Share

8. Cemburu

Desahan kenikmatan lolos dari bibir Raina. Matanya mengerjap, berusaha fokus di tengah badai sensasi yang menggelora. "Aku hanya milikmu, Mas," bisiknya lembut, suaranya bergetar dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Sentuhan Jovian tak berhenti sampai di situ. Bibirnya yang panas mulai menelusuri setiap inci kulit Raina, meninggalkan jejak-jejak keinginannya. Seolah setiap ciuman adalah janji yang ingin ditegaskan, setiap sentuhan adalah klaim atas apa yang memang menjadi miliknya. Raina hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya bergetar di bawah kuasa sang suami.

Desakan hasrat yang tertahan mulai membakar dada ketika Jovian dengan sengaja menghindari titik-titik sensitif di tubuh sang wanita. "Mas," rengeknya, jemarinya yang gemetar menyelinap di antara surai kastanye suaminya, menariknya pelan, memohon lebih.

Jovian terkekeh, getaran tawanya menggelitik kulit Raina. Manik mata madunya yang kini tampak lebih gelap beradu pandang dengan netra sang istri, dipenuhi gelora yang tak lagi bisa dibendung.

Bibir pria itu kembali melumat bibir Raina, sementara jemari panjangnya menjelajah lebih dalam, menyentuh bagian paling intim dari tubuh sang istri. Sentuhan itu membuat Raina menggelinjang, daksanya bereaksi seolah tersengat listrik kenikmatan.

Setelah rangkaian belaian lembut yang tak cukup meredam gejolak hasrat, Jovian perlahan memasuki tubuh Raina. Punggung wanita itu melengkung, merasakan setiap senti dari suaminya mengisi ruang kosong dalam diri, semakin dalam, semakin penuh.

Keduanya terdiam sejenak, saling menatap dalam keremangan kamar yang hangat. Dalam keheningan itu, hanya ada napas mereka yang terengah, dan detak jantung yang berdetak dalam irama yang sama. Kemudian mereka mulai bergerak, saling mencari ritme yang selaras, menari dalam tarian kuno yang hanya mereka berdua pahami, bergerak bersama dalam irama yang tercipta dari rasa dan hasrat.

Desah panjang terlepas dari bibir Raina saat tubuhnya mencapai puncak kenikmatan bersamaan dengan Jovian. Erangan pria itu redam di lekukan leher sang istri, napasnya membakar kulit, menyebarkan hangat yang memabukkan.

Dengan lembut, Raina mengusap peluh yang mengalir di rahang suaminya, tubuhnya masih bergetar halus di bawah sentuhan ringan pasca badai kenikmatan. Tangannya yang lain sibuk meraih selimut, berniat menutupi tubuh mereka yang lelah dan memulai istirahat.

Namun, Jovian punya rencana lain. Dengan gerakan cepat, ia membalik tubuh Raina, menarik pinggulnya hingga bokong wanita itu bersentuhan dengan paha sang suami. Sentuhan itu membuat Raina mengerang pelan, merasakan sengatan kenikmatan yang tak terduga.

Malam masih panjang, dan Jovian tidak membiarkan sang istri pergi dari pelukannya. Tubuh mereka kembali menyatu dalam tarian penuh hasrat, suara desahan dan erangan mengisi ruang di sekitarnya. Baru saat ufuk fajar mulai menyingsing, ia membiarkan Raina terlelap dalam dekapan hangat.

===

Awal minggu ketika Raina kembali bekerja, Kakek tiba-tiba mengajaknya makan siang bersama. Raina menduga ajakan ini terkait dengan keputusan Kakek untuk menariknya kembali ke proyek Sakala Nusa, proyek pembangunan hotel mewah yang menjadi titik penting bagi kariernya. Tanpa pikir panjang, Raina mengiyakan undangan itu, berharap ada kabar baik yang akan datang.

Namun, saat tiba di restoran mewah yang sering dikunjungi keluarganya, Raina terkejut melihat seorang pemuda tampan sudah duduk bersama Kakek di meja. Pria itu tampak percaya diri dan tenang, mengenakan jas elegan yang terjahit sempurna.

"Raina, ini Aji, pendiri TechNova," ujar Kakek memperkenalkan.

Mendengar nama perusahaan tersebut, Raina duduk lebih tegak. Dia tahu TechNova ada dalam daftar perusahaan yang akan diajak bekerja sama untuk proyek Sakala Nusa. Matanya menyipit sedikit saat menatap Aji, berusaha menilai niat di balik pertemuan ini.

"Bumiaji," pria itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan dengan senyum sopan.

"Raina," sahutnya singkat, menerima uluran tangan Aji dengan agak ragu.

Percakapan dimulai dengan topik-topik ringan, tetapi Raina segera menyadari ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali dia mencoba mengarahkan pembicaraan ke bisnis, Kakek terus mengalihkan topik.

"Raina ini sudah mulai memimpin proyek besar seperti kakaknya," Kakek menyela, membanggakan cucunya dengan cara yang membuat Raina merasa canggung.

Aji tersenyum kecil. "Saya dengar banyak hal baik tentang proyek Sakala Nusa," katanya dengan nada ramah. "Kemarin saya dapat permintaan untuk membuat proposal terkait proyek itu. Kayaknya kita bakal kerja sama lagi."     

Raina mengangguk, mencoba mengembalikan fokus ke bisnis, tetapi Kakek kembali menginterupsi. "Ray, kamu pernah muji sistem keamanan baru di Sakala Hotel, kan? Aji ini loh yang ngembangin teknologinya," tambahnya dengan nada bangga.

Percakapan pun berlanjut dengan canggung. Raina semakin yakin bahwa tujuan Kakek bukanlah untuk membicarakan proyek, melainkan sesuatu yang lebih pribadi. Aji juga tampak  menyadari keanehan antara Kakek dan cucu dihadapannya, sehingga pria itu hanya mengangguk sopan setiap kali sesepuh itu berbicara.

Akhirnya, hidangan di meja pun habis. Raina menatap jam di pergelangan tangannya, berharap waktu cepat berlalu. Begitu Aji menyebutkan bahwa dia harus pergi untuk menghadiri rapat lain, wanita itu merasa lega. Mereka semua berpisah setelah makan siang selesai, dan Raina segera mengikuti Kakek menuju mobil.

"Bagaimana?" tanya Kakek ketika mereka sudah di dalam mobil, suaranya penuh harap.

Raina mendesah. Dia tahu pertanyaan itu bukan tentang bisnis. "Gimana apanya? Ya, kan kita udah lama juga kerja sama dengan TechNova. Produk mereka juga inovatif, jadi menurutku sih nggak apa-apa kalo lanjut kerja sama," jawabnya datar, sengaja menghindari topik yang diinginkan Kakek.

Kakek terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Ini, kamu lihat," katanya, memberikan sebuah amplop cokelat kepada Raina.

Raina membuka amplop itu dengan penasaran. Namun, saat dia melihat isinya, matanya membelalak. "Kakek beneran menginvestigasi Mas Jovian?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status