Atas permintaan seseorang yang berjanji melunasi utang puluhan miliarnya, Naira alias 'Cleopatra' pun setuju untuk pura-pura tidur bersama seorang pria tampan yang ternyata adalah Kendrick Wilson, CEO sebuah perusahaan batu bara! Namun siapa sangka, kekacauan luar biasa timbul setelahnya. Naira bahkan harus menerima kontrak pernikahan dari Kendrick yang telah disalahpahami keluarganya. Lantas, bagaimana nasib Naira? Belum lagi, seorang wanita dari masa lalu Kendrick kembali.....
View MoreDi bawah pengaruh gairah yang membara, Ken membimbing Naira menuju sofa, merebahkannya perlahan seiring dengan gejolak hasrat yang membuncah dalam dirinya. Jas terlepas dan dasi terulur tak teratur hingga jatuh ke lantai. Dengan lembut, ia mengangkat tangan Naira, menggenggamnya erat sembari Mengeksplorasi setiap sudut mulut bersama decapan basah memecah keheningan. Sentuhan kasih yang berani mulai menyusuri lekuk tubuh Naira di balik pakaiannya. Namun, sebelum sentuhan itu mencapai area yang lebih intim, tangan Naira dengan lembut menahan gerakannya, membuat tatapan penuh tanya Ken tertuju padanya dalam diam. Naira menggeleng perlahan, lalu bangkit, melepaskan diri dari rengkuhan Ken yang hangat. Ken ikut bangkit, terduduk mendongak ke arah Naira yang berdiri. "Nai," lirih Ken, seolah mempertanyakan sikap Naira yang tiba-tiba menghentikannya. Suasana ruangan yang sebelumnya cukup memanas, sejenak terasa hambar begitu melihat Naira buru-buru merapikan pakaiannya yang sedikit terangka
"Hai, karyawan baru?! Kau telat sepuluh menit dari yang saya minta!" "Apa?!" tanya Naira tak mengerti, saat melangkah masuk begitu pintu baru saja di buka. Ken sedang menatapnya dari arah meja kerjanya dengan ekspresi dingin dan senyum menyeringai. Tubuhnya membelokkan kursi ke kanan dan ke kiri dengan pena yang dimainkan di tangan kanannya. "Bu Dominique, tak memberitahuku!" sanggah Naira cepat. "Mungkin dia sengaja, agar kau dihukum olehku?!" balas Ken dengan senyum seringainya Dahi Naira mengernyit, dengan ekspresi masamnya. "Berarti itu bukan salah saya, tuan," gerutu Naira dengan nada sedikit meninggi. "Lagipula, kenapa juga saya harus menghadapmu terus?! Apa kau tak memiliki pekerjaan?" lanjutnya, memalingkan wajah sambil melipat kedua tangannya di dada. Sontak tubuh Ken bangkit dari kursinya, menghampiri Naira dengan senyum seringainya. Ia mengamati lekat wajah Naira dengan polesan bedak tipis berpadu warna merah
Udara tenang dan dingin khas di pagi hari, perlahan menghangat seiring dengan meningkatnya aktivitas di kantor. Beberapa orang sibuk lalu lalang membawa berkas dan melaporkannya pada atasan. Naira, yang tengah fokus mengetik dokumen di komputernya, matanya hanya sesekali menoleh ke arah gelas kopi americano di sampingnya sambil meneguknya. Jeff, juga sibuk mendesain poster dan brosur iklan pameran terbuka yang tak lama lagi akan di gelar. Sementara di ujung meja yang terpisahkan kaca transparan, Dominique, ketua tim acara tersebut cukup serius mengecek berkas-berkas yang dilaporkan stafnya dan beberapa rekanan tim dari marketing dan keuangan. Di sela kesibukannya, tiba-tiba telepon berdering mengejutkannya. Ia pun mengangkatnya sambil mengelus dadanya yang sedikit terlonjak. Tanpa sempat menyapa si penelepon, sebuah perintah dan peringatan terdengar membuat matanya membesar dan suaranya seakan tercekat. Ia meletakkan gagang telepon dengan sedikit mencengkramnya dan membantingnya sedik
Mentari mulai merayap turun, semburat merah dan jingga berpadu dalam garis cakrawala yang membentang. Naira, Irene yang baru saja selesai berbelanja keperluan William, segera merebahkan diri di sofa apartemen yang terasa segar setelah mereka bersihkan sebelumnya. "Aahh ...akhirnya, Nai ...kita bisa juga sampai ke tahap ini," ucap Irene menghela napas lega, dengan mata berbinar menatap ke atas langit apartemen. "Setelah empat tahun menemani papamu menjalani perawatan mental, dan kau yang akhirnya bisa melunasi utang pada bos Sam meski harus melalui pernikahan kontrak. Rasanya ... aku yang menemanimu selama perjalanan hidupmu ini, aku sudah bukan lagi disebut sahabat sejatimu, hehe" lanjutnya terkekeh menolehkan kepalanya pada Naira yang juga menatap langit apartemen. Ia menunggu respon Naira yang hanya mengulas senyum tipisnya. "Harusnya aku menyebutmu apa, Ren?" tanya Naira, akhirnya menanggapinya. "Mungkin ...kau bisa menyebutku ...mala
"Ren, bagaimana kata dokter?" tanya Naira duduk di samping Irene, setibanya di panti rehabilitasi mental. Irene menoleh ke samping, menyodorkan selembar kertas pemberitahuan dari Dokter yang menyatakan William bisa pulang ke rumah dengan syarat rutin minum obat setiap hari dan terapi beberapa kali dalam satu tahun. “Setelah papamu pulang, bagaimana dengan tempat tinggalmu yang terpisah?” tanya Irene ingin tahu rencana Naira. “Beliau pasti mencurigaimu, apalagi tiga minggu yang lalu, Ken datang ke tempat ini,” lanjutnya sambil menatap beberapa dokter dan perawat berlalu lalang sibuk membawa alat-alat medis. Naira menghela napas dalam. “Aku sudah janji waktu itu akan memberitahu siapa Ken,” ucapnya dengan suara yang terdengar lesu. Matanya memandang ke bawah dengan tatapan kosong. “Tapi, aku tidak akan menceritakan yang sebenarnya, kalau aku menikah kontrak, Ren.” Matanya melirik Irene yang serius mendengarkannya. “Apakah caraku salah, Ren? Bolehkan, aku berbohong pada papaku kali in
Ken mengerjap, membuka mata setelah tidur nyenyak akibat begadang semalam. Ia mendapati Naira sudah tidak ada di sampingnya. Refleks, ia meraih ponsel di nakas, membuka kunci, dan terkejut melihat pukul 12 siang. Beberapa pesan Naira dari satu jam sebelumnya menarik dirinya untuk membukanya. Begitu terbaca, ia terbelalak. Pesan berisi permintaan bantuan dirinya untuk menggagalkan periksa kandungan di sebuah klinik sahabat mamanya, membuatnya bangkit berdiri dan bergegas ke kamar mandi membersihkan dirinya secepat kilat. Tanpa sempat menyisir, langkahnya lebar keluar kamar dengan wajah tegang dan panik. Wilson, yang sedang membaca koran di teras, hanya bisa melihat mobil Ken melesat pergi tanpa sempat menanyakan tujuannya atau pakaiannya, bahkan mengabaikan panggilannya. Wilson yang penasaran, segera menanyai pada Cath yang sedang bermain ponsel di ruang tamu. "Cath, kau tahu kakakmu pergi kemana?" Cath menoleh sedikit malas, meletakkan ponselnya dan menggeleng
Tanpa berlama-lama, Roselina mengarahkan Naira untuk ikut dengannya ke sebuah kamar terpisah yang tertutup tirai motif kotak berwarna biru muda. Menyisakan Jasmine yang terduduk menunggu di ruang konsultasi, di temani asisten Roselina duduk di meja kerja yang berbeda. Di dalam kamar, terdapat ranjang pasien, dan meja untuk menyimpan alat-alat medis seperti stetoskop, tensimeter, dan larutan antiseptik. Bau aroma ruangan khas antiseptik dan disinfektan samar tercium dari balik tirai ranjang pasien. Naira yang sudah tidak tahan ingin bicara empat mata dengan Roselina, segera menarik tangannya, memberi kode telunjuk di bibirnya, agar ia mau bekerjasama. Ia buru-buru mengetikkan sesuatu di catatan ponselnya, dan menunjukkan pada Roselina, menjelaskan bagaimana situasi yang sebenarnya. Naira khawatir sekali, jika obrolan suara akan terdengar Jasmine yang terus mengawasinya. Roselina, yang membacanya hanya membulatkan matanya dengan mulut terbuka. Dengan suara yang tak terdengar, Roselina
Siang itu, di sebuah klinik yang terkenal di kota itu, Naira dan Jasmine sedang menunggu antrean pemeriksaan kandungan. Dalam deretan kursi panjang ruang tunggu, Jasmine, dengan senyumnya yang memiliki makna terselubung, melirik Naira beberapa kali yang membuat napas Naira semakin tersengal, rona wajahnya semakin memucat, dengan pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Naira sudah tidak memiliki waktu untuk mengulurnya lagi. Ia sudah pasrah dengan apa yang terjadi, pada akhirnya kebohongan tetaplah kebohongan. Dan waktulah yang mengungkapnya. Jika pun hari ini, mamanya menuntutnya atas penipuan, ini mungkin akan menambah daftar deretan kertas hitam yang akan di tujukan padanya di pengadilan nanti. Apalagi, ucapan Ken semalam terngiang kembali, ia sudah tak mampu menggambarkannya. Semua terlihat gelap. Selama menunggu giliran sesuai nomor antrian, Naira mencoba mengirimi beberapa pesan pada Ken dan Irene, tentang bagaimana nasibnya di tempat itu. Namun, keduanya sulit sekali dihubungi. E
Saat Ken tiba di balkon, serpihan pot pecah berserakan di sana. Matanya bergerak kesana kemari menyelidik tiap sudut ruangan sekitar tempat itu. Ia berharap, sedikit saja menemukan benda lain yang bisa jadi bukti siapa seseorang di atas tadi. Kakinya mulai melangkah lebar, berbalik cepat dan mulai mendekati kamarnya, membuka pelan knop pintu, lalu ia masuk dengan langkah hati-hati, mendekati siluet tubuh di balik selimut. Setelah menyingkapnya perlahan, Ken menghela napas lega. Naira tertidur lelap, bahkan belum sempat mengganti pakaiannya, dan sepatunya masih terpasang. Ken berusaha tidak terlalu.memikirkannya, mengingat terakhir kali ia ingat, Naira memang sedikit mabuk. Tanpa menunda, ia kembali keluar, mencari jejak sosok tadi sebelum terlalu jauh. Namun, usahanya sia-sia. Malam itu, ia benar-benar kehilangan jejaknya setelah memerikda seluruh sudut rumah. "Aku tak menemukan siapapun dilingkungan rumah ini, Pap," lapor Ken saat menghadap papanya. "Baiklah, Ken. Biarkan saja. N
Cekrek! Cekrek! Cekrek! Tangkapan kamera beberapa kali memotret seorang pria muda bertubuh tegap. Pria itu memperlihatkan dada bidangnya. Seorang gadis pura-pura tertidur sambil memegang ponsel. Ia bersandar mesra di bahu pria yang tertidur pulas. Di ranjang itu, bau minuman beralkohol sangat menyengat. Gadis bernama Naira, alias 'Cleopatra', ini mencoba melakukan hal gila. Ia melepas pakaian luarnya dan kemeja pria itu. Pelan-pelan, ia kendurkan sabuk celananya, berusaha menciptakan adegan intim yang tampak alami. Hal itu ia lakukan karena sesuatu yang mendesaknya, membuatnya nekat masuk ke kamar hotel milik pria asing tersebut. "Semoga Anda tidak marah, tuan," bisik Naira lembut, sambil tersenyum cekikikan. Ia mengambil dompet pria itu dari balik celananya, dan mengambil kartu identitasnya. "Kendrick Wilson, umur tiga puluh tahun. Hm, CEO PT Golden Energy." Naira mengeja kartu nama di tangannya. "Wow, rupanya benar kata Antony, pria asing ini bukan sembarang orang. Aku beru...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments