Home / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 4. Kandang Bubrah: Jalan Menuju Takdir

Share

4. Kandang Bubrah: Jalan Menuju Takdir

“Siapa kamu?!” teriak Arif yang setelahnya kegelapan dan kabut itu menghilang.

Tidak lama hawa dingin menggigit kulit Arif saat dia berdiri di tengah Desa Kandang Bubrah, sebuah tempat yang menyimpan aura misterius. Di sekitar, bangunan-bangunan dengan arsitektur indah namun tampak terlupakan memberikan kesan seolah waktu telah berhenti di sini.  

“Di mana ini?” bisiknya, menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu dan ketakutan.  

Arif mendekati sebuah bangunan setengah hancur di dekatnya, tiba-tiba suara mendesis memecah keheningan.  

Ssshhh!

  

Dia berbalik, dan dari kegelapan, sosok seorang pria tua muncul. Pria itu berpakaian loreng merah-hitam. Wajahnya keriput, tetapi matanya berbinar penuh makna, menyimpan rahasia yang tak terkatakan.  

“Ah, anak muda. Kau terlihat bingung.” Pria dengan perkiraan usia 80 tahun itu menghampiri Arif.  

“Aku Mijan Trembesi. Apa tujuan kamu kemari? Pasti ingin mengubah nasibmu!” Suara Mbah Mijan menggema, membawa rasa keinginan sekaligus ancaman.  

Arif tertegun, “Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya, suaranya bergetar.  

Mbah Mijan melangkah maju, setiap langkahnya seolah menggema di antara pepohonan.

“Aku adalah penjaga Kandang Bubrah. Banyak yang datang ke sini dengan harapan. Tapi, cuma sedikit yang memahami harga yang harus dibayar.”  

Arif merasa terombang-ambing antara ketertarikan dan ketakutan. “Harga? Apa maksudnya, Mbah?” Pria tua itu tersenyum sinis, seolah menikmati kebingungan Arif.

“Setiap impian datang dengan konsekuensi. Kamu ingin menjadi kaya dan terlepas dari beban yang mengikat, kan?” tanyanya dengan suara yang masih tetap terasa kokoh, berbanding terbalik dengan usia dan keriput di wajahnya.  

“Ya, aku—” Kata-kata Arif terpotong, lidahnya terasa berat. Instingnya memperingatkan, akan bahaya yang mengintai.  

Mbah Mijan mendekat, matanya menatap tajam. “Kau harus membuktikan keseriusanmu. Bawakan aku kembang setaman, kemenyan madu, dupa dari Gunung Kawi, dan minyak fambo. Hanya dengan itu, kau bisa mendapatkan kekayaan yang kau impikan.”  

“Tapi, di mana aku bisa menemukan semua itu, Mbah?” Arif merasa terdesak, keinginan dan rasa takut bergumul di dalam hatinya.  

Pria tua itu tertawa pelan, suara misteriusnya semakin menakutkan.

"Hanya ada satu tempat. Yaitu Desa Srengege. Ingat, anak muda! Waktu tidak berpihak padamu. Setelah malam Jumat Kliwon, semua pintu akan tertutup,” pesan Mbah Mijan.

Arif menatap Mbah Mijan. Ketegangan menyelimuti mereka.

Rasa penasaran berkonflik dengan ketakutan. Arif bertanya, “Apa yang terjadi kalau aku gagal membawa semua barang itu?”  

“Semua yang kau cintai akan menjadi taruhan. Tidak ada lagi jalan pulang.” Suara Mbah Mijan tenang, tetapi mengandung ancaman.

Jantung Arif berdebar. Dia ingin menolak tawaran itu, tetapi hasrat untuk merubah nasibnya menguasai pikirannya. Bahkan saat ini dia seperti hanya memikirkan kekayaan di hadapannya, agar semua hinaan hilang seketika.  

“Aku ... aku akan melakukannya,” katanya, suaranya bergetar namun mantap.

Mbah Mijan mengangguk, senyumnya melebar. Namun, Arif bisa melihat kilatan ketidakpastian di mata tuanya.  

“Bagus. Ingat, setiap pilihan ada konsekuensinya. Selamat datang ke dalam permainan yang lebih besar, dari yang kau bayangkan.” Kalimat itu penuh misteri, Arif terdiam sejenak. Dia takut salah memilih kali ini.  

Ketika Arif berbalik untuk pergi, hawa dingin kembali menyelimuti. Seolah-olah ada sesuatu yang lain di dalam kegelapan, mengawasinya dari jauh. Dia berlari meninggalkan desa itu, tetapi di dalam hatinya, bayangan Mbah Mijan mengikuti, menunggu saat yang tepat untuk kembali.  

‘Aku pasti bisa,’ batinnya menyemangati.

Angin berhembus kencang saat Arif bergegas, pikirannya terjebak dalam kekacauan. Dia harus menemukan barang-barang itu sebelum waktu habis. Dia tahu, langkah ini bukan hanya tentang kekayaan, tetapi juga tentang menyelamatkan apa yang paling berharga dalam hidupnya.

 “Apa yang harus aku lakukan?” Arif berbisik pada diri sendiri, suara hatinya dipenuhi keraguan. Namun, harapan akan kebebasan menariknya ke depan.

Ketika langkahnya semakin jauh, dia bertanya-tanya. “Apakah ini langkah pertama menuju keberhasilan, atau justru awal dari akhir yang mengerikan?”

Dalam perjalanan menuju Desa Srengege, Arif merasa tak hanya mengejar kekayaan. Namun juga menghindari bayang-bayang kegelapan yang mengancam untuk menghisapnya ke dalam kegelapan abadi.

“Aduh!” pekik Arif yang tersandung, pandangannya menjadi gelap. Sampai sebuah cahaya kembali menyinari wajahnya.

“Aku masih berada di dalam hutan. Desa tadi? Ke mana desa Kandang Bubrah?” tanyanya yang seperti bangun dari mimpi panjang.

Arif mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Terdapat sebuah pohon besar tempat dia mendengar desisan pertama kali.

Sinar matahari sudah membuat Arif lebih sadar dengan keberadaan 4 pohon ringin yang berada di sudut-sudut tempat yang berjarak saling berjauhan. Itu seperti menandakan pagar sebuah wilayah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status