Share

Identitas Tersembunyi Suami Cacat
Identitas Tersembunyi Suami Cacat
Penulis: Ayria

1. Makan Malam Keluarga

"Cih, si pincang ngapain di sini?"

Baru memasuki ruang privat pada restoran, Raina dan Jovian sudah disuguhi hinaan. Netra sang istri melotot menatap kakak tiri.

Sementara pria di samping menepuk pundaknya pelan, seolah menenangkan. "Selamat malam semuanya. Maaf terlambat. Jalan ke sini agak lama, banyak tangga," ucapnya ramah.

"Makanya, orang cacat tuh harusnya diem aja di rumah, nggak usah ikut-ikutan kemari," ejek Vanya yang lalu cekikikan dengan sang ibu. Saudari tiri Raina itu memang tidak akan melewatkan kesempatan untuk merendahkan Jovian.

Belum sempat Raina membalas nyinyiran si nenek lampir, Jovian sudah meraih tangan sang istri dan membelainya lembut. Pria berusia 33 tahun itu menggeleng pelan, mengisyaratkan pada Raina agar tidak terpancing.

Dengan muka masam, wanita itu duduk pada bangku kosong. Kalau bukan karena permintaan Jovian untuk ikut makan malam keluarga, mungkin Raina lebih memilih istirahat di rumah.

Kakek berdeham pelan hingga semua perhatian tertuju padanya. "Karena semua sudah kumpul, mari kita mulai perjamuan kali ini. Kakek harap semua bisa menjaga etika dan martabat keluarga selama kita menikmati hidangan malam ini," ucapnya, secara tidak langsung memperingati anak cucu agar tidak saling bertengkar di hadapan.

Tak lama, kakak tirinya berdiri dengan anggun, mengangkat gelas sampanye, kemudian mengetukkan garpu kecil ke bibir gelas. Meminta perhatian dari semua orang yang ada di meja.

"Kakek, aku minta izin buat ngasih tau berita bahagia," ucap Vanya dengan senyum penuh percaya diri.

"Oh, silakan Vanya," balas Kakek, menatap sang cucu dengan tatapan penasaran.                              

"Tadi sore aku dilamar sama Mas Aksa," ungkap Vanya seraya mengangkat tangan kirinya, memamerkan cincin berlian berkilauan yang menghias jari manis.

"Aksa Diraja? Pewaris grup Diraja Capital?" sahut Kakek dengan penuh antusias.

Sang cucu membalas sama bersemangatnya, "Iya, Kek. Minggu depan Mas Aksa bakal ke rumah."

Senyum lebar terulas di bibir Kakek, menunjukkan betapa bahagianya beliau atas pengumuman ini.

Bagaimana tidak, keluarga Diraja adalah nama besar yang telah lama menyaingi pamor keluarga Hartanto. Ikatan pernikahan di antara kedua keluarga tentu akan membawa keuntungan besar dan kesejahteraan bagi mereka.

Raina hanya bisa menelan pahit. Betapa berbeda reaksi ini dengan ketika dia mengumumkan rencana pernikahannya dengan Jovian. Sang sepuh bahkan meminta agar pestanya dibuat sederhana, dengan mengundang beberapa kerabat dekat saja. Kakek pun hanya singgah sesaat, sebelum berlalu menemui orang-orang yang ia anggap lebih penting. Mengingat itu semua, membuat hati Raina nyeri, penuh dengan luka yang menganga.

"Ya ampun, pantesan tadi sore Mama cari-cari kamu nggak ada. Rupanya lagi dilamar Aksa," timpal ibu tiri dengan nada bangga, matanya tampak berbinar mendengar anaknya bersanding dengan pewaris perusahaan besar.

"Iya, tadi Mas Aksa ngajakin naik yacth, eh tau-tau ngelamar," balas Vanya sambil tertawa kecil.

Sambil melirik penuh arti ke arah Raina dan Jovian, sang ibu tiri melanjutkan dengan nada sinis, "Aduh, romantis banget! Nggak kayak, siapa itu? Dilamarnya di warung pinggir jalan." Gelak tawa keluar dari mulutnya, yang dengan cepat diikuti oleh Vanya.

"Jelas beda lah, Ma. Suaminya aja nggak jelas kerja apaan. Mana bisa dibandingin sama Mas Aksa yang CEO muda dan sukses," Vanya menambahkan dengan nada mengejek.

Raina bisa merasakan darahnya mendidih, jemarinya sudah terkepal kuat di bawah meja. Namun, sebelum sempat berkata apa-apa, suara tenang sang suami memecah ketegangan. "Selamat ya, Vanya," ucap pria itu dengan nada tulus. Tangan Jovian masih setia menggenggam sang istri, seolah tahu perkataan ibu dan kakak tiri menggores luka pada hati wanita itu.

Bukannya Raina tidak senang dengan pengumuman dari Vanya. Namun dia cemas, kalau-kalau pertunangan sang kakak dengan pewaris kaya raya akan menambah alasan bagi anggota keluarga untuk merendahkan suaminya.

Seolah-olah menanggapi firasat buruk Raina, sang ibu tiri kembali membuka mulut. "Mama bangga sama kamu, nak. Kamu pinter banget cari suami," puji wanita itu. Netranya mencuri pandang ke arah Raina. "Nggak kayak anak itu." Meski pelan, semua orang yang ada di meja dapat mendengar gumam tersebut dengan jelas.

"Oh, tentu aja. Nggak mungkinlah aku kayak mereka. Ibunya pelakor, anaknya nikah sama pecundang. Nggak jauh beda," sergah Vanya dengan tawa penuh kepuasan.

"Mbak Vanya!" Tidak dapat menahan emosi, Raina berseru keras. 

"Kenapa? Emangnya sebutan apa lagi yang cocok buat perempuan perebut suami orang?" cibir sang kakak tiri. Matanya memicing, menantang, seolah merasa berhak atas setiap kata-kata pedas yang keluar dari mulut.

Dada Raina sesak. Genggaman tangan Jovian menjadi satu-satunya hal yang membuatnya tetap duduk dalam ruangan. 

Ingatannya kembali ke masa lalu, saat dia masih kecil dan tinggal bersama ibu. Sosok mungilnya sering mempertanyakan kenapa sang ayah hanya mampir di khir minggu dan tidak tidur di rumah bersama mereka. Setelah kematian ibunya, Raina dibawa ke rumah Papa dan dikenalkan pada keluarga Hartanto. Dihadapkan pada kenyataan bahwa ibunya adalah istri kedua dari Papa.  

Dia ingat bagaimana dulu, ia merasa senang tiba-tiba memiliki tiga orang kakak. Tapi kebahagiaan itu cepat pudar, tergantikan oleh realita pahit bahwa ada jarak yang bisa dikikis di antara mereka, sekeras apa pun dia mencoba.

Setelah dewasa, Raina sudah menyerah untuk berusaha berdamai. Terutama sekarang ketika dirinya menginjak usia 25 tahun. Tidak ada gunanya. Mereka tidak pernah menerima kehadirannya, tidak pernah menganggapnya keluarga.

Bukan berarti dia akan diam, mendengar sang ibu dihina. "Mbak, ibu aku sama Papa juga menikah dengan sah!" sahut Raina, membela ibu kandungnya.

Sang kakak malah tertawa mengejek. "Tetap aja namanya selingkuh kan? Ibu kamu itu cuma kucing pencuri, perusak keluarga orang!" sergah Vanya.

“Cukup! Kakek bilang jaga etika dan martabat kalian!”

Belum sempat Raina membalas, Kakek sudah menghardik dengan suara tinggi sarat akan kekecewaan. Membuat semua bungkam, tak lagi berdebat sambil tarik urat.

Namun Raina tak sanggup bertahan lebih lama. Dirinya enggan duduk semeja dengan orang-orang yang merendahkan ibu serta suaminya.

"Mas, ayo kita pulang," ajak wanita itu dengan suara lirih.

Netra cokelat sang suami menatapnya lembut. "Ray, kamu kan belum selesai makan," bujuknya. Kerutan pada dahi pria itu menunjukkan dengan jelas bahwa ia juga merasa dilema atas situasi tersebut.

"Kamu kok nggak perhatian gitu sih, Ray. Itu kan Jovian masih mau makan enak," celetuk sang ibu. "Kapan lagi kan dia bisa mencicipi hidangan mewah restoran mahal," lanjutnya dengan nada mencemooh.

Perkataannya disambut derai tawa dari Vanya. "Iya nih, Ray. Mumpung gratis. Suami kamu kan nggak mampu kalo disuruh bayar sendiri," ejek sang kakak tiri.

Mata Raina mendelik. "Aku udah selesai," tandas wanita itu seraya bangkit dan bergegas keluar dari ruangan. Masih sempat ia dengar sang suami berpamitan sebelum menyusulnya untuk pulang.

Setelah makan malam yang berakhir dengan kepahitan, Raina kembali tenggelam dalam rutinitas kantor.

"Bu Raina, dipanggil ke ruangan Ketua Dewan Komisaris." Baru sampai di meja, sang asisten sudah menyambut dengan pekerjaan.

Raina mengangguk pelan seraya berkata, "saya segera ke sana."

Setelah menaruh tas berisi laptop, wanita berkulit kuning langsat itu gegas menuju ruangan sang pendiri perusahaan. Berbagai pertanyaan muncul dalam benak Raina.                                                                     

Hal penting apa yang membuat Kakek memanggilku sepagi ini? Apakah ada kesalahan di laporan minggu lalu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status