Beranda / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 7. Perjalanan Menuju Takdir

Share

7. Perjalanan Menuju Takdir

“Kamu akan tahu, setelah sampai di sana. Temui Mbah Niah, dia yang akan menuntunmu selanjutnya.” Mbah Mijan setelahnya tertawa, lalu melanjutkan kata-katanya lagi.  

“Kamu hanya perlu ke Dusun Misahan sebelum jam 2.00 malam dini hari kalian harus segera keluar dari tempat itu, Desa Srengege hanya akan terbuka malam ini, di arah tenggelamnya matahari batas Dusun Misahan. Ingat, tidak dapat berbalik lagi jika kamu sudah sampai di sana,” ujarnya dengan mata yang tajam.

Saat Arif melihat jam di pergelangan tangannya, waktu sudah sangat terbatas. Arif kembali ingin berbicara dengan Mbah Mijan.  

“Tapi, Mbah....” Arif terdiam melihat sosok Mbah Mijan yang menghilang.  

Dengan wajah panik, Arif langsung mengajak Dimas sambil menarik pria itu bersamanya, “Kita harus bergegas, sudah tidak ada waktu. Saat ini sudah menunjukkan hampir jam 12 malam.”

  

Akhirnya, Arif dan Dimas melanjutkan perjalanan ke Desa Misahan, terjebak dalam suasana malam yang kelam. Setiap langkah terasa berat, tertekan oleh kegelapan hutan yang seakan ingin menelan mereka. Di tengah bayang-bayang, Arif terus bergelut dengan pikirannya.

  

“Aku tidak punya pilihan lain,” bisiknya, berusaha menepis rasa takut yang menyelinap dalam jiwa.  

Dimas berjalan di sampingnya, gelisah. “Arif, apakah kau yakin ini keputusan yang tepat? Mbah Mijan bisa saja menjebak kita.”  

Namun, semangat Arif tak surut. “Jika kita tidak mencobanya, kita tidak akan pernah tahu. Aku sudah hidup terlalu lama dalam bayang-bayang kemiskinan. Kamu belum pernah merasakan sakitnya dihina dan direndahkan, bahkan oleh keluarga yang seharusnya mendukungmu, Dim!” tegasnya, meski dalam hati, keraguan terus menggerogoti.  

Ketika malam semakin dalam, suara binatang malam yang biasa terdengar akrab kini berubah mengancam. Dedaunan berdesir, seolah memperingatkan bahwa mereka sedang mendekati sesuatu yang tidak beres.

Tiba-tiba, Dimas menunjuk ke arah cahaya samar di antara pepohonan. “Lihat! Di sana!”

Arif merasa harapan menyala dalam hatinya. “Apa itu? Apakah kita mendekati Desa Srengege?” tanyanya antusias.  

Langkahnya semakin cepat, tetapi Dimas tetap waspada. “Hati-hati, cahaya itu bisa jadi jebakan.”  

Mereka berdua terus maju hingga menemukan sebuah bangunan tua yang disinari cahaya lilin berkedip. Arif merasa seolah bangunan itu memanggilnya.  

“Ini pasti Desa Srengege yang berbatasan dengan Dusun Misahan,” bisiknya.

Namun, saat melangkah lebih dekat, aura dingin menyelimuti mereka. Dimas menghentikan langkahnya.

  

“Arif, aku tidak suka ini. Kita sebaiknya kembali,” ajak Dimas.  

“Tapi kita harus mencari Mbah Niah! Dia bisa membantuku.” Arif bersikeras, semangatnya tak pudar meskipun ketakutan mengintai.

  

Saat mereka memasuki bangunan, aroma dupa menyengat menyambut, dan dindingnya dipenuhi simbol-simbol aneh. Di tengah ruangan terdapat altar dengan berbagai sesaji yang ditata rapi.  

Tiba-tiba, suara lembut namun menyeramkan datang dari arah altar. “Selamat datang, anak-anak muda,” sapa seorang wanita.

  

Wanita tua muncul, wajahnya dipenuhi kerutan dan matanya berkilau penuh pengetahuan. “Apa yang kalian cari di tempat ini?” tanyanya antusias.  

Wanita itu melihat Arif dengan sangat teliti, setiap jengkal tubuh Arif seolah tak luput dari pandangannya, bahkan dia setelahnya tersenyum misterius, membuat Arif gemetar. Arif menelan ludah, bingung antara rasa takut dan harapan.  

“Kami mencari Mbah Niah. Aku ingin mengubah hidupku,” jawabnya, suaranya bergetar.  

Wanita tua itu tersenyum misterius. “Kekayaan bukan hanya tentang harta. Terkadang, yang kau cari bisa membawa bahaya.”

Tapi Arif berusaha menenangkan dirinya kembali, “Aku siap, di mana aku bisa menemukan Mbah Niah?”

  

Wanita tua itu tidak menjawab pertanyaan yang Arif lontarkan. Tapi dia tertawa melengking, membuat bulu kuduk dan semua makhluk di dalam tubuh Arif ingin kabur berlari dan bersembunyi.

Tiba-tiba, wanita tua itu sduah berada tepat di belakan arif dan berbisik. Dengan suara yang halus dan menyeramkan. Tangannya yang hitam dengan kuku- kuku yang tidak terawat mulai menunjuk ke arah lurus di hadapan Arif.

“Bukalah matamu anak muda, tatapanmu akan melihat keramaian di depan sana. Lihatlah, begitu banyak manusia yang datang kemari untuk mencari yang mereka inginkan.” Arif menelan saliva, melihat jemari dan kuku yang menyeramkan itu bahkan sesekali Arif merasakan sesuatu yang mebuat tengkuknya bergidik.

“Tapi!” Seketika suara wanita tua itu melengking.

Arif memberanikan diri untuk bicara, “Tapi, apa?” tanyanya pelan dan berbisik seseklai menelan saliva. Merasakan seluruh tubuhnya seolah tidak bersahabat.

“Kamu tidak akan bisa mundur lagi, setelah melewati pintu altar itu. Semua yang kamu beli di bayar dengan cara yang berbeda, kamu akan tau setelah pulang dari tempat ini,” bisiknya dengan embusan angin dingin yang seketika membuat Arif terdiam sejenak.

Arif dan Dimas seketika tercengang, melihat cahaya dan keramaian yang tidak jauh dari hadapannya. Bahakan mereka sampai mengabaikan, kepergian si wanita tua yang menunjukkan arah pada mereka.

Terlihat sosok Mbah Niah berdiri di pasar malam Desa Srengege, di tengah kerumunan yang ramai. Suara tawar-menawar dan gelak tawa penduduk setempat berpadu dengan aroma rempah-rempah. Namun, di balik keramaian itu, Arif merasa ada yang janggal.

Sosok mbah Niah ini sangat cantik seperti wanita muda seusia dengannya, bahkan wajahnya ada kemiripan seperti wanita tua yang mereka jumpai pertama kali. ‘Apa itu cucunya?’ batin Arif.

Tapi Arif kembali mengabaikan hal itu, saat kakinya akan melangkah dai mendapat bisikan entah dari mana bagai terbawa angin. “Jangan Arif, kamu akan menyesal...” bisikan itu hilang seketika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status