Tidak peduli caci maki keluarga, Raina Asmarani Hartanto tetap menikahi Jovian Wirananta, pria yang menjadi cacat setelah menolongnya dari kecelakaan dua tahun silam. Namun, bagaimana jika Jovian ternyata memiliki sebuah rahasia besar? Mampukah Raina mempertahankan pernikahan mereka atau memilih bercerai dan meninggalkan Jovian?
Lihat lebih banyakPria bertubuh besar itu berdiri di depan pintu rumah Haris, wajahnya mengeras dan penuh amarah. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya dengan kasar menampar-nampar buku yang tampaknya berisi catatan utang. Wajahnya sangar, dihiasi dengan kumis tebal dan tatapan yang menakutkan, seperti elang yang sedang menatap mangsanya.“Bayar hutangmu, Pak Tua!” bentak pria itu, suaranya menggema di ruang tamu yang semakin hari semakin tak terurus. Matanya memelototi Haris dengan sorot meremehkan, sementara tubuhnya condong maju, seakan siap menyerang.Ayah Jovian yang berdiri berjarak beberapa langkah, tampak ciut. Pria paruh baya itu mencoba merapatkan kedua tangannya di dada, membungkuk sedikit, menatap lantai dengan wajah penuh kekhawatiran. “S-saya janji akan membayarnya, Pak… tolong beri saya keringanan,” katanya dengan suara bergetar.
Enam belas tahun silam.Jovian menendang kerikil, menghela napas panjang. Bosan menyelimutinya. Terutama setelah lebih dari satu jam Ayahnya meninggalkannya sendirian di tepi jalan, berpesan agar tetap menunggu di mobil. Namun setelah lama duduk diam, sosok pria paruh baya itu tak juga terlihat.“Ayah lama nih,” gumamnya, kembali menendang batu kerikil di dekat kaki.Manik cokelat madu pemuda itu teralihkan ke arah rumah mewah di hadapannya. Halaman luas terbentang dengan kolam renang berair jernih yang memantulkan sinar matahari sore. Pohon-pohon rindang menaungi jalan masuknya, menghadirkan bayangan seperti lengan-lengan yang melambai pelan.Bangunan megah itu membuat mata Jovian berbinar. Tapi tiba-tiba, suara serak yang ia kenali mengusik pemujaannya.“Tolonglah, Pak Adi… saya sudah tidak tahu harus kemana,&r
“Apa kamu senang sekarang?”Suara cibiran memecah lamunan Raina akan pertemuannya dengan kakek beberapa hari lalu. Wanita itu tersentak dan menoleh, mendapati Nita berdiri tak jauh darinya dengan gaun perak berkilauan di bawah cahaya lampu pesta. Pipi sang kakak memerah serta maniknya tampak tak fokus.Entah apa yang kakaknya bicarakan, Raina sedang tak dalam kondisi untuk meladeninya. Dia berencana untuk pergi, tapi Nita mendekat, menghalangi jalannya.“Mau kemana?” Ucap wanita itu dengan senyum sinis di bibir. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Kesempatan untuk pamer, bersikap angkuh setelah berhasil menyelesaikan proyek besar Sakala Nusa?” sindirnya sambil menyilangkan tangan di dada.Raina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Mbak, ini bukan waktu atau tempat yang tepat untuk
Kakek melanjutkan perkataannya, seolah berharap sang cucu akan melunak. “Lagipula, sebentar lagi, dengan pembukaan resmi Hotel Sakala yang baru, siapapun tak akan bisa menyangkal kualitasmu sebagai anggota Hartanto.”Raina terdiam sejenak, napasnya tersengal pelan menahan emosi yang bergejolak dalam sanubari. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia meraih tasnya dan mengeluarkan amplop cokelat yang selama ini selalu ia bawa, seolah itu adalah perisai terakhirnya.Tanpa berkata apa pun, ia mengeluarkan isi amplop dan menyusun beberapa lembar dokumen di atas meja.Sambil menyesuaikan posisi kacamatanya, Kakek mencondongkan tubuh. Kemudian mulai menelisik foto-foto serta dokumen-dokumen yang dibawakan oleh sang cucu.Matanya membelalak sejenak, keterkejutan yang jarang sekali ia tunjukkan. “I-ini… darimana kamu mendapatkannya?&r
“Selamat atas pembukaan hotel barunya.”Suara yang menyapa telinganya bukanlah nada bariton khas Jovian.Raina menelan pahit di ujung lidah. Pikirannya telah sadar sepenuhnya bahwa pria itu adalah sosok berbahaya—seseorang yang tak seharusnya ia dambakan. Namun hatinya masih saja merindukan bayangan suaminya.“Terima kasih, Aji,” ucapnya, mencoba menguasai diri saat menerima uluran tangan dari pria di depannya.CEO TechNova itu menatap wanita itu dengan mata yang tajam, senyum tipis terpatri di bibirnya, tampak memancarkan ketenangan. “Omong-omong,” manik Aji melirik ke samping, seolah mencari-cari sosok lain. “Di mana suamimu?”Mendengar pertanyaan itu, sang wanita mendengus kecil, nyaris tak terdengar. Meski Jovian tak melakukan sesuatu seca
“Selamat atas pembukaan hotel Sakala cabang baru, Bu Vanya, Bu Raina! Saya tidak sabar melihat bagaimana hotel ini berkembang ke depannya,” sahut seorang pria berjas biru tua, sambil menjabat tangan Raina dan Vanya secara bergantian. Senyumnya ramah, namun sorot matanya penuh harapan pada kesuksesan investasi barunya.Akhirnya, pesta pembukaan Hotel Sakala yang ditunggu-tunggu telah tiba.Dengan senyum tipis, Raina membalas ucapan sang investor. “Kami sangat menghargai kehadiran Anda di acara ini, Pak. Semoga malam ini menjadi malam menyenangkan dan penuh makna bagi kita semua,” ucapnya sopan, berusaha tetap tenang di tengah perasaan yang berkecamuk.Di sampingnya, Papa berdiri berdampingan dengan Ambar. Setiap kali Raina mencuri pandang ke arah mereka, hatinya menggelegak, namun mati-matian ia menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang menco
“Sepertinya, ada alasan lain kenapa Jovian menikahimu,” suara Tama terdengar rendah, nyaris seperti bisikan di tengah keheningan.Raina terdiam, tangan yang memegang ponsel terasa dingin. “A-apa maksudmu, Mas?” bisiknya dengan gugup.“Anak buahku mendengar desas-desus tentang Sindikat Sinara,” Sang kakak melanjutkan, suaranya terdengar semakin dalam, seolah menggema langsung di dalam kepala Raina. “Organisasi itu tidak hanya sekadar mengelola informasi. Mereka mengincar grup-grup besar, mendekati target mereka dan membuatnya percaya, mengorek semua rahasia yang dibutuhkan. Dan ketika waktunya tiba… mereka menghancurkan target tanpa ampun.”Tenggorak sang adik tercekat. Seperti ada batu besar yang menyangkut di sana. Matanya membelalak kosong ke arah dinding kamarnya, tapi pikirannya bising, mencoba mencerna semua yang baru saja didengar.
“Ada mata-mata di kantor, Ray.”Kata-kata Tama tempo hari terngiang kembali di telinga Raina. Tubuhnya langsung menegang. Dari sudut tangga darurat, ia melihat Jainitra sedang berbicara di telepon, wajahnya terlihat serius dan penuh kehati-hatian.Wanita itu membekap mulutnya, menahan napas agar sang asisten tidak menyadari kehadirannya. Dengan langkah perlahan, ia mundur, mencoba menjauh tanpa membuat suara sedikit pun.Setelah berhasil kembali ke ruangannya, Raina segera meraih tasnya, dengan tangan gemetar. Ia keluar dari kantor secepat mungkin, melangkah dengan kepala yang serasa berputar-putar. Setiap langkah terasa berat, seolah kakinya tertarik ke bawah oleh beban yang tak terlihat.Begitu masuk ke dalam mobil, ia mengisyaratkan pada supir untuk segera menyalakan kendaraan. “Ke rumah, Pak,” ucapnya dengan suara pelan.“Baik, Non,” jawab Pak Darto, supir keluarga yang sudah lama mengabdi, dengan nada patuh.Sepanjang perjalanan, otak Raina berkecamuk.‘Tidak mungkin.’ Jainitra te
“Kenapa, Mas?” suara Raina bergetar, lebih lirih namun penuh luka yang tertahan.Kata-kata itu meluncur sebagai kesempatan terakhir bagi suaminya untuk menjelaskan. Untuk mengungkap kebenaran yang selama ini ia tutupi dengan begitu rapat.Namun Jovian hanya berdiri diam, tak mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan ia tidak menatap Raina, pandangannya terarah pada rumpun lili lembah berwarna putih.Sang istri merasa amarah menyelinap, bercampur dengan kecewa yang membanjiri dada. Ironisnya, ia merasa akan lebih baik jika pria itu membantah, mencoba membujuknya dengan kata-kata lembut atau pelukan hangat, seperti yang biasa Jovian lakukan untuk meluluhkan hatinya. Tapi kali ini, yang wanita itu dapatkan hanya kebisuan menyakitkan.“Katakan sesuatu!” jeritnya, suaranya menggema di dinding-dinding kaca rumah kecil itu. “Katakan kalau ini semua hanya kesalahan! Kenapa kamu tidak menyangkalnya?! Tega sekali kamu melakukan itu, Mas?! Kenapa?!”Dada Raina kembali sesak, seperti dihimpit oleh beba
"Cih, si pincang ngapain di sini?"Baru memasuki ruang privat pada restoran, Raina dan Jovian sudah disuguhi hinaan. Netra sang istri melotot menatap kakak tiri.Sementara pria di samping menepuk pundaknya pelan, seolah menenangkan. "Selamat malam semuanya. Maaf terlambat. Jalan ke sini agak lama, banyak tangga," ucapnya ramah."Makanya, orang cacat tuh harusnya diem aja di rumah, nggak usah ikut-ikutan kemari," ejek Vanya yang lalu cekikikan dengan sang ibu. Saudari tiri Raina itu memang tidak akan melewatkan kesempatan untuk merendahkan Jovian.Belum sempat Raina membalas nyinyiran si nenek lampir, Jovian sudah meraih tangan sang istri dan membelainya lembut. Pria berusia 33 tahun itu menggeleng pelan, mengisyaratkan pada Raina agar tidak terpancing.Dengan muka masam, wanita itu duduk pada bangku kosong. Kalau bukan karena permintaan Jovian untuk ikut makan malam keluarga, mungkin Raina lebih memilih istirahat di rumah.Kakek berdeham pelan hingga semua perhatian tertuju padanya. "
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen