Satu tamparan keras di pipi kanan Ken sedikit mengalirkan sensasi panas yang menjalar ke ruang dadanya. Ken ikut bangkit dan tangannya mulai memegang kedua tangan Naira dengan tatapan tajamnya.
"Jangan sok suci nona! Saya tahu siapa Anda sebenarnya!" ucap Ken menghentikan tubuh Naira yang hendak melangkah keluar. "Anda pikir, ketika sudah berhubungan dengan saya, hidup Anda akan lebih mudah? Saya bahkan tahu tempatmu bekerja, nomor apartemenmu, dan juga akun sosial mediamu." Tegas Ken membuat Naira semakin terpaku. "Tolong lepaskan!!! Saya hanya minta Anda membayar apa yang telah Anda lakukan malam itu!" teriak Naira berusaha ingin kabur. Namun ingatannya terus mengawang ke arah uang yang harus ia dapatkan. Karena waktunya semakin sempit mengingat bos Sam sudah beberapa kali menghubungi untuk memperingatinya. Suasana ruang tamu semakin memanas tatkala mereka beradu mulut dan mata. Naira yang mencoba melepaskan genggaman Ken tak mampu ia tepis karena kekuatan pria di depannya lebih unggul. Ken yang merasa Naira mulai melakukan perlawanan, dengan cepat ia mengangkat tubuh Naira dan membopongnya dengan paksa ke arah kamar utamanya. Ia menghempaskannya ke ranjang dan mencoba menindih Naira yang terus melawan. Kedua tangan Naira diangkatnya ke atas dan ditahan satu tangannya. Naira menyadari perlakuan kasar Ken yang tiba-tiba. Ia hanya berharap ada yang menolongnya. Ken tertawa kecil melihat Naira yang panik. Gadis licik di hadapannya ternyata menampilkan kepribadian yang berbeda, tidak seperti caranya menggoda saat itu. "Tolong lepaskan saya tuan, saya hanya butuh kompensasi atas kejadian malam itu," lirih Naira memohon. " Salah kau sudah mau bermain-main dengan saya, nona! Maka menyerahlah, untuk malam ini kita bisa saling menikmatinya. Hahaha ..." ucap Ken tertawa terbahak-bahak. Ia menyadari ucapannya hanya untuk menguji gadis di hadapannya ini sehebat apa menjadi gadis licik dan nakal. Bukankah setiap wanita yang mendekatinya menginginkan untuk tidur dengannya? Jadi ia berpikir Naira tak seharusnya menolak. "KENDRICK WILSON?! APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN?!" teriak suara perempuan paruh baya saat membuka pintu kamar Ken. Posisi Ken yang sedang menindih Naira terperanjat dan menoleh ke arah suara di belakangnya. Ken yang tersadar suara mamanya, menoleh dan terperanjat mengetahui mamanya sudah berdiri di pintu bersama adiknya yang bernama Cathlene. Keduanya sangat terkejut mendapati Ken sedang bercumbu dengan gadis asing di penthaus pribadinya. Padahal yang mereka tahu, tak sembarang orang bisa masuk bahkan sampai ke kamar utama milik Ken. Cathlene yang geram dengan posisi kakaknya menindih seorang wanita, langsung menarik kasar tangan Naira dan menjatuhkannya ke pinggir ranjang. " Siapa kamu? Kenapa kamu bersama kakakku?!" tanya Cath lantang menunjuk Naira yang tertunduk, rambutnya hampir menutupi wajahnya dan jemarinya sedikit gemetar. Naira merasa terjebak dengan berbagai masalah baru di hadapannya. Ia hanya bisa pasrah dan diam membisu. Ken juga semakin terpojok, hendak menolong Naira yang terjatuh tapi kakinya seakan tertahan karena situasi di luar dugaan. "Ken, apa yang kau lakukan bersama wanita ini? Siapa wanita ini? Kenapa kalian bisa di tempat tidur bersama? Jawab Mama?!" tanya Mama Ken menginterogasi dengan napas yang terengah-engah. "Mam, please ini cuma salah paham. Yang kalian lihat tidak seperti yang dikira. Dia bukan siapa-siapa, Ken juga tidak mengenalnya," jawab Ken mendekati mamanya sambil berjongkok memegang tangannya, Ia memohon agar mamanya bisa tenang. "Apa maksudmu tidak mengenalnya? Kenapa kau bisa membawanya ke sini?" tanya