“Siapa kamu?!” teriak Arif yang setelahnya kegelapan dan kabut itu menghilang.
Tidak lama hawa dingin menggigit kulit Arif saat dia berdiri di tengah Desa Kandang Bubrah, sebuah tempat yang menyimpan aura misterius. Di sekitar, bangunan-bangunan dengan arsitektur indah namun tampak terlupakan memberikan kesan seolah waktu telah berhenti di sini.
“Di mana ini?” bisiknya, menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu dan ketakutan.
Arif mendekati sebuah bangunan setengah hancur di dekatnya, tiba-tiba suara mendesis memecah keheningan.
Ssshhh!
Dia berbalik, dan dari kegelapan, sosok seorang pria tua muncul. Pria itu berpakaian loreng merah-hitam. Wajahnya keriput, tetapi matanya berbinar penuh makna, menyimpan rahasia yang tak terkatakan.
“Ah, anak muda. Kau terlihat bingung.” Pria dengan perkiraan usia 80 tahun itu menghampiri Arif.
“Aku Mijan Trembesi. Apa tujuan kamu kemari? Pasti ingin mengubah nasibmu!” Suara Mbah Mijan menggema, membawa rasa keinginan sekaligus ancaman.
Arif tertegun, “Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya, suaranya bergetar.
Mbah Mijan melangkah maju, setiap langkahnya seolah menggema di antara pepohonan.
“Aku adalah penjaga Kandang Bubrah. Banyak yang datang ke sini dengan harapan. Tapi, cuma sedikit yang memahami harga yang harus dibayar.”
Arif merasa terombang-ambing antara ketertarikan dan ketakutan. “Harga? Apa maksudnya, Mbah?” Pria tua itu tersenyum sinis, seolah menikmati kebingungan Arif.
“Setiap impian datang dengan konsekuensi. Kamu ingin menjadi kaya dan terlepas dari beban yang mengikat, kan?” tanyanya dengan suara yang masih tetap terasa kokoh, berbanding terbalik dengan usia dan keriput di wajahnya.
“Ya, aku—” Kata-kata Arif terpotong, lidahnya terasa berat. Instingnya memperingatkan, akan bahaya yang mengintai.
Mbah Mijan mendekat, matanya menatap tajam. “Kau harus membuktikan keseriusanmu. Bawakan aku kembang setaman, kemenyan madu, dupa dari Gunung Kawi, dan minyak fambo. Hanya dengan itu, kau bisa mendapatkan kekayaan yang kau impikan.”
“Tapi, di mana aku bisa menemukan semua itu, Mbah?” Arif merasa terdesak, keinginan dan rasa takut bergumul di dalam hatinya.
Pria tua itu tertawa pelan, suara misteriusnya semakin menakutkan.
"Hanya ada satu tempat. Yaitu Desa Srengege. Ingat, anak muda! Waktu tidak berpihak padamu. Setelah malam Jumat Kliwon, semua pintu akan tertutup,” pesan Mbah Mijan.
Arif menatap Mbah Mijan. Ketegangan menyelimuti mereka.
Rasa penasaran berkonflik dengan ketakutan. Arif bertanya, “Apa yang terjadi kalau aku gagal membawa semua barang itu?”
“Semua yang kau cintai akan menjadi taruhan. Tidak ada lagi jalan pulang.” Suara Mbah Mijan tenang, tetapi mengandung ancaman.
Jantung Arif berdebar. Dia ingin menolak tawaran itu, tetapi hasrat untuk merubah nasibnya menguasai pikirannya. Bahkan saat ini dia seperti hanya memikirkan kekayaan di hadapannya, agar semua hinaan hilang seketika.
“Aku ... aku akan melakukannya,” katanya, suaranya bergetar namun mantap.
Mbah Mijan mengangguk, senyumnya melebar. Namun, Arif bisa melihat kilatan ketidakpastian di mata tuanya.
“Bagus. Ingat, setiap pilihan ada konsekuensinya. Selamat datang ke dalam permainan yang lebih besar, dari yang kau bayangkan.” Kalimat itu penuh misteri, Arif terdiam sejenak. Dia takut salah memilih kali ini.
Ketika Arif berbalik untuk pergi, hawa dingin kembali menyelimuti. Seolah-olah ada sesuatu yang lain di dalam kegelapan, mengawasinya dari jauh. Dia berlari meninggalkan desa itu, tetapi di dalam hatinya, bayangan Mbah Mijan mengikuti, menunggu saat yang tepat untuk kembali.
‘Aku pasti bisa,’ batinnya menyemangati.
Angin berhembus kencang saat Arif bergegas, pikirannya terjebak dalam kekacauan. Dia harus menemukan barang-barang itu sebelum waktu habis. Dia tahu, langkah ini bukan hanya tentang kekayaan, tetapi juga tentang menyelamatkan apa yang paling berharga dalam hidupnya.
“Apa yang harus aku lakukan?” Arif berbisik pada diri sendiri, suara hatinya dipenuhi keraguan. Namun, harapan akan kebebasan menariknya ke depan.
Ketika langkahnya semakin jauh, dia bertanya-tanya. “Apakah ini langkah pertama menuju keberhasilan, atau justru awal dari akhir yang mengerikan?”
Dalam perjalanan menuju Desa Srengege, Arif merasa tak hanya mengejar kekayaan. Namun juga menghindari bayang-bayang kegelapan yang mengancam untuk menghisapnya ke dalam kegelapan abadi.
“Aduh!” pekik Arif yang tersandung, pandangannya menjadi gelap. Sampai sebuah cahaya kembali menyinari wajahnya.
“Aku masih berada di dalam hutan. Desa tadi? Ke mana desa Kandang Bubrah?” tanyanya yang seperti bangun dari mimpi panjang.
Arif mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Terdapat sebuah pohon besar tempat dia mendengar desisan pertama kali.
Sinar matahari sudah membuat Arif lebih sadar dengan keberadaan 4 pohon ringin yang berada di sudut-sudut tempat yang berjarak saling berjauhan. Itu seperti menandakan pagar sebuah wilayah.
“Aku harus segera pergi dari sini, tapi di mana letak hutan itu?” tanyanya pada diri sendiri. Arif sudah tidak ambil pusing dengan keadaan di sekitarnya yang terasa janggal. Suasana hutan saat itu terasa sepi, tiba-tiba awan menjadi mendung di siang hari. Arif teringat peringatan Mbah Mijan. “Hanya malam Jumat Kliwon, tepat di hari Kamis Legi. Waktu itu, Desa Srengege akan muncul.” Saat itu, Arif merasa jantungnya berdebar, teringat betapa pentingnya malam itu. Dia bertanya-tanya mengapa hanya malam tertentu desa itu bisa ditemukan, dan apa yang menunggu di dalam kegelapan. Arif teringat kembali kata-kata Mbah Mijan. “Desa itu terperangkap dalam dimensi lain,” kata Mbah Mijan terbayang di benaknya. “Hanya pada malam itu, gerbang menuju Srengege terbuka.” Arif merasakan keraguan menghampiri. Bagaimana jika dia terjebak di tempat itu selamanya?Mendengar suara gemerisik di semak-semak, Arif menahan napas. Dia mengedarkan pandangan, berusaha menemukan sumber suara itu, ketika tib
“Bagaimana? Apakah aku sudah bisa bergerak?” tanya Arif berbisik, dia berusaha mengontrol rasa takutnya. Sampai angin bertiup kencang, dan membuat para nokturnal kegelapan itu terbang dan berlarian. Arif langsung lemas sambil mengumpat kesal. “Sialan! Aku pikir tadi itu apa? Ternyata kelelawar dan burung hantu!” Mereka terus menyusuri hutan tanpa henti, bahkan siang dan malam tidak terasa saat ini, ditutup oleh rimbunnya pohon yang menjulang tinggi menutup langit. Hingga hari berganti, Arif masih berjuang melawan kelelahan di tengah hutan yang semakin suram. Setiap langkah terasa semakin berat, seiring rasa putus asa menggerogoti hatinya. "Dimas, kita sudah berjalan jauh. Apakah kau yakin kita berada di jalur yang benar?" tanya Arif, suaranya bergetar oleh keletihan. Dimas menghentikan langkah, meneliti sekeliling. "Seharusnya kita sudah dekat. Tapi ada sesuatu yang tidak beres di sini," jawabnya, mata Dimas menyusuri bayangan pohon-pohon rimbun. Suara-suara aneh mulai men
“Kamu akan tahu, setelah sampai di sana. Temui Mbah Niah, dia yang akan menuntunmu selanjutnya.” Mbah Mijan setelahnya tertawa, lalu melanjutkan kata-katanya lagi. “Kamu hanya perlu ke Dusun Misahan sebelum jam 2.00 malam dini hari kalian harus segera keluar dari tempat itu, Desa Srengege hanya akan terbuka malam ini, di arah tenggelamnya matahari batas Dusun Misahan. Ingat, tidak dapat berbalik lagi jika kamu sudah sampai di sana,” ujarnya dengan mata yang tajam.Saat Arif melihat jam di pergelangan tangannya, waktu sudah sangat terbatas. Arif kembali ingin berbicara dengan Mbah Mijan. “Tapi, Mbah....” Arif terdiam melihat sosok Mbah Mijan yang menghilang. Dengan wajah panik, Arif langsung mengajak Dimas sambil menarik pria itu bersamanya, “Kita harus bergegas, sudah tidak ada waktu. Saat ini sudah menunjukkan hampir jam 12 malam.”Akhirnya, Arif dan Dimas melanjutkan perjalanan ke Desa Misahan, terjebak dalam suasana malam yang kelam. Setiap langkah terasa berat, tertekan oleh
“Rif, kamu yakin? Kalau kita nanti terlambat keluar bagaimana? Kamu lihat di sana, pedagangnya masih muda, tidak ada yang seperti mbah-mbah,” ujar Dimas mengingatkan. Sampai saat ini tubuh Dimas masih tetap terlihat pucat dan ketakutan, dia ingin Arif berpikir masak-masak sebelum melewati altar menuju pasar desa Srengege. “Ayolah, kalau kamu tidak yakin aku saja yang akan ke sana. Mungkin dia memang awet muda walau usianya sudah tua. Sudah terlalu banyak hal aneh yang aku alami, jadi ini menurutku biasa saja. Ini jalanku, Dim, aku mau ke sana.” Arif melangkah menuju tempat itu tanpa menghiraukan Dimas mau lanjut bersamanya atau berpisah di tempat itu saat ini. Dimas terdiam, sampai Arif benar-benar mau melangkah masuk. “Tunggu, Rif,” ujar Dimas yang menyusul sambil berlari. Mereka akhirnya memasuki sebuah gerbang bercahaya yang ditunjukkan oleh wanita tua. Terlihat sosok wanita muda yang selalu dipanggil Mbah Niah oleh para pembelinya. Arif terkejut saat wanita itu menatapnya ta
“Arif!” Suara Sungkai Mahoni terdengar melengking dari luar rumah. "Buat malu Ayah saja! Kamu selalu jadi bahan cerita di keluarga," omel Sungkai begitu masuk ke rumah. Dia menutup pintu dengan keras. Malam itu, langit di Desa Misahan berwarna kelam. Awan tebal menggantung rendah menandakan datangnya hujan. Suara cicada melengking di udara, dan menciptakan suasana tegang yang menyelimuti rumah Arif. "Ada apa, Yah?" tanya Misna Bengkirai, ibunya Arif. Ayahnya kemudian bercerita panjang lebar sambil meremas rambutnya. Di ruang tamu yang sempit, Arif berusaha mencuri dengar pokok permasalahan yang membuat ayahnya marah-marah. Sungkai duduk bersama istrinya. "Tanya sama anakmu! Dia selalu bikin malu saja! Dia mau melamar Lila Cendana, tapi nggak punya pekerjaan."Arif menghela napas. Dia menahan emosinya."Untung saja yang menegurku mas Bintan Mahoni, kakakku yang kaya dan pelit itu. Malu! malu! Mau ditaruh di mana wajah Ayah?!"Keluhan Sungkai memancing emosi Misna. "Kamu ini
“Mungkin itu perasaanku saja, karena melamun merasa Dimas lewat,” gumamnya lagi menenangkan diri. Arif terus berjalan di suasana malam yang sepi, membuatnya merasa seolah-olah dunia hanya miliknya. Kebebasan yang sudah lama terpendam mengalir dalam nadinya, tetapi ketakutan akan masa depan menghantuinya. Dia tahu bahwa melangkah pergi bukanlah keputusan yang mudah, namun rasa terpuruk yang selama ini menggerogoti hatinya membuatnya tak lagi mampu bertahan. “Seandainya aku tidak bercerita dengan Gibran, pasti orang tuaku tidak akan semalu ini,” sesalnya lagi sembari mengembuskan napas. Hingga Arif tersadar bahwa saat ini dia berada antara batas desa dan hutan di Misahan. Perasaan ragu kembali menghampirinya saat akan melangkah masuk ke dalam hutan, dia merasakan kegelapan di sekelilingnya. Bayangan pohon-pohon besar menakutkan di bawah cahaya bulan. “Apa yang bisa terjadi jika aku pergi ke sana?” tanyanya, bergumul dengan rasa ingin tahunya. Rasa takutnya bercampur dengan har
Arif merasa seolah hutan ini bukan hanya sekadar tempat biasa, melainkan labirin berbahaya. Tentunya penuh dengan rahasia yang tak terungkap. Dia berusaha untuk kembali ke jalan yang dia lewati. Namun, setiap langkah terasa salah. Bayangan di sekelilingnya bergerak semakin dekat, membuatnya merinding. Ssshhh!Suara desisan itu terdengar lagi, membuat mata Arif membelalak. Bahkan degup jantungnya berderu kencang sampai terdengar di telinga. Srek! Srek!Ditambah suara langkah kaki yang beriringan dengan desisan semakin menggema di telinga Arif.Arif mulai berlari. Dia terjerembab dalam semak-semak, mencoba menemukan arah pulang. Hatinya berdebar kencang, setiap detak jantungnya menggema dalam kesunyian malam. Saat dia berlari, suara langkah kaki di belakangnya semakin mendekat, seolah-olah mengikutinya. “Apa ini?!” teriaknya, tetapi suaranya seolah hilang ditelan kegelapan. Dalam kepanikannya, Arif melihat ke belakang. Ada bayangan besar muncul di antara pepohonan. Sesuatu yang