“Bagaimana? Apakah aku sudah bisa bergerak?” tanya Arif berbisik, dia berusaha mengontrol rasa takutnya.
Sampai angin bertiup kencang, dan membuat para nokturnal kegelapan itu terbang dan berlarian. Arif langsung lemas sambil mengumpat kesal. “Sialan! Aku pikir tadi itu apa? Ternyata kelelawar dan burung hantu!”
Mereka terus menyusuri hutan tanpa henti, bahkan siang dan malam tidak terasa saat ini, ditutup oleh rimbunnya pohon yang menjulang tinggi menutup langit.
Hingga hari berganti, Arif masih berjuang melawan kelelahan di tengah hutan yang semakin suram. Setiap langkah terasa semakin berat, seiring rasa putus asa menggerogoti hatinya.
"Dimas, kita sudah berjalan jauh. Apakah kau yakin kita berada di jalur yang benar?" tanya Arif, suaranya bergetar oleh keletihan. Dimas menghentikan langkah, meneliti sekeliling.
"Seharusnya kita sudah dekat. Tapi ada sesuatu yang tidak beres di sini," jawabnya, mata Dimas menyusuri bayangan pohon-pohon rimbun.
Suara-suara aneh mulai mengganggu ketenangan mereka, membuat Arif merasa seolah ada yang mengawasi mereka lagi.
"Aku tidak suka suasana di sini," ungkapnya, Arif meremas tangannya menahan rasa takut.
Mendengar itu, Dimas langsung menatap Arif dengan tajam. "Jangan dengarkan suara-suara itu! Mereka hanya ingin mengalihkan perhatianmu."
Namun, keraguan masih merayap di benak Arif. "Apa kita terjebak di sini selamanya?" tanyanya, napasnya semakin berat.
"Kita tidak akan terjebak! Kita hanya perlu terus bergerak.” Dimas berusaha meyakinkan, meski raut wajahnya menunjukkan ketidakpastian.
Saat mereka melanjutkan perjalanan, hutan semakin gelap dan menakutkan. Suara gemerisik di sekeliling semakin intens, seolah ada sesuatu yang mengikuti mereka. Arif merasa harapannya semakin tipis, di tengah kegelapan yang menakutkan. Ketika malam tiba, mereka tiba-tiba mendengar tawa mengerikan di antara pepohonan.
Hihihi...!
"Apa itu?!" teriak Arif, panik.
Dimas menarik Arif untuk berlari, tetapi arah yang mereka pilih tampak membingungkan. Kegelapan semakin menebal dan saat itu, Arif merasakan sesuatu yang dingin menyentuh punggungnya. Dalam ketakutan, mereka berlari tanpa tujuan, berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat.
“Dimas, ada yang menyentuh punggungku,” ungkap Arif yang terus berlari dengan napas tersengal. Tapi Dimas tidak menghiraukan, dia terus menarik tangan Arif untuk terus berlari. Sampai napas mereka mulai terengah-engah, sebuah bayangan melintas di depan mereka.
"Kau kembali, Arif?" suara Mbah Mijan muncul dari kegelapan, nadanya meyakinkan.
Pria tua itu tampak seperti muncul dari kegelapan itu sendiri, pakaiannya yang loreng merah-hitam menyatu dengan latar belakang malam yang kelam. Arif terkejut, dia merasa belum ada keluar dari hutan itu dan belum ada ke arah kembali ke tempat dia bertemu Mbah Mijan.
"Mbah Mijan! Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, rasa takut menyelinap dalam nada suaranya.
Mbah Mijan tersenyum, tetapi senyumnya tidak menenangkan. "Aku datang untuk menanyakan, apakah kau masih menginginkan kekayaan yang kau impikan?”
Dimas menoleh pada Arif, ekspresinya campur aduk antara ketakutan dan ketidakpastian.
"Apa kita harus mempercayainya, Arif? Kita sudah hampir hancur di sini." Namun Arif merasa terjebak dalam dilema.
Mbah Mijan melanjutkan, "Kekayaan itu bisa menjadi milikmu, tetapi ingat, setiap janji ada harganya. Harganya mungkin lebih besar dari yang kau duga."
Ketakutan melanda Arif saat dia berpikir tentang konsekuensi setiap langkahnya. Dia teringat semua hinaan dari keluarganya dan semua rasa sakit yang dia alami. "Aku—aku ingin kekayaan," ucapnya pelan.
"Tapi apa yang harus aku bayar?" tanya Arif, dengan bibir bergetar.
Mbah Mijan melangkah lebih dekat, aroma kemenyan dan tanah basah menyelimuti mereka. "Kau harus menawarkan sesuatu yang berharga, sesuatu dari dalam dirimu. Dan mungkin, kau harus memilih antara kekayaan dan orang-orang terkasihmu."
Dimas mencoba mencegahnya. "Arif, jangan lakukan ini! Kita bisa menemukan cara lain." Namun Arif merasa putus asa.
"Tapi aku sudah terjebak! Ini satu-satunya cara untuk mengubah hidupku!"ungkapnya, tanpa berpikir panjang.
Dengan suasana mencekam yang mengelilingi mereka, Mbah Mijan mengajukan pertanyaan yang menakutkan. "Apakah kau berani mengambil risiko, bahkan jika itu berarti kehilangan semuanya?"
Kegelapan sekelilingnya semakin dalam dan suara bisikan di hutan mulai kembali, menambah suasana mencekam. Arif merasakan tenggorokannya mengering, setiap harapannya terasa rapuh di hadapan pilihan yang menakutkan ini.
"Jika aku melakukannya, apa yang harus aku korbankan?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Dalam ketegangan yang menggantung di udara, Arif harus memilih. Apakah dia akan mengambil tawaran Mbah Mijan dan mempertaruhkan segalanya, ataukah dia akan mundur dan menghadapi ketidakpastian yang lebih besar? Dengan kegelapan yang semakin mengancam, keputusan itu terasa semakin mendekat, dan nasib mereka terjebak dalam permainan yang tidak mereka inginkan.
“Kamu akan tahu, setelah sampai di sana. Temui Mbah Niah, dia yang akan menuntunmu selanjutnya.” Mbah Mijan setelahnya tertawa, lalu melanjutkan kata-katanya lagi. “Kamu hanya perlu ke Dusun Misahan sebelum jam 2.00 malam dini hari kalian harus segera keluar dari tempat itu, Desa Srengege hanya akan terbuka malam ini, di arah tenggelamnya matahari batas Dusun Misahan. Ingat, tidak dapat berbalik lagi jika kamu sudah sampai di sana,” ujarnya dengan mata yang tajam.Saat Arif melihat jam di pergelangan tangannya, waktu sudah sangat terbatas. Arif kembali ingin berbicara dengan Mbah Mijan. “Tapi, Mbah....” Arif terdiam melihat sosok Mbah Mijan yang menghilang. Dengan wajah panik, Arif langsung mengajak Dimas sambil menarik pria itu bersamanya, “Kita harus bergegas, sudah tidak ada waktu. Saat ini sudah menunjukkan hampir jam 12 malam.”Akhirnya, Arif dan Dimas melanjutkan perjalanan ke Desa Misahan, terjebak dalam suasana malam yang kelam. Setiap langkah terasa berat, tertekan oleh
“Rif, kamu yakin? Kalau kita nanti terlambat keluar bagaimana? Kamu lihat di sana, pedagangnya masih muda, tidak ada yang seperti mbah-mbah,” ujar Dimas mengingatkan. Sampai saat ini tubuh Dimas masih tetap terlihat pucat dan ketakutan, dia ingin Arif berpikir masak-masak sebelum melewati altar menuju pasar desa Srengege. “Ayolah, kalau kamu tidak yakin aku saja yang akan ke sana. Mungkin dia memang awet muda walau usianya sudah tua. Sudah terlalu banyak hal aneh yang aku alami, jadi ini menurutku biasa saja. Ini jalanku, Dim, aku mau ke sana.” Arif melangkah menuju tempat itu tanpa menghiraukan Dimas mau lanjut bersamanya atau berpisah di tempat itu saat ini. Dimas terdiam, sampai Arif benar-benar mau melangkah masuk. “Tunggu, Rif,” ujar Dimas yang menyusul sambil berlari. Mereka akhirnya memasuki sebuah gerbang bercahaya yang ditunjukkan oleh wanita tua. Terlihat sosok wanita muda yang selalu dipanggil Mbah Niah oleh para pembelinya. Arif terkejut saat wanita itu menatapnya ta
"Kamu harus kuat, Dim, kita cari air. Tapi waktunya sudah semakin sedikit!" Arif berteriak dengan napas yang tersengal, mengguncang keheningan malam. Dia memapah tubuh Dimas yang terluka, setengah terbata-bata. Mereka terus berjalan, namun langkah mereka semakin berat, dan waktu terasa semakin sempit.Dimas hanya bisa mengangguk lemah. Wajahnya pucat, darah mengalir dari luka-luka yang menembus kulitnya. Keringat membasahi dahinya. Arif bisa merasakan betapa tubuh Dimas mulai goyah, tak kuasa menopang dirinya sendiri. Mereka sudah terlalu jauh ke dalam hutan, jauh dari perkampungan, dan semakin jauh dari harapan."Arif... aku merasa pusing," suara Dimas teredam oleh bisikan angin yang semakin berembus kencang. Tubuhnya limbung, dan kaki-kakinya hampir tidak bisa menahan beban."Jangan jatuh, Dim!" Arif hampir berteriak, menahan tubuh Dimas yang nyaris terjatuh. "Kita harus bertahan... Bertahan sedikit lebih lama."Arif bisa merasakan nafasnya yang semakin terengah. Setiap langkahnya te
"Apa yang terjadi, Arif? Kau… kau hilang selama seminggu!" Suara Ibu menggema dalam rumah yang hening. Arif berdiri di ambang pintu, mata kosong dan penuh kekhawatiran.Tangannya memegang erat persyaratan yang diberikan Mbah Mijan minyak fambo, kemeyan madu, bunga setaman, dua kain mori dari makam keramat. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang menyatu dengan kenyataan. Dia baru saja kembali dari sebuah tempat yang lebih mengerikan daripada yang bisa dibayangkan siapa pun."Satu minggu? Rasanya lebih lama dari itu, Bu." Arif menjawab, suaranya serak, hampir tak mengenali dirinya sendiri.Ibu menatapnya bingung, seakan mencari jawaban di mata Arif yang kini lebih kelam. "Kau tampak berbeda. Apa yang terjadi padamu?"Arif hanya terdiam. Kepalanya penuh dengan gambar-gambar gelap, dengan suara-suara bisikan yang tidak bisa dia lupakan. Sosok-sosok di hutan, tangan dingin yang menariknya jatuh, suara Mbah Mijan yang terdengar lebih menyeramkan dari sebelumnya. Semua itu mencekamnya, mem
"Ada apa, Nek? Kenapa pucat begitu?" tanya Arif ketika melihat wajah Bunyu Mahoni yang tampak lebih pucat dari biasanya. Tubuh neneknya gemetar, tangannya mencengkeram ujung selimut dengan kekuatan yang tersisa."Aku mimpi buruk, Rif... rumah kita... ada api besar, tapi bukan api biasa..." suara Bunyu parau, hampir tak terdengar. Matanya yang keruh menatap Arif dengan sorot penuh ketakutan.Arif menggeleng, mencoba menyangkal. "Ah, itu cuma mimpi, Nek. Jangan dipikirkan." Tapi dadanya terasa berat, seolah ada batu yang menghimpit. Pikiran itu tak mudah diabaikan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar rumah, merasakan hawa yang berbeda. Lebih dingin, lebih gelap.Bunyu batuk kecil, suaranya pecah. "Hati-hati, Rif... ada yang tak beres. Rasanya seperti ada sesuatu... di sini."Malam itu, meski tubuhnya lelah, pikiran Arif tidak bisa tenang. Setiap bayangan di sudut ruangan terasa hidup, seperti mata-mata yang mengawasi. Namun, dia menepis ketakutan itu. Mbah Mijan sudah menjelaskan s
Arif berjalan mondar-mandir di ruang tamu, matanya tertuju pada lembaran-lembaran kontrak yang telah ia tandatangani dengan Mbah Mijan. Sesuatu dalam dirinya meronta, merasakan kegelisahan yang kian menumpuk, meskipun kekayaan yang ia dambakan mulai mengalir deras. Rumahnya kini terlihat lebih megah, dengan renovasi yang terus berjalan tanpa henti. Namun, meski tampak sejahtera, perasaan cemas itu tidak juga hilang.“Rif, sudah waktunya makan,” panggil ibunya dari dapur. Suaranya serak, masih penuh kelelahan setelah beberapa hari terakhir yang penuh kekacauan, menyusul kematian mendadak nenek Bunyu. Arif mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu depan rumah, seolah berharap sesuatu akan muncul di baliknya.Arif teringat akan mimpinya semalam, wajah nenek Bunyu yang penuh luka dan penderitaan. Tawa yang mengerikan itu masih terngiang di telinganya, seolah memperingatkan bahwa jalan yang dia pilih bukanlah jalan yang benar. Tetapi, Arif tidak bisa mundur lagi. Semuanya t
Arif berdiri mematung di halaman belakang, pandangannya tak bisa lepas dari jendela rumahnya yang gelap. Sosok itu masih berdiri di sana, memandangnya dengan mata merah menyala. Meskipun dia tahu dirinya tak salah lihat, bagian dalam dirinya bagian yang rasional berusaha membujuknya bahwa itu hanya imajinasinya saja.Perasaan aneh semakin menguasai dirinya. Arif merasa seperti ada yang memerintahkannya untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang tidak bisa Arif jelaskan. Dalam kebingungannya, Arif berbalik dan melangkah cepat ke dalam rumah, membanting pintu belakang dengan keras. Nafasnya terengah-engah, dan tubuhnya gemetar.“Siapa... siapa itu?” bisiknya, meskipun tahu tak ada jawaban yang akan datang.Tiba-tiba, suara ketukan di jendela depan terdengar jelas. Suara itu membuat hatinya hampir melompat keluar dari dadanya. Arif segera berjalan menuju jendela dengan langkah ragu-ragu, tangan gemetar saat Arif meraih tirainya. Dengan sekali tarik, Arif membuka tirai itu dan jantungnya hampi
Ketika Arif memasuki kamarnya, kegelapan malam itu terasa lebih pekat daripada sebelumnya. Udara dingin menyelimuti ruangannya, dan suara jangkrik yang biasanya terdengar dari luar kini seolah menghilang. Arif mengangkat tangan untuk menutup pintu, tetapi matanya tertuju pada bayangan yang berdiri tepat di depan pintu kamar.Itu sosok yang sama. Sosok gelap yang dia lihat beberapa malam lalu. Mata merah menyala itu menatapnya dengan penuh kebencian. Arif merasa tubuhnya membeku, tak mampu bergerak. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, seolah menunggu.Arif menggigit bibirnya, mencoba menenangkan dirinya. Ini tidak bisa terjadi. Dia sudah melakukan segalanya dengan benar. Ritual itu harusnya memberinya kekuatan, tapi mengapa sosok itu tetap ada? Mengapa Arif merasa seperti ada yang mengintai setiap langkahnya?"Siapa... siapa kamu?" Arif akhirnya bisa berbicara, suara suaranya terdengar serak.Sosok itu tidak menjawab. Hanya menatapnya dengan tatapan yang semakin tajam, semaki
Suara detik jam terdengar pelan, tapi cukup untuk mengisi keheningan yang menggantung di seluruh rumah. Lila duduk di ujung tempat tidur sambil mengusap pelan punggung Jatinegara yang sedang tidur. Wajah anak itu terlihat tenang, bahkan terlalu tenang untuk malam yang baru saja menyimpan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.Pikirannya kembali pada suara ketukan yang ia dengar malam tadi.Tiga ketukan pelan namun terasa seperti gendang di telinganya.“Mungkin itu hanya perasaanku saja,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan kegelisahan yang perlahan merayap dari dadanya ke tengkuk.Namun aroma udara pagi ini berbeda. Lebih lembap, dan ada bau samar seperti kayu basah bercampur asap yang entah dari mana datangnya.Dia berdiri perlahan, berjalan ke arah ruang tamu yang masih remang. Di jendela, sinar matahari mencoba masuk, tapi awan gelap terlalu malas untuk pergi.Langkahnya terhenti di depan pintu rumah. Ia menatap gagangnya yang masih tertutup rapat. Tapi perasaan itu… masih ada.Seper
Suara detik jam dinding terdengar lebih keras malam ini. Lila membuka matanya perlahan, membiarkan kegelapan menyelimuti penglihatannya. Lampu kamar sudah padam sejak satu jam lalu, tapi matanya tak kunjung lelap.Ia menatap langit-langit kamar yang gelap, jari-jarinya menggenggam selimut yang menutupi tubuh Jatinegara di sebelahnya. Anak itu tidur tenang, dadanya naik turun perlahan. Seharusnya Lila ikut merasa tenang. Namun hatinya tetap gelisah.“Mungkin karena masih terbawa suasana dari rumah Ustadz Harman,” gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan diri.Tapi ada sesuatu malam ini yang berbeda. Udara kamar lebih dingin dari biasanya. Tirai jendela sedikit berkibar meskipun semua jendela tertutup rapat. Suara jangkrik dari luar pun terdengar lebih pelan, seperti sedang menahan napas.Lalu suara itu datang.Tok. Tok. Tok.Lila sontak menahan napas.Tiga ketukan, pelan tapi cukup kuat untuk membuat hatinya berdegup keras. Ia menoleh ke arah jendela, seakan suara itu berasal dari sana
Mobil terus melaju melewati jalanan desa yang mulai ditinggalkan. Langit cerah, matahari bersinar terang, tetapi udara di dalam mobil terasa lebih dingin dari seharusnya.Lila duduk di kursi depan, diam menatap jalan di depan mereka.Di belakang, Jatinegara masih menatap keluar jendela, tubuhnya rileks. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.Tetapi Lila tahu sesuatu masih tidak beres.Tangannya menggenggam rok yang ia kenakan, mencoba menenangkan diri.Tadi, di kaca spion…Refleksi Jatinegara terlihat berbeda.Menatapnya lurus.Dengan mata yang lebih gelap dari seharusnya.Namun, saat ia menoleh ke belakang, anaknya terlihat biasa saja.Lila menelan ludah.Mungkin aku hanya terlalu lelah…Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu itu bukan hanya perasaan.Dimas melirik ke arahnya. "Kau baik-baik saja?"Lila mengangguk pelan, meskipun hatinya masih berdebar kencang.
Fajar menyingsing perlahan, membawa warna jingga keemasan yang mulai menyelimuti langit.Di rumah Ustadz Harman, aroma embun pagi bercampur dengan harumnya tanah basah setelah hujan semalam. Burung-burung kecil berkicau di kejauhan, mengisi keheningan yang terasa lebih damai dari sebelumnya.Di dalam rumah, Lila duduk di kursi kayu di dekat jendela, menatap kosong ke luar.Pikirannya masih dipenuhi kejadian semalam.Mereka telah mengucapkan selamat tinggal kepada Arif.Mereka telah memastikan pintu yang terbuka akhirnya tertutup.Dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, rumah ini terasa tenang.Tetapi…Kenapa hatinya masih terasa berat?Di sampingnya, Jatinegara sedang tertidur di atas pangkuannya. Napasnya pelan, tubuhnya kecil dan hangat, wajahnya tenang—seolah-olah tidak pernah mengalami semua kengerian yang terjadi sebelumnya.Namun, Lila tahu semuanya telah meninggalkan jejak dala
Malam kembali turun dengan perlahan.Angin bertiup lebih dingin, menyelusup melalui celah-celah rumah kayu Ustadz Harman. Tirai jendela bergetar pelan, menimbulkan suara berdesir yang terdengar seperti bisikan samar.Di ruang tamu, Lila duduk dengan punggung tegak, tangannya erat menggenggam jemari Jatinegara yang mungil.Dimas berdiri di sudut ruangan, memeriksa keris yang telah menjadi pelindung mereka sejak peristiwa di Kandang Bubrah.Di seberang meja, Ustadz Harman merapikan beberapa peralatan yang akan mereka gunakan untuk ritual malam ini.Di antara semua orang di ruangan itu, hanya Jatinegara yang tampak paling tenang.Anak itu duduk di samping ibunya, kakinya bergoyang pelan, sesekali menatap ke arah jendela.Seolah-olah dia tahu bahwa seseorang sedang menunggunya di luar sana.Lila menarik napas dalam, lalu menoleh ke arah Ustadz Harman. "Apa kita benar-benar harus melakukan ini?"Ustadz Harman menatapnya denga
"Lila…"Suara itu terdengar dekat sekali, seperti ada yang berbisik tepat di belakangnya.Sejenak, tubuh Lila tidak bisa bergerak.Napasnya tercekat di tenggorokan.Jantungnya berdetak begitu keras, seolah bisa terdengar di seisi ruangan.Dimas berdiri di depannya, menggenggam keris erat-erat, matanya liar mencari sumber suara.Ustadz Harman terus membaca doa, meskipun suaranya kini terdengar lebih tegang.Di dalam kegelapan itu…Ada sesuatu yang bergerak.Langkah kaki itu tidak lagi samar-samar.Kini lebih nyata, lebih dekat—dan suara napas berat menyusul di belakangnya.Sesuatu berdiri di sana.Lila bisa merasakannya.Tetapi dia tidak berani menoleh.Jatinegara terdiam, tetapi senyumnya masih ada.Seperti seseorang yang sedang melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.Lalu, dia berbisik—"Ayah… kenapa kau masih d
Malam di rumah Ustadz Harman terasa lebih dingin dari biasanya. Angin dari sela-sela jendela berdesir, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau dupa yang baru saja dipadamkan.Lila duduk diam di sudut ruangan, tangannya menggenggam erat gelas teh yang sudah mendingin. Pikirannya berkecamuk, memutar kembali kata-kata Ustadz Harman sore tadi."Arif belum pergi."Kalimat itu terus bergema di kepalanya, membuat bulu kuduknya meremang.Di sudut lain ruangan, Dimas duduk dengan wajah tegang, sesekali mengaduk kopinya tanpa benar-benar meminumnya. Di sampingnya, Ustadz Harman membuka kitab kunonya, jari-jarinya menelusuri lembaran kertas kecokelatan yang sudah lapuk dimakan usia."Jika benar Arif masih di sini," gumam Ustadz Harman, suaranya nyaris berbisik, "pasti ada tanda-tanda yang tertinggal."Lila mengangkat wajahnya. "Tanda seperti apa, Ustadz?"Ustadz Harman menutup kitabnya perlahan, lalu menatap ke arah pintu ka
Namun tiba-tiba Jatinegara mengigau. Lila langsung menegang, mulut anaknya bergerak, tetapi suaranya hanya berupa bisikan pelan yang tidak jelas.Lila meraih bahu anaknya dan mengguncangnya pelan. "Jati… bangun, Sayang."Jatinegara tidak langsung merespons.Namun, yang terjadi selanjutnya membuat Lila merasa darahnya membeku.Jatinegara tersenyum dalam tidurnya.Dan dia berbisik, "Aku akan datang…"Lila langsung menarik tubuh anaknya. "Jati! Bangun!"Jatinegara mengerjap perlahan, matanya sedikit berkabut. "Ibu…?"Lila merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Sayang, kamu barusan bicara dalam tidur. Kamu bilang apa?"Jatinegara mengerutkan kening, tampak bingung. "Aku… tidak ingat."Lila menelan ludah, ia mencoba tersenyum, meskipun tubuhnya masih gemetar. "Sudahlah, Sayang. Tidur lagi, ya."Jatinegara mengangguk kecil, lalu kembali terlelap dalam hitungan detik.
Sudah tiga hari sejak Kandang Bubrah hancur.Lila, Dimas, dan Jatinegara kembali ke rumah Ustadz Harman dengan tubuh penuh luka dan kelelahan.Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lila merasa beban berat di dadanya mulai terangkat.Pesugihan itu sudah berakhir.Jatinegara selamat.Dan Arif…Arif sudah benar-benar pergi.Atau begitulah yang mereka pikirkan.***Pagi itu, Lila bangun lebih pagi dari biasanya.Ia berjalan menuju dapur, berniat membuat teh hangat untuk menenangkan pikirannya.Namun saat dia melintasi ruang tamu, dia melihat sesuatu yang membuatnya terdiam di tempat.Jatinegara duduk di depan jendela, menatap ke luar dengan ekspresi kosong.Anaknya terlihat baik-baik saja, tetapi ada sesuatu dalam cara dia duduk—terlalu diam, terlalu tenang.Seolah-olah dia sedang mendengar sesuatu yang tidak bisa didengar oleh orang lain.Lila menelan ludah.