Mentari mulai merayap turun, semburat merah dan jingga berpadu dalam garis cakrawala yang membentang. Naira, Irene yang baru saja selesai berbelanja keperluan William, segera merebahkan diri di sofa apartemen yang terasa segar setelah mereka bersihkan sebelumnya. "Aahh ...akhirnya, Nai ...kita bisa juga sampai ke tahap ini," ucap Irene menghela napas lega, dengan mata berbinar menatap ke atas langit apartemen. "Setelah empat tahun menemani papamu menjalani perawatan mental, dan kau yang akhirnya bisa melunasi utang pada bos Sam meski harus melalui pernikahan kontrak. Rasanya ... aku yang menemanimu selama perjalanan hidupmu ini, aku sudah bukan lagi disebut sahabat sejatimu, hehe" lanjutnya terkekeh menolehkan kepalanya pada Naira yang juga menatap langit apartemen. Ia menunggu respon Naira yang hanya mengulas senyum tipisnya. "Harusnya aku menyebutmu apa, Ren?" tanya Naira, akhirnya menanggapinya. "Mungkin ...kau bisa menyebutku ...mala
Udara tenang dan dingin khas di pagi hari, perlahan menghangat seiring dengan meningkatnya aktivitas di kantor. Beberapa orang sibuk lalu lalang membawa berkas dan melaporkannya pada atasan. Naira, yang tengah fokus mengetik dokumen di komputernya, matanya hanya sesekali menoleh ke arah gelas kopi americano di sampingnya sambil meneguknya. Jeff, juga sibuk mendesain poster dan brosur iklan pameran terbuka yang tak lama lagi akan di gelar. Sementara di ujung meja yang terpisahkan kaca transparan, Dominique, ketua tim acara tersebut cukup serius mengecek berkas-berkas yang dilaporkan stafnya dan beberapa rekanan tim dari marketing dan keuangan. Di sela kesibukannya, tiba-tiba telepon berdering mengejutkannya. Ia pun mengangkatnya sambil mengelus dadanya yang sedikit terlonjak. Tanpa sempat menyapa si penelepon, sebuah perintah dan peringatan terdengar membuat matanya membesar dan suaranya seakan tercekat. Ia meletakkan gagang telepon dengan sedikit mencengkramnya dan membantingnya sedik
"Hai, karyawan baru?! Kau telat sepuluh menit dari yang saya minta!" "Apa?!" tanya Naira tak mengerti, saat melangkah masuk begitu pintu baru saja di buka. Ken sedang menatapnya dari arah meja kerjanya dengan ekspresi dingin dan senyum menyeringai. Tubuhnya membelokkan kursi ke kanan dan ke kiri dengan pena yang dimainkan di tangan kanannya. "Bu Dominique, tak memberitahuku!" sanggah Naira cepat. "Mungkin dia sengaja, agar kau dihukum olehku?!" balas Ken dengan senyum seringainya Dahi Naira mengernyit, dengan ekspresi masamnya. "Berarti itu bukan salah saya, tuan," gerutu Naira dengan nada sedikit meninggi. "Lagipula, kenapa juga saya harus menghadapmu terus?! Apa kau tak memiliki pekerjaan?" lanjutnya, memalingkan wajah sambil melipat kedua tangannya di dada. Sontak tubuh Ken bangkit dari kursinya, menghampiri Naira dengan senyum seringainya. Ia mengamati lekat wajah Naira dengan polesan bedak tipis berpadu warna merah
Di bawah pengaruh gairah yang membara, Ken membimbing Naira menuju sofa, merebahkannya perlahan seiring dengan gejolak hasrat yang membuncah dalam dirinya. Jas terlepas dan dasi terulur tak teratur hingga jatuh ke lantai. Dengan lembut, ia mengangkat tangan Naira, menggenggamnya erat sembari Mengeksplorasi setiap sudut mulut bersama decapan basah memecah keheningan. Sentuhan kasih yang berani mulai menyusuri lekuk tubuh Naira di balik pakaiannya. Namun, sebelum sentuhan itu mencapai area yang lebih intim, tangan Naira dengan lembut menahan gerakannya, membuat tatapan penuh tanya Ken tertuju padanya dalam diam. Naira menggeleng perlahan, lalu bangkit, melepaskan diri dari rengkuhan Ken yang hangat. Ken ikut bangkit, terduduk mendongak ke arah Naira yang berdiri. "Nai," lirih Ken, seolah mempertanyakan sikap Naira yang tiba-tiba menghentikannya. Suasana ruangan yang sebelumnya cukup memanas, sejenak terasa hambar begitu melihat Naira buru-buru merapikan pakaiannya yang sedikit terangka
Semenjak Naira mengatakan kalimat terakhir pada Ken bahwa sementara tidak pulang ke apartemennya, sore itu ia pulang menaiki bus, dengan suasana pikiran yang tak karuan. Dengan langkah gontai akibat kelelahan bekerja, ia pun berhenti di sebuah halte tak jauh dari apartemennya. Ia mulai melanjutkan langkahnya sendirian. Sekitar lima belas menit ia berjalan, langkahnya terhenti saat memasuki area lorong apartemennya. Pemandangan sore di hari keduanya pulang ke apartemen, tampak berbeda. Dinding beton lorong apartemen yang biasanya terkesan suram dan menoton. Dalam sehari di tinggalnya bekerja, berubah dengan berbagai hiasan tanaman dalam pot. Sudah berdiri sosok penghuni baru, William, yang sibuk dengan aktifitasnya, tersenyum antusias menyemprot beberapa tanaman kaktus, sansevieria, Monstera deliciosa, dan berbagai tanaman lainnya. “Bagaimana, Nak?” tanya William, tersenyum merekah menanti penilaian Naira yang terpukau. “Wah, Papa keren! Papa hebat! Bisa mengubah tempat yang polos,
Sebuah taksi berhenti mendadak di depan bar. Naira melompat keluar, matanya liar mencari di tengah riuhnya malam. Di sudut remang, ia menemukan Ken sendirian. Terkulai di meja, wajahnya pucat dan rambutnya awut-awutan, pemandangan yang cukup menusuk hatinya. Jantung Naira mencelos melihat Ken serapuh ini. Ada rasa kasihan bercampur kekecewaan yang menghantamnya. "Aku seperti dejavu melihat kondisimu malam ini, Ken," gumam Naira berusaha mengangkat tubuhnya. Ken yang setengah sadar, hanya menatap samar-samar sosok gadis dalam pandangannya. Ia hanya meresponnya dengan senyum seringai dan tertawa yang tersendat-sendat. Setelah itu, ia benar-benar tertidur membuat Naira semakin kesulitan mengangkatnya. Naira yang tak mampu menopang tubuh Ken yang besar dan tinggi, akhirnya meminta pelayan bar untuk mengantarkannya ke luar sampai menemukan taksi yang lewat. "Terima kasih, tuan," ucap Naira, begitu ia selesai mendudukan Ken dalam taksi. Ia memberi anggukan kecil pada pelayan, sambil mem
"Siapa yang membuatmu terburu-buru, Nai?" tanya Ken dengan suara sedikit serak. Ia menahan tangan Naira yang hendak melangkah pergi. "Ken? Kau sudah bangun?" tanya balik Naira sedikit terkejut, tangan Ken menahan langkahnya. "Ma-maaf Ken, pagi ini saya harus pulang dulu. Saya tak mau membuat Papa khawatir." Naira hati-hati melepaskan genggaman Ken. "Apa kau sungguh tak akan memperkenalkanku pada Papamu?" tanya Ken lagi menengadah ke arah Naira dengan mata penuh harap. Naira terdiam sejenak, menghindari tatapannya dengan wajah nanar."Apa kau sungguh hari itu tak benar-benar mengakui jika kau juga menyukaiku?" Suara Ken mulai sedikit bergetar, dengan napas yang tercekat."Apa kau sungguh mulai teringat hal lain yang tak aku ketahui, lalu membuatmu mulai menghindariku, Nai?" Ken terus mencecar Naira dengan kilatan terluka di matanya. Naira masih saja terdiam, ia memejamkan matanya sejenak sambil menghela napasnya yang berat. "Maaf, tuan. Saya benar-benar belum siap. Kalau bisa, saya
Cekrek! Cekrek! Cekrek! Tangkapan kamera beberapa kali memotret seorang pria muda bertubuh tegap. Pria itu memperlihatkan dada bidangnya. Seorang gadis pura-pura tertidur sambil memegang ponsel. Ia bersandar mesra di bahu pria yang tertidur pulas. Di ranjang itu, bau minuman beralkohol sangat menyengat. Gadis bernama Naira, alias 'Cleopatra', ini mencoba melakukan hal gila. Ia melepas pakaian luarnya dan kemeja pria itu. Pelan-pelan, ia kendurkan sabuk celananya, berusaha menciptakan adegan intim yang tampak alami. Hal itu ia lakukan karena sesuatu yang mendesaknya, membuatnya nekat masuk ke kamar hotel milik pria asing tersebut. "Semoga Anda tidak marah, tuan," bisik Naira lembut, sambil tersenyum cekikikan. Ia mengambil dompet pria itu dari balik celananya, dan mengambil kartu identitasnya. "Kendrick Wilson, umur tiga puluh tahun. Hm, CEO PT Golden Energy." Naira mengeja kartu nama di tangannya. "Wow, rupanya benar kata Antony, pria asing ini bukan sembarang orang. Aku beru
"Siapa yang membuatmu terburu-buru, Nai?" tanya Ken dengan suara sedikit serak. Ia menahan tangan Naira yang hendak melangkah pergi. "Ken? Kau sudah bangun?" tanya balik Naira sedikit terkejut, tangan Ken menahan langkahnya. "Ma-maaf Ken, pagi ini saya harus pulang dulu. Saya tak mau membuat Papa khawatir." Naira hati-hati melepaskan genggaman Ken. "Apa kau sungguh tak akan memperkenalkanku pada Papamu?" tanya Ken lagi menengadah ke arah Naira dengan mata penuh harap. Naira terdiam sejenak, menghindari tatapannya dengan wajah nanar."Apa kau sungguh hari itu tak benar-benar mengakui jika kau juga menyukaiku?" Suara Ken mulai sedikit bergetar, dengan napas yang tercekat."Apa kau sungguh mulai teringat hal lain yang tak aku ketahui, lalu membuatmu mulai menghindariku, Nai?" Ken terus mencecar Naira dengan kilatan terluka di matanya. Naira masih saja terdiam, ia memejamkan matanya sejenak sambil menghela napasnya yang berat. "Maaf, tuan. Saya benar-benar belum siap. Kalau bisa, saya
Sebuah taksi berhenti mendadak di depan bar. Naira melompat keluar, matanya liar mencari di tengah riuhnya malam. Di sudut remang, ia menemukan Ken sendirian. Terkulai di meja, wajahnya pucat dan rambutnya awut-awutan, pemandangan yang cukup menusuk hatinya. Jantung Naira mencelos melihat Ken serapuh ini. Ada rasa kasihan bercampur kekecewaan yang menghantamnya. "Aku seperti dejavu melihat kondisimu malam ini, Ken," gumam Naira berusaha mengangkat tubuhnya. Ken yang setengah sadar, hanya menatap samar-samar sosok gadis dalam pandangannya. Ia hanya meresponnya dengan senyum seringai dan tertawa yang tersendat-sendat. Setelah itu, ia benar-benar tertidur membuat Naira semakin kesulitan mengangkatnya. Naira yang tak mampu menopang tubuh Ken yang besar dan tinggi, akhirnya meminta pelayan bar untuk mengantarkannya ke luar sampai menemukan taksi yang lewat. "Terima kasih, tuan," ucap Naira, begitu ia selesai mendudukan Ken dalam taksi. Ia memberi anggukan kecil pada pelayan, sambil mem
Semenjak Naira mengatakan kalimat terakhir pada Ken bahwa sementara tidak pulang ke apartemennya, sore itu ia pulang menaiki bus, dengan suasana pikiran yang tak karuan. Dengan langkah gontai akibat kelelahan bekerja, ia pun berhenti di sebuah halte tak jauh dari apartemennya. Ia mulai melanjutkan langkahnya sendirian. Sekitar lima belas menit ia berjalan, langkahnya terhenti saat memasuki area lorong apartemennya. Pemandangan sore di hari keduanya pulang ke apartemen, tampak berbeda. Dinding beton lorong apartemen yang biasanya terkesan suram dan menoton. Dalam sehari di tinggalnya bekerja, berubah dengan berbagai hiasan tanaman dalam pot. Sudah berdiri sosok penghuni baru, William, yang sibuk dengan aktifitasnya, tersenyum antusias menyemprot beberapa tanaman kaktus, sansevieria, Monstera deliciosa, dan berbagai tanaman lainnya. “Bagaimana, Nak?” tanya William, tersenyum merekah menanti penilaian Naira yang terpukau. “Wah, Papa keren! Papa hebat! Bisa mengubah tempat yang polos,
Di bawah pengaruh gairah yang membara, Ken membimbing Naira menuju sofa, merebahkannya perlahan seiring dengan gejolak hasrat yang membuncah dalam dirinya. Jas terlepas dan dasi terulur tak teratur hingga jatuh ke lantai. Dengan lembut, ia mengangkat tangan Naira, menggenggamnya erat sembari Mengeksplorasi setiap sudut mulut bersama decapan basah memecah keheningan. Sentuhan kasih yang berani mulai menyusuri lekuk tubuh Naira di balik pakaiannya. Namun, sebelum sentuhan itu mencapai area yang lebih intim, tangan Naira dengan lembut menahan gerakannya, membuat tatapan penuh tanya Ken tertuju padanya dalam diam. Naira menggeleng perlahan, lalu bangkit, melepaskan diri dari rengkuhan Ken yang hangat. Ken ikut bangkit, terduduk mendongak ke arah Naira yang berdiri. "Nai," lirih Ken, seolah mempertanyakan sikap Naira yang tiba-tiba menghentikannya. Suasana ruangan yang sebelumnya cukup memanas, sejenak terasa hambar begitu melihat Naira buru-buru merapikan pakaiannya yang sedikit terangka
"Hai, karyawan baru?! Kau telat sepuluh menit dari yang saya minta!" "Apa?!" tanya Naira tak mengerti, saat melangkah masuk begitu pintu baru saja di buka. Ken sedang menatapnya dari arah meja kerjanya dengan ekspresi dingin dan senyum menyeringai. Tubuhnya membelokkan kursi ke kanan dan ke kiri dengan pena yang dimainkan di tangan kanannya. "Bu Dominique, tak memberitahuku!" sanggah Naira cepat. "Mungkin dia sengaja, agar kau dihukum olehku?!" balas Ken dengan senyum seringainya Dahi Naira mengernyit, dengan ekspresi masamnya. "Berarti itu bukan salah saya, tuan," gerutu Naira dengan nada sedikit meninggi. "Lagipula, kenapa juga saya harus menghadapmu terus?! Apa kau tak memiliki pekerjaan?" lanjutnya, memalingkan wajah sambil melipat kedua tangannya di dada. Sontak tubuh Ken bangkit dari kursinya, menghampiri Naira dengan senyum seringainya. Ia mengamati lekat wajah Naira dengan polesan bedak tipis berpadu warna merah
Udara tenang dan dingin khas di pagi hari, perlahan menghangat seiring dengan meningkatnya aktivitas di kantor. Beberapa orang sibuk lalu lalang membawa berkas dan melaporkannya pada atasan. Naira, yang tengah fokus mengetik dokumen di komputernya, matanya hanya sesekali menoleh ke arah gelas kopi americano di sampingnya sambil meneguknya. Jeff, juga sibuk mendesain poster dan brosur iklan pameran terbuka yang tak lama lagi akan di gelar. Sementara di ujung meja yang terpisahkan kaca transparan, Dominique, ketua tim acara tersebut cukup serius mengecek berkas-berkas yang dilaporkan stafnya dan beberapa rekanan tim dari marketing dan keuangan. Di sela kesibukannya, tiba-tiba telepon berdering mengejutkannya. Ia pun mengangkatnya sambil mengelus dadanya yang sedikit terlonjak. Tanpa sempat menyapa si penelepon, sebuah perintah dan peringatan terdengar membuat matanya membesar dan suaranya seakan tercekat. Ia meletakkan gagang telepon dengan sedikit mencengkramnya dan membantingnya sedik
Mentari mulai merayap turun, semburat merah dan jingga berpadu dalam garis cakrawala yang membentang. Naira, Irene yang baru saja selesai berbelanja keperluan William, segera merebahkan diri di sofa apartemen yang terasa segar setelah mereka bersihkan sebelumnya. "Aahh ...akhirnya, Nai ...kita bisa juga sampai ke tahap ini," ucap Irene menghela napas lega, dengan mata berbinar menatap ke atas langit apartemen. "Setelah empat tahun menemani papamu menjalani perawatan mental, dan kau yang akhirnya bisa melunasi utang pada bos Sam meski harus melalui pernikahan kontrak. Rasanya ... aku yang menemanimu selama perjalanan hidupmu ini, aku sudah bukan lagi disebut sahabat sejatimu, hehe" lanjutnya terkekeh menolehkan kepalanya pada Naira yang juga menatap langit apartemen. Ia menunggu respon Naira yang hanya mengulas senyum tipisnya. "Harusnya aku menyebutmu apa, Ren?" tanya Naira, akhirnya menanggapinya. "Mungkin ...kau bisa menyebutku ...mala
"Ren, bagaimana kata dokter?" tanya Naira duduk di samping Irene, setibanya di panti rehabilitasi mental. Irene menoleh ke samping, menyodorkan selembar kertas pemberitahuan dari Dokter yang menyatakan William bisa pulang ke rumah dengan syarat rutin minum obat setiap hari dan terapi beberapa kali dalam satu tahun. “Setelah papamu pulang, bagaimana dengan tempat tinggalmu yang terpisah?” tanya Irene ingin tahu rencana Naira. “Beliau pasti mencurigaimu, apalagi tiga minggu yang lalu, Ken datang ke tempat ini,” lanjutnya sambil menatap beberapa dokter dan perawat berlalu lalang sibuk membawa alat-alat medis. Naira menghela napas dalam. “Aku sudah janji waktu itu akan memberitahu siapa Ken,” ucapnya dengan suara yang terdengar lesu. Matanya memandang ke bawah dengan tatapan kosong. “Tapi, aku tidak akan menceritakan yang sebenarnya, kalau aku menikah kontrak, Ren.” Matanya melirik Irene yang serius mendengarkannya. “Apakah caraku salah, Ren? Bolehkan, aku berbohong pada papaku kali in
Ken mengerjap, membuka mata setelah tidur nyenyak akibat begadang semalam. Ia mendapati Naira sudah tidak ada di sampingnya. Refleks, ia meraih ponsel di nakas, membuka kunci, dan terkejut melihat pukul 12 siang. Beberapa pesan Naira dari satu jam sebelumnya menarik dirinya untuk membukanya. Begitu terbaca, ia terbelalak. Pesan berisi permintaan bantuan dirinya untuk menggagalkan periksa kandungan di sebuah klinik sahabat mamanya, membuatnya bangkit berdiri dan bergegas ke kamar mandi membersihkan dirinya secepat kilat. Tanpa sempat menyisir, langkahnya lebar keluar kamar dengan wajah tegang dan panik. Wilson, yang sedang membaca koran di teras, hanya bisa melihat mobil Ken melesat pergi tanpa sempat menanyakan tujuannya atau pakaiannya, bahkan mengabaikan panggilannya. Wilson yang penasaran, segera menanyai pada Cath yang sedang bermain ponsel di ruang tamu. "Cath, kau tahu kakakmu pergi kemana?" Cath menoleh sedikit malas, meletakkan ponselnya dan menggeleng