Beranda / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 40. Kunjungan Malam yang Tak Diundang

Share

40. Kunjungan Malam yang Tak Diundang

Penulis: Ndraa Archer
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-30 13:29:13

Malam itu terasa lebih mencekam daripada biasanya. Angin berhembus dengan suara yang lebih tajam, seperti membawa pesan yang tersembunyi di antara desahnya. Arif terjaga, tubuhnya basah oleh keringat dingin meskipun udara malam begitu sejuk.

Arif tak bisa tidur, pikiran dan perasaan cemas menyelimuti setiap inci tubuhnya. Semuanya tampak lebih nyata sekarang, kekuatan yang tak bisa dijelaskan, bisikan yang semakin dekat, dan perasaan seperti ada sesuatu yang mengawasi setiap gerakannya.

Lila tidur dengan damai di sampingnya, tak menyadari apa yang terjadi di dalam hati suaminya. Arif tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Sejak pertemuannya dengan Iva, dunia seakan terbalik. Dia merasa terperangkap dalam pusaran yang semakin dalam, dan tak ada jalan keluar yang jelas.

Tiba-tiba, ketukan yang begitu keras mengguncang pintu rumah. Arif terlonjak, jantungnya berdetak lebih cepat. Dia ingin mengabaikannya, namun suara ketukan itu tidak berhenti. Dengan tubuh yang masih gemetar, Arif ba
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Pesugihan Kandang Bubrah    41. Pertemuan dengan Orang-Orang yang Terperangkap

    Malam itu terasa seperti sebuah ketegangan yang menunggu untuk meledak. Setelah pertemuannya dengan Mbah Mijan, Arif merasa dirinya semakin terperangkap dalam kesepakatan gelap yang tidak dapat dipahami sepenuhnya.Rasa cemasnya tumbuh menjadi sesuatu yang lebih gelap seperti bayang-bayang yang terus mengikutinya tanpa bisa dilihat, namun selalu ada.Di sebuah rumah tua di pinggir desa, Arif duduk di ruang tamu yang gelap, bersama beberapa orang yang sebelumnya tidak pernah dia kenal. Mereka adalah keluarga dan kerabat yang, seperti dirinya, terjebak dalam jaring pesugihan yang jahat.Setiap wajah di sekitar meja itu tampak lelah, dipenuhi keputusasaan yang sama seperti mereka telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga namun tak tahu bagaimana cara mendapatkannya kembali.“Arif, ini adalah pertama kalinya kita berkumpul untuk berbicara tentang jalan yang telah kita pilih,” kata seorang pria paruh baya, dengan suara serak dan mata yang tampak kosong. Pria ini, yang dikenalkan sebaga

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Pesugihan Kandang Bubrah   42. Pertemuan dengan Orang-Orang yang Terperangkap

    Malam itu, Arif duduk sendiri di ruang kerjanya, ditemani hanya oleh kilatan petir yang mengiringi hujan deras di luar. Lila sudah tertidur di kamar dan Arif merasa tak bisa lepas dari pikiran yang terus menggerogoti. Semua yang telah terjadi keputusan-keputusan yang telah dia buat seakan membawanya lebih dekat ke jurang yang tidak bisa ia hindari.Tiba-tiba, pintu ruang kerja diketuk dengan suara lembut, namun tajam, seperti ada yang menunggu di luar. Arif terlonjak dan bergegas membuka pintu. Di ambang pintu berdiri seorang wanita muda dengan ekspresi yang tidak bisa dia baca. Wajahnya pucat, dan mata hitamnya terlihat seperti menyimpan banyak rahasia."Arif Mahoni?" Suaranya bergetar, namun penuh tekad."Ya?" jawab Arif, kebingungannya mulai berubah menjadi rasa curiga.Wanita itu melangkah masuk tanpa izin, seolah-olah dia sudah terbiasa dengan tempat ini. "Saya hanya ingin bicara. Ada hal yang harus kamu ketahui."Arif merasa perasaan asing mulai merayap ke dalam dirinya. "Siapa

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Pesugihan Kandang Bubrah   43. Pengorbanan Tanpa Jalan Keluar

    Malam itu, Arif duduk di ruang kerjanya, ditemani oleh lampu meja yang redup dan suara hujan yang mengguyur deras di luar. Dia merasa tenggelam dalam rasa cemas yang tak pernah mereda.Sesuatu yang gelap dan menakutkan terus menggerogoti pikirannya. Hatinya terpecah antara dua dunia yang tak pernah sejalan dunia kekayaan dan kemewahan yang dicapainya melalui pesugihan dan dunia moralitas yang terus berteriak, mengingatkan akan segala yang telah dia korbankan.Setiap kali dia memandang kekayaannya, Arif tidak bisa mengabaikan bayangan gelap yang selalu mengikuti kenyataan bahwa setiap pencapaian itu membawa serta harga yang harus dibayar. Hanya dengan ritual itu, dia bisa terus mempertahankan semua yang dia miliki. Tapi semakin dia terjerat, semakin dalam pula perasaan bersalahnya menggerogoti. Apakah semua ini sepadan?Di tengah perenungannya, pintu ruang kerja diketuk. Arif terkejut. Hanya beberapa orang yang tahu di mana dia berada saat itu. Pintu terbuka perlahan dan di ambang pint

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Pesugihan Kandang Bubrah   44. Jejak Bayangan dan Jerat Tak Terlihat

    Malam itu sunyi, tetapi di kedalaman rumah Arif Mahoni, keheningan terasa seperti pisau yang memotong jiwa. Lila sudah terlelap, tidak menyadari pergolakan batin suaminya yang semakin berat. Di ruang kerja, Arif duduk diam, menatap setumpuk dokumen yang tidak pernah disentuh. Pikirannya jauh melayang, tersedot ke dalam pusaran rasa bersalah dan ketakutan.Kilatan petir dari luar jendela memperlihatkan sekilas sosok bayangan yang berdiri di sudut ruangan. Arif terlonjak, tetapi saat dia menoleh, tidak ada apa-apa. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Penglihatannya menjadi kabur sejenak, tetapi suara halus seperti bisikan mulai memenuhi ruangan, menyusup ke setiap celah kesadarannya.“Bayarnya tak bisa ditunda…” suara itu samar, tetapi menusuk ke dalam kepala Arif.Arif merasakan dadanya sesak. Ini bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi, tetapi intensitasnya semakin meningkat. Dia menyadari sesuatu yang lain sedang mengintai, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa bersalah.Dal

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Pesugihan Kandang Bubrah   45. Kabut di Hutan Srengege

    Hutan Srengege selalu diselimuti kabut tipis yang dingin, seperti selimut abu-abu yang tak pernah terangkat. Kabut itu seolah-olah menjaga rahasia kelam yang tersembunyi di setiap sudutnya.Malam itu, kabut terasa lebih tebal dari biasanya di desa Misahan, menyusup ke pori-pori kulit Arif Mahoni. Bahkan embusan napasnya seperti terperangkap di antara udara lembab yang pekat. Arif menatap rumah tua, tempat di mana ritual pesugihan tahunan akan dilakukan. Rumah itu berdiri di tengah hutan Srengege tepanya di antara Hutan Misahan dan perbatasan akhir desa Misahan, terpisah dari hiruk pikuk kehidupan, seperti menunggu sesuatu yang menyeramkan datang.’Aku kembali lagi kesini, teringat pertama kali aku menuju tempat ini. Entah ke mana Dimas perginya,’ batin Arif menggingat Dimas yang berjuang bersamanya.Di depan rumah, Mbah Mijan sudah berdiri dengan tubuh membungkuk, tangannya menggenggam tongkat kayu hitam yang selalu menemaninya. Sorot matanya tajam, seolah menembus langsung ke dalam

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Pesugihan Kandang Bubrah   46. Bayangan di Tengah Kabut  

    Angin malam menderu lebih kencang, membuat nyala obor di sekitar lingkaran ritual menari liar, seolah tak tahan dengan kekuatan yang sedang bangkit. Di tengah-tengah kabut tebal, Arif Mahoni berlutut di dalam lingkaran darah, keringat dingin membasahi dahinya. Setiap tarikan napasnya terasa berat, seperti menelan kepulan asap pekat.“Fokus, jangan lihat ke belakang!” bentak Mbah Mijan dengan suara serak dan tajam, seperti cambuk yang mendarat di punggung.Arif menggigit bibirnya, menahan dorongan untuk menoleh. Namun, ada sesuatu di balik punggungnya, desiran langkah yang terlalu lembut untuk disebut manusia. Sekilas suara tawa lirih terdengar, menyelinap di antara hembusan angin.“Siapa... siapa itu?” Arif berbisik pelan.Mbah Mijan tidak menjawab. Hanya senyuman tipis menghias wajah tuanya, senyuman yang lebih menakutkan daripada kabut pekat di sekitar mereka.Mendadak, dari sudut mata, Arif menangkap bayangan. Sosok wanita berambut panjang menjuntai berdiri di sudut rumah tua. Mata

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Pesugihan Kandang Bubrah   47. Perjanjian di Ambang Mimpi

    Arif Mahoni berjalan pulang di bawah sinar bulan pucat, langkahnya berat seperti menahan beban dunia. Pikiran-pikiran tentang ritual tadi terus berputar di kepalanya.Lingkaran darah, kilatan cahaya ungu, dan suara sosok menyeramkan yang menuntut "yang paling berharga." Batin Arif masih bertanya-tanya. “Apa maksud dari semua itu?”Sesampainya di rumah, kesunyian menyergapnya. Namun, keheningan itu terasa salah terlalu pekat, terlalu mencekam. Arif mengunci pintu dengan cepat, menyalakan lampu di ruang tamu dan duduk di kursi dengan napas memburu. Matanya melirik setiap sudut ruangan, mencari sesuatu yang tak kasat mata, tapi dia tidak tahu apa.“Mas!” Arif terkejut, ternyata Lila muncul dari arah belakang.“Kenapa Lil, ngagetin aja. Kamu kok belum tidur?” tanya Arif selanjutnya.“Iya jat

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Pesugihan Kandang Bubrah   48. Bayangan dari Pohon Jati

    Malam semakin larut, angin dingin berhembus kencang, menggoyangkan dedaunan pohon jati tua di belakang rumah Arif. Namun, keheningan yang menyelimuti desa terasa janggal, seperti ada sesuatu yang menunggu di antara bayang-bayang.Arif duduk di ruang tamu, matanya terpaku pada gelas teh yang tak lagi panas di atas meja. Kepalanya berdenyut penuh pikiran tentang bunga kantil, sosok Bintan Mahoni yang aneh, dan ancaman tentang tumbal keluarga. Arif makin merasa terjebak, seperti tikus yang dipancing ke perangkap.Tiba-tiba, dari luar rumah terdengar suara gemerisik. Pelan namun jelas, seperti sesuatu yang berat sedang bergerak di antara dedaunan. Arif berdiri perlahan, tubuhnya menegang. Dia berjalan menuju jendela, mengintip dengan hati-hati.Matanya membelalak saat melihat sosok hitam besar menyerupai kera raksasa berdiri di atas pohon jati. Makhluk itu memiliki mata merah berkilau, menatap langsung ke arah Arif. Nafasnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02

Bab terbaru

  • Pesugihan Kandang Bubrah   79. Pisau yang Sama

    Setiap kali Arif mencoba untuk tidur, bayangan makhluk-makhluk menyeramkan itu kembali muncul, menghantui pikirannya. Wajah-wajah mengerikan, suara bisikan yang penuh ancaman dan teriakan-teriakan yang seolah berasal dari kedalaman kegelapan.Saat membuka mata, Arif mendapati dirinya masih berada di kamar yang sama, dalam keheningan yang terlalu sunyi. Namun, ketenangan itu tak bisa mengusir kegelisahan yang menyelimutinya. ’Mimpi itu terlalu nyata....’ pikirnya, tubuhnya terbaring kaku, tak mampu bergerak.Pagi tiba dengan lambat dan ketika matahari mulai menyinari rumah, Arif merasa sedikit lebih baik. Udara pagi terasa segar, meski perasaan aneh masih menyelimuti dirinya."Mungkin udara segar bisa mengusir rasa takut ini," gumamnya, berusaha meyakinkan diri.Arif keluar dari rumah dan berjalan menuju kebun kecil di belakang, berusaha untuk melupakan mimpi yang terus menghantuinya.

  • Pesugihan Kandang Bubrah   78. Semua Hanya Mimpi?

    Arif terbangun dengan terkejut, matanya terbuka lebar dan napasnya memburu, cepat dan berat. Tubuhnya basah oleh keringat dingin, seolah-olah baru saja terperangkap dalam mimpi buruk yang begitu nyata. Dia mengerjap, mencoba menenangkan diri, namun rasa panik itu tak kunjung hilang.Dengan gemetar, Arif menatap sekeliling, berusaha mengumpulkan dirinya. Kamar tidurnya yang sederhana, dengan dinding putih dan jendela yang masih tertutup rapat, kini terasa asing dan sunyi. Hanya ada suara ayam berkokok dari luar, samar-samar menandakan bahwa pagi telah tiba. Sebuah lampu kecil di sudut kamar memancarkan cahaya redup, menambah kesan tenang yang kontras dengan ketegangan dalam dirinya.“Lila?” Suara Arif keluar serak, seperti baru saja berteriak dalam mimpi yang tak bisa dia ingat dengan jelas. Arif berbalik ke samping, berharap menemukan kenyamanan dalam keberadaan istrinya.Matanya tertuju pada Lila yang masih

  • Pesugihan Kandang Bubrah   77. Pertempuran Terakhir

    Lantai ruangan berguncang hebat, memancarkan getaran yang terasa hingga ke tulang Arif. Sosok raksasa yang bangkit dari bawah altar kini berdiri tegak, tubuhnya menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit. Kegelapan memancar dari tubuhnya seperti asap pekat, menyelimuti ruangan dalam aura kematian. Mata merah menyala sosok itu menatap Arif dengan tajam, penuh amarah.“Kau berpikir bisa menghancurkanku, manusia lemah?” Suara sosok itu bergema, dalam dan mengancam. “Aku adalah inti dari segala yang kau cari. Aku adalah kutukan yang kau ciptakan sendiri!”Arif berdiri dengan napas terengah-engah, lututnya bergetar tetapi ia menolak untuk menyerah. Pisau di tangannya bersinar terang, cahayanya mencoba melawan kegelapan yang mendominasi ruangan. Arif melirik Lila dan Jatinegara yang tergeletak di lantai, napas“Aku tidak takut padamu,” kata Arif, meskipun hatinya penuh keraguan. “

  • Pesugihan Kandang Bubrah   76. Perang Melawan Kegelapan

    Arif berdiri dengan tubuh penuh luka, napasnya berat, tetapi matanya memancarkan keberanian yang tidak goyah. Makhluk-makhluk bayangan terus menyerangnya, datang dari segala arah seperti gelombang tanpa akhir.Pisau di tangannya bersinar biru terang, membelah setiap bayangan yang mendekat. Namun, jumlah mereka terlalu banyak. Untuk setiap satu makhluk yang dihancurkan, dua lagi muncul dari kegelapan.Di tengah ruangan, sosok tinggi yang diselimuti kain hitam tetap diam, mengamati dari balik bayangan. Suara dinginnya kembali terdengar, menusuk hati Arif.“Kau melawan untuk apa, Arif? Kau pikir kau bisa menyelamatkan mereka?” Suara itu terdengar seperti ejekan yang bercampur dengan keangkuhan.Arif mengayunkan pisaunya, menebas bayangan lain yang mencoba menerjangnya. Jeritan melengking terdengar ketika makhluk itu menghilang menjadi asap hitam. Arif melirik ke arah Lila dan Jatinegara yang

  • Pesugihan Kandang Bubrah   75. Api Ujian Terakhir  

    Langkah Arif terasa berat ketika dia melintasi lorong panjang yang dipenuhi nyala api biru. Angin dingin yang berhembus dari ujung lorong membawa aroma aneh, seperti campuran dupa dan daging terbakar. Bisikan-bisikan yang tidak jelas terus terdengar, menyusup ke dalam pikirannya, membuat jantungnya berdetak semakin kencang.“Fokus, Arif.” Suara dari pisau itu berbisik di pikirannya. “Jangan biarkan suara-suara itu menguasaimu.”Arif menggenggam pisau itu lebih erat. Cahaya biru dari bilahnya terasa menenangkan di tengah suasana mencekam. Arif menatap lurus ke depan, mencoba mengabaikan bayangan-bayangan yang bergerak di sudut-sudut penglihatannya.Di ujung lorong, sebuah gerbang besar terlihat berdiri kokoh. Gerbang itu terbuat dari logam hitam yang penuh ukiran simbol-simbol aneh. Nyala api biru tampak berkumpul di sekitar gerbang, menciptakan aura mengintimidasi. Arif tahu bahwa ini adalah tempat ujian terakhirnya.

  • Pesugihan Kandang Bubrah    74. Keputusan yang Menentukan  

    Arif berdiri membeku di tengah ruangan gelap itu, pandangannya terpaku pada bayangan dirinya yang terperangkap di dalam lingkaran merah bercahaya. Bayangan itu terus menatapnya dengan senyuman dingin, membuat setiap inci tubuh Arif bergetar. Suara napasnya terdengar berat, seperti menggema di seluruh ruangan.“Aku adalah kau, Arif,” ulang bayangan itu, suaranya dingin dan tanpa emosi. “Aku adalah bagian dari dirimu yang kau coba lupakan. Semua pilihan buruk, semua penyesalan, semua rasa bersalah.”Arif mengangkat pisaunya perlahan, cahayanya kembali menyala meskipun redup. “Kenapa aku harus memilih? Kenapa aku tidak bisa menghancurkanmu saja dan menyelesaikan semuanya?” tanyanya, suaranya penuh dengan keputusasaan.Bayangan itu tertawa kecil. “Menghancurkanku berarti menghancurkan dirimu sendiri. Kau tidak akan bisa melanjutkan perjalananmu tanpa aku. Tapi jika kau menerimaku, aku akan terus menjadi beban di punggungmu. Apakah kau siap untuk itu?”Arif memejamkan matanya, mencoba meng

  • Pesugihan Kandang Bubrah   73. Bayang-Bayang yang Mengepung

    Pertarungan di lorong sempit itu berlangsung sengit. Arif terus mengayunkan pisaunya ke arah sosok tinggi tanpa mata itu, tetapi setiap serangan tampak sia-sia. Sosok tersebut bergerak dengan kecepatan luar biasa, seolah-olah dia bukan makhluk dari dunia nyata.“Arif, fokus pada energinya!” Suara dari pisau di tangan Arif bergema dalam pikirannya.“Apa maksudmu?!” Arif berteriak, sambil mundur untuk menghindari cakar tajam sosok itu yang hampir menyayat dadanya.“Dia adalah bayangan yang kau ciptakan. Temukan kelemahannya di dalam dirimu sendiri!”Kata-kata itu membingungkan Arif, tetapi dia tidak punya waktu untuk merenung. Sosok tanpa mata itu menyerangnya lagi, kali ini dengan kecepatan yang lebih mematikan. Cakar-cakarnya menancap ke dinding lorong, meninggalkan bekas luka yang dalam.Arif mengatur napas, berusaha mengingat apa yang telah d

  • Pesugihan Kandang Bubrah   72. Jejak Berdarah

    Pintu kecil bercahaya yang terlihat di kejauhan kini semakin dekat. Langkah Arif yang berat membuat setiap detiknya terasa abadi. Pintu itu tampak berbeda dari pintu-pintu sebelumnya dihiasi ukiran menyeramkan berbentuk wajah manusia yang terdistorsi, dengan mata yang seolah mengikuti setiap gerakan Arif.Ketika dia akhirnya tiba di depan pintu, udara di sekitarnya terasa semakin dingin, menusuk hingga ke tulang. Tangannya yang gemetar meraih gagang pintu, tetapi sebelum ia sempat mendorongnya, suara gemuruh terdengar dari belakang.Arif menoleh dan melihat lantai di ruangan itu mulai retak, memunculkan celah-celah yang menganga seperti mulut yang lapar. Dari dalam celah itu, cairan merah kental mengalir, mengisi ruangan dengan aroma anyir darah.“Cepat, Arif! Buka pintunya!” Suara pisau itu menggema di pikirannya.Tanpa berpikir panjang, Arif mendorong pintu itu dengan seluruh tena

  • Pesugihan Kandang Bubrah   71. Pisau dan Bayangan

    Arif melesat maju, pisaunya terangkat tinggi. Tubuhnya gemetar, tetapi bukan karena ketakutan. Adrenalin menguasai dirinya, membakar setiap keraguan yang sebelumnya melumpuhkan. Makhluk besar itu hanya berdiri diam, menunggu dengan senyum licik yang memamerkan deretan gigi tajamnya.Ketika pisau Arif hampir mengenai dada makhluk itu, sosok bayangan besar tersebut menggerakkan tangannya dengan kecepatan yang tidak mungkin. Cakar hitamnya menyapu udara, menghantam Arif hingga tubuhnya terpental beberapa meter ke belakang. Arif jatuh terguling, punggungnya menghantam lantai dengan keras.“Kau terlalu lambat,” ejek makhluk itu, matanya bersinar lebih terang. “Apakah ini yang kau sebut keberanian?”Arif meringis kesakitan, tetapi dia tidak menyerah. Arif menggenggam pisaunya lebih erat, lalu bangkit meskipun tubuhnya bergetar. “Aku tidak akan kalah darimu,” katanya, suaranya serak namun pen

DMCA.com Protection Status