburuk keadaannya, membuatnya lebih mudah terperangkap dalam dunia gaib yang semakin menguasainya. Suaminya yang dulu penuh semangat kini hanya tampak seperti bayangan.Lila memandang Arif dengan hati yang penuh keraguan dan rasa sakit. Ia tahu suaminya bukanlah orang yang sama lagi. Arif berbicara tanpa arah, matanya kosong, dan kadang-kadang ia tersenyum sendiri seperti berbicara dengan sesuatu yang tidak bisa dilihat Lila."Arif," Lila memanggil, suaranya bergetar. "Apa yang terjadi padamu? Ap
125Arif duduk di ruang tamu, menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya yang dulu gagah kini terlihat rapuh, wajahnya pucat, penuh keriput, dan jauh dari semangat hidup. Tangannya menggenggam bingkai foto Afifah, keponakannya yang telah tiada. Setiap malam, wajah Afifah menghantuinya, seperti menuntut jawaban atas semua keputusan kelamnya di masa lalu."Afifah... maafkan Om," bisiknya, suaranya serak dan hampir tak terdengar.Lila melangkah mendekat, membawa secangkir teh hangat. Ia tahu suaminya semakin larut dalam rasa bersalah, tapi tak tahu bagaimana cara menolongnya."Arif, kamu harus makan. Tubuhmu makin lemah," ucapnya lembut, meski sorot matanya menyiratkan kecemasan yang mendalam.Arif hanya menggeleng pelan. "Untuk apa makan, Lila? Hidupku sudah selesai sejak Afifah pergi."Lila terdiam, menggigit bibirnya untuk menahan air mata. Ia tahu ada sesuatu yang lebih gelap dari rasa duka yang mengikat suaminya.Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Di tengah keheningan,
Beberapa hari setelah itu, Wina datang sendirian ke rumah Arif. Ia menemui pria itu di ruang tamu, yang kini berantakan. Foto-foto keluarga berserakan di lantai, dan bau pengap memenuhi ruangan. Wina duduk di depan Arif, mencoba menatapnya dengan penuh simpati.“Kak Arif,” katanya pelan, “Aku tahu ini berat. Tapi desas-desus di desa sudah tidak terkendali. Mereka terus menyalahkan Danyang, dan banyak yang percaya bahwa ini semua karena pesugihanmu.”Arif mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah, dan wajahnya penuh kelelahan. “Apa pun yang mereka katakan… mereka benar,” katanya akhirnya, suaranya serak.Wina terkejut. “Apa maksud Kakak? Walau aku tau hal ini sejak lama. Tapi, seharusnya kakak jangan bicara seperti itu.” Protesnya dengan hati-hati.“Aku sudah melakukan dosa besar, Wina. Dosa yang tidak akan pernah bisa aku tebus.” Arif menunduk lagi, tangannya menggenggam erat lututnya. “Afifah… dia adalah tumbal terakhir. Semua ini salahku.”Wina menggeleng pelan, mencoba memproses
Desa mulai bergemuruh dengan desas-desus setelah tubuh Afifah ditemukan di hutan dalam keadaan yang mengenaskan. Penduduk desa berbisik-bisik di sudut-sudut jalan dan di pasar kecil, menciptakan suasana penuh ketegangan."Aku dengar tubuhnya ditemukan di dekat pohon besar yang katanya angker itu," bisik seorang perempuan tua pada temannya, matanya menoleh kanan-kiri memastikan tak ada yang mendengar."Ya, dan ada bekas cakar di lengannya. Kau tahu apa artinya, bukan?" balas temannya dengan suara lirih."Danyang! Sudah jelas ini ulah Danyang hutan itu. Kita sudah diperingatkan untuk tidak terlalu dekat dengan hutan," tambah seorang lelaki paruh baya yang bergabung dalam obrolan itu.Namun, suara seorang pemuda terdengar dengan nada serius. "Tapi... ada yang bilang ini bukan hanya soal Danyang. Kau dengar cerita tentang Arif?""Arif? Maksudmu, Pamannya Afifah?" perempuan tua itu bertanya dengan mata membesar.Pemuda itu mengangguk pelan, lalu menurunkan suaranya. "Ada yang melihat dia b