Arif merasa seolah hutan ini bukan hanya sekadar tempat biasa, melainkan labirin berbahaya. Tentunya penuh dengan rahasia yang tak terungkap. Dia berusaha untuk kembali ke jalan yang dia lewati. Namun, setiap langkah terasa salah. Bayangan di sekelilingnya bergerak semakin dekat, membuatnya merinding.
Ssshhh!
Suara desisan itu terdengar lagi, membuat mata Arif membelalak. Bahkan degup jantungnya berderu kencang sampai terdengar di telinga.
Srek! Srek!
Ditambah suara langkah kaki yang beriringan dengan desisan semakin menggema di telinga Arif.
Arif mulai berlari. Dia terjerembab dalam semak-semak, mencoba menemukan arah pulang. Hatinya berdebar kencang, setiap detak jantungnya menggema dalam kesunyian malam. Saat dia berlari, suara langkah kaki di belakangnya semakin mendekat, seolah-olah mengikutinya.
“Apa ini?!” teriaknya, tetapi suaranya seolah hilang ditelan kegelapan.
Dalam kepanikannya, Arif melihat ke belakang. Ada bayangan besar muncul di antara pepohonan. Sesuatu yang tidak terlihat sedang mengikutinya. Bayangan itu berbentuk samar, menggerakkan tubuhnya dengan kecepatan yang mengejutkan.
Arif berlari lebih cepat dan napasnya semakin berat. Rasa takut membuatnya merasa lambat. Dia tahu, jika tidak segera menemukan jalan keluar, dia akan terjebak di sini selamanya.
‘Aku tidak mau terjebak di sini!’ pekiknya dalam hati.
Dengan semua kekuatannya, Arif berlari menuju titik terang yang terlihat di depan, berdoa agar itu adalah jalan keluar.
Namun, saat dia mencapai batas hutan, kakinya terjegal oleh akar pohon yang menjulang. Dia terjatuh, dan saat menoleh, bayangan besar itu kini berdiri di hadapannya, menatapnya dengan mata yang menyala dalam kegelapan. Suara mendesis itu semakin keras, seolah sedang menunggu untuk melahap ketakutannya.
“Tidak!”
Itu adalah satu-satunya kata yang bisa Arif ucapkan, sebelum segala sesuatu di sekitarnya menjadi gelap.
Ketika Arif membuka matanya, cahaya samar membimbingnya ke sebuah tempat yang tidak dikenal. Dia terkejut mendapati dirinya berada di sebuah desa.
Suasana desa itu tampak hidup dengan aktivitas warga yang tampak normal. Anak-anak bermain di jalanan, wanita menenun di beranda, dan pria berdiskusi di bawah pohon besar. Namun, ada sesuatu yang aneh dan tidak beres. Semua tampak serba lamban, seolah waktu berjalan lebih lambat di sini.
‘Di mana ini? Ini seperti berada di dalam mimpi,’ bisiknya dalam hati, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Perasaan campur aduk menggerogoti jiwanya. Dia merasa terpesona oleh keindahan arsitektur desa. Namun, ketakutan mengintai di sudut pikirannya.
Arif membaca nama desa yang tertulis di sebuah gapura. "Desa Kandang Bubrah," ucapnya.
Arif memberanikan diri melewati gapura menuju desa Kandang Bubrah itu. Perlahan tapi pasti, langkahnya mulai menjelajahi desa. Bahkan suara langkahnya menjadi satu-satunya yang memecah kesunyian.
Dia melihat sekelompok warga menatapnya dengan tatapan kosong, seolah-olah mereka tidak menyadari kehadirannya. Di tengah jalan, dia menemukan sebuah plakat kayu yang terukir tulisan dengan huruf-huruf kuno. Arif berusaha membacanya. Namun kata-katanya tampak kabur, seolah menghindar dari pemahaman.
“Kira-kira ini apa ya bacaannya?" tanyanya lagi sambil berusaha mengeja.
Mendekati salah satu bangunan, Arif melihat dindingnya dipenuhi oleh ukiran aneh. Beberapa gambar makhluk mengerikan dan sosok yang tampak menderita, menghiasi permukaan dinding. Arif merasa mual melihatnya, tetapi rasa ingin tahunya mendorongnya untuk terus melangkah.
Dia berpikir, “Kenapa semua ini terlihat seperti bagian dari sebuah cerita yang buruk?” Dia tertegun dengan kesan horor yang kental.
Saat Arif ingin melanjutkan penjelajahannya, tawa lembut yang menggema di antara dinding-dinding kosong membuatnya terkejut.
“Siapa itu?!” Suara Arif bergema di udara malam.
Namun,l tidak ada jawaban, melainkan hanya bisikan angin yang semakin menggila, seolah merespons ketakutannya. Arif merasakan ada yang memperhatikannya dan aura ancaman mengelilinginya.
Mendekati sebuah pasar kecil di tengah desa, Arif terhenti. Di sana, ada altar besar yang dikelilingi oleh patung-patung aneh. Masing-masing tampak seperti makhluk yang pernah hidup. Di tengah altar, terdapat sebuah kotak kayu tua, berukir indah dengan simbol-simbol aneh.
“Patung itu seperti hidup,” gumamnya lirih, dengan mata penasaran terfokus pada kotak kayu tua.
Arif merasa terpanggil untuk mendekat. Seperti magnet, kotak itu menariknya dan dia merasa bahwa ada sesuatu yang penting di dalamnya. Saat dia meraih pegangan kotak, rasa dingin yang menjalar dari sentuhannya membuatnya terhenyak.
Tiba-tiba, suara tawa tadi kembali terdengar, lebih dekat dan lebih jelas. Arif merasakan bulu kuduknya meremang. Dalam ketegangan, dia menarik napas dalam-dalam dan membuka kotak tersebut.
Namun, saat tutupnya terangkat, kabut gelap mengalir keluar, menyelimuti tubuhnya. Dalam sekejap, Arif merasa terperangkap dalam cengkeraman kegelapan.
“Kau telah datang ke Kandang Bubrah. Apakah kau siap untuk membayar harga yang ditetapkan?” bisik suara lembut, menggema dalam benaknya.
Kegelapan menyelimutinya. Ketika pandangannya mulai memudar, Arif menyadari bahwa pilihan yang telah dibuatnya akan mengubah segalanya.
Kapan dia bisa kembali ke dunia yang dikenalnya? Atau ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih menakutkan?
“Siapa kamu?!” teriak Arif yang setelahnya kegelapan dan kabut itu menghilang.Tidak lama hawa dingin menggigit kulit Arif saat dia berdiri di tengah Desa Kandang Bubrah, sebuah tempat yang menyimpan aura misterius. Di sekitar, bangunan-bangunan dengan arsitektur indah namun tampak terlupakan memberikan kesan seolah waktu telah berhenti di sini. “Di mana ini?” bisiknya, menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu dan ketakutan. Arif mendekati sebuah bangunan setengah hancur di dekatnya, tiba-tiba suara mendesis memecah keheningan. Ssshhh!Dia berbalik, dan dari kegelapan, sosok seorang pria tua muncul. Pria itu berpakaian loreng merah-hitam. Wajahnya keriput, tetapi matanya berbinar penuh makna, menyimpan rahasia yang tak terkatakan. “Ah, anak muda. Kau terlihat bingung.” Pria dengan perkiraan usia 80 tahun itu menghampiri Arif. “Aku Mijan Trembesi. Apa tujuan kamu kemari? Pasti ingin mengubah nasibmu!” Suara Mbah Mijan menggema, membawa rasa keinginan sekaligus ancaman.
“Aku harus segera pergi dari sini, tapi di mana letak hutan itu?” tanyanya pada diri sendiri. Arif sudah tidak ambil pusing dengan keadaan di sekitarnya yang terasa janggal. Suasana hutan saat itu terasa sepi, tiba-tiba awan menjadi mendung di siang hari. Arif teringat peringatan Mbah Mijan. “Hanya malam Jumat Kliwon, tepat di hari Kamis Legi. Waktu itu, Desa Srengege akan muncul.” Saat itu, Arif merasa jantungnya berdebar, teringat betapa pentingnya malam itu. Dia bertanya-tanya mengapa hanya malam tertentu desa itu bisa ditemukan, dan apa yang menunggu di dalam kegelapan. Arif teringat kembali kata-kata Mbah Mijan. “Desa itu terperangkap dalam dimensi lain,” kata Mbah Mijan terbayang di benaknya. “Hanya pada malam itu, gerbang menuju Srengege terbuka.” Arif merasakan keraguan menghampiri. Bagaimana jika dia terjebak di tempat itu selamanya?Mendengar suara gemerisik di semak-semak, Arif menahan napas. Dia mengedarkan pandangan, berusaha menemukan sumber suara itu, ketika tib
“Bagaimana? Apakah aku sudah bisa bergerak?” tanya Arif berbisik, dia berusaha mengontrol rasa takutnya. Sampai angin bertiup kencang, dan membuat para nokturnal kegelapan itu terbang dan berlarian. Arif langsung lemas sambil mengumpat kesal. “Sialan! Aku pikir tadi itu apa? Ternyata kelelawar dan burung hantu!” Mereka terus menyusuri hutan tanpa henti, bahkan siang dan malam tidak terasa saat ini, ditutup oleh rimbunnya pohon yang menjulang tinggi menutup langit. Hingga hari berganti, Arif masih berjuang melawan kelelahan di tengah hutan yang semakin suram. Setiap langkah terasa semakin berat, seiring rasa putus asa menggerogoti hatinya. "Dimas, kita sudah berjalan jauh. Apakah kau yakin kita berada di jalur yang benar?" tanya Arif, suaranya bergetar oleh keletihan. Dimas menghentikan langkah, meneliti sekeliling. "Seharusnya kita sudah dekat. Tapi ada sesuatu yang tidak beres di sini," jawabnya, mata Dimas menyusuri bayangan pohon-pohon rimbun. Suara-suara aneh mulai men
“Kamu akan tahu, setelah sampai di sana. Temui Mbah Niah, dia yang akan menuntunmu selanjutnya.” Mbah Mijan setelahnya tertawa, lalu melanjutkan kata-katanya lagi. “Kamu hanya perlu ke Dusun Misahan sebelum jam 2.00 malam dini hari kalian harus segera keluar dari tempat itu, Desa Srengege hanya akan terbuka malam ini, di arah tenggelamnya matahari batas Dusun Misahan. Ingat, tidak dapat berbalik lagi jika kamu sudah sampai di sana,” ujarnya dengan mata yang tajam.Saat Arif melihat jam di pergelangan tangannya, waktu sudah sangat terbatas. Arif kembali ingin berbicara dengan Mbah Mijan. “Tapi, Mbah....” Arif terdiam melihat sosok Mbah Mijan yang menghilang. Dengan wajah panik, Arif langsung mengajak Dimas sambil menarik pria itu bersamanya, “Kita harus bergegas, sudah tidak ada waktu. Saat ini sudah menunjukkan hampir jam 12 malam.”Akhirnya, Arif dan Dimas melanjutkan perjalanan ke Desa Misahan, terjebak dalam suasana malam yang kelam. Setiap langkah terasa berat, tertekan oleh
“Rif, kamu yakin? Kalau kita nanti terlambat keluar bagaimana? Kamu lihat di sana, pedagangnya masih muda, tidak ada yang seperti mbah-mbah,” ujar Dimas mengingatkan. Sampai saat ini tubuh Dimas masih tetap terlihat pucat dan ketakutan, dia ingin Arif berpikir masak-masak sebelum melewati altar menuju pasar desa Srengege. “Ayolah, kalau kamu tidak yakin aku saja yang akan ke sana. Mungkin dia memang awet muda walau usianya sudah tua. Sudah terlalu banyak hal aneh yang aku alami, jadi ini menurutku biasa saja. Ini jalanku, Dim, aku mau ke sana.” Arif melangkah menuju tempat itu tanpa menghiraukan Dimas mau lanjut bersamanya atau berpisah di tempat itu saat ini. Dimas terdiam, sampai Arif benar-benar mau melangkah masuk. “Tunggu, Rif,” ujar Dimas yang menyusul sambil berlari. Mereka akhirnya memasuki sebuah gerbang bercahaya yang ditunjukkan oleh wanita tua. Terlihat sosok wanita muda yang selalu dipanggil Mbah Niah oleh para pembelinya. Arif terkejut saat wanita itu menatapnya ta
“Arif!” Suara Sungkai Mahoni terdengar melengking dari luar rumah. "Buat malu Ayah saja! Kamu selalu jadi bahan cerita di keluarga," omel Sungkai begitu masuk ke rumah. Dia menutup pintu dengan keras. Malam itu, langit di Desa Misahan berwarna kelam. Awan tebal menggantung rendah menandakan datangnya hujan. Suara cicada melengking di udara, dan menciptakan suasana tegang yang menyelimuti rumah Arif. "Ada apa, Yah?" tanya Misna Bengkirai, ibunya Arif. Ayahnya kemudian bercerita panjang lebar sambil meremas rambutnya. Di ruang tamu yang sempit, Arif berusaha mencuri dengar pokok permasalahan yang membuat ayahnya marah-marah. Sungkai duduk bersama istrinya. "Tanya sama anakmu! Dia selalu bikin malu saja! Dia mau melamar Lila Cendana, tapi nggak punya pekerjaan."Arif menghela napas. Dia menahan emosinya."Untung saja yang menegurku mas Bintan Mahoni, kakakku yang kaya dan pelit itu. Malu! malu! Mau ditaruh di mana wajah Ayah?!"Keluhan Sungkai memancing emosi Misna. "Kamu ini
“Mungkin itu perasaanku saja, karena melamun merasa Dimas lewat,” gumamnya lagi menenangkan diri. Arif terus berjalan di suasana malam yang sepi, membuatnya merasa seolah-olah dunia hanya miliknya. Kebebasan yang sudah lama terpendam mengalir dalam nadinya, tetapi ketakutan akan masa depan menghantuinya. Dia tahu bahwa melangkah pergi bukanlah keputusan yang mudah, namun rasa terpuruk yang selama ini menggerogoti hatinya membuatnya tak lagi mampu bertahan. “Seandainya aku tidak bercerita dengan Gibran, pasti orang tuaku tidak akan semalu ini,” sesalnya lagi sembari mengembuskan napas. Hingga Arif tersadar bahwa saat ini dia berada antara batas desa dan hutan di Misahan. Perasaan ragu kembali menghampirinya saat akan melangkah masuk ke dalam hutan, dia merasakan kegelapan di sekelilingnya. Bayangan pohon-pohon besar menakutkan di bawah cahaya bulan. “Apa yang bisa terjadi jika aku pergi ke sana?” tanyanya, bergumul dengan rasa ingin tahunya. Rasa takutnya bercampur dengan har