mamanya mengkerutkan kening. "Apa kakak berselingkuh dari kak Laura?!" Cathlene ikut menambahkan dengan wajah kesalnya. Ken menggeleng cepat. "Ya, Tuhan ...Ken, kenapa sejauh ini kamu lakukan, Sayang?" Mama Ken menutup mulutnya tak percaya. Ia langsung merogoh ponsel dalam tasnya seperti hendak menghubungi seseorang. "Tidak Mam, ini tidak seperti yang kalian kira. Kami bahkan tidak melakukan apapun, Ken juga tidak berselingkuh dari Laura. Kami sudah putus," jawab Ken dengan suara rendahnya sambil tangannya berusaha menahan ponsel mamanya untuk menghubungi seseorang. Karena Ken sudah tahu siapa yang akan dihubunginya. "Tolong Mam, dengarkan Ken. Ini salah paham. Ken akan jelaskan, tapi Mama jangan telepon papa, kumohon ...ayo kita duduk dulu di sana." lanjut Ken meyakinkan mamanya dan mengarahkan ke ruang tamu. Sementara Naira masih terduduk. Membaca situasi yang semakin runyam, ia hanya tersenyum di balik rambut yang menutupinya. Ia baru tahu bagaimana tingkah Ken yang semakin terpojok ketika ketahuan bersama dengan wanita asing dalam sebuah kamar pribadinya. Mama dan Cathlene yang belum menemukan jawaban jelas dari Ken saling berpandangan dan melirik kembali Naira yang terduduk menunduk di pinggir ranjang. "Baiklah, Sayang. Mama percaya kamu, Mama akan dengarkan penjelasanmu." Mama Ken mencoba mengerti keadaan anaknya, ia mengajak Ken untuk berdiri dan mengusap punggungnya. "Tunggu!" Suara Naira menghentikan ketiganya yang hendak berbalik badan. Naira segera bangkit berdiri dan merapikan pakaian dan rambutnya, ia melirik mata Ken yang melotot dan ia arahkan pandangannya ke mamanya Ken dengan penuh keyakinan."Maafkan saya nyonya jika saya sudah lancang masuk ke ranah pribadi milik Ken." Kepala Naira menunduk sebentar tanda minta maaf dan mendongak kembali tegak. "Apa yang akan kamu ucapkan gadis licik?!" Sergah Ken khawatir. Naira menghampirinya dan menatapnya dengan sendu. "Nyonya, sebenarnya kami sudah tidrhhhd bersmkkk ..." Ken segera menutup mulut Naira yang lancang. Matanya melotot memberi kode untuk berhenti bicara. Tangan Naira mencoba melepaskan, tapi tangan Ken terus menahannya untuk berhenti bicara. sementara mamanya dan Cath tampak kebingungan melihat tingkah kedua orang di hadapannya. "Lepaskan Ken, biarkan wanita ini berbicara!" titah mamanya mengeras, mamanya tahu kalau Ken sedang menutupi sesuatu. Naira yang terengah-engah akhirnya bersyukur bernapas lega. "Nyonya, sebenarnya ..." Naira buru-buru melanjutkan. "Mam, tolong..." Ken menyela, memohon pada mamanya. "KEN!!!" teriak mamanya memekik. "Ayo nak, bicara." "Nyonya, saya hamil anak Ken ..." ucap Naira me
'Bagaimana ini? Kupikir mereka akan memberikan penawaran sejumlah uang yang banyak kepadaku untuk menggugurkan kehamilan palsuku ini. Tapi Mereka malah menyuruhku menikahi anaknya. Aduh, kalau tahu serunyam ini atas tindakanku, aku lebih baik kabur saja,' batin Naira berkecamuk. "Pap, ini berlebihan. Kenapa harus sampai menikahinya? dia tidak hamil Pap! Dia bohong! Seorang penipu yang ingin memeras keluarga kita." Ken segera menjelaskannya. Naira yang tak ingin dirinya dicurigai segera bangkit mendekat dan berjongkok memohon ke papa Ken, orang sekeliling yang memandangnya semakin heran. "Tidak om, saya tidak bohong. Saya punya bukti alat tespack dan bukti foto kami tidur bersama," sela Naira spontan. Ia baru ingat jika sebelum berangkat ke rumah Ken, sudah berjaga-jaga membawa beberapa alat testpack milik teman satu pekerjaannya untuk membuktikan pengakuannya jika terjadi sesuatu. Dahi Ken mengernyit melihat tindakan Naira yang menurutnya tak habis pikir dengan semua kelicika
"Saya tahu Anda marah, Anda kecewa! Tapi jangan seperti ini! Kita bicarakan baik-baik kalau sudah di apart saya! Please ..." Naira terus berusaha memperingati Ken dengan teriakannya di dalam mobil dan Ken tetap tak menggubris. Sampai tak terasa mobil Ken akhirnya berhenti tepat di sebuah bangunan tinggi apartemen milik Naira. Ia melihat sekeliling apartemen terlihat biasa dengan desain yang minimalis. Sementara Naira menghela napas lega karena jantungnya selamat sampai tujuan. "Sudah sampai, cepat turun!" ucap Ken tiba-tiba mengusir. Naira yang ingin menyandarkan kepalanya yang pusing pun sejenak di batalkannya karena melihat raut wajah Ken yang dingin. Naira menghela napas lagi, mencoba untuk menenangkan dirinya menghadapi Ken yang seperti itu, "Baiklah, terimakasih atas tumpangannya. Tapi, saya berharap Anda mau berbicara tenang di apartemen saya soal pernik ..." "Stop! Saya sedang tidak ingin bahas! Jadi keluarlah!" sela Ken tak acuh. Sejenak keheningan terjadi. Naira mas
Naira terdiam sejenak. Ken sudah tahu masalah hidupnya. Ia mulai berpikir mencari jalan untuk bisa bernegosiasi dengan Ken. Pikirannya terhenti saat salah satu pria yang membongkar barang Naira menghampirinya dan menunduk. "Nona, mohon maaf atas kesalahpahaman ini, barang-barang milik nona akan kami kembalikan ke tempat semula. Kami mohon maaf atas kesalahan ini." "Apa? Ma-maksudnya? Saya tidak mengerti," tanya Naira kebingungan. "Bos Sam sudah menerima sisa pelunasan nona setengah jam yang lalu, jadi bos anggap urusannya sudah selesai dengan nona. Orang-orang kami akan segera menyelesaikannya, kami pamit undur diri," jawab pria itu memberi hormat menunduk. "Hey, hey, tunggu! Siapa yang melunasinya?" tanya Naira mulai penasaran, ia membuntuti pria itu untuk menjawab. "Silahkan Nona hubungi bos kami." "Apa?! O-oke!" Langkah Naira segera berbalik dan berjalan menghampiri Ken yang masih mema
Setelah kesepakatan malam itu, Ken dan Naira mulai mengurus pendaftaran pernikahan dan fitting baju pengantin secara terburu-buru, karena waktu yang diberikan papa Ken hanya dua minggu. Tapi bagi para konglomerat dan jajaran pengusaha, hal itu tak menjadikan kesulitan, cukup dengan menjentikkan jarinya saja, para pelayan yang akan sibuk mengurusnya. Hari menjelang pernikahan keduanya sudah dekat, hanya tinggal menghitung hari. Naira disibukan perawatan diri yang disediakan keluarga Ken, dan Ken tetap fokus di kantornya mengurus berkas-berkas penting untuk ditandatanganinya. Sementara Cath dan mamanya sibuk mengamati keduanya yang penuh dengan kejanggalan. "Mam, apa ini hanya mimpi burukku di siang bolong?" tanya Cath masih tak percaya dengan keputusan kakaknya. "Entahlah, Sayang. Mama jadi menyesal menelepon papa hari itu. Untuk saat ini, tetaplah berpura-pura menyetujuinya. Semoga ini tak lama," balas Jasmine lesu. Sej
Acara pernikahan akhirnya digelar dengan sangat intim di sebuah ballroom hotel pribadi milik Andrew yang disewakan. Tempat itu hanya dihadiri segelintir orang-orang terdekat kenalan orangtua Ken—bukan dari orang internal perusahaannya, hanya kolega yang tak begitu memperhatikan latar belakang mempelai wanitanya. Hari itu Naira terlihat mengenakan gaun mermaid putih dengan polesan wajah yang tipis, menampilkan sisi lainnya yang lebih anggun dan menonjolkan bentuk tubuh sempurna yang membuat mata para tamu sangat terpesona. Sementara Ken dengan setelan jas hitam model tailcoat, tubuhnya yang tegap tinggi sangat berkharisma layaknya pria matang. Semua mata tertuju pada keduanya yang tampak serasi. Acara mengucap janji suci pernikahan pun telah mereka lewati, hingga sesi foto bersama keluarga besar Ken. Sementara keluarga Naira hanya dihadiri Bos Sam sebagai wali dan gadis yang ikut menjalankan rencana Naira di malam itu untuk menjebak Ken. Bos Sam, yang dihubungi Naira
Ken dan Naira sudah sah menjadi sepasang suami istri selama seminggu, keduanya disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Ken yang seperti biasa berangkat kerja dan sibuk di kantor sampai malam, sementara Naira mulai belajar mengenali kebiasaan dalam keluarga Ken dan berkenalan dengan para pelayan dengan tugas-tugasnya. Ia juga mengelilingi rumah keluarga Ken yang sangat luas, rumah dengan desain interior klasik modern bak istana. Di samping rumahnya, terdapat gazebo dari kayu yang lengkap dengan sofa, tanaman, tirai dan lampu berwarna kuning menambah kesan romantis karena dekat kolam renang. Dan di samping rumah satunya lagi, ada jalan menuju pintu ke arah paviliun. Sementara di belakang rumahnya terdapat lapangan golf dengan rumput hijaunya yang membuat Naira semakin takjub. Ia akhirnya mengerti kenapa Ken bisa benar-benar mudah berbuat sesuatu hal jika ia mau, karena seluruh bagian rumahnya adalah bagian interpretasi kekuatan keluarganya. "Non, maaf sudah sore, har
"Naira, di mana Ken? Kenapa belum keluar?" tanya Wilson melirik Naira yang turun sendirian. Di meja makan sudah duduk Jasmine dan Cath dengan raut wajah malas, bibirnya yang mengerucut begitu melihat Naira ikut bergabung. "Um, maaf Pap, katanya malam ini Ken tak bisa ikut, sedang tidak enak badan," jawab Naira menunduk. Naira terpaksa berbohong karena Ken terus bersembunyi dalam gulungan selimut atas kejadian sebelumnya yang membuat keduanya bertengkar. Rasa malu dan canggung yang sulit disembunyikan, akhirnya sepakat jika Ken tak perlu ikut makan malam bersama. "Tumben sekali dia! Padahal ini makan malam pertama setelah ia menikah," ucap Wilson menyayangkan ketidakhadiran anaknya. "Ya sudah Pap, biarkan saja. Mungkin dia ingin istirahat. Nanti selesai makan, Mama tengok dia. Untuk Naira, ayo silahkan duduk," timpal Jasmine mengajak Naira untuk duduk bersama. "Ya, sekarang kamu sudah jadi bagian kelu
"Siapa yang membuatmu terburu-buru, Nai?" tanya Ken dengan suara sedikit serak. Ia menahan tangan Naira yang hendak melangkah pergi. "Ken? Kau sudah bangun?" tanya balik Naira sedikit terkejut, tangan Ken menahan langkahnya. "Ma-maaf Ken, pagi ini saya harus pulang dulu. Saya tak mau membuat Papa khawatir." Naira hati-hati melepaskan genggaman Ken. "Apa kau sungguh tak akan memperkenalkanku pada Papamu?" tanya Ken lagi menengadah ke arah Naira dengan mata penuh harap. Naira terdiam sejenak, menghindari tatapannya dengan wajah nanar."Apa kau sungguh hari itu tak benar-benar mengakui jika kau juga menyukaiku?" Suara Ken mulai sedikit bergetar, dengan napas yang tercekat."Apa kau sungguh mulai teringat hal lain yang tak aku ketahui, lalu membuatmu mulai menghindariku, Nai?" Ken terus mencecar Naira dengan kilatan terluka di matanya. Naira masih saja terdiam, ia memejamkan matanya sejenak sambil menghela napasnya yang berat. "Maaf, tuan. Saya benar-benar belum siap. Kalau bisa, saya
Sebuah taksi berhenti mendadak di depan bar. Naira melompat keluar, matanya liar mencari di tengah riuhnya malam. Di sudut remang, ia menemukan Ken sendirian. Terkulai di meja, wajahnya pucat dan rambutnya awut-awutan, pemandangan yang cukup menusuk hatinya. Jantung Naira mencelos melihat Ken serapuh ini. Ada rasa kasihan bercampur kekecewaan yang menghantamnya. "Aku seperti dejavu melihat kondisimu malam ini, Ken," gumam Naira berusaha mengangkat tubuhnya. Ken yang setengah sadar, hanya menatap samar-samar sosok gadis dalam pandangannya. Ia hanya meresponnya dengan senyum seringai dan tertawa yang tersendat-sendat. Setelah itu, ia benar-benar tertidur membuat Naira semakin kesulitan mengangkatnya. Naira yang tak mampu menopang tubuh Ken yang besar dan tinggi, akhirnya meminta pelayan bar untuk mengantarkannya ke luar sampai menemukan taksi yang lewat. "Terima kasih, tuan," ucap Naira, begitu ia selesai mendudukan Ken dalam taksi. Ia memberi anggukan kecil pada pelayan, sambil mem
Semenjak Naira mengatakan kalimat terakhir pada Ken bahwa sementara tidak pulang ke apartemennya, sore itu ia pulang menaiki bus, dengan suasana pikiran yang tak karuan. Dengan langkah gontai akibat kelelahan bekerja, ia pun berhenti di sebuah halte tak jauh dari apartemennya. Ia mulai melanjutkan langkahnya sendirian. Sekitar lima belas menit ia berjalan, langkahnya terhenti saat memasuki area lorong apartemennya. Pemandangan sore di hari keduanya pulang ke apartemen, tampak berbeda. Dinding beton lorong apartemen yang biasanya terkesan suram dan menoton. Dalam sehari di tinggalnya bekerja, berubah dengan berbagai hiasan tanaman dalam pot. Sudah berdiri sosok penghuni baru, William, yang sibuk dengan aktifitasnya, tersenyum antusias menyemprot beberapa tanaman kaktus, sansevieria, Monstera deliciosa, dan berbagai tanaman lainnya. “Bagaimana, Nak?” tanya William, tersenyum merekah menanti penilaian Naira yang terpukau. “Wah, Papa keren! Papa hebat! Bisa mengubah tempat yang polos,
Di bawah pengaruh gairah yang membara, Ken membimbing Naira menuju sofa, merebahkannya perlahan seiring dengan gejolak hasrat yang membuncah dalam dirinya. Jas terlepas dan dasi terulur tak teratur hingga jatuh ke lantai. Dengan lembut, ia mengangkat tangan Naira, menggenggamnya erat sembari Mengeksplorasi setiap sudut mulut bersama decapan basah memecah keheningan. Sentuhan kasih yang berani mulai menyusuri lekuk tubuh Naira di balik pakaiannya. Namun, sebelum sentuhan itu mencapai area yang lebih intim, tangan Naira dengan lembut menahan gerakannya, membuat tatapan penuh tanya Ken tertuju padanya dalam diam. Naira menggeleng perlahan, lalu bangkit, melepaskan diri dari rengkuhan Ken yang hangat. Ken ikut bangkit, terduduk mendongak ke arah Naira yang berdiri. "Nai," lirih Ken, seolah mempertanyakan sikap Naira yang tiba-tiba menghentikannya. Suasana ruangan yang sebelumnya cukup memanas, sejenak terasa hambar begitu melihat Naira buru-buru merapikan pakaiannya yang sedikit terangka
"Hai, karyawan baru?! Kau telat sepuluh menit dari yang saya minta!" "Apa?!" tanya Naira tak mengerti, saat melangkah masuk begitu pintu baru saja di buka. Ken sedang menatapnya dari arah meja kerjanya dengan ekspresi dingin dan senyum menyeringai. Tubuhnya membelokkan kursi ke kanan dan ke kiri dengan pena yang dimainkan di tangan kanannya. "Bu Dominique, tak memberitahuku!" sanggah Naira cepat. "Mungkin dia sengaja, agar kau dihukum olehku?!" balas Ken dengan senyum seringainya Dahi Naira mengernyit, dengan ekspresi masamnya. "Berarti itu bukan salah saya, tuan," gerutu Naira dengan nada sedikit meninggi. "Lagipula, kenapa juga saya harus menghadapmu terus?! Apa kau tak memiliki pekerjaan?" lanjutnya, memalingkan wajah sambil melipat kedua tangannya di dada. Sontak tubuh Ken bangkit dari kursinya, menghampiri Naira dengan senyum seringainya. Ia mengamati lekat wajah Naira dengan polesan bedak tipis berpadu warna merah
Udara tenang dan dingin khas di pagi hari, perlahan menghangat seiring dengan meningkatnya aktivitas di kantor. Beberapa orang sibuk lalu lalang membawa berkas dan melaporkannya pada atasan. Naira, yang tengah fokus mengetik dokumen di komputernya, matanya hanya sesekali menoleh ke arah gelas kopi americano di sampingnya sambil meneguknya. Jeff, juga sibuk mendesain poster dan brosur iklan pameran terbuka yang tak lama lagi akan di gelar. Sementara di ujung meja yang terpisahkan kaca transparan, Dominique, ketua tim acara tersebut cukup serius mengecek berkas-berkas yang dilaporkan stafnya dan beberapa rekanan tim dari marketing dan keuangan. Di sela kesibukannya, tiba-tiba telepon berdering mengejutkannya. Ia pun mengangkatnya sambil mengelus dadanya yang sedikit terlonjak. Tanpa sempat menyapa si penelepon, sebuah perintah dan peringatan terdengar membuat matanya membesar dan suaranya seakan tercekat. Ia meletakkan gagang telepon dengan sedikit mencengkramnya dan membantingnya sedik
Mentari mulai merayap turun, semburat merah dan jingga berpadu dalam garis cakrawala yang membentang. Naira, Irene yang baru saja selesai berbelanja keperluan William, segera merebahkan diri di sofa apartemen yang terasa segar setelah mereka bersihkan sebelumnya. "Aahh ...akhirnya, Nai ...kita bisa juga sampai ke tahap ini," ucap Irene menghela napas lega, dengan mata berbinar menatap ke atas langit apartemen. "Setelah empat tahun menemani papamu menjalani perawatan mental, dan kau yang akhirnya bisa melunasi utang pada bos Sam meski harus melalui pernikahan kontrak. Rasanya ... aku yang menemanimu selama perjalanan hidupmu ini, aku sudah bukan lagi disebut sahabat sejatimu, hehe" lanjutnya terkekeh menolehkan kepalanya pada Naira yang juga menatap langit apartemen. Ia menunggu respon Naira yang hanya mengulas senyum tipisnya. "Harusnya aku menyebutmu apa, Ren?" tanya Naira, akhirnya menanggapinya. "Mungkin ...kau bisa menyebutku ...mala
"Ren, bagaimana kata dokter?" tanya Naira duduk di samping Irene, setibanya di panti rehabilitasi mental. Irene menoleh ke samping, menyodorkan selembar kertas pemberitahuan dari Dokter yang menyatakan William bisa pulang ke rumah dengan syarat rutin minum obat setiap hari dan terapi beberapa kali dalam satu tahun. “Setelah papamu pulang, bagaimana dengan tempat tinggalmu yang terpisah?” tanya Irene ingin tahu rencana Naira. “Beliau pasti mencurigaimu, apalagi tiga minggu yang lalu, Ken datang ke tempat ini,” lanjutnya sambil menatap beberapa dokter dan perawat berlalu lalang sibuk membawa alat-alat medis. Naira menghela napas dalam. “Aku sudah janji waktu itu akan memberitahu siapa Ken,” ucapnya dengan suara yang terdengar lesu. Matanya memandang ke bawah dengan tatapan kosong. “Tapi, aku tidak akan menceritakan yang sebenarnya, kalau aku menikah kontrak, Ren.” Matanya melirik Irene yang serius mendengarkannya. “Apakah caraku salah, Ren? Bolehkan, aku berbohong pada papaku kali in
Ken mengerjap, membuka mata setelah tidur nyenyak akibat begadang semalam. Ia mendapati Naira sudah tidak ada di sampingnya. Refleks, ia meraih ponsel di nakas, membuka kunci, dan terkejut melihat pukul 12 siang. Beberapa pesan Naira dari satu jam sebelumnya menarik dirinya untuk membukanya. Begitu terbaca, ia terbelalak. Pesan berisi permintaan bantuan dirinya untuk menggagalkan periksa kandungan di sebuah klinik sahabat mamanya, membuatnya bangkit berdiri dan bergegas ke kamar mandi membersihkan dirinya secepat kilat. Tanpa sempat menyisir, langkahnya lebar keluar kamar dengan wajah tegang dan panik. Wilson, yang sedang membaca koran di teras, hanya bisa melihat mobil Ken melesat pergi tanpa sempat menanyakan tujuannya atau pakaiannya, bahkan mengabaikan panggilannya. Wilson yang penasaran, segera menanyai pada Cath yang sedang bermain ponsel di ruang tamu. "Cath, kau tahu kakakmu pergi kemana?" Cath menoleh sedikit malas, meletakkan ponselnya dan menggeleng