"Cih, si pincang ngapain di sini?"
Baru memasuki ruang privat pada restoran, Raina dan Jovian sudah disuguhi hinaan. Netra sang istri melotot menatap kakak tiri.
Sementara pria di samping menepuk pundaknya pelan, seolah menenangkan. "Selamat malam semuanya. Maaf terlambat. Jalan ke sini agak lama, banyak tangga," ucapnya ramah.
"Makanya, orang cacat tuh harusnya diem aja di rumah, nggak usah ikut-ikutan kemari," ejek Vanya yang lalu cekikikan dengan sang ibu. Saudari tiri Raina itu memang tidak akan melewatkan kesempatan untuk merendahkan Jovian.
Belum sempat Raina membalas nyinyiran si nenek lampir, Jovian sudah meraih tangan sang istri dan membelainya lembut. Pria berusia 33 tahun itu menggeleng pelan, mengisyaratkan pada Raina agar tidak terpancing.
Dengan muka masam, wanita itu duduk pada bangku kosong. Kalau bukan karena permintaan Jovian untuk ikut makan malam keluarga, mungkin Raina lebih memilih istirahat di rumah.
Kakek berdeham pelan hingga semua perhatian tertuju padanya. "Karena semua sudah kumpul, mari kita mulai perjamuan kali ini. Kakek harap semua bisa menjaga etika dan martabat keluarga selama kita menikmati hidangan malam ini," ucapnya, secara tidak langsung memperingati anak cucu agar tidak saling bertengkar di hadapan.
Tak lama, kakak tirinya berdiri dengan anggun, mengangkat gelas sampanye, kemudian mengetukkan garpu kecil ke bibir gelas. Meminta perhatian dari semua orang yang ada di meja.
"Kakek, aku minta izin buat ngasih tau berita bahagia," ucap Vanya dengan senyum penuh percaya diri.
"Oh, silakan Vanya," balas Kakek, menatap sang cucu dengan tatapan penasaran.
"Tadi sore aku dilamar sama Mas Aksa," ungkap Vanya seraya mengangkat tangan kirinya, memamerkan cincin berlian berkilauan yang menghias jari manis.
"Aksa Diraja? Pewaris grup Diraja Capital?" sahut Kakek dengan penuh antusias.
Sang cucu membalas sama bersemangatnya, "Iya, Kek. Minggu depan Mas Aksa bakal ke rumah."
Senyum lebar terulas di bibir Kakek, menunjukkan betapa bahagianya beliau atas pengumuman ini.
Bagaimana tidak, keluarga Diraja adalah nama besar yang telah lama menyaingi pamor keluarga Hartanto. Ikatan pernikahan di antara kedua keluarga tentu akan membawa keuntungan besar dan kesejahteraan bagi mereka.
Raina hanya bisa menelan pahit. Betapa berbeda reaksi ini dengan ketika dia mengumumkan rencana pernikahannya dengan Jovian. Sang sepuh bahkan meminta agar pestanya dibuat sederhana, dengan mengundang beberapa kerabat dekat saja. Kakek pun hanya singgah sesaat, sebelum berlalu menemui orang-orang yang ia anggap lebih penting. Mengingat itu semua, membuat hati Raina nyeri, penuh dengan luka yang menganga.
"Ya ampun, pantesan tadi sore Mama cari-cari kamu nggak ada. Rupanya lagi dilamar Aksa," timpal ibu tiri dengan nada bangga, matanya tampak berbinar mendengar anaknya bersanding dengan pewaris perusahaan besar.
"Iya, tadi Mas Aksa ngajakin naik yacth, eh tau-tau ngelamar," balas Vanya sambil tertawa kecil.
Sambil melirik penuh arti ke arah Raina dan Jovian, sang ibu tiri melanjutkan dengan nada sinis, "Aduh, romantis banget! Nggak kayak, siapa itu? Dilamarnya di warung pinggir jalan." Gelak tawa keluar dari mulutnya, yang dengan cepat diikuti oleh Vanya.
"Jelas beda lah, Ma. Suaminya aja nggak jelas kerja apaan. Mana bisa dibandingin sama Mas Aksa yang CEO muda dan sukses," Vanya menambahkan dengan nada mengejek.
Raina bisa merasakan darahnya mendidih, jemarinya sudah terkepal kuat di bawah meja. Namun, sebelum sempat berkata apa-apa, suara tenang sang suami memecah ketegangan. "Selamat ya, Vanya," ucap pria itu dengan nada tulus. Tangan Jovian masih setia menggenggam sang istri, seolah tahu perkataan ibu dan kakak tiri menggores luka pada hati wanita itu.
Bukannya Raina tidak senang dengan pengumuman dari Vanya. Namun dia cemas, kalau-kalau pertunangan sang kakak dengan pewaris kaya raya akan menambah alasan bagi anggota keluarga untuk merendahkan suaminya.
Seolah-olah menanggapi firasat buruk Raina, sang ibu tiri kembali membuka mulut. "Mama bangga sama kamu, nak. Kamu pinter banget cari suami," puji wanita itu. Netranya mencuri pandang ke arah Raina. "Nggak kayak anak itu." Meski pelan, semua orang yang ada di meja dapat mendengar gumam tersebut dengan jelas.
"Oh, tentu aja. Nggak mungkinlah aku kayak mereka. Ibunya pelakor, anaknya nikah sama pecundang. Nggak jauh beda," sergah Vanya dengan tawa penuh kepuasan.
"Mbak Vanya!" Tidak dapat menahan emosi, Raina berseru keras.
"Kenapa? Emangnya sebutan apa lagi yang cocok buat perempuan perebut suami orang?" cibir sang kakak tiri. Matanya memicing, menantang, seolah merasa berhak atas setiap kata-kata pedas yang keluar dari mulut.
Dada Raina sesak. Genggaman tangan Jovian menjadi satu-satunya hal yang membuatnya tetap duduk dalam ruangan.
Ingatannya kembali ke masa lalu, saat dia masih kecil dan tinggal bersama ibu. Sosok mungilnya sering mempertanyakan kenapa sang ayah hanya mampir di khir minggu dan tidak tidur di rumah bersama mereka. Setelah kematian ibunya, Raina dibawa ke rumah Papa dan dikenalkan pada keluarga Hartanto. Dihadapkan pada kenyataan bahwa ibunya adalah istri kedua dari Papa.
Dia ingat bagaimana dulu, ia merasa senang tiba-tiba memiliki tiga orang kakak. Tapi kebahagiaan itu cepat pudar, tergantikan oleh realita pahit bahwa ada jarak yang bisa dikikis di antara mereka, sekeras apa pun dia mencoba.
Setelah dewasa, Raina sudah menyerah untuk berusaha berdamai. Terutama sekarang ketika dirinya menginjak usia 25 tahun. Tidak ada gunanya. Mereka tidak pernah menerima kehadirannya, tidak pernah menganggapnya keluarga.
Bukan berarti dia akan diam, mendengar sang ibu dihina. "Mbak, ibu aku sama Papa juga menikah dengan sah!" sahut Raina, membela ibu kandungnya.
Sang kakak malah tertawa mengejek. "Tetap aja namanya selingkuh kan? Ibu kamu itu cuma kucing pencuri, perusak keluarga orang!" sergah Vanya.
“Cukup! Kakek bilang jaga etika dan martabat kalian!”
Belum sempat Raina membalas, Kakek sudah menghardik dengan suara tinggi sarat akan kekecewaan. Membuat semua bungkam, tak lagi berdebat sambil tarik urat.
Namun Raina tak sanggup bertahan lebih lama. Dirinya enggan duduk semeja dengan orang-orang yang merendahkan ibu serta suaminya.
"Mas, ayo kita pulang," ajak wanita itu dengan suara lirih.
Netra cokelat sang suami menatapnya lembut. "Ray, kamu kan belum selesai makan," bujuknya. Kerutan pada dahi pria itu menunjukkan dengan jelas bahwa ia juga merasa dilema atas situasi tersebut.
"Kamu kok nggak perhatian gitu sih, Ray. Itu kan Jovian masih mau makan enak," celetuk sang ibu. "Kapan lagi kan dia bisa mencicipi hidangan mewah restoran mahal," lanjutnya dengan nada mencemooh.
Perkataannya disambut derai tawa dari Vanya. "Iya nih, Ray. Mumpung gratis. Suami kamu kan nggak mampu kalo disuruh bayar sendiri," ejek sang kakak tiri.
Mata Raina mendelik. "Aku udah selesai," tandas wanita itu seraya bangkit dan bergegas keluar dari ruangan. Masih sempat ia dengar sang suami berpamitan sebelum menyusulnya untuk pulang.
Setelah makan malam yang berakhir dengan kepahitan, Raina kembali tenggelam dalam rutinitas kantor.
"Bu Raina, dipanggil ke ruangan Ketua Dewan Komisaris." Baru sampai di meja, sang asisten sudah menyambut dengan pekerjaan.
Raina mengangguk pelan seraya berkata, "saya segera ke sana."
Setelah menaruh tas berisi laptop, wanita berkulit kuning langsat itu gegas menuju ruangan sang pendiri perusahaan. Berbagai pertanyaan muncul dalam benak Raina.
Hal penting apa yang membuat Kakek memanggilku sepagi ini? Apakah ada kesalahan di laporan minggu lalu?
Walaupun bekerja di perusahaan keluarga, Raina Asmarani Hartanto meniti karir dari bawah. Setelah berjuang membuktikan diri selama tiga tahun, akhirnya sang Kakek memberikan kepercayaan padanya untuk memimpin proyek besar. Dia tidak mungkin mengacaukan kesempatan emas itu. Beberapa detik sang wanita terdiam di depan pintu cendana sebelum akhirnya melangkah masuk. "Selamat pagi, Kakek mencari saya?" sapa Raina mencoba terdengar tenang, meski sempat terkejut melihat kakak tirinya juga berada di ruangan. Firasat buruk tiba-tiba mengusik hati wanita itu.Pria sepuh itu menoleh, tersenyum tipis. "Duduklah." Menurut, Raina memilih duduk di sofa sebelah kiri, tepat berhadapan dengan Vanya.Selang beberapa saat, sekretaris kakek masuk membawa cangkir teh untuk Raina. Tapi ia mengabaikannya, tak punya selera untuk beramah-tamah, terutama jika harus berlama-lama satu ruangan dengan Vanya. Kakek berdeham pelan, "Gimana perkembangan proyek Sakala Nusa?" Yang dibalas dengan anggukan penuh an
Raina bangkit perlahan dari tempat tidur, meraih kaus Jovian yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya. Kaus itu terasa hangat dan nyaman di kulitnya, membawa aroma tubuh suaminya yang menenangkan.Seraya memijat pundak yang terasa pegal, dia berjalan menuju arah suara. Badannya masih terasa lelah setelah hampir semalaman dijamah oleh Jovian. Meski demikian, ia menikmati setiap momen keintiman mereka. Senyum kecil terulas di bibirnya."... proyek pembangunan..." suara Jovian terdengar semakin jelas saat wanita itu mendekati pintu balkon, "lupakan saja. Biar saya sendiri yang urus.""Mas?" panggil Raina lembut.Bukan maksudnya untuk mengendap-endap, namun dia tak menyangka Jovian akan tersentak kaget hingga gawai di tangan hampir jatuh. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya pria itu menoleh, senyum tipis terlukis di wajahnya.Melihat sang suami tertatih-tatih, Raina segera melangkah maju, meraih lengan Jovian untuk memapahnya. "Kebangun?" tanya Jovian dengan nada lembut, seraya m
Jovian tersenyum penuh kemenangan. Namun langkah pria itu masih terlihat goyah. Semakin dekat, Raina bisa melihat peluh yang membasahi kening suaminya. Hanya beberapa langkah lagi menuju Raina, sang suami kehilangan keseimbangan dan limbung, jatuh berlutut ke tanah."Mas!" Raina berseru panik, cepat-cepat menghampiri. Tangannya meraih lengan suaminya, mencoba mengangkat tubuh Jovian yang tampak kelelahan.Pria itu tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Duh, malah jatoh. Malu-maluin aja," katanya dengan cengengesan, seolah berusaha menghapus rasa canggung.Manik Raina berkaca-kaca, suaranya tertahan di tenggorokan. "Ya Tuhan, Mas... ini luar biasa," bisiknya, lalu memeluk Jovian erat-erat. Hatinya berdebar kencang, dipenuhi perasaan campur aduk—bahagia, syukur, dan juga kekhawatiran.Dia menyembunyikan wajahnya di dada Jovian, menghidu aroma tubuh yang hangat dan akrab. Melihat suaminya berdiri dan berjalan tanpa tongkat adalah impian yang selalu ia pendam. Akhirnya, itu terwuju
"Ya sadar diri aja. Suami kamu tuh pincang. Udah malu-maluin, nanti malah nyusahin orang. Dasar nggak guna." Cibiran Vanya masih terngiang di ingatan Raina ketika bertemu calon besan sang kakak beberapa hari lalu."Nak Jovian, tolong maklumi ya? Ini acara besar, takutnya kaki kamu semakin sakit." Kalimat yang dilontarkan sang kakek setelah omongan Vanya semakin membuat Raina kecewa.Awalnya, wanita itu masih enggan untuk pergi. Ia lebih memilih tinggal di rumah, dalam dekapan hangat Jovian, daripada harus berpura-pura tersenyum di pesta pertunangan kakak tirinya.Namun, suaminya, bersikukuh bahwa dia harus menghadiri acara keluarga yang penting itu. "Aku nggak mau nanti kamu dibilang adik kurang ajar, masa hajatan kakaknya nggak datang," kata Jovian sebelum sang istri pergi ke pesta.Raina menggigit bibir. "Kalau kenapa-napa, telepon ya, Mas. Pokoknya aku nggak bakal lama-lama di sana," ucapnya dengan nada khawatir.Jovian terkekeh pelan, mengusap pipi Raina dengan lembut. "Kamu yang
"Mas, kamu kenal dari mana?" Raina berbisik dengan nada penuh tanya.Jovian hanya tersenyum, menjawab pelan, "Iya, pas dulu masih jadi jurnalis.""Jurnalis?" Investor yang mendengar percakapan itu ikut angkat alis, tampak heran.Jovian segera menimpali sebelum pria berjas biru tua itu sempat berbicara lebih jauh, "Aku pernah diminta bantu waktu wawancara beliau," ujarnya dengan nada santai.Pengusaha besar itu memandangi wajah Jovian sejenak, lalu tertawa kecil, meskipun terdengar sedikit canggung. "Oh iya, dulu Pak Jovian memang banyak membantu," katanya, berusaha mengalihkan perhatian.Raina menoleh ke arah suaminya, mencari jawaban di balik senyum tenang
Senyum Raina pudar saat mendapati pria yang menyapa bukanlah Jovian.Di hadapannya, berdiri Aksa dengan senyum tipis dan mata yang tampak sedikit berat. Dengan dagu, wanita itu menunjuk ke arah pintu ballroom yang tadi dilalui, "Mbak Vanya udah masuk lagi," ucapnya kepada calon kakak ipar.Aksa, mengenakan jas berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan rapi, hanya berdiri diam di tempatnya, seolah sengaja menghalangi jalan Raina. Segelas sampanye tergenggam di tangannya. "Aku emang nyari kamu kok," ucapnya tiba-tiba saat Raina mencoba melangkah pergi.Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati Raina. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Aksa, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. "Lepas," pintanya pelan, matanya melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang
Desahan kenikmatan lolos dari bibir Raina. Matanya mengerjap, berusaha fokus di tengah badai sensasi yang menggelora. "Aku hanya milikmu, Mas," bisiknya lembut, suaranya bergetar dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Sentuhan Jovian tak berhenti sampai di situ. Bibirnya yang panas mulai menelusuri setiap inci kulit Raina, meninggalkan jejak-jejak keinginannya. Seolah setiap ciuman adalah janji yang ingin ditegaskan, setiap sentuhan adalah klaim atas apa yang memang menjadi miliknya. Raina hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya bergetar di bawah kuasa sang suami.Desakan hasrat yang tertahan mulai membakar dada ketika Jovian dengan sengaja menghindari titik-titik sensitif di tubuh sang wanita. "Mas," rengeknya, jemarinya yang gemetar menyelinap di antara surai kastanye suaminya, menariknya pelan, memohon lebih.Jovian terkekeh, getaran tawanya menggelitik kulit Raina. Manik mata madunya yang kini tampak lebih gelap beradu pandang dengan netra sang istri, dipenuhi gelo
Sang sepuh mengangkat bahu dengan sikap acuh. "Itu sebenarnya hasil investigasi sebelum kalian menikah. Kamu pikir Kakek bakal biarin seorang Hartanto menikah begitu saja dengan sembarang orang?"Raina mendengus kesal. "Terus kenapa Kakek ngebiarin aku nikah sama Mas Jovian?" tanyanya tajam, merasa ada sesuatu yang disembunyikan.Kakek tersenyum tipis, sedikit menyeringai. "Karena Jovian sudah berjanji sama Kakek. Dia akan hidup dalam diam, tidak membuat nama baik Hartanto tercoreng," jelasnya tenang.Raina tertegun. "Kenapa sekarang kakek minta aku cerai dari Mas Jovian? Kan Mas Jovian udah nurutin permintaan Kakek." Dia merasa marah, tetapi juga bingung dengan maksud Kakeknya."Kakek tahu kamu selama ini berusaha
Persiapan pernikahan berjalan dengan lancar. Terutama karena memang tak banyak yang harus dipikirkan, mengingat pihak keluarga mempelai wanita menginginkan acara yang sederhana. Akad serta resepsi akan dilakukan sesederhana mungkin, hanya dihadiri oleh keluarga dekat serta beberapa kerabat terpercaya.Jovian menurut, karena baginya, yang terpenting adalah menyusup ke dalam kediaman Hartanto. Hal-hal lain hanyalah formalitas belaka.Namun siang itu, suara rendah sarat akan wibawa menghentikan langkah Jovian, kala pria itu baru menyelesaikan sesi terapinya. Atau yang sebenarnya rapat strategi bersama Saka, Aji dan para petinggi Sindikat Sinara.“Anak muda, bisa kita berbicara sejenak?”Sang pria muda menoleh, mendapati sosok Adi Prakoso Hartanto berdiri tak jauh darinya. Tubuhnya tinggi, tegap, meskipun usia senja telah men
Dengan tertatih-tatih, Jovian menyusuri trotoar, melangkah secepat yang kaki pincangnya sanggup. Tongkat di tangannya mengetuk ritmis di atas permukaan aspal, seolah mengiringi detak jantungnya yang gelisah.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk tulang, tapi itu tak sebanding dengan kecemasan yang mencengkeram hatinya. Kata-kata Raina di telepon tadi terus terngiang-ngiang di benaknya.“Mas, tolong datang ke sini. Cepat.”Hanya satu alamat yang disebutkan sebelum sambungan terputus. Terdengar napas berat yang tak biasa dari wanita itu.‘Sial!’ Jovian mengumpat dalam hati. Kenapa ia harus berpura-pura pincang? Kalau saja ia tidak membatasi dirinya dengan cedera palsu ini, mungkin ia sudah sampai lebih cepat. ‘Kenapa juga aku tidak memilih pura-pura cacat tangan saja?’ pikirnya penuh
Jovian membuka matanya perlahan, siluet lampu putih menyilaukan penglihatannya. Kepalanya berat, dan tubuhnya terasa kaku, nyeri menusuk-nusuk dari sisi tubuh hingga ke kakinya. Namun pandangannya tak butuh waktu lama untuk menangkap sosok wanita di samping ranjang. Manik kecokelatan yang memancarkan kecemasan itu adalah hal pertama yang ia lihat saat kesadarannya kembali.Raina.Menyipitkan mata, pria itu mencoba memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan ilusi. Wanita itu benar-benar ada di sana, duduk di kursi, wajahnya khawatir namun tetap anggun di bawah cahaya lembut lampu ruangan.Jovian langsung menyadari sesuatu—luka kecil di pelipis Raina terlihat sudah mengering, tak ada perban kasat mata lainnya di tubuh wanita itu. Syukurlah, kecelakaan itu tak meninggalkan cedera serius pada dirinya.Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, s
“Jovian!”Teriakan lantang menggema di lorong rumah sakit, memecah kesunyian malam. Langkah tergesa-gesa dua pria terdengar semakin mendekat. Di ambang pintu unit gawat darurat, Aji dan Saka muncul dengan napas tersengal. Raut wajah mereka campuran antara cemas dan panik.Di ranjang yang tak terlalu lebar, Jovian membuka matanya dengan susah payah. Wajahnya pucat, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Namun, seperti biasa, ia mencoba menyembunyikan kelemahannya di balik ekspresi datar yang ia latih bertahun-tahun. Meski kali ini, kelopak matanya yang berat dan bibirnya yang pucat membuat semua itu sia-sia.“Ngapain kalian di sini? Gimana dengan pesta pendiriannya?” tanyanya dengan suara serak dan lemah, berusaha terdengar biasa saja meski kesadarannya nyaris kabur.“Masih sempat mikirin itu?!” bentak Saka, matanya memicing tajam, sorotnya penuh amar
Sebuah amplop cokelat dilempar kasar oleh pria bertubuh kekar dengan jaket hitam. “Ini laporan tentang Raina Asmarani Hartanto minggu ini,” ucap pria tersebut tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar bosan, seolah tugas ini adalah rutinitas yang sudah ia lakukan terlalu sering.Jovian, yang duduk di kursi kerjanya, melirik sekilas amplop itu. Namun sebelum ia sempat bereaksi, Aji, yang kebetulan juga berada di ruangan, langsung menoleh dengan penuh minat. Manik cokelatnya bergerak cepat antara amplop dan pria bertubuh kekar itu, bibirnya terangkat membentuk senyum nakal.“Raina?” tanya Aji, menaikkan satu alisnya dengan nada menggoda. Dia memutar tubuh, memandang ke arah Saka, tangan kanan sang kakak. “Apa maksudnya nih?”Yang ditatap hanya mengedikkan bahu santai sambil melempar tubuhnya ke sofa di sudut ruangan. “Tanya Mas-mu i
“Oh,” suara berat pria tambun itu tiba-tiba terdengar, diiringi tawa pendek. “Kamu bartender ruang VVIP yang dulu sering membantuku, kan?” Ucapannya seolah hanya sekadar basa-basi, namun seringai di bibirnya menyiratkan lebih dari itu.Jovian mendongak, meski tubuhnya terasa berat setelah dihantam habis-habisan. Napasnya tersengal, darah mengalir pelan dari sudut bibirnya, namun ia tetap diam. Wajahnya tetap datar.Pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras, seakan menemukan hiburan. “Anak muda, aku tidak menyangka kamu bisa sampai pada titik ini. Bahkan hanya dengan sedikit dorongan dariku.” Dengan santai, pria itu menjentikkan jarinya.Seorang anak buahnya—pria berjaket hitam dengan wajah tanpa ekspresi—bergerak cepat. Dalam sekejap sebuah kursi dilapisi kulit didorong ke arahnya.“Sebagai senior di bidang ini,
Semenjak malam-malam kelam dipenuhi oleh rasa bersalah yang menghantui pikirannya, Jovian mulai mempertimbangkan untuk menghentikan rencana balas dendamnya.Namun, perasaan itu menghimpit seperti kabut tebal—tak memberi ruang untuk napas. Tidak tenang, itu pasti. Tapi, bahkan jika ia ingin berhenti sekarang, apakah itu mungkin?Pria itu sudah kadung basah. Rencana ini bukan lagi sekadar tentang dirinya. Terlalu banyak yang ia seret ke dalam jalan gelap ini.“Kita tidak bisa tiba-tiba menghentikan rencana ini!” Suara serak seorang pria bertopi hitam memecah udara di ruang kecil itu. Matanya membelalak penuh amarah, tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya terlihat menonjol.“Kamu yang membujuk kami untuk melakukan ini, Jovian!” timpal seorang wanita paruh baya, wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar,
Kegelapan mengepung Jovian.Sejauh apa pun pria itu melangkah, hanya ada bayang-bayang hitam pekat yang mengikuti. Tak ada arah. Tak ada ujung. Hanya ketiadaan yang menyesakkan.Maniknya bergerak panik, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa membantunya keluar dari kehampaan ini.Hingga akhirnya ia menangkap seberkas cahaya redup di kejauhan. Seperti lilin kecil yang berusaha bertahan di tengah badai. Dengan napas terengah, Jovian tertatih menghampirinya. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya.Terkesiap, ia menoleh. Di sana, sosok sang ayah, Haris, duduk bersimpuh di atas tanah yang retak dan kering. Jemari kurus pria itu mencengkeram celana Jovian dengan erat, seperti seseorang yang tengah tenggelam memohon pertolongan. Mata lelaki itu sayu, tapi penuh dengan harapan yang menyakitk
“Sial!”Jovian menggebrak meja kayu di depannya, membuat tumpukan kertas serta kotak alat tulis di atasnya bergetar, nyaris terjatuh. Napasnya memburu, dada naik turun seolah tak mampu menahan luapan emosi yang bergolak di dalam diri. Pikirannya terus berputar, mengutuk dirinya sendiri.Rencananya sederhana—atau setidaknya itulah yang ia pikirkan. Ia hanya akan memantau gerak-gerik Ambar dari kejauhan. Lalu, ketika wanita itu bertindak ceroboh dan mencoba mencelakai Lilis, Jovian akan muncul sebagai penyelamat. Semudah itu, seperti pahlawan dalam cerita.Ia ingin membuat Bram, pewaris Hartanto Global Venture, berhutang budi padanya. ‘Dan pada waktunya,’ pikir Jovian, ‘Bram dan juga Adi akan membayar harga yang lebih mahal daripada sekadar penolakan mereka terhadap ayahku.’