Senyum Raina pudar saat mendapati pria yang menyapa bukanlah Jovian.
Di hadapannya, berdiri Aksa dengan senyum tipis dan mata yang tampak sedikit berat. Dengan dagu, wanita itu menunjuk ke arah pintu ballroom yang tadi dilalui, "Mbak Vanya udah masuk lagi," ucapnya kepada calon kakak ipar.
Aksa, mengenakan jas berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan rapi, hanya berdiri diam di tempatnya, seolah sengaja menghalangi jalan Raina. Segelas sampanye tergenggam di tangannya. "Aku emang nyari kamu kok," ucapnya tiba-tiba saat Raina mencoba melangkah pergi.
Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati Raina. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Aksa, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. "Lepas," pintanya pelan, matanya melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang
Desahan kenikmatan lolos dari bibir Raina. Matanya mengerjap, berusaha fokus di tengah badai sensasi yang menggelora. "Aku hanya milikmu, Mas," bisiknya lembut, suaranya bergetar dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Sentuhan Jovian tak berhenti sampai di situ. Bibirnya yang panas mulai menelusuri setiap inci kulit Raina, meninggalkan jejak-jejak keinginannya. Seolah setiap ciuman adalah janji yang ingin ditegaskan, setiap sentuhan adalah klaim atas apa yang memang menjadi miliknya. Raina hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya bergetar di bawah kuasa sang suami.Desakan hasrat yang tertahan mulai membakar dada ketika Jovian dengan sengaja menghindari titik-titik sensitif di tubuh sang wanita. "Mas," rengeknya, jemarinya yang gemetar menyelinap di antara surai kastanye suaminya, menariknya pelan, memohon lebih.Jovian terkekeh, getaran tawanya menggelitik kulit Raina. Manik mata madunya yang kini tampak lebih gelap beradu pandang dengan netra sang istri, dipenuhi gelo
Sang sepuh mengangkat bahu dengan sikap acuh. "Itu sebenarnya hasil investigasi sebelum kalian menikah. Kamu pikir Kakek bakal biarin seorang Hartanto menikah begitu saja dengan sembarang orang?"Raina mendengus kesal. "Terus kenapa Kakek ngebiarin aku nikah sama Mas Jovian?" tanyanya tajam, merasa ada sesuatu yang disembunyikan.Kakek tersenyum tipis, sedikit menyeringai. "Karena Jovian sudah berjanji sama Kakek. Dia akan hidup dalam diam, tidak membuat nama baik Hartanto tercoreng," jelasnya tenang.Raina tertegun. "Kenapa sekarang kakek minta aku cerai dari Mas Jovian? Kan Mas Jovian udah nurutin permintaan Kakek." Dia merasa marah, tetapi juga bingung dengan maksