Malam itu terasa seperti sebuah ketegangan yang menunggu untuk meledak. Setelah pertemuannya dengan Mbah Mijan, Arif merasa dirinya semakin terperangkap dalam kesepakatan gelap yang tidak dapat dipahami sepenuhnya.Rasa cemasnya tumbuh menjadi sesuatu yang lebih gelap seperti bayang-bayang yang terus mengikutinya tanpa bisa dilihat, namun selalu ada.Di sebuah rumah tua di pinggir desa, Arif duduk di ruang tamu yang gelap, bersama beberapa orang yang sebelumnya tidak pernah dia kenal. Mereka adalah keluarga dan kerabat yang, seperti dirinya, terjebak dalam jaring pesugihan yang jahat.Setiap wajah di sekitar meja itu tampak lelah, dipenuhi keputusasaan yang sama seperti mereka telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga namun tak tahu bagaimana cara mendapatkannya kembali.“Arif, ini adalah pertama kalinya kita berkumpul untuk berbicara tentang jalan yang telah kita pilih,” kata seorang pria paruh baya, dengan suara serak dan mata yang tampak kosong. Pria ini, yang dikenalkan sebaga
Malam itu, Arif duduk sendiri di ruang kerjanya, ditemani hanya oleh kilatan petir yang mengiringi hujan deras di luar. Lila sudah tertidur di kamar dan Arif merasa tak bisa lepas dari pikiran yang terus menggerogoti. Semua yang telah terjadi keputusan-keputusan yang telah dia buat seakan membawanya lebih dekat ke jurang yang tidak bisa ia hindari.Tiba-tiba, pintu ruang kerja diketuk dengan suara lembut, namun tajam, seperti ada yang menunggu di luar. Arif terlonjak dan bergegas membuka pintu. Di ambang pintu berdiri seorang wanita muda dengan ekspresi yang tidak bisa dia baca. Wajahnya pucat, dan mata hitamnya terlihat seperti menyimpan banyak rahasia."Arif Mahoni?" Suaranya bergetar, namun penuh tekad."Ya?" jawab Arif, kebingungannya mulai berubah menjadi rasa curiga.Wanita itu melangkah masuk tanpa izin, seolah-olah dia sudah terbiasa dengan tempat ini. "Saya hanya ingin bicara. Ada hal yang harus kamu ketahui."Arif merasa perasaan asing mulai merayap ke dalam dirinya. "Siapa
Malam itu, Arif duduk di ruang kerjanya, ditemani oleh lampu meja yang redup dan suara hujan yang mengguyur deras di luar. Dia merasa tenggelam dalam rasa cemas yang tak pernah mereda.Sesuatu yang gelap dan menakutkan terus menggerogoti pikirannya. Hatinya terpecah antara dua dunia yang tak pernah sejalan dunia kekayaan dan kemewahan yang dicapainya melalui pesugihan dan dunia moralitas yang terus berteriak, mengingatkan akan segala yang telah dia korbankan.Setiap kali dia memandang kekayaannya, Arif tidak bisa mengabaikan bayangan gelap yang selalu mengikuti kenyataan bahwa setiap pencapaian itu membawa serta harga yang harus dibayar. Hanya dengan ritual itu, dia bisa terus mempertahankan semua yang dia miliki. Tapi semakin dia terjerat, semakin dalam pula perasaan bersalahnya menggerogoti. Apakah semua ini sepadan?Di tengah perenungannya, pintu ruang kerja diketuk. Arif terkejut. Hanya beberapa orang yang tahu di mana dia berada saat itu. Pintu terbuka perlahan dan di ambang pint
Malam itu sunyi, tetapi di kedalaman rumah Arif Mahoni, keheningan terasa seperti pisau yang memotong jiwa. Lila sudah terlelap, tidak menyadari pergolakan batin suaminya yang semakin berat. Di ruang kerja, Arif duduk diam, menatap setumpuk dokumen yang tidak pernah disentuh. Pikirannya jauh melayang, tersedot ke dalam pusaran rasa bersalah dan ketakutan.Kilatan petir dari luar jendela memperlihatkan sekilas sosok bayangan yang berdiri di sudut ruangan. Arif terlonjak, tetapi saat dia menoleh, tidak ada apa-apa. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Penglihatannya menjadi kabur sejenak, tetapi suara halus seperti bisikan mulai memenuhi ruangan, menyusup ke setiap celah kesadarannya.“Bayarnya tak bisa ditunda…” suara itu samar, tetapi menusuk ke dalam kepala Arif.Arif merasakan dadanya sesak. Ini bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi, tetapi intensitasnya semakin meningkat. Dia menyadari sesuatu yang lain sedang mengintai, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa bersalah.Dal
Hutan Srengege selalu diselimuti kabut tipis yang dingin, seperti selimut abu-abu yang tak pernah terangkat. Kabut itu seolah-olah menjaga rahasia kelam yang tersembunyi di setiap sudutnya.Malam itu, kabut terasa lebih tebal dari biasanya di desa Misahan, menyusup ke pori-pori kulit Arif Mahoni. Bahkan embusan napasnya seperti terperangkap di antara udara lembab yang pekat. Arif menatap rumah tua, tempat di mana ritual pesugihan tahunan akan dilakukan. Rumah itu berdiri di tengah hutan Srengege tepanya di antara Hutan Misahan dan perbatasan akhir desa Misahan, terpisah dari hiruk pikuk kehidupan, seperti menunggu sesuatu yang menyeramkan datang.’Aku kembali lagi kesini, teringat pertama kali aku menuju tempat ini. Entah ke mana Dimas perginya,’ batin Arif menggingat Dimas yang berjuang bersamanya.Di depan rumah, Mbah Mijan sudah berdiri dengan tubuh membungkuk, tangannya menggenggam tongkat kayu hitam yang selalu menemaninya. Sorot matanya tajam, seolah menembus langsung ke dalam
Angin malam menderu lebih kencang, membuat nyala obor di sekitar lingkaran ritual menari liar, seolah tak tahan dengan kekuatan yang sedang bangkit. Di tengah-tengah kabut tebal, Arif Mahoni berlutut di dalam lingkaran darah, keringat dingin membasahi dahinya. Setiap tarikan napasnya terasa berat, seperti menelan kepulan asap pekat.“Fokus, jangan lihat ke belakang!” bentak Mbah Mijan dengan suara serak dan tajam, seperti cambuk yang mendarat di punggung.Arif menggigit bibirnya, menahan dorongan untuk menoleh. Namun, ada sesuatu di balik punggungnya, desiran langkah yang terlalu lembut untuk disebut manusia. Sekilas suara tawa lirih terdengar, menyelinap di antara hembusan angin.“Siapa... siapa itu?” Arif berbisik pelan.Mbah Mijan tidak menjawab. Hanya senyuman tipis menghias wajah tuanya, senyuman yang lebih menakutkan daripada kabut pekat di sekitar mereka.Mendadak, dari sudut mata, Arif menangkap bayangan. Sosok wanita berambut panjang menjuntai berdiri di sudut rumah tua. Mata
Arif Mahoni berjalan pulang di bawah sinar bulan pucat, langkahnya berat seperti menahan beban dunia. Pikiran-pikiran tentang ritual tadi terus berputar di kepalanya.Lingkaran darah, kilatan cahaya ungu, dan suara sosok menyeramkan yang menuntut "yang paling berharga." Batin Arif masih bertanya-tanya. “Apa maksud dari semua itu?”Sesampainya di rumah, kesunyian menyergapnya. Namun, keheningan itu terasa salah terlalu pekat, terlalu mencekam. Arif mengunci pintu dengan cepat, menyalakan lampu di ruang tamu dan duduk di kursi dengan napas memburu. Matanya melirik setiap sudut ruangan, mencari sesuatu yang tak kasat mata, tapi dia tidak tahu apa.“Mas!” Arif terkejut, ternyata Lila muncul dari arah belakang.“Kenapa Lil, ngagetin aja. Kamu kok belum tidur?” tanya Arif selanjutnya.“Iya jat
Malam semakin larut, angin dingin berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan pohon jati tua di belakang rumah Arif. Namun, keheningan yang menyelimuti desa terasa janggal, seperti ada sesuatu yang menunggu di antara bayang-bayang.Arif duduk di ruang tamu, matanya terpaku pada gelas teh yang tak lagi panas di atas meja. Kepalanya berdenyut penuh pikiran tentang bunga kantil, sosok Bintan Mahoni yang aneh, dan ancaman tentang tumbal keluarga. Arif makin merasa terjebak, seperti tikus yang dipancing ke perangkap.Tiba-tiba, dari luar rumah terdengar suara gemerisik. Pelan namun jelas, seperti sesuatu yang berat sedang bergerak di antara dedaunan. Arif berdiri perlahan, tubuhnya menegang. Dia berjalan menuju jendela, mengintip dengan hati-hati.Matanya membelalak saat melihat sosok hitam besar menyerupai kera raksasa berdiri di atas pohon jati. Makhluk itu memiliki mata merah berkilau, menatap langsung ke arah Arif. Nafasnya
Lila menggertakkan giginya, berusaha menahan rasa takut yang semakin menggigit. Ia menggenggam tasbih yang diberikan Ustadz Harman dengan tangan yang gemetar, mulai melantunkan doa dalam hati.Cahaya kecil mulai muncul, membentuk lingkaran pelindung di sekelilingnya, menyinari kegelapan yang mengancam.Bunyu meraung marah, tubuhnya mendekat dengan kecepatan luar biasa."Doa-doamu tidak akan menyelamatkanmu di sini!" teriaknya, mencoba menembus lingkaran cahaya itu.Namun, begitu tubuhnya menyentuh cahaya tersebut, Bunyu terlempar mundur dengan kekuatan yang luar biasa.Lila menatap Bunyu dengan mata yang penuh keberanian. "Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil anakku! Aku akan memutus semua ini sekarang juga!"Ia melangkah maju, menuju gerbang besar yang terletak di hadapannya, yang diyakini sebagai sumber dari semua kegelapan ini.Suara bisikan semakin keras, mencoba menggoyahkan keyakinannya. "Lila... jangan tinggalkan anakmu. Dia akan baik-baik saja jika kau menyerahkan dirimu
Lila duduk bersila di ruangan kecil yang diterangi oleh cahaya remang-remang dari lampu minyak. Suasana dalam ruangan itu terasa sangat mencekam.Dinding kayu yang sudah usang menambah kesan seram, sementara aroma kemenyan yang tercampur dengan wangi kayu gaharu menyelimuti udara. Setiap tarikan napasnya terasa semakin berat.Di depannya, Ustadz Harman tengah membacakan doa dengan suara yang khusyuk, penuh keteguhan dan keyakinan. Lila menatap anaknya, Jatinegara, yang terkulai lemah di pangkuannya.Tubuh anaknya yang kecil tampak sangat rapuh, keringat dingin membasahi wajahnya, dan napasnya terdengar berat seperti terengah-engah."Bu... ada yang ingin mengambilku..." suara Jatinegara terdengar sangat pelan, bibirnya yang pucat bergetar, namun matanya tetap terpejam, seolah terjebak dalam suatu dunia yang jauh dari jangkauan Lila.Lila menggenggam tangan anaknya lebih erat, menc
Lila berdiri terpaku, tubuhnya gemetar di hadapan kekuatan yang tak ia mengerti. Cahaya yang memancar dari Jatinegara semakin terang, membuat wajah anaknya tampak seperti sosok yang bukan lagi seorang bocah kecil. Ada kilatan cahaya perak di matanya yang membuat Lila merasa asing.Bunyu, yang biasanya angkuh dan penuh percaya diri, kini terdiam. Ia melangkah mundur, tubuh besarnya seperti tertekan oleh kehadiran sesuatu yang lebih besar darinya. "Ini... ini tidak mungkin!" gumamnya dengan nada ketakutan. Suaranya tidak lagi mengintimidasi, melainkan penuh rasa gentar.“Jatinegara!” Lila berteriak, mencoba memanggil putranya. Namun suara gemuruh yang terus bergema seakan menelan suaranya. Lingkaran cahaya itu kini mulai meluas, menciptakan medan pelindung di sekitar Jatinegara.Bunyu mulai meronta. “Aku tidak akan menyerah begitu saja!” Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyerang medan pelindung itu. Namun, begitu tangannya menyentuh cahaya tersebut, ia terpental jauh seperti dilemparka
Di dunia gaib, Arif terjatuh ke lutut, kelelahan, tubuhnya gemetar karena roh-roh yang semakin menyeretnya. Bunyu berdiri di hadapannya, menawarkan pilihan yang paling sulit dalam hidup Arif.“Arif Mahoni, dengarkan baik-baik. Jika kau ingin keluargamu selamat, ada satu pilihan yang harus kau ambil. Serahkan Jatinegara sebagai tumbal terakhir dan kami akan membiarkan kalian pergi. Atau, kalian semua akan terjebak di dunia ini selamanya. Tidak ada jalan keluar,” kata Bunyu dengan suara yang keras, penuh ancaman.Arif menggigit bibirnya, hatinya semakin dihantui oleh pilihan yang tak terelakkan. Menyerahkan Jatinegara berarti menghancurkan hatinya sendiri. Tetapi jika ia menolak, seluruh keluarganya Lila dan Jatinegara akan ikut terjebak di dunia gaib ini selamanya.Pandangan Arif beralih ke wajah Bunyu, yang tampak begitu tak berperasaan, seperti tak ada kasih sayang atau kemaafan di dalamnya.“Pilihlah, Arif. Waktu sudah habis,” kata Bunyu dengan senyuman dingin.Di dunia nyata, Lila
Di rumah Mahoni, doa Ustadz Harman mendadak terhenti ketika sebuah getaran kuat mengguncang lantai. Dari tengah ruangan, muncul retakan yang memancarkan cahaya merah menyala. Retakan itu semakin melebar, hingga membentuk sebuah portal yang tampak seperti jurang tak berdasar.“Lila! Jaga Jatinegara!” seru Ustadz Harman.Dari dalam portal itu, muncul sosok Bunyu Mahoni. Wujudnya kini menyerupai bayangan besar dengan mata yang menyala merah. Ia melayang di atas portal, memandang Lila dengan ekspresi dingin.“Cukup sudah, Lila,” suara Bunyu Mahoni menggema. “Berhenti melawan. Serahkan Jatinegara pada kami, dan kutukan ini akan berakhir.”Lila berdiri di depan Jatinegara, mencoba melindunginya meskipun tubuhnya bergetar. “Aku tidak akan menyerah! Kau tidak akan mengambil anakku!”Bunyu Mahoni tersenyum sinis. “Kalau begitu, aku sendiri yang akan mengambilnya.”Di dunia gaib, Arif merasakan kehadiran Bunyu Mahoni yang semakin mendominasi. Ia melihat roh-roh mulai menghilang satu per satu, s
rif berjalan dalam kegelapan yang seakan tiada ujung. Suara-suara bergema di sekelilingnya, memanggil namanya dengan nada penuh dendam. Sesekali, bayangan-bayangan kabur muncul, membentuk sosok yang familiar namun menakutkan.“Tumbal-tumbal yang kau serahkan,” bisik sebuah suara tajam di telinganya. “Kami datang untuk menagih!”Tiba-tiba, di depannya muncul sejumlah roh dengan wujud menyeramkan. Mata mereka menyala merah, tubuh mereka tampak seperti bayangan yang melayang, tetapi wajah mereka masih menunjukkan rasa sakit dan amarah.“Kau ingin membebaskan dirimu? Membebaskan keluargamu? Tidak semudah itu, Arif,” ujar salah satu roh. “Kami ingin keadilan. Jika bukan kau, maka anakmu akan menjadi gantinya.”Arif berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun ia tahu dirinya tidak memiliki kendali penuh di dunia ini. “Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil Jatinegara!” suaranya tegas, tetapi gemetar di bawah tekanan roh-roh tersebut.“Kau berpikir kami peduli pada pengorbananmu? Kau
Arif berjalan dalam kegelapan yang seakan tiada ujung. Suara-suara bergema di sekelilingnya, memanggil namanya dengan nada penuh dendam. Sesekali, bayangan-bayangan kabur muncul, membentuk sosok yang familiar namun menakutkan.“Tumbal-tumbal yang kau serahkan,” bisik sebuah suara tajam di telinganya. “Kami datang untuk menagih!”Tiba-tiba, di depannya muncul sejumlah roh dengan wujud menyeramkan. Mata mereka menyala merah, tubuh mereka tampak seperti bayangan yang melayang, tetapi wajah mereka masih menunjukkan rasa sakit dan amarah.“Kau ingin membebaskan dirimu? Membebaskan keluargamu? Tidak semudah itu, Arif,” ujar salah satu roh. “Kami ingin keadilan. Jika bukan kau, maka anakmu akan menjadi gantinya.”Arif berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun ia tahu dirinya tidak memiliki kendali penuh di dunia ini. “Aku tidak akan membiarkan kalian mengambil Jatinegara!” suaranya tegas, tetapi gemetar di bawah tekanan roh-roh tersebut.“Kau berpikir kami peduli pada pengorbananmu? Ka
Dari balik bayang-bayang, Mbah Mijan melangkah maju, senyum tipis yang menyeramkan terukir di wajahnya.“Lila, waktumu tidak banyak,” katanya dengan suara yang terdengar seperti bisikan bercampur desis ular. “Kau bisa mengakhiri semua ini. Tapi, untuk itu, Jatinegara harus menjadi tumbal terakhir.”Lila menatap Mbah Mijan dengan mata membelalak. “Tidak! Aku tidak akan menyerahkan anakku! Kau gila!” serunya dengan penuh ketegasan, meskipun tubuhnya gemetar ketakutan.Mbah Mijan tertawa kecil, tetapi ada kegelapan di matanya. “Kalau begitu, pilih jalan lain. Tapi ingat, semakin lama kau menunda, kutukan ini akan merenggut nyawa Jatinegara secara perlahan, sampai tidak ada yang tersisa. Apa kau siap melihatnya menderita?”Lila memeluk Jatinegara yang tubuhnya semakin dingin. Pola-pola gaib di kulit anaknya semakin menyala, seakan-akan menjadi tanda bahwa waktunya hampir habis.“Tidak ada cara lain?” Lila bertanya dengan suara bergetar. Air mata mengalir di pipinya, mencerminkan rasa putu
”Mereka sudah sampai,” gumam Lila ketakutan. Sedangkan Mbah Mijan seketika menghilang bersama dengan suara warga yang mendekat.Suara kayu pintu yang didobrak bergema di dalam rumah Mahoni. Warga desa menyerbu masuk dengan amarah yang meluap, membawa obor, golok, dan kayu yang mereka ayunkan ke segala arah. Suasana berubah menjadi kekacauan dalam hitungan detik. Perabotan di ruang tamu hancur berantakan, dan simbol-simbol ritual yang ada di rumah itu menjadi sasaran pertama.“Ini bukti! Mereka melakukan pesugihan!” teriak salah satu warga sambil menunjuk lingkaran ritual di tengah ruangan.“Akhiri keluarga ini! Mereka telah menghancurkan hidup kita!” seru yang lain, membakar amarah massa lebih jauh.Lila berdiri mematung, memeluk Jatinegara yang kini menangis ketakutan di pelukannya. Mbah Mijan entah bagaimana menghilang di tengah kekacauan itu, meninggalkan Lila dan Jatinegara menghadapi amukan massa seorang diri.“Dengarkan aku!” Lila berteriak, mencoba menjangkau akal sehat warga. “