"Cih, si pincang ngapain di sini?"
Baru memasuki ruang privat pada restoran, Raina dan Jovian sudah disuguhi hinaan. Netra sang istri melotot menatap kakak tiri.
Sementara pria di samping menepuk pundaknya pelan, seolah menenangkan. "Selamat malam semuanya. Maaf terlambat. Jalan ke sini agak lama, banyak tangga," ucapnya ramah.
"Makanya, orang cacat tuh harusnya diem aja di rumah, nggak usah ikut-ikutan kemari," ejek Vanya yang lalu cekikikan dengan sang ibu. Saudari tiri Raina itu memang tidak akan melewatkan kesempatan untuk merendahkan Jovian.
Belum sempat Raina membalas nyinyiran si nenek lampir, Jovian sudah meraih tangan sang istri dan membelainya lembut. Pria berusia 33 tahun itu menggeleng pelan, mengisyaratkan pada Raina agar tidak terpancing.
Dengan muka masam, wanita itu duduk pada bangku kosong. Kalau bukan karena permintaan Jovian untuk ikut makan malam keluarga, mungkin Raina lebih memilih istirahat di rumah.
Kakek berdeham pelan hingga semua perhatian tertuju padanya. "Karena semua sudah kumpul, mari kita mulai perjamuan kali ini. Kakek harap semua bisa menjaga etika dan martabat keluarga selama kita menikmati hidangan malam ini," ucapnya, secara tidak langsung memperingati anak cucu agar tidak saling bertengkar di hadapan.
Tak lama, kakak tirinya berdiri dengan anggun, mengangkat gelas sampanye, kemudian mengetukkan garpu kecil ke bibir gelas. Meminta perhatian dari semua orang yang ada di meja.
"Kakek, aku minta izin buat ngasih tau berita bahagia," ucap Vanya dengan senyum penuh percaya diri.
"Oh, silakan Vanya," balas Kakek, menatap sang cucu dengan tatapan penasaran.
"Tadi sore aku dilamar sama Mas Aksa," ungkap Vanya seraya mengangkat tangan kirinya, memamerkan cincin berlian berkilauan yang menghias jari manis.
"Aksa Diraja? Pewaris grup Diraja Capital?" sahut Kakek dengan penuh antusias.
Sang cucu membalas sama bersemangatnya, "Iya, Kek. Minggu depan Mas Aksa bakal ke rumah."
Senyum lebar terulas di bibir Kakek, menunjukkan betapa bahagianya beliau atas pengumuman ini.
Bagaimana tidak, keluarga Diraja adalah nama besar yang telah lama menyaingi pamor keluarga Hartanto. Ikatan pernikahan di antara kedua keluarga tentu akan membawa keuntungan besar dan kesejahteraan bagi mereka.
Raina hanya bisa menelan pahit. Betapa berbeda reaksi ini dengan ketika dia mengumumkan rencana pernikahannya dengan Jovian. Sang sepuh bahkan meminta agar pestanya dibuat sederhana, dengan mengundang beberapa kerabat dekat saja. Kakek pun hanya singgah sesaat, sebelum berlalu menemui orang-orang yang ia anggap lebih penting. Mengingat itu semua, membuat hati Raina nyeri, penuh dengan luka yang menganga.
"Ya ampun, pantesan tadi sore Mama cari-cari kamu nggak ada. Rupanya lagi dilamar Aksa," timpal ibu tiri dengan nada bangga, matanya tampak berbinar mendengar anaknya bersanding dengan pewaris perusahaan besar.
"Iya, tadi Mas Aksa ngajakin naik yacth, eh tau-tau ngelamar," balas Vanya sambil tertawa kecil.
Sambil melirik penuh arti ke arah Raina dan Jovian, sang ibu tiri melanjutkan dengan nada sinis, "Aduh, romantis banget! Nggak kayak, siapa itu? Dilamarnya di warung pinggir jalan." Gelak tawa keluar dari mulutnya, yang dengan cepat diikuti oleh Vanya.
"Jelas beda lah, Ma. Suaminya aja nggak jelas kerja apaan. Mana bisa dibandingin sama Mas Aksa yang CEO muda dan sukses," Vanya menambahkan dengan nada mengejek.
Raina bisa merasakan darahnya mendidih, jemarinya sudah terkepal kuat di bawah meja. Namun, sebelum sempat berkata apa-apa, suara tenang sang suami memecah ketegangan. "Selamat ya, Vanya," ucap pria itu dengan nada tulus. Tangan Jovian masih setia menggenggam sang istri, seolah tahu perkataan ibu dan kakak tiri menggores luka pada hati wanita itu.
Bukannya Raina tidak senang dengan pengumuman dari Vanya. Namun dia cemas, kalau-kalau pertunangan sang kakak dengan pewaris kaya raya akan menambah alasan bagi anggota keluarga untuk merendahkan suaminya.
Seolah-olah menanggapi firasat buruk Raina, sang ibu tiri kembali membuka mulut. "Mama bangga sama kamu, nak. Kamu pinter banget cari suami," puji wanita itu. Netranya mencuri pandang ke arah Raina. "Nggak kayak anak itu." Meski pelan, semua orang yang ada di meja dapat mendengar gumam tersebut dengan jelas.
"Oh, tentu aja. Nggak mungkinlah aku kayak mereka. Ibunya pelakor, anaknya nikah sama pecundang. Nggak jauh beda," sergah Vanya dengan tawa penuh kepuasan.
"Mbak Vanya!" Tidak dapat menahan emosi, Raina berseru keras.
"Kenapa? Emangnya sebutan apa lagi yang cocok buat perempuan perebut suami orang?" cibir sang kakak tiri. Matanya memicing, menantang, seolah merasa berhak atas setiap kata-kata pedas yang keluar dari mulut.
Dada Raina sesak. Genggaman tangan Jovian menjadi satu-satunya hal yang membuatnya tetap duduk dalam ruangan.
Ingatannya kembali ke masa lalu, saat dia masih kecil dan tinggal bersama ibu. Sosok mungilnya sering mempertanyakan kenapa sang ayah hanya mampir di khir minggu dan tidak tidur di rumah bersama mereka. Setelah kematian ibunya, Raina dibawa ke rumah Papa dan dikenalkan pada keluarga Hartanto. Dihadapkan pada kenyataan bahwa ibunya adalah istri kedua dari Papa.
Dia ingat bagaimana dulu, ia merasa senang tiba-tiba memiliki tiga orang kakak. Tapi kebahagiaan itu cepat pudar, tergantikan oleh realita pahit bahwa ada jarak yang bisa dikikis di antara mereka, sekeras apa pun dia mencoba.
Setelah dewasa, Raina sudah menyerah untuk berusaha berdamai. Terutama sekarang ketika dirinya menginjak usia 25 tahun. Tidak ada gunanya. Mereka tidak pernah menerima kehadirannya, tidak pernah menganggapnya keluarga.
Bukan berarti dia akan diam, mendengar sang ibu dihina. "Mbak, ibu aku sama Papa juga menikah dengan sah!" sahut Raina, membela ibu kandungnya.
Sang kakak malah tertawa mengejek. "Tetap aja namanya selingkuh kan? Ibu kamu itu cuma kucing pencuri, perusak keluarga orang!" sergah Vanya.
“Cukup! Kakek bilang jaga etika dan martabat kalian!”
Belum sempat Raina membalas, Kakek sudah menghardik dengan suara tinggi sarat akan kekecewaan. Membuat semua bungkam, tak lagi berdebat sambil tarik urat.
Namun Raina tak sanggup bertahan lebih lama. Dirinya enggan duduk semeja dengan orang-orang yang merendahkan ibu serta suaminya.
"Mas, ayo kita pulang," ajak wanita itu dengan suara lirih.
Netra cokelat sang suami menatapnya lembut. "Ray, kamu kan belum selesai makan," bujuknya. Kerutan pada dahi pria itu menunjukkan dengan jelas bahwa ia juga merasa dilema atas situasi tersebut.
"Kamu kok nggak perhatian gitu sih, Ray. Itu kan Jovian masih mau makan enak," celetuk sang ibu. "Kapan lagi kan dia bisa mencicipi hidangan mewah restoran mahal," lanjutnya dengan nada mencemooh.
Perkataannya disambut derai tawa dari Vanya. "Iya nih, Ray. Mumpung gratis. Suami kamu kan nggak mampu kalo disuruh bayar sendiri," ejek sang kakak tiri.
Mata Raina mendelik. "Aku udah selesai," tandas wanita itu seraya bangkit dan bergegas keluar dari ruangan. Masih sempat ia dengar sang suami berpamitan sebelum menyusulnya untuk pulang.
Setelah makan malam yang berakhir dengan kepahitan, Raina kembali tenggelam dalam rutinitas kantor.
"Bu Raina, dipanggil ke ruangan Ketua Dewan Komisaris." Baru sampai di meja, sang asisten sudah menyambut dengan pekerjaan.
Raina mengangguk pelan seraya berkata, "saya segera ke sana."
Setelah menaruh tas berisi laptop, wanita berkulit kuning langsat itu gegas menuju ruangan sang pendiri perusahaan. Berbagai pertanyaan muncul dalam benak Raina.
Hal penting apa yang membuat Kakek memanggilku sepagi ini? Apakah ada kesalahan di laporan minggu lalu?
Walaupun bekerja di perusahaan keluarga, Raina Asmarani Hartanto meniti karir dari bawah. Setelah berjuang membuktikan diri selama tiga tahun, akhirnya sang Kakek memberikan kepercayaan padanya untuk memimpin proyek besar. Dia tidak mungkin mengacaukan kesempatan emas itu. Beberapa detik sang wanita terdiam di depan pintu cendana sebelum akhirnya melangkah masuk. "Selamat pagi, Kakek mencari saya?" sapa Raina mencoba terdengar tenang, meski sempat terkejut melihat kakak tirinya juga berada di ruangan. Firasat buruk tiba-tiba mengusik hati wanita itu.Pria sepuh itu menoleh, tersenyum tipis. "Duduklah." Menurut, Raina memilih duduk di sofa sebelah kiri, tepat berhadapan dengan Vanya.Selang beberapa saat, sekretaris kakek masuk membawa cangkir teh untuk Raina. Tapi ia mengabaikannya, tak punya selera untuk beramah-tamah, terutama jika harus berlama-lama satu ruangan dengan Vanya. Kakek berdeham pelan, "Gimana perkembangan proyek Sakala Nusa?" Yang dibalas dengan anggukan penuh an
Raina bangkit perlahan dari tempat tidur, meraih kaus Jovian yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya. Kaus itu terasa hangat dan nyaman di kulitnya, membawa aroma tubuh suaminya yang menenangkan.Seraya memijat pundak yang terasa pegal, dia berjalan menuju arah suara. Badannya masih terasa lelah setelah hampir semalaman dijamah oleh Jovian. Meski demikian, ia menikmati setiap momen keintiman mereka. Senyum kecil terulas di bibirnya."... proyek pembangunan..." suara Jovian terdengar semakin jelas saat wanita itu mendekati pintu balkon, "lupakan saja. Biar saya sendiri yang urus.""Mas?" panggil Raina lembut.Bukan maksudnya untuk mengendap-endap, namun dia tak menyangka Jovian akan tersentak kaget hingga gawai di tangan hampir jatuh. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya pria itu menoleh, senyum tipis terlukis di wajahnya.Melihat sang suami tertatih-tatih, Raina segera melangkah maju, meraih lengan Jovian untuk memapahnya. "Kebangun?" tanya Jovian dengan nada lembut, seraya m
Jovian tersenyum penuh kemenangan. Namun langkah pria itu masih terlihat goyah. Semakin dekat, Raina bisa melihat peluh yang membasahi kening suaminya. Hanya beberapa langkah lagi menuju Raina, sang suami kehilangan keseimbangan dan limbung, jatuh berlutut ke tanah."Mas!" Raina berseru panik, cepat-cepat menghampiri. Tangannya meraih lengan suaminya, mencoba mengangkat tubuh Jovian yang tampak kelelahan.Pria itu tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Duh, malah jatoh. Malu-maluin aja," katanya dengan cengengesan, seolah berusaha menghapus rasa canggung.Manik Raina berkaca-kaca, suaranya tertahan di tenggorokan. "Ya Tuhan, Mas... ini luar biasa," bisiknya, lalu memeluk Jovian erat-erat. Hatinya berdebar kencang, dipenuhi perasaan campur aduk—bahagia, syukur, dan juga kekhawatiran.Dia menyembunyikan wajahnya di dada Jovian, menghidu aroma tubuh yang hangat dan akrab. Melihat suaminya berdiri dan berjalan tanpa tongkat adalah impian yang selalu ia pendam. Akhirnya, itu terwuju
"Ya sadar diri aja. Suami kamu tuh pincang. Udah malu-maluin, nanti malah nyusahin orang. Dasar nggak guna." Cibiran Vanya masih terngiang di ingatan Raina ketika bertemu calon besan sang kakak beberapa hari lalu."Nak Jovian, tolong maklumi ya? Ini acara besar, takutnya kaki kamu semakin sakit." Kalimat yang dilontarkan sang kakek setelah omongan Vanya semakin membuat Raina kecewa.Awalnya, wanita itu masih enggan untuk pergi. Ia lebih memilih tinggal di rumah, dalam dekapan hangat Jovian, daripada harus berpura-pura tersenyum di pesta pertunangan kakak tirinya.Namun, suaminya, bersikukuh bahwa dia harus menghadiri acara keluarga yang penting itu. "Aku nggak mau nanti kamu dibilang adik kurang ajar, masa hajatan kakaknya nggak datang," kata Jovian sebelum sang istri pergi ke pesta.Raina menggigit bibir. "Kalau kenapa-napa, telepon ya, Mas. Pokoknya aku nggak bakal lama-lama di sana," ucapnya dengan nada khawatir.Jovian terkekeh pelan, mengusap pipi Raina dengan lembut. "Kamu yang
"Mas, kamu kenal dari mana?" Raina berbisik dengan nada penuh tanya.Jovian hanya tersenyum, menjawab pelan, "Iya, pas dulu masih jadi jurnalis.""Jurnalis?" Investor yang mendengar percakapan itu ikut angkat alis, tampak heran.Jovian segera menimpali sebelum pria berjas biru tua itu sempat berbicara lebih jauh, "Aku pernah diminta bantu waktu wawancara beliau," ujarnya dengan nada santai.Pengusaha besar itu memandangi wajah Jovian sejenak, lalu tertawa kecil, meskipun terdengar sedikit canggung. "Oh iya, dulu Pak Jovian memang banyak membantu," katanya, berusaha mengalihkan perhatian.Raina menoleh ke arah suaminya, mencari jawaban di balik senyum tenang
Senyum Raina pudar saat mendapati pria yang menyapa bukanlah Jovian.Di hadapannya, berdiri Aksa dengan senyum tipis dan mata yang tampak sedikit berat. Dengan dagu, wanita itu menunjuk ke arah pintu ballroom yang tadi dilalui, "Mbak Vanya udah masuk lagi," ucapnya kepada calon kakak ipar.Aksa, mengenakan jas berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan rapi, hanya berdiri diam di tempatnya, seolah sengaja menghalangi jalan Raina. Segelas sampanye tergenggam di tangannya. "Aku emang nyari kamu kok," ucapnya tiba-tiba saat Raina mencoba melangkah pergi.Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati Raina. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Aksa, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. "Lepas," pintanya pelan, matanya melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang
Desahan kenikmatan lolos dari bibir Raina. Matanya mengerjap, berusaha fokus di tengah badai sensasi yang menggelora. "Aku hanya milikmu, Mas," bisiknya lembut, suaranya bergetar dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Sentuhan Jovian tak berhenti sampai di situ. Bibirnya yang panas mulai menelusuri setiap inci kulit Raina, meninggalkan jejak-jejak keinginannya. Seolah setiap ciuman adalah janji yang ingin ditegaskan, setiap sentuhan adalah klaim atas apa yang memang menjadi miliknya. Raina hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya bergetar di bawah kuasa sang suami.Desakan hasrat yang tertahan mulai membakar dada ketika Jovian dengan sengaja menghindari titik-titik sensitif di tubuh sang wanita. "Mas," rengeknya, jemarinya yang gemetar menyelinap di antara surai kastanye suaminya, menariknya pelan, memohon lebih.Jovian terkekeh, getaran tawanya menggelitik kulit Raina. Manik mata madunya yang kini tampak lebih gelap beradu pandang dengan netra sang istri, dipenuhi gelo
Sang sepuh mengangkat bahu dengan sikap acuh. "Itu sebenarnya hasil investigasi sebelum kalian menikah. Kamu pikir Kakek bakal biarin seorang Hartanto menikah begitu saja dengan sembarang orang?"Raina mendengus kesal. "Terus kenapa Kakek ngebiarin aku nikah sama Mas Jovian?" tanyanya tajam, merasa ada sesuatu yang disembunyikan.Kakek tersenyum tipis, sedikit menyeringai. "Karena Jovian sudah berjanji sama Kakek. Dia akan hidup dalam diam, tidak membuat nama baik Hartanto tercoreng," jelasnya tenang.Raina tertegun. "Kenapa sekarang kakek minta aku cerai dari Mas Jovian? Kan Mas Jovian udah nurutin permintaan Kakek." Dia merasa marah, tetapi juga bingung dengan maksud Kakeknya."Kakek tahu kamu selama ini berusaha
“Bangsat! Kalau jalan yang bener!” teriakan kasar itu membelah keheningan malam.Jovian tersentak, menunduk dalam-dalam tanpa menatap pria bertato yang berteriak ke arahnya. Tubuhnya terasa lelah, hampir kehabisan tenaga, ia hanya mampu menggumamkan kata maaf pelan sambil berlalu.“Woy! Bocah tengik! Songong kali kau! Main pergi-pergi aja!” seorang pria lain dengan bandana mencengkeram bahunya, kasar, memaksa Jovian berhenti.“Maaf, Bang. Saya buru-buru,” ucap pemuda itu, suaranya serak dan tertekan. Ia melirik jam tangan kesayangan yang terpasang di pergelangan tangan—hadiah terakhir dari ayahnya yang sudah tiada. Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Aji pasti sudah menangis ketakutan di rumah yang gelap.Namun para preman itu tak membiarkannya pergi begitu saja. Salah satu dari mereka mendorong Jovian hingga terjengkang, memaksanya untuk melawan.
“Jo, gue pinjem uang dong!” seru seorang siswa berseragam abu-abu.Belum sempat Jovian menjawab, temannya yang lain langsung menyikut lengan si peminjam. “Bego, perusahaan bokapnya udah bangkrut,” bisiknya. Pelan tapi cukup keras hingga terdengar.Siswa yang pertama langsung terkesiap. “Eh, maaf, Jo. Gue nggak tahu,” ucapnya, menangkupkan tangan, berusaha terlihat menyesal, meski senyumnya masih terkesan mengejek.Tanpa menjawab, Jovian bangkit dari kursinya, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah yang berat dan kasar, meninggalkan mereka semua di belakang.“Apaan, gitu doang ngambek,” gerutu si peminjam, menyandarkan tubuhnya santai ke kursi.“Jangan gitu, bego! Nyokapnya meninggal gara-gara nggak ada duit buat berobat, terus nggak lama bo
Pria bertubuh besar itu berdiri di depan pintu rumah Haris, wajahnya mengeras dan penuh amarah. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya dengan kasar menampar-nampar buku yang tampaknya berisi catatan utang. Wajahnya sangar, dihiasi dengan kumis tebal dan tatapan yang menakutkan, seperti elang yang sedang menatap mangsanya.“Bayar hutangmu, Pak Tua!” bentak pria itu, suaranya menggema di ruang tamu yang semakin hari semakin tak terurus. Matanya memelototi Haris dengan sorot meremehkan, sementara tubuhnya condong maju, seakan siap menyerang.Ayah Jovian yang berdiri berjarak beberapa langkah, tampak ciut. Pria paruh baya itu mencoba merapatkan kedua tangannya di dada, membungkuk sedikit, menatap lantai dengan wajah penuh kekhawatiran. “S-saya janji akan membayarnya, Pak… tolong beri saya keringanan,” katanya dengan suara bergetar.
Enam belas tahun silam.Jovian menendang kerikil, menghela napas panjang. Bosan menyelimutinya. Terutama setelah lebih dari satu jam Ayahnya meninggalkannya sendirian di tepi jalan, berpesan agar tetap menunggu di mobil. Namun setelah lama duduk diam, sosok pria paruh baya itu tak juga terlihat.“Ayah lama nih,” gumamnya, kembali menendang batu kerikil di dekat kaki.Manik cokelat madu pemuda itu teralihkan ke arah rumah mewah di hadapannya. Halaman luas terbentang dengan kolam renang berair jernih yang memantulkan sinar matahari sore. Pohon-pohon rindang menaungi jalan masuknya, menghadirkan bayangan seperti lengan-lengan yang melambai pelan.Bangunan megah itu membuat mata Jovian berbinar. Tapi tiba-tiba, suara serak yang ia kenali mengusik pemujaannya.“Tolonglah, Pak Adi… saya sudah tidak tahu harus kemana,&r
“Apa kamu senang sekarang?”Suara cibiran memecah lamunan Raina akan pertemuannya dengan kakek beberapa hari lalu. Wanita itu tersentak dan menoleh, mendapati Nita berdiri tak jauh darinya dengan gaun perak berkilauan di bawah cahaya lampu pesta. Pipi sang kakak memerah serta maniknya tampak tak fokus.Entah apa yang kakaknya bicarakan, Raina sedang tak dalam kondisi untuk meladeninya. Dia berencana untuk pergi, tapi Nita mendekat, menghalangi jalannya.“Mau kemana?” Ucap wanita itu dengan senyum sinis di bibir. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Kesempatan untuk pamer, bersikap angkuh setelah berhasil menyelesaikan proyek besar Sakala Nusa?” sindirnya sambil menyilangkan tangan di dada.Raina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Mbak, ini bukan waktu atau tempat yang tepat untuk
Kakek melanjutkan perkataannya, seolah berharap sang cucu akan melunak. “Lagipula, sebentar lagi, dengan pembukaan resmi Hotel Sakala yang baru, siapapun tak akan bisa menyangkal kualitasmu sebagai anggota Hartanto.”Raina terdiam sejenak, napasnya tersengal pelan menahan emosi yang bergejolak dalam sanubari. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia meraih tasnya dan mengeluarkan amplop cokelat yang selama ini selalu ia bawa, seolah itu adalah perisai terakhirnya.Tanpa berkata apa pun, ia mengeluarkan isi amplop dan menyusun beberapa lembar dokumen di atas meja.Sambil menyesuaikan posisi kacamatanya, Kakek mencondongkan tubuh. Kemudian mulai menelisik foto-foto serta dokumen-dokumen yang dibawakan oleh sang cucu.Matanya membelalak sejenak, keterkejutan yang jarang sekali ia tunjukkan. “I-ini… darimana kamu mendapatkannya?&r
“Selamat atas pembukaan hotel barunya.”Suara yang menyapa telinganya bukanlah nada bariton khas Jovian.Raina menelan pahit di ujung lidah. Pikirannya telah sadar sepenuhnya bahwa pria itu adalah sosok berbahaya—seseorang yang tak seharusnya ia dambakan. Namun hatinya masih saja merindukan bayangan suaminya.“Terima kasih, Aji,” ucapnya, mencoba menguasai diri saat menerima uluran tangan dari pria di depannya.CEO TechNova itu menatap wanita itu dengan mata yang tajam, senyum tipis terpatri di bibirnya, tampak memancarkan ketenangan. “Omong-omong,” manik Aji melirik ke samping, seolah mencari-cari sosok lain. “Di mana suamimu?”Mendengar pertanyaan itu, sang wanita mendengus kecil, nyaris tak terdengar. Meski Jovian tak melakukan sesuatu seca
“Selamat atas pembukaan hotel Sakala cabang baru, Bu Vanya, Bu Raina! Saya tidak sabar melihat bagaimana hotel ini berkembang ke depannya,” sahut seorang pria berjas biru tua, sambil menjabat tangan Raina dan Vanya secara bergantian. Senyumnya ramah, namun sorot matanya penuh harapan pada kesuksesan investasi barunya.Akhirnya, pesta pembukaan Hotel Sakala yang ditunggu-tunggu telah tiba.Dengan senyum tipis, Raina membalas ucapan sang investor. “Kami sangat menghargai kehadiran Anda di acara ini, Pak. Semoga malam ini menjadi malam menyenangkan dan penuh makna bagi kita semua,” ucapnya sopan, berusaha tetap tenang di tengah perasaan yang berkecamuk.Di sampingnya, Papa berdiri berdampingan dengan Ambar. Setiap kali Raina mencuri pandang ke arah mereka, hatinya menggelegak, namun mati-matian ia menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang menco
“Sepertinya, ada alasan lain kenapa Jovian menikahimu,” suara Tama terdengar rendah, nyaris seperti bisikan di tengah keheningan.Raina terdiam, tangan yang memegang ponsel terasa dingin. “A-apa maksudmu, Mas?” bisiknya dengan gugup.“Anak buahku mendengar desas-desus tentang Sindikat Sinara,” Sang kakak melanjutkan, suaranya terdengar semakin dalam, seolah menggema langsung di dalam kepala Raina. “Organisasi itu tidak hanya sekadar mengelola informasi. Mereka mengincar grup-grup besar, mendekati target mereka dan membuatnya percaya, mengorek semua rahasia yang dibutuhkan. Dan ketika waktunya tiba… mereka menghancurkan target tanpa ampun.”Tenggorak sang adik tercekat. Seperti ada batu besar yang menyangkut di sana. Matanya membelalak kosong ke arah dinding kamarnya, tapi pikirannya bising, mencoba mencerna semua yang baru saja didengar.