Desahan kenikmatan lolos dari bibir Raina. Matanya mengerjap, berusaha fokus di tengah badai sensasi yang menggelora. "Aku hanya milikmu, Mas," bisiknya lembut, suaranya bergetar dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Sentuhan Jovian tak berhenti sampai di situ. Bibirnya yang panas mulai menelusuri setiap inci kulit Raina, meninggalkan jejak-jejak keinginannya. Seolah setiap ciuman adalah janji yang ingin ditegaskan, setiap sentuhan adalah klaim atas apa yang memang menjadi miliknya. Raina hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya bergetar di bawah kuasa sang suami.
Desakan hasrat yang tertahan mulai membakar dada ketika Jovian dengan sengaja menghindari titik-titik sensitif di tubuh sang wanita. "Mas," rengeknya, jemarinya yang gemetar menyelinap di antara surai kastanye suaminya, menariknya pelan, memohon lebih.
Jovian terkekeh, getaran tawanya menggelitik kulit Raina. Manik mata madunya yang kini tampak lebih gelap beradu pandang dengan netra sang istri, dipenuhi gelora yang tak lagi bisa dibendung.
Bibir pria itu kembali melumat bibir Raina, sementara jemari panjangnya menjelajah lebih dalam, menyentuh bagian paling intim dari tubuh sang istri. Sentuhan itu membuat Raina menggelinjang, daksanya bereaksi seolah tersengat listrik kenikmatan.
Setelah rangkaian belaian lembut yang tak cukup meredam gejolak hasrat, Jovian perlahan memasuki tubuh Raina. Punggung wanita itu melengkung, merasakan setiap senti dari suaminya mengisi ruang kosong dalam diri, semakin dalam, semakin penuh.
Keduanya terdiam sejenak, saling menatap dalam keremangan kamar yang hangat. Dalam keheningan itu, hanya ada napas mereka yang terengah, dan detak jantung yang berdetak dalam irama yang sama. Kemudian mereka mulai bergerak, saling mencari ritme yang selaras, menari dalam tarian kuno yang hanya mereka berdua pahami, bergerak bersama dalam irama yang tercipta dari rasa dan hasrat.
Desah panjang terlepas dari bibir Raina saat tubuhnya mencapai puncak kenikmatan bersamaan dengan Jovian. Erangan pria itu redam di lekukan leher sang istri, napasnya membakar kulit, menyebarkan hangat yang memabukkan.
Dengan lembut, Raina mengusap peluh yang mengalir di rahang suaminya, tubuhnya masih bergetar halus di bawah sentuhan ringan pasca badai kenikmatan. Tangannya yang lain sibuk meraih selimut, berniat menutupi tubuh mereka yang lelah dan memulai istirahat.
Namun, Jovian punya rencana lain. Dengan gerakan cepat, ia membalik tubuh Raina, menarik pinggulnya hingga bokong wanita itu bersentuhan dengan paha sang suami. Sentuhan itu membuat Raina mengerang pelan, merasakan sengatan kenikmatan yang tak terduga.
Malam masih panjang, dan Jovian tidak membiarkan sang istri pergi dari pelukannya. Tubuh mereka kembali menyatu dalam tarian penuh hasrat, suara desahan dan erangan mengisi ruang di sekitarnya. Baru saat ufuk fajar mulai menyingsing, ia membiarkan Raina terlelap dalam dekapan hangat.
===
Awal minggu ketika Raina kembali bekerja, Kakek tiba-tiba mengajaknya makan siang bersama. Raina menduga ajakan ini terkait dengan keputusan Kakek untuk menariknya kembali ke proyek Sakala Nusa, proyek pembangunan hotel mewah yang menjadi titik penting bagi kariernya. Tanpa pikir panjang, Raina mengiyakan undangan itu, berharap ada kabar baik yang akan datang.
Namun, saat tiba di restoran mewah yang sering dikunjungi keluarganya, Raina terkejut melihat seorang pemuda tampan sudah duduk bersama Kakek di meja. Pria itu tampak percaya diri dan tenang, mengenakan jas elegan yang terjahit sempurna.
"Raina, ini Aji, pendiri TechNova," ujar Kakek memperkenalkan.
Mendengar nama perusahaan tersebut, Raina duduk lebih tegak. Dia tahu TechNova ada dalam daftar perusahaan yang akan diajak bekerja sama untuk proyek Sakala Nusa. Matanya menyipit sedikit saat menatap Aji, berusaha menilai niat di balik pertemuan ini.
"Bumiaji," pria itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan dengan senyum sopan.
"Raina," sahutnya singkat, menerima uluran tangan Aji dengan agak ragu.
Percakapan dimulai dengan topik-topik ringan, tetapi Raina segera menyadari ada sesuatu yang berbeda. Setiap kali dia mencoba mengarahkan pembicaraan ke bisnis, Kakek terus mengalihkan topik.
"Raina ini sudah mulai memimpin proyek besar seperti kakaknya," Kakek menyela, membanggakan cucunya dengan cara yang membuat Raina merasa canggung.
Aji tersenyum kecil. "Saya dengar banyak hal baik tentang proyek Sakala Nusa," katanya dengan nada ramah. "Kemarin saya dapat permintaan untuk membuat proposal terkait proyek itu. Kayaknya kita bakal kerja sama lagi."
Raina mengangguk, mencoba mengembalikan fokus ke bisnis, tetapi Kakek kembali menginterupsi. "Ray, kamu pernah muji sistem keamanan baru di Sakala Hotel, kan? Aji ini loh yang ngembangin teknologinya," tambahnya dengan nada bangga.
Percakapan pun berlanjut dengan canggung. Raina semakin yakin bahwa tujuan Kakek bukanlah untuk membicarakan proyek, melainkan sesuatu yang lebih pribadi. Aji juga tampak menyadari keanehan antara Kakek dan cucu dihadapannya, sehingga pria itu hanya mengangguk sopan setiap kali sesepuh itu berbicara.
Akhirnya, hidangan di meja pun habis. Raina menatap jam di pergelangan tangannya, berharap waktu cepat berlalu. Begitu Aji menyebutkan bahwa dia harus pergi untuk menghadiri rapat lain, wanita itu merasa lega. Mereka semua berpisah setelah makan siang selesai, dan Raina segera mengikuti Kakek menuju mobil.
"Bagaimana?" tanya Kakek ketika mereka sudah di dalam mobil, suaranya penuh harap.
Raina mendesah. Dia tahu pertanyaan itu bukan tentang bisnis. "Gimana apanya? Ya, kan kita udah lama juga kerja sama dengan TechNova. Produk mereka juga inovatif, jadi menurutku sih nggak apa-apa kalo lanjut kerja sama," jawabnya datar, sengaja menghindari topik yang diinginkan Kakek.
Kakek terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Ini, kamu lihat," katanya, memberikan sebuah amplop cokelat kepada Raina.
Raina membuka amplop itu dengan penasaran. Namun, saat dia melihat isinya, matanya membelalak. "Kakek beneran menginvestigasi Mas Jovian?!"
"Cih, si pincang ngapain di sini?"Baru memasuki ruang privat pada restoran, Raina dan Jovian sudah disuguhi hinaan. Netra sang istri melotot menatap kakak tiri.Sementara pria di samping menepuk pundaknya pelan, seolah menenangkan. "Selamat malam semuanya. Maaf terlambat. Jalan ke sini agak lama, banyak tangga," ucapnya ramah."Makanya, orang cacat tuh harusnya diem aja di rumah, nggak usah ikut-ikutan kemari," ejek Vanya yang lalu cekikikan dengan sang ibu. Saudari tiri Raina itu memang tidak akan melewatkan kesempatan untuk merendahkan Jovian.Belum sempat Raina membalas nyinyiran si nenek lampir, Jovian sudah meraih tangan sang istri dan membelainya lembut. Pria berusia 33 tahun itu menggeleng pelan, mengisyaratkan pada Raina agar tidak terpancing.Dengan muka masam, wanita itu duduk pada bangku kosong. Kalau bukan karena permintaan Jovian untuk ikut makan malam keluarga, mungkin Raina lebih memilih istirahat di rumah.Kakek berdeham pelan hingga semua perhatian tertuju padanya. "
Walaupun bekerja di perusahaan keluarga, Raina Asmarani Hartanto meniti karir dari bawah. Setelah berjuang membuktikan diri selama tiga tahun, akhirnya sang Kakek memberikan kepercayaan padanya untuk memimpin proyek besar. Dia tidak mungkin mengacaukan kesempatan emas itu. Beberapa detik sang wanita terdiam di depan pintu cendana sebelum akhirnya melangkah masuk. "Selamat pagi, Kakek mencari saya?" sapa Raina mencoba terdengar tenang, meski sempat terkejut melihat kakak tirinya juga berada di ruangan. Firasat buruk tiba-tiba mengusik hati wanita itu.Pria sepuh itu menoleh, tersenyum tipis. "Duduklah." Menurut, Raina memilih duduk di sofa sebelah kiri, tepat berhadapan dengan Vanya.Selang beberapa saat, sekretaris kakek masuk membawa cangkir teh untuk Raina. Tapi ia mengabaikannya, tak punya selera untuk beramah-tamah, terutama jika harus berlama-lama satu ruangan dengan Vanya. Kakek berdeham pelan, "Gimana perkembangan proyek Sakala Nusa?" Yang dibalas dengan anggukan penuh an
Raina bangkit perlahan dari tempat tidur, meraih kaus Jovian yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya. Kaus itu terasa hangat dan nyaman di kulitnya, membawa aroma tubuh suaminya yang menenangkan.Seraya memijat pundak yang terasa pegal, dia berjalan menuju arah suara. Badannya masih terasa lelah setelah hampir semalaman dijamah oleh Jovian. Meski demikian, ia menikmati setiap momen keintiman mereka. Senyum kecil terulas di bibirnya."... proyek pembangunan..." suara Jovian terdengar semakin jelas saat wanita itu mendekati pintu balkon, "lupakan saja. Biar saya sendiri yang urus.""Mas?" panggil Raina lembut.Bukan maksudnya untuk mengendap-endap, namun dia tak menyangka Jovian akan tersentak kaget hingga gawai di tangan hampir jatuh. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya pria itu menoleh, senyum tipis terlukis di wajahnya.Melihat sang suami tertatih-tatih, Raina segera melangkah maju, meraih lengan Jovian untuk memapahnya. "Kebangun?" tanya Jovian dengan nada lembut, seraya m
Jovian tersenyum penuh kemenangan. Namun langkah pria itu masih terlihat goyah. Semakin dekat, Raina bisa melihat peluh yang membasahi kening suaminya. Hanya beberapa langkah lagi menuju Raina, sang suami kehilangan keseimbangan dan limbung, jatuh berlutut ke tanah."Mas!" Raina berseru panik, cepat-cepat menghampiri. Tangannya meraih lengan suaminya, mencoba mengangkat tubuh Jovian yang tampak kelelahan.Pria itu tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Duh, malah jatoh. Malu-maluin aja," katanya dengan cengengesan, seolah berusaha menghapus rasa canggung.Manik Raina berkaca-kaca, suaranya tertahan di tenggorokan. "Ya Tuhan, Mas... ini luar biasa," bisiknya, lalu memeluk Jovian erat-erat. Hatinya berdebar kencang, dipenuhi perasaan campur aduk—bahagia, syukur, dan juga kekhawatiran.Dia menyembunyikan wajahnya di dada Jovian, menghidu aroma tubuh yang hangat dan akrab. Melihat suaminya berdiri dan berjalan tanpa tongkat adalah impian yang selalu ia pendam. Akhirnya, itu terwuju
"Ya sadar diri aja. Suami kamu tuh pincang. Udah malu-maluin, nanti malah nyusahin orang. Dasar nggak guna." Cibiran Vanya masih terngiang di ingatan Raina ketika bertemu calon besan sang kakak beberapa hari lalu."Nak Jovian, tolong maklumi ya? Ini acara besar, takutnya kaki kamu semakin sakit." Kalimat yang dilontarkan sang kakek setelah omongan Vanya semakin membuat Raina kecewa.Awalnya, wanita itu masih enggan untuk pergi. Ia lebih memilih tinggal di rumah, dalam dekapan hangat Jovian, daripada harus berpura-pura tersenyum di pesta pertunangan kakak tirinya.Namun, suaminya, bersikukuh bahwa dia harus menghadiri acara keluarga yang penting itu. "Aku nggak mau nanti kamu dibilang adik kurang ajar, masa hajatan kakaknya nggak datang," kata Jovian sebelum sang istri pergi ke pesta.Raina menggigit bibir. "Kalau kenapa-napa, telepon ya, Mas. Pokoknya aku nggak bakal lama-lama di sana," ucapnya dengan nada khawatir.Jovian terkekeh pelan, mengusap pipi Raina dengan lembut. "Kamu yang
"Mas, kamu kenal dari mana?" Raina berbisik dengan nada penuh tanya.Jovian hanya tersenyum, menjawab pelan, "Iya, pas dulu masih jadi jurnalis.""Jurnalis?" Investor yang mendengar percakapan itu ikut angkat alis, tampak heran.Jovian segera menimpali sebelum pria berjas biru tua itu sempat berbicara lebih jauh, "Aku pernah diminta bantu waktu wawancara beliau," ujarnya dengan nada santai.Pengusaha besar itu memandangi wajah Jovian sejenak, lalu tertawa kecil, meskipun terdengar sedikit canggung. "Oh iya, dulu Pak Jovian memang banyak membantu," katanya, berusaha mengalihkan perhatian.Raina menoleh ke arah suaminya, mencari jawaban di balik senyum tenang
Senyum Raina pudar saat mendapati pria yang menyapa bukanlah Jovian.Di hadapannya, berdiri Aksa dengan senyum tipis dan mata yang tampak sedikit berat. Dengan dagu, wanita itu menunjuk ke arah pintu ballroom yang tadi dilalui, "Mbak Vanya udah masuk lagi," ucapnya kepada calon kakak ipar.Aksa, mengenakan jas berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan rapi, hanya berdiri diam di tempatnya, seolah sengaja menghalangi jalan Raina. Segelas sampanye tergenggam di tangannya. "Aku emang nyari kamu kok," ucapnya tiba-tiba saat Raina mencoba melangkah pergi.Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati Raina. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Aksa, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. "Lepas," pintanya pelan, matanya melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang