Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 7. Perjalanan Menuju Takdir

Share

7. Perjalanan Menuju Takdir

Author: Ndraa Archer
last update Last Updated: 2024-11-08 11:27:28

“Kamu akan tahu, setelah sampai di sana. Temui Mbah Niah, dia yang akan menuntunmu selanjutnya.” Mbah Mijan setelahnya tertawa, lalu melanjutkan kata-katanya lagi.  

“Kamu hanya perlu ke Dusun Misahan sebelum jam 2.00 malam dini hari kalian harus segera keluar dari tempat itu, Desa Srengege hanya akan terbuka malam ini, di arah tenggelamnya matahari batas Dusun Misahan. Ingat, tidak dapat berbalik lagi jika kamu sudah sampai di sana,” ujarnya dengan mata yang tajam.

Saat Arif melihat jam di pergelangan tangannya, waktu sudah sangat terbatas. Arif kembali ingin berbicara dengan Mbah Mijan.  

“Tapi, Mbah....” Arif terdiam melihat sosok Mbah Mijan yang menghilang.  

Dengan wajah panik, Arif langsung mengajak Dimas sambil menarik pria itu bersamanya, “Kita harus bergegas, sudah tidak ada waktu. Saat ini sudah menunjukkan hampir jam 12 malam.”

  

Akhirnya, Arif dan Dimas melanjutkan perjalanan ke Desa Misahan, terjebak dalam suasana malam yang kelam. Setiap langkah terasa berat, tertekan oleh kegelapan hutan yang seakan ingin menelan mereka. Di tengah bayang-bayang, Arif terus bergelut dengan pikirannya.

  

“Aku tidak punya pilihan lain,” bisiknya, berusaha menepis rasa takut yang menyelinap dalam jiwa.  

Dimas berjalan di sampingnya, gelisah. “Arif, apakah kau yakin ini keputusan yang tepat? Mbah Mijan bisa saja menjebak kita.”  

Namun, semangat Arif tak surut. “Jika kita tidak mencobanya, kita tidak akan pernah tahu. Aku sudah hidup terlalu lama dalam bayang-bayang kemiskinan. Kamu belum pernah merasakan sakitnya dihina dan direndahkan, bahkan oleh keluarga yang seharusnya mendukungmu, Dim!” tegasnya, meski dalam hati, keraguan terus menggerogoti.  

Ketika malam semakin dalam, suara binatang malam yang biasa terdengar akrab kini berubah mengancam. Dedaunan berdesir, seolah memperingatkan bahwa mereka sedang mendekati sesuatu yang tidak beres.

Tiba-tiba, Dimas menunjuk ke arah cahaya samar di antara pepohonan. “Lihat! Di sana!”

Arif merasa harapan menyala dalam hatinya. “Apa itu? Apakah kita mendekati Desa Srengege?” tanyanya antusias.  

Langkahnya semakin cepat, tetapi Dimas tetap waspada. “Hati-hati, cahaya itu bisa jadi jebakan.”  

Mereka berdua terus maju hingga menemukan sebuah bangunan tua yang disinari cahaya lilin berkedip. Arif merasa seolah bangunan itu memanggilnya.  

“Ini pasti Desa Srengege yang berbatasan dengan Dusun Misahan,” bisiknya.

Namun, saat melangkah lebih dekat, aura dingin menyelimuti mereka. Dimas menghentikan langkahnya.

  

“Arif, aku tidak suka ini. Kita sebaiknya kembali,” ajak Dimas.  

“Tapi kita harus mencari Mbah Niah! Dia bisa membantuku.” Arif bersikeras, semangatnya tak pudar meskipun ketakutan mengintai.

  

Saat mereka memasuki bangunan, aroma dupa menyengat menyambut, dan dindingnya dipenuhi simbol-simbol aneh. Di tengah ruangan terdapat altar dengan berbagai sesaji yang ditata rapi.  

Tiba-tiba, suara lembut namun menyeramkan datang dari arah altar. “Selamat datang, anak-anak muda,” sapa seorang wanita.

  

Wanita tua muncul, wajahnya dipenuhi kerutan dan matanya berkilau penuh pengetahuan. “Apa yang kalian cari di tempat ini?” tanyanya antusias.  

Wanita itu melihat Arif dengan sangat teliti, setiap jengkal tubuh Arif seolah tak luput dari pandangannya, bahkan dia setelahnya tersenyum misterius, membuat Arif gemetar. Arif menelan ludah, bingung antara rasa takut dan harapan.  

“Kami mencari Mbah Niah. Aku ingin mengubah hidupku,” jawabnya, suaranya bergetar.  

Wanita tua itu tersenyum misterius. “Kekayaan bukan hanya tentang harta. Terkadang, yang kau cari bisa membawa bahaya.”

Tapi Arif berusaha menenangkan dirinya kembali, “Aku siap, di mana aku bisa menemukan Mbah Niah?”

  

Wanita tua itu tidak menjawab pertanyaan yang Arif lontarkan. Tapi dia tertawa melengking, membuat bulu kuduk dan semua makhluk di dalam tubuh Arif ingin kabur berlari dan bersembunyi.

Tiba-tiba, wanita tua itu sduah berada tepat di belakan arif dan berbisik. Dengan suara yang halus dan menyeramkan. Tangannya yang hitam dengan kuku- kuku yang tidak terawat mulai menunjuk ke arah lurus di hadapan Arif.

“Bukalah matamu anak muda, tatapanmu akan melihat keramaian di depan sana. Lihatlah, begitu banyak manusia yang datang kemari untuk mencari yang mereka inginkan.” Arif menelan saliva, melihat jemari dan kuku yang menyeramkan itu bahkan sesekali Arif merasakan sesuatu yang mebuat tengkuknya bergidik.

“Tapi!” Seketika suara wanita tua itu melengking.

Arif memberanikan diri untuk bicara, “Tapi, apa?” tanyanya pelan dan berbisik seseklai menelan saliva. Merasakan seluruh tubuhnya seolah tidak bersahabat.

“Kamu tidak akan bisa mundur lagi, setelah melewati pintu altar itu. Semua yang kamu beli di bayar dengan cara yang berbeda, kamu akan tau setelah pulang dari tempat ini,” bisiknya dengan embusan angin dingin yang seketika membuat Arif terdiam sejenak.

Arif dan Dimas seketika tercengang, melihat cahaya dan keramaian yang tidak jauh dari hadapannya. Bahakan mereka sampai mengabaikan, kepergian si wanita tua yang menunjukkan arah pada mereka.

Terlihat sosok Mbah Niah berdiri di pasar malam Desa Srengege, di tengah kerumunan yang ramai. Suara tawar-menawar dan gelak tawa penduduk setempat berpadu dengan aroma rempah-rempah. Namun, di balik keramaian itu, Arif merasa ada yang janggal.

Sosok mbah Niah ini sangat cantik seperti wanita muda seusia dengannya, bahkan wajahnya ada kemiripan seperti wanita tua yang mereka jumpai pertama kali. ‘Apa itu cucunya?’ batin Arif.

Tapi Arif kembali mengabaikan hal itu, saat kakinya akan melangkah dai mendapat bisikan entah dari mana bagai terbawa angin. “Jangan Arif, kamu akan menyesal...” bisikan itu hilang seketika.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Diva
Mba Niah? kenapa Arif nggak nikahin mbak niah aja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pesugihan Kandang Bubrah   8. Pertemuan yang Menegangkan

    “Rif, kamu yakin? Kalau kita nanti terlambat keluar bagaimana? Kamu lihat di sana, pedagangnya masih muda, tidak ada yang seperti mbah-mbah,” ujar Dimas mengingatkan. Sampai saat ini tubuh Dimas masih tetap terlihat pucat dan ketakutan, dia ingin Arif berpikir masak-masak sebelum melewati altar menuju pasar desa Srengege. “Ayolah, kalau kamu tidak yakin aku saja yang akan ke sana. Mungkin dia memang awet muda walau usianya sudah tua. Sudah terlalu banyak hal aneh yang aku alami, jadi ini menurutku biasa saja. Ini jalanku, Dim, aku mau ke sana.” Arif melangkah menuju tempat itu tanpa menghiraukan Dimas mau lanjut bersamanya atau berpisah di tempat itu saat ini. Dimas terdiam, sampai Arif benar-benar mau melangkah masuk. “Tunggu, Rif,” ujar Dimas yang menyusul sambil berlari. Mereka akhirnya memasuki sebuah gerbang bercahaya yang ditunjukkan oleh wanita tua. Terlihat sosok wanita muda yang selalu dipanggil Mbah Niah oleh para pembelinya. Arif terkejut saat wanita itu menatapnya ta

    Last Updated : 2024-11-08
  • Pesugihan Kandang Bubrah    9. Jalan yang Tak Bisa Kembali

    "Kamu harus kuat, Dim, kita cari air. Tapi waktunya sudah semakin sedikit!" Arif berteriak dengan napas yang tersengal, mengguncang keheningan malam. Dia memapah tubuh Dimas yang terluka, setengah terbata-bata. Mereka terus berjalan, namun langkah mereka semakin berat, dan waktu terasa semakin sempit.Dimas hanya bisa mengangguk lemah. Wajahnya pucat, darah mengalir dari luka-luka yang menembus kulitnya. Keringat membasahi dahinya. Arif bisa merasakan betapa tubuh Dimas mulai goyah, tak kuasa menopang dirinya sendiri. Mereka sudah terlalu jauh ke dalam hutan, jauh dari perkampungan, dan semakin jauh dari harapan."Arif... aku merasa pusing," suara Dimas teredam oleh bisikan angin yang semakin berembus kencang. Tubuhnya limbung, dan kaki-kakinya hampir tidak bisa menahan beban."Jangan jatuh, Dim!" Arif hampir berteriak, menahan tubuh Dimas yang nyaris terjatuh. "Kita harus bertahan... Bertahan sedikit lebih lama."Arif bisa merasakan nafasnya yang semakin terengah. Setiap langkahnya te

    Last Updated : 2024-11-15
  • Pesugihan Kandang Bubrah    10. Kembali ke Titik Nol

    "Apa yang terjadi, Arif? Kau… kau hilang selama seminggu!" Suara Ibu menggema dalam rumah yang hening. Arif berdiri di ambang pintu, mata kosong dan penuh kekhawatiran.Tangannya memegang erat persyaratan yang diberikan Mbah Mijan minyak fambo, kemeyan madu, bunga setaman, dua kain mori dari makam keramat. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang menyatu dengan kenyataan. Dia baru saja kembali dari sebuah tempat yang lebih mengerikan daripada yang bisa dibayangkan siapa pun."Satu minggu? Rasanya lebih lama dari itu, Bu." Arif menjawab, suaranya serak, hampir tak mengenali dirinya sendiri.Ibu menatapnya bingung, seakan mencari jawaban di mata Arif yang kini lebih kelam. "Kau tampak berbeda. Apa yang terjadi padamu?"Arif hanya terdiam. Kepalanya penuh dengan gambar-gambar gelap, dengan suara-suara bisikan yang tidak bisa dia lupakan. Sosok-sosok di hutan, tangan dingin yang menariknya jatuh, suara Mbah Mijan yang terdengar lebih menyeramkan dari sebelumnya. Semua itu mencekamnya, mem

    Last Updated : 2024-11-15
  • Pesugihan Kandang Bubrah   11. Tumbal Pertama

    "Ada apa, Nek? Kenapa pucat begitu?" tanya Arif ketika melihat wajah Bunyu Mahoni yang tampak lebih pucat dari biasanya. Tubuh neneknya gemetar, tangannya mencengkeram ujung selimut dengan kekuatan yang tersisa."Aku mimpi buruk, Rif... rumah kita... ada api besar, tapi bukan api biasa..." suara Bunyu parau, hampir tak terdengar. Matanya yang keruh menatap Arif dengan sorot penuh ketakutan.Arif menggeleng, mencoba menyangkal. "Ah, itu cuma mimpi, Nek. Jangan dipikirkan." Tapi dadanya terasa berat, seolah ada batu yang menghimpit. Pikiran itu tak mudah diabaikan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar rumah, merasakan hawa yang berbeda. Lebih dingin, lebih gelap.Bunyu batuk kecil, suaranya pecah. "Hati-hati, Rif... ada yang tak beres. Rasanya seperti ada sesuatu... di sini."Malam itu, meski tubuhnya lelah, pikiran Arif tidak bisa tenang. Setiap bayangan di sudut ruangan terasa hidup, seperti mata-mata yang mengawasi. Namun, dia menepis ketakutan itu. Mbah Mijan sudah menjelaskan s

    Last Updated : 2024-11-17
  • Pesugihan Kandang Bubrah    12. Bayangan yang Mengintai  

    Arif berjalan mondar-mandir di ruang tamu, matanya tertuju pada lembaran-lembaran kontrak yang telah ia tandatangani dengan Mbah Mijan. Sesuatu dalam dirinya meronta, merasakan kegelisahan yang kian menumpuk, meskipun kekayaan yang ia dambakan mulai mengalir deras. Rumahnya kini terlihat lebih megah, dengan renovasi yang terus berjalan tanpa henti. Namun, meski tampak sejahtera, perasaan cemas itu tidak juga hilang.“Rif, sudah waktunya makan,” panggil ibunya dari dapur. Suaranya serak, masih penuh kelelahan setelah beberapa hari terakhir yang penuh kekacauan, menyusul kematian mendadak nenek Bunyu. Arif mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu depan rumah, seolah berharap sesuatu akan muncul di baliknya.Arif teringat akan mimpinya semalam, wajah nenek Bunyu yang penuh luka dan penderitaan. Tawa yang mengerikan itu masih terngiang di telinganya, seolah memperingatkan bahwa jalan yang dia pilih bukanlah jalan yang benar. Tetapi, Arif tidak bisa mundur lagi. Semuanya t

    Last Updated : 2024-11-17
  • Pesugihan Kandang Bubrah   13. Bayang-Bayang yang Menghantui

    Arif berdiri mematung di halaman belakang, pandangannya tak bisa lepas dari jendela rumahnya yang gelap. Sosok itu masih berdiri di sana, memandangnya dengan mata merah menyala. Meskipun dia tahu dirinya tak salah lihat, bagian dalam dirinya bagian yang rasional berusaha membujuknya bahwa itu hanya imajinasinya saja.Perasaan aneh semakin menguasai dirinya. Arif merasa seperti ada yang memerintahkannya untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang tidak bisa Arif jelaskan. Dalam kebingungannya, Arif berbalik dan melangkah cepat ke dalam rumah, membanting pintu belakang dengan keras. Nafasnya terengah-engah, dan tubuhnya gemetar.“Siapa... siapa itu?” bisiknya, meskipun tahu tak ada jawaban yang akan datang.Tiba-tiba, suara ketukan di jendela depan terdengar jelas. Suara itu membuat hatinya hampir melompat keluar dari dadanya. Arif segera berjalan menuju jendela dengan langkah ragu-ragu, tangan gemetar saat Arif meraih tirainya. Dengan sekali tarik, Arif membuka tirai itu dan jantungnya hampi

    Last Updated : 2024-11-17
  • Pesugihan Kandang Bubrah   14. Arif Ingin Menggagalkan Rencana Gibran

    Ketika Arif memasuki kamarnya, kegelapan malam itu terasa lebih pekat daripada sebelumnya. Udara dingin menyelimuti ruangannya, dan suara jangkrik yang biasanya terdengar dari luar kini seolah menghilang. Arif mengangkat tangan untuk menutup pintu, tetapi matanya tertuju pada bayangan yang berdiri tepat di depan pintu kamar.Itu sosok yang sama. Sosok gelap yang dia lihat beberapa malam lalu. Mata merah menyala itu menatapnya dengan penuh kebencian. Arif merasa tubuhnya membeku, tak mampu bergerak. Sosok itu tidak bergerak, hanya berdiri diam, seolah menunggu.Arif menggigit bibirnya, mencoba menenangkan dirinya. Ini tidak bisa terjadi. Dia sudah melakukan segalanya dengan benar. Ritual itu harusnya memberinya kekuatan, tapi mengapa sosok itu tetap ada? Mengapa Arif merasa seperti ada yang mengintai setiap langkahnya?"Siapa... siapa kamu?" Arif akhirnya bisa berbicara, suara suaranya terdengar serak.Sosok itu tidak menjawab. Hanya menatapnya dengan tatapan yang semakin tajam, semaki

    Last Updated : 2024-11-17
  • Pesugihan Kandang Bubrah    15. Persaingan Secara Nyata Bukan Omongan Semata

    Beberapa hari setelah pertemuan itu, Arif menemui Suryanto Cendana, ayah Lila, untuk membicarakan masalah ini. Arif tahu ini adalah jalan terakhir yang harus dia tempuh jika ingin memisahkan Lila dari Gibran.Suryanto duduk di kursinya yang besar, matanya menatap Arif dengan serius. "Jadi, kau ingin aku memilih antara Gibran dan kau, Arif?" tanyanya dengan suara rendah."Ya, Pak Suryanto," jawab Arif dengan tegas. "Saya ingin menunjukkan bahwa saya lebih dari sekadar kaya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya bisa memberi Lila kehidupan yang lebih baik, yang bebas dari perseteruan keluarga Mahoni."Suryanto tersenyum tipis, namun matanya penuh perhitungan. "Baiklah. Aku akan memberi kalian kesempatan, Arif. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang uang atau kekuasaan. Ini tentang siapa yang benar-benar bisa memberikan kebahagiaan untuk Lila."Suryanto berdiri, matanya tajam menatap Arif. "Kita akan melihat siapa yang lebih layak untuk Lila. Aku akan memberikan kesempatan untuk dua lamaran. Sat

    Last Updated : 2024-11-17

Latest chapter

  • Pesugihan Kandang Bubrah   172. Menunggu Sampai Malam Jumat Kliwon

    “Tapi, Ustadz! Kita tidak bisa membiarkan Dimas begitu saja!” bentak Jatinegara. “Dia masih bisa diselamatkan! Aku yakin dia masih ada di sana!”Wina, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Dia memang masih ada… tapi bukan sebagai manusia lagi.”Semua orang menoleh ke arahnya. Wina menghela napas panjang. “Aku sudah mengatakan sebelumnya. Hutan Srengege sudah mengklaim Dimas. Jika kita memaksanya untuk tetap berada di dunia manusia, hutan ini akan terus menuntut korban lain.”Lila menggeleng keras. “Tidak! Aku tidak percaya itu! Dimas bukan milik mereka! Dia masih bisa kembali, sama seperti Arif—”“Tapi Arif tidak pernah kembali,” potong Wina. Suaranya datar, tapi penuh ketegasan. “Yang kita lihat selama ini hanyalah pantulan dari dirinya, bukan Arif yang sebenarnya. Sama seperti Dimas sekarang.”

  • Pesugihan Kandang Bubrah    171. Dimas Berdiri di Sana, Tetapi Tubuhnya Terasa Salah.    

    Mereka memutuskan untuk bergerak cepat. Waktu tidak berpihak kepada mereka, dan semakin lama mereka menunggu, semakin kecil kemungkinan mereka menemukan Dimas dalam keadaan utuh.Perjalanan menuju Hutan Srengege terasa lebih berat kali ini. Kabut tipis mulai turun, menciptakan bayangan aneh di antara pepohonan. Udara semakin dingin, dan suara-suara asing mulai terdengar di kejauhan—bisikan samar yang tidak bisa mereka pahami.“Berhati-hatilah,” Ustadz Harman mengingatkan. “Hutan ini bukan sekadar tempat biasa.”Lila menggenggam liontin di lehernya erat-erat, berharap benda itu masih bisa melindunginya dan Jatinegara. Jatinegara berjalan di sampingnya, menggenggam senter dengan tangan yang sedikit gemetar.Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di batas hutan, tempat di mana semuanya selalu terasa berbeda.Dan kali ini, mereka tidak sendirian. Di

  • Pesugihan Kandang Bubrah   170. Wina! Kau baik-baik saja?  

    “Hutan memilih sendiri,” lanjut Arif. “Dan Dimas… dia sudah dipilih sejak lama. Kau bisa merasakannya, bukan? Sejak dia kembali, ada sesuatu yang berbeda darinya.”Wina menggigit bibirnya. Ia memang merasakan ada sesuatu yang aneh pada Dimas sejak mereka kembali berurusan dengan semua ini. Tapi ia selalu menganggap itu hanya kelelahan atau trauma akibat kejadian sebelumnya.Kini, semuanya terasa masuk akal. Dimas bukan lagi manusia sepenuhnya. Dan selama dia tetap berada di dunia ini, keseimbangan akan terus terganggu.Wina merasakan tubuhnya ditarik kembali. Ia ingin bertanya lebih banyak kepada Arif, tapi semuanya tiba-tiba menjadi kabur. Kabut yang mengelilinginya semakin pekat, dan suara Arif semakin jauh.“Wina… kembalikan dia sebelum semuanya terlambat…” Lalu, semuanya menghilang.Wina terbangun dengan napas tersengal

  • Pesugihan Kandang Bubrah    169. Hutan Srengege.  

    Lila bisa merasakan betapa beratnya beban yang kini dipikul oleh Wina. Bagaimana bisa seorang anak tumbuh tanpa hak untuk menikah, tanpa kesempatan untuk memilih jalannya sendiri?Namun, sebelum ada yang bisa bertanya lebih lanjut, suara gemuruh terdengar dari kejauhan.Jantung Lila berdetak lebih cepat. “Apa itu?”Danyang menatap ke arah desa dengan mata yang semakin kelam. “Teror belum berakhir.”Mereka semua menoleh ke arah desa, dan saat itulah mereka melihatnya.Di kejauhan, tepat di tengah desa, tampak bayangan hitam besar berdiri di antara rumah-rumah. Makhluk itu lebih besar dari manusia biasa, dengan tubuh yang bergetar seperti asap pekat. Matanya menyala merah, dan suaranya terdengar seperti geraman dari dunia lain.“Tunggu…” Jatinegara menyipitkan mata. “Itu… bukan kera putih yang tadi kita lihat?”

  • Pesugihan Kandang Bubrah   169. Kalian Baik-Baik Saja?

    Langit masih tertutup awan kelam, membuat suasana desa semakin suram. Api berwarna kebiruan di rumah Pak Roji perlahan memudar, namun hawa panas dan bau anyir masih menggantung di udara. Lila, Ustadz Harman, dan Jatinegara berdiri waspada di depan rumah, sementara Bu Wati terus menggenggam tangannya dengan cemas.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah jalan desa. Mereka menoleh cepat, dan di bawah remang cahaya lampu minyak, tampak seorang perempuan berjalan mendekat.Lila merasa sedikit lega melihatnya. Wina bukan orang biasa,dia adalah seseorang yang memiliki keterkaitan kuat dengan hal-hal gaib. Dulu, Wina pernah membantu mereka memahami berbagai kejadian aneh di desa, berkomunikasi dengan Danyang, makhluk penjaga alam gaib yang menetap di tempat ini.Namun, saat Wina semakin dekat, ada sesuatu yang berbeda darinya. Raut wajahnya tampak lebih lelah dari biasanya, tapi tetap menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Ia mengenakan kain berwarna hitam yang menutupi sebagian b

  • Pesugihan Kandang Bubrah    167. Jejak di Balik Asap

    Angin berhembus semakin dingin, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan sesuatu yang lebih pekat—bau kematian.Lila berdiri tegang di depan rumah Pak Roji yang terbakar dengan api kebiruan yang aneh. Asap hitam membubung dari celah-celah atap, tetapi api itu sendiri tidak membakar kayu. Rumah itu tampak masih berdiri utuh meskipun dilalap nyala yang tidak wajar.Pak Roji tergeletak di tanah dengan tubuh kaku seperti patung, sementara Ustadz Harman terus melantunkan doa perlindungan. Di tangan Lila, gulungan kain putih yang ia temukan tadi masih terasa dingin, seakan mengandung energi yang bukan berasal dari dunia ini.Jatinegara, yang sejak tadi diam, menyalakan senternya ke arah pintu rumah yang terbuka sedikit. Bayangan seseorang tampak bergerak di dalam, samar-samar di balik asap pekat.“Ibu… ada orang di dalam,” bisiknya.Lila menoleh cepat, m

  • Pesugihan Kandang Bubrah   166.  Isyarat Sang Penjaga

    Angin malam bertiup semakin kencang, membuat dedaunan berguguran dan dahan-dahan pohon meliuk seperti tangan-tangan kurus yang berusaha meraih sesuatu. Aroma tanah basah semakin tajam, bercampur dengan hawa dingin yang seakan menembus tulang.Lila menggenggam tangan Jatinegara erat-erat, mencoba menenangkan anaknya meskipun dirinya sendiri gemetar ketakutan. Matanya masih terpaku pada sosok kera putih raksasa yang berdiri tegak, memperhatikan mereka semua dengan tatapan penuh makna.Sementara itu, Ustadz Harman tetap berdiri tegak di sisi mereka, sorot matanya tajam, membaca situasi dengan penuh kewaspadaan.Kera itu tidak bergerak, tetapi tubuhnya yang besar memancarkan aura yang sulit dijelaskan bukan ancaman, tetapi juga bukan sesuatu yang sepenuhnya aman.Suara-suara yang tadi bergema dari sumur telah menghilang, meninggalkan keheningan yang justru terasa semakin menakutkan.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   165. Bayangan di Kegelapan

    Angin malam bertiup semakin kencang, membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan bau anyir samar.Desa yang biasanya sunyi kini terasa lebih menyeramkan, seolah ada sesuatu yang bersembunyi di balik bayang-bayang. Lila menahan napas.Suara lirih dari dalam sumur semakin jelas. “Ibu… tolong aku…”Bu Wati kembali menangis, mencoba melepaskan diri dari genggaman Ustadz Harman yang menahannya. “Lepaskan saya, Ustadz! Itu suara anak saya! Dia ada di dalam sana!”“Bu Wati, dengarkan aku!” suara Ustadz Harman tetap tegas meski lembut. “Kalau itu memang Irfan, kita harus berpikir jernih! Jangan langsung turun ke sana, kita belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam sumur ini.”Bu Wati menangis semakin keras, tubuhnya gemetar. “Tapi… tapi itu suara Irfan! Saya tidak peduli! Saya akan menyelamatkan anak saya!&r

  • Pesugihan Kandang Bubrah    164. Perjalanan yang Belum Usai

    Suara berat itu membuat Lila menoleh cepat. Ustadz Harman berdiri di ambang pintu dengan ekspresi penuh keprihatinan. Di belakangnya, Jatinegara duduk bersandar di dinding, wajahnya pucat seperti orang yang baru saja melihat hantu.“Kau sudah sadar?” tanya Ustadz Harman, mendekat sambil membawa secangkir teh hangat.Lila mencoba bicara, tetapi tenggorokannya terasa kering. Ia hanya mengangguk pelan sebelum akhirnya berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertanya, “Apa yang terjadi? Aku… aku ada di hutan. Lalu tiba-tiba aku—”“Kau pingsan,” potong Ustadz Harman dengan suara lembut. “Tadi kau berlari keluar rumah dalam keadaan linglung, seolah ada sesuatu yang menarikmu ke tempat lain. Kami mencoba menghentikanmu, tetapi kau terus berteriak… menyebut nama Arif.”Mata Lila melebar. ”Arif… aku melihatnya!”Jatinegara yang sedari tadi diam kini bersuara, suaranya serak. “Ibu, kau yakin? Maksud Jati, kita tahu Ayah Arif sudah…”“Tidak!” potong Lila cepat. “Aku melihatnya! Dia tidak sepenuhn

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status