Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 3. Terjebak dalam Labirin Hutan Misahan

Share

3. Terjebak dalam Labirin Hutan Misahan

Author: Ndraa Archer
last update Last Updated: 2024-11-08 11:23:43

Arif merasa seolah hutan ini bukan hanya sekadar tempat biasa, melainkan labirin berbahaya. Tentunya penuh dengan rahasia yang tak terungkap. Dia berusaha untuk kembali ke jalan yang dia lewati. Namun, setiap langkah terasa salah. Bayangan di sekelilingnya bergerak semakin dekat, membuatnya merinding.  

Ssshhh!

Suara desisan itu terdengar lagi, membuat mata Arif membelalak. Bahkan degup jantungnya berderu kencang sampai terdengar di telinga.  

Srek! Srek!

Ditambah suara langkah kaki yang beriringan dengan desisan semakin menggema di telinga Arif.

  

Arif mulai berlari. Dia terjerembab dalam semak-semak, mencoba menemukan arah pulang. Hatinya berdebar kencang, setiap detak jantungnya menggema dalam kesunyian malam. Saat dia berlari, suara langkah kaki di belakangnya semakin mendekat, seolah-olah mengikutinya.   

“Apa ini?!” teriaknya, tetapi suaranya seolah hilang ditelan kegelapan.  

Dalam kepanikannya, Arif melihat ke belakang. Ada bayangan besar muncul di antara pepohonan. Sesuatu yang tidak terlihat sedang mengikutinya. Bayangan itu berbentuk samar, menggerakkan tubuhnya dengan kecepatan yang mengejutkan.  

Arif berlari lebih cepat dan napasnya semakin berat. Rasa takut membuatnya merasa lambat. Dia tahu, jika tidak segera menemukan jalan keluar, dia akan terjebak di sini selamanya.

‘Aku tidak mau terjebak di sini!’ pekiknya dalam hati.

Dengan semua kekuatannya, Arif berlari menuju titik terang yang terlihat di depan, berdoa agar itu adalah jalan keluar.

Namun, saat dia mencapai batas hutan, kakinya terjegal oleh akar pohon yang menjulang. Dia terjatuh, dan saat menoleh, bayangan besar itu kini berdiri di hadapannya, menatapnya dengan mata yang menyala dalam kegelapan. Suara mendesis itu semakin keras, seolah sedang menunggu untuk melahap ketakutannya.

  

“Tidak!”

Itu adalah satu-satunya kata yang bisa Arif ucapkan, sebelum segala sesuatu di sekitarnya menjadi gelap.  

Ketika Arif membuka matanya, cahaya samar membimbingnya ke sebuah tempat yang tidak dikenal. Dia terkejut mendapati dirinya berada di sebuah desa.

Suasana desa itu tampak hidup dengan aktivitas warga yang tampak normal. Anak-anak bermain di jalanan, wanita menenun di beranda, dan pria berdiskusi di bawah pohon besar. Namun, ada sesuatu yang aneh dan tidak beres. Semua tampak serba lamban, seolah waktu berjalan lebih lambat di sini.

‘Di mana ini? Ini seperti berada di dalam mimpi,’ bisiknya dalam hati, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.  

Perasaan campur aduk menggerogoti jiwanya. Dia merasa terpesona oleh keindahan arsitektur desa. Namun, ketakutan mengintai di sudut pikirannya.

Arif membaca nama desa yang tertulis di sebuah gapura. "Desa Kandang Bubrah," ucapnya.   

Arif memberanikan diri melewati gapura menuju desa Kandang Bubrah itu. Perlahan tapi pasti, langkahnya mulai menjelajahi desa. Bahkan suara langkahnya menjadi satu-satunya yang memecah kesunyian.  

Dia melihat sekelompok warga menatapnya dengan tatapan kosong, seolah-olah mereka tidak menyadari kehadirannya. Di tengah jalan, dia menemukan sebuah plakat kayu yang terukir tulisan dengan huruf-huruf kuno. Arif berusaha membacanya. Namun kata-katanya tampak kabur, seolah menghindar dari pemahaman.  

“Kira-kira ini apa ya bacaannya?" tanyanya lagi sambil berusaha mengeja.  

Mendekati salah satu bangunan, Arif melihat dindingnya dipenuhi oleh ukiran aneh. Beberapa gambar makhluk mengerikan dan sosok yang tampak menderita, menghiasi permukaan dinding. Arif merasa mual melihatnya, tetapi rasa ingin tahunya mendorongnya untuk terus melangkah.

  

Dia berpikir, “Kenapa semua ini terlihat seperti bagian dari sebuah cerita yang buruk?” Dia tertegun dengan kesan horor yang kental.  

Saat Arif ingin melanjutkan penjelajahannya, tawa lembut yang menggema di antara dinding-dinding kosong membuatnya terkejut.    

“Siapa itu?!” Suara Arif bergema di udara malam.

Namun,l tidak ada jawaban, melainkan hanya bisikan angin yang semakin menggila, seolah merespons ketakutannya. Arif merasakan ada yang memperhatikannya dan aura ancaman mengelilinginya.

Mendekati sebuah pasar kecil di tengah desa, Arif terhenti. Di sana, ada altar besar yang dikelilingi oleh patung-patung aneh. Masing-masing tampak seperti makhluk yang pernah hidup. Di tengah altar, terdapat sebuah kotak kayu tua, berukir indah dengan simbol-simbol aneh.

“Patung itu seperti hidup,” gumamnya lirih, dengan mata penasaran terfokus pada kotak kayu tua.

Arif merasa terpanggil untuk mendekat. Seperti magnet, kotak itu menariknya dan dia merasa bahwa ada sesuatu yang penting di dalamnya. Saat dia meraih pegangan kotak, rasa dingin yang menjalar dari sentuhannya membuatnya terhenyak.

Tiba-tiba, suara tawa tadi kembali terdengar, lebih dekat dan lebih jelas. Arif merasakan bulu kuduknya meremang. Dalam ketegangan, dia menarik napas dalam-dalam dan membuka kotak tersebut.

Namun, saat tutupnya terangkat, kabut gelap mengalir keluar, menyelimuti tubuhnya. Dalam sekejap, Arif merasa terperangkap dalam cengkeraman kegelapan.

“Kau telah datang ke Kandang Bubrah. Apakah kau siap untuk membayar harga yang ditetapkan?” bisik suara lembut, menggema dalam benaknya.

Kegelapan menyelimutinya. Ketika pandangannya mulai memudar, Arif menyadari bahwa pilihan yang telah dibuatnya akan mengubah segalanya.

Kapan dia bisa kembali ke dunia yang dikenalnya? Atau ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih menakutkan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Lovely
awas sesat kamu rif
goodnovel comment avatar
Diva
nah lo, paok sih sok nurutin rasa penasaran
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Pesugihan Kandang Bubrah   4. Kandang Bubrah: Jalan Menuju Takdir

    “Siapa kamu?!” teriak Arif yang setelahnya kegelapan dan kabut itu menghilang.Tidak lama hawa dingin menggigit kulit Arif saat dia berdiri di tengah Desa Kandang Bubrah, sebuah tempat yang menyimpan aura misterius. Di sekitar, bangunan-bangunan dengan arsitektur indah namun tampak terlupakan memberikan kesan seolah waktu telah berhenti di sini. “Di mana ini?” bisiknya, menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu dan ketakutan. Arif mendekati sebuah bangunan setengah hancur di dekatnya, tiba-tiba suara mendesis memecah keheningan. Ssshhh!Dia berbalik, dan dari kegelapan, sosok seorang pria tua muncul. Pria itu berpakaian loreng merah-hitam. Wajahnya keriput, tetapi matanya berbinar penuh makna, menyimpan rahasia yang tak terkatakan. “Ah, anak muda. Kau terlihat bingung.” Pria dengan perkiraan usia 80 tahun itu menghampiri Arif. “Aku Mijan Trembesi. Apa tujuan kamu kemari? Pasti ingin mengubah nasibmu!” Suara Mbah Mijan menggema, membawa rasa keinginan sekaligus ancaman.

    Last Updated : 2024-11-08
  • Pesugihan Kandang Bubrah   5. Mencari Desa Srengege

    “Aku harus segera pergi dari sini, tapi di mana letak hutan itu?” tanyanya pada diri sendiri. Arif sudah tidak ambil pusing dengan keadaan di sekitarnya yang terasa janggal. Suasana hutan saat itu terasa sepi, tiba-tiba awan menjadi mendung di siang hari. Arif teringat peringatan Mbah Mijan. “Hanya malam Jumat Kliwon, tepat di hari Kamis Legi. Waktu itu, Desa Srengege akan muncul.” Saat itu, Arif merasa jantungnya berdebar, teringat betapa pentingnya malam itu. Dia bertanya-tanya mengapa hanya malam tertentu desa itu bisa ditemukan, dan apa yang menunggu di dalam kegelapan. Arif teringat kembali kata-kata Mbah Mijan. “Desa itu terperangkap dalam dimensi lain,” kata Mbah Mijan terbayang di benaknya. “Hanya pada malam itu, gerbang menuju Srengege terbuka.” Arif merasakan keraguan menghampiri. Bagaimana jika dia terjebak di tempat itu selamanya?Mendengar suara gemerisik di semak-semak, Arif menahan napas. Dia mengedarkan pandangan, berusaha menemukan sumber suara itu, ketika tib

    Last Updated : 2024-11-08
  • Pesugihan Kandang Bubrah   6. Pencarian Tanpa Henti

    “Bagaimana? Apakah aku sudah bisa bergerak?” tanya Arif berbisik, dia berusaha mengontrol rasa takutnya. Sampai angin bertiup kencang, dan membuat para nokturnal kegelapan itu terbang dan berlarian. Arif langsung lemas sambil mengumpat kesal. “Sialan! Aku pikir tadi itu apa? Ternyata kelelawar dan burung hantu!” Mereka terus menyusuri hutan tanpa henti, bahkan siang dan malam tidak terasa saat ini, ditutup oleh rimbunnya pohon yang menjulang tinggi menutup langit. Hingga hari berganti, Arif masih berjuang melawan kelelahan di tengah hutan yang semakin suram. Setiap langkah terasa semakin berat, seiring rasa putus asa menggerogoti hatinya. "Dimas, kita sudah berjalan jauh. Apakah kau yakin kita berada di jalur yang benar?" tanya Arif, suaranya bergetar oleh keletihan. Dimas menghentikan langkah, meneliti sekeliling. "Seharusnya kita sudah dekat. Tapi ada sesuatu yang tidak beres di sini," jawabnya, mata Dimas menyusuri bayangan pohon-pohon rimbun. Suara-suara aneh mulai men

    Last Updated : 2024-11-08
  • Pesugihan Kandang Bubrah   7. Perjalanan Menuju Takdir

    “Kamu akan tahu, setelah sampai di sana. Temui Mbah Niah, dia yang akan menuntunmu selanjutnya.” Mbah Mijan setelahnya tertawa, lalu melanjutkan kata-katanya lagi. “Kamu hanya perlu ke Dusun Misahan sebelum jam 2.00 malam dini hari kalian harus segera keluar dari tempat itu, Desa Srengege hanya akan terbuka malam ini, di arah tenggelamnya matahari batas Dusun Misahan. Ingat, tidak dapat berbalik lagi jika kamu sudah sampai di sana,” ujarnya dengan mata yang tajam.Saat Arif melihat jam di pergelangan tangannya, waktu sudah sangat terbatas. Arif kembali ingin berbicara dengan Mbah Mijan. “Tapi, Mbah....” Arif terdiam melihat sosok Mbah Mijan yang menghilang. Dengan wajah panik, Arif langsung mengajak Dimas sambil menarik pria itu bersamanya, “Kita harus bergegas, sudah tidak ada waktu. Saat ini sudah menunjukkan hampir jam 12 malam.”Akhirnya, Arif dan Dimas melanjutkan perjalanan ke Desa Misahan, terjebak dalam suasana malam yang kelam. Setiap langkah terasa berat, tertekan oleh

    Last Updated : 2024-11-08
  • Pesugihan Kandang Bubrah   8. Pertemuan yang Menegangkan

    “Rif, kamu yakin? Kalau kita nanti terlambat keluar bagaimana? Kamu lihat di sana, pedagangnya masih muda, tidak ada yang seperti mbah-mbah,” ujar Dimas mengingatkan. Sampai saat ini tubuh Dimas masih tetap terlihat pucat dan ketakutan, dia ingin Arif berpikir masak-masak sebelum melewati altar menuju pasar desa Srengege. “Ayolah, kalau kamu tidak yakin aku saja yang akan ke sana. Mungkin dia memang awet muda walau usianya sudah tua. Sudah terlalu banyak hal aneh yang aku alami, jadi ini menurutku biasa saja. Ini jalanku, Dim, aku mau ke sana.” Arif melangkah menuju tempat itu tanpa menghiraukan Dimas mau lanjut bersamanya atau berpisah di tempat itu saat ini. Dimas terdiam, sampai Arif benar-benar mau melangkah masuk. “Tunggu, Rif,” ujar Dimas yang menyusul sambil berlari. Mereka akhirnya memasuki sebuah gerbang bercahaya yang ditunjukkan oleh wanita tua. Terlihat sosok wanita muda yang selalu dipanggil Mbah Niah oleh para pembelinya. Arif terkejut saat wanita itu menatapnya ta

    Last Updated : 2024-11-08
  • Pesugihan Kandang Bubrah    9. Jalan yang Tak Bisa Kembali

    "Kamu harus kuat, Dim, kita cari air. Tapi waktunya sudah semakin sedikit!" Arif berteriak dengan napas yang tersengal, mengguncang keheningan malam. Dia memapah tubuh Dimas yang terluka, setengah terbata-bata. Mereka terus berjalan, namun langkah mereka semakin berat, dan waktu terasa semakin sempit.Dimas hanya bisa mengangguk lemah. Wajahnya pucat, darah mengalir dari luka-luka yang menembus kulitnya. Keringat membasahi dahinya. Arif bisa merasakan betapa tubuh Dimas mulai goyah, tak kuasa menopang dirinya sendiri. Mereka sudah terlalu jauh ke dalam hutan, jauh dari perkampungan, dan semakin jauh dari harapan."Arif... aku merasa pusing," suara Dimas teredam oleh bisikan angin yang semakin berembus kencang. Tubuhnya limbung, dan kaki-kakinya hampir tidak bisa menahan beban."Jangan jatuh, Dim!" Arif hampir berteriak, menahan tubuh Dimas yang nyaris terjatuh. "Kita harus bertahan... Bertahan sedikit lebih lama."Arif bisa merasakan nafasnya yang semakin terengah. Setiap langkahnya te

    Last Updated : 2024-11-15
  • Pesugihan Kandang Bubrah    10. Kembali ke Titik Nol

    "Apa yang terjadi, Arif? Kau… kau hilang selama seminggu!" Suara Ibu menggema dalam rumah yang hening. Arif berdiri di ambang pintu, mata kosong dan penuh kekhawatiran.Tangannya memegang erat persyaratan yang diberikan Mbah Mijan minyak fambo, kemeyan madu, bunga setaman, dua kain mori dari makam keramat. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang menyatu dengan kenyataan. Dia baru saja kembali dari sebuah tempat yang lebih mengerikan daripada yang bisa dibayangkan siapa pun."Satu minggu? Rasanya lebih lama dari itu, Bu." Arif menjawab, suaranya serak, hampir tak mengenali dirinya sendiri.Ibu menatapnya bingung, seakan mencari jawaban di mata Arif yang kini lebih kelam. "Kau tampak berbeda. Apa yang terjadi padamu?"Arif hanya terdiam. Kepalanya penuh dengan gambar-gambar gelap, dengan suara-suara bisikan yang tidak bisa dia lupakan. Sosok-sosok di hutan, tangan dingin yang menariknya jatuh, suara Mbah Mijan yang terdengar lebih menyeramkan dari sebelumnya. Semua itu mencekamnya, mem

    Last Updated : 2024-11-15
  • Pesugihan Kandang Bubrah   11. Tumbal Pertama

    "Ada apa, Nek? Kenapa pucat begitu?" tanya Arif ketika melihat wajah Bunyu Mahoni yang tampak lebih pucat dari biasanya. Tubuh neneknya gemetar, tangannya mencengkeram ujung selimut dengan kekuatan yang tersisa."Aku mimpi buruk, Rif... rumah kita... ada api besar, tapi bukan api biasa..." suara Bunyu parau, hampir tak terdengar. Matanya yang keruh menatap Arif dengan sorot penuh ketakutan.Arif menggeleng, mencoba menyangkal. "Ah, itu cuma mimpi, Nek. Jangan dipikirkan." Tapi dadanya terasa berat, seolah ada batu yang menghimpit. Pikiran itu tak mudah diabaikan. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar rumah, merasakan hawa yang berbeda. Lebih dingin, lebih gelap.Bunyu batuk kecil, suaranya pecah. "Hati-hati, Rif... ada yang tak beres. Rasanya seperti ada sesuatu... di sini."Malam itu, meski tubuhnya lelah, pikiran Arif tidak bisa tenang. Setiap bayangan di sudut ruangan terasa hidup, seperti mata-mata yang mengawasi. Namun, dia menepis ketakutan itu. Mbah Mijan sudah menjelaskan s

    Last Updated : 2024-11-17

Latest chapter

  • Pesugihan Kandang Bubrah   204. Perjanjian dengan Mbah Niah

    Wanita berkebaya hitam itu berdiri diam di tengah jalan. Rambutnya panjang, menutupi sebagian wajahnya.Namun, saat ia perlahan mengangkat kepala, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya—bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menyimpan sesuatu yang lebih dalam.Lila merasakan udara di sekitarnya menjadi berat. Jantungnya berdegup kencang hingga ia hampir merasa sesak.Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke wanita itu, tetapi anehnya… cahaya tidak mampu menyentuh sosoknya. Seolah wanita itu berdiri di dimensi yang berbeda dari mereka."Dia siapa?" bisik Lila.Ustadz Harman tidak menjawab. Ia melangkah maju dengan tenang, matanya tajam menatap wanita itu."Mbah Niah," sapanya dengan suara datar.Wanita itu menyeringai, sedikit lebih lebar. "Sudah lama aku menunggu kalian."Su

  • Pesugihan Kandang Bubrah   203. Jembatan yang Tak Terlihat

    Lila berdiri di tepian jurang, jantungnya berdetak begitu kencang hingga hampir terasa menyakitkan.Di hadapannya, Ustadz Harman berdiri tegak di atas sesuatu yang tak kasat mata. Seolah-olah ada lantai yang menyangga tubuhnya, meskipun yang terlihat hanyalah kegelapan yang menganga lebar."Jangan ragu," kata Ustadz Harman dengan suara tenang. "Jika kau ragu, kau akan jatuh."Lila menelan ludah. Tangannya berkeringat saat menggenggam erat Jatinegara, yang berdiri diam di sampingnya.Dimas menyalakan senter dan mengarahkannya ke depan. Cahaya terang itu melayang… tanpa menyentuh apa pun. Seolah-olah tidak ada yang bisa dipijak."Ini gila," gumamnya. "Tidak ada jembatan di sini."Ustadz Harman menoleh padanya. "Tidak terlihat, bukan berarti tidak ada."Lila menarik napas dalam. Tidak ada pilihan lain.Ia menatap wajah Jatinegara yang pucat dalam cahaya remang. "Jati, kamu percaya sama Ibu?"Jatinegara mengangguk pelan.Lila menggenggam tangannya lebih erat. Lalu…Ia mengangkat kakinya d

  • Pesugihan Kandang Bubrah   202. Gerbang Menuju Kegelapan

    Langit telah sepenuhnya gelap ketika Lila, Dimas, Ustadz Harman, dan Jatinegara tiba di jalan setapak yang menuju hutan tempat Desa Srengege konon berada.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Lila mengeratkan genggamannya pada tangan Jatinegara, sementara Dimas menyalakan senter untuk menerangi jalan.Ustadz Harman berjalan paling depan. Suaranya tenang, tapi tegas. "Sekali kita masuk, kita tidak bisa berbalik sebelum waktunya tiba."Lila menelan ludah. "Berarti… kita hanya bisa keluar setelah ritual selesai?"Ustadz Harman mengangguk. "Benar. Desa Srengege hanya muncul di malam Jumat Kliwon, dan akan menghilang sebelum fajar. Jika kita masih ada di dalam saat matahari terbit… kita tidak akan pernah kembali."Lila merasakan jantungnya mencelos.Dimas menoleh ke arah mereka. "Kalau begitu, kita harus cepat."Ustadz Harman melangkah ke depan, dan mereka mengikuti.Langkah pertama memasuki hutan terasa

  • Pesugihan Kandang Bubrah   201. Jalan Menuju Malam Kematian  

    Suara langkah kaki di luar rumah semakin jelas. Seolah ada lebih dari satu makhluk yang sedang mengitari mereka.Lila menahan napas. Tangan dinginnya mencengkeram erat bahu Jatinegara yang duduk diam di pangkuannya.Dimas sudah berdiri dengan posisi waspada, sementara Ustadz Harman tetap duduk tenang, meski matanya tajam menatap ke arah pintu.Lalu…Tok. Tok. Tok.Ketukan itu terdengar lagi. Pelan, tapi mencengkeram jiwa. Sama seperti yang Lila dengar di rumahnya tadi malam.Tapi kali ini, suara itu diiringi oleh bisikan. "Lila… keluarlah…"Napas Lila tercekat. ”Itu suara Arif, tidak mungkin Arif sudah mati.”Dimas menoleh padanya, tatapannya mengisyaratkan sesuatu. ’Jangan dengarkan.’Namun, suara itu kembali bergema—lebih pelan, lebih dingin. "Jatine

  • Pesugihan Kandang Bubrah   200. Jejak yang Tertinggal  

    Lila masih berdiri kaku di halaman rumah, matanya terpaku ke jendela kamar. Sosok Arif dan bayangan-bayangan lainnya memang sudah menghilang, tapi perasaan tidak enak masih mencengkeram dadanya.Di sampingnya, Jatinegara tetap diam, tatapannya kosong seperti seseorang yang baru saja bangun dari tidur panjang.Dimas menyentuh bahu Lila, menyadarkannya. "Kita pergi dari sini sekarang."Lila menelan ludah, lalu mengangguk. Ia menggandeng Jatinegara menuju mobil Dimas. Saat mereka akan masuk, Jatinegara tiba-tiba menoleh lagi ke arah rumah."Ibu..."Lila menegang. "Kenapa, sayang?"Jatinegara mengangkat tangannya, menunjuk ke pintu rumah yang setengah terbuka. "Ayah belum ikut dengan kita."Dimas dan Lila bertukar pandang. Dimas berbisik tegas, "Jangan dengarkan dia, Lila. Kita pergi sekarang."Tapi sebelum Lila sempat merespons, angin kencang tiba-tiba berhembus dari dalam rumah. Pintu depan berderak keras, kemudian.BRAK!Pintu itu menutup sendiri dengan suara yang menggema. Seolah ada

  • Pesugihan Kandang Bubrah   199. Cermin yang Membawa Mimpi Buruk

    Lila berdiri mematung. Matanya terpaku pada cermin yang tertutup kain, tetapi bayangan hitam di dalamnya masih bisa terlihat samar, seolah sosok itu tetap berdiri di balik kain tipis.”Senyum itu…” gumam Lira lirih.Itu bukan senyum Arif yang ia kenal. Senyum itu bukan sekadar menyapa. Senyum itu mengancam.Tiba-tiba, kain yang menutupi cermin mulai bergerak sendiri, seolah ada tangan tak terlihat yang menyibaknya perlahan.Lila ingin berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Jatinegara yang berada di sampingnya menoleh dengan tatapan kosong ke arah cermin. Bibirnya bergerak pelan.“Ibu… dia ingin keluar.” Lila merasakan darahnya berhenti mengalir. Seketika, ia menarik anaknya ke dalam pelukan, tangannya berusaha meraih kain itu untuk menutupi cermin lebih erat. Tapi saat jemarinya menyentuh kain, sesuatu yang dingin merambat ke tubuhnya.Jari seseorang dari dalam cermin sedang mencengkeram kain itu dari balik kaca.Lila terlonjak mundur.Brak!Lampu kamar mereka tiba-tiba b

  • Pesugihan Kandang Bubrah   198. Bayang-Bayang yang Mengintai

    Lila menggeliat gelisah di ranjangnya. Sudah tiga malam berturut-turut ia terbangun di jam yang sama pukul dua pagi dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Ada sesuatu di rumah ini, sesuatu yang mengawasinya dalam kegelapan.Di sebelahnya, Jatinegara tidur pulas, tetapi sesekali tubuhnya bergerak gelisah seolah sedang bermimpi buruk. Lila mengusap kepala anaknya dengan lembut, mencoba menenangkan diri.“Apa aku hanya terlalu lelah?” gumamnya.Namun, kegelisahan itu semakin sulit diabaikan ketika suara langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu. Lila menegang. Suara itu pelan, menyeret, dan terputus-putus.Bulu kuduknya berdiri. Ia menoleh ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka, menatap kegelapan di luar. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari sesuatu yang janggal. Lampu ruang tamu tadi ia matikan sebelum tidur, tetapi kini ada semburat cahaya samar dari celah pintu.&nbs

  • Pesugihan Kandang Bubrah   197. Mereka… kembali

    Udara berubah drastis, Lila terjatuh ke tanah dengan keras, tubuhnya terasa ringan namun lemah. Sesaat, ia tidak bisa merasakan apa pun selain dingin yang menjalari kulitnya. Napasnya tersengal-sengal, jantungnya masih berdetak cepat akibat adrenalin yang belum hilang.Jatinegara terkapar di sampingnya, mengerang pelan. Wina terduduk dengan tubuh gemetar, satu tangannya masih melindungi perutnya, sementara Ustadz Harman berusaha bangkit dengan sisa tenaga yang ada.”Mereka… kembali.”Lila memejamkan matanya sesaat, mencoba memahami situasi. Tidak ada lagi udara berat yang menyesakkan, tidak ada suara jeritan dari roh-roh yang terperangkap, tidak ada gemuruh tanah yang bergetar.Kandang Bubrah telah lenyap. Tapi sesuatu masih terasa kurang. Matanya langsung terbuka, mencari seseorang.”Arif...” Lila menoleh ke kanan dan kiri dengan panik, Arif tidak

  • Pesugihan Kandang Bubrah   196. Gerbang ini akan benar-benar tertutup selamanya

    Lalu, ia berbalik ke arah neneknya. “Bagaimana cara membebaskan Dimas?”Nenek Bunyu Mahoni menghela napas berat, lalu berkata, “Dimas tidak bisa pergi jika ikatan pesugihan ini masih ada. Satu-satunya cara… adalah memutuskan sumbernya.”Jatinegara mengangkat alis. “Sumbernya? Maksudmu… pria tua itu?”Pria tua itu menyeringai. “Kalian pikir semudah itu?”Dan saat itu juga, tubuhnya mulai berubah.Pakaian lusuhnya melayang di udara, kulitnya menegang hingga retak, memperlihatkan urat-urat hitam yang tampak seperti akar pohon tua. Matanya semakin merah, penuh kebencian yang dalam.“Aku bukan sekadar manusia biasa lagi.”Tiba-tiba, bayangan hitam yang menyelimuti tubuhnya merayap ke lantai, membentuk sebuah pusaran gelap yang menghisap energi dari sekelilingnya.Angin bertiup

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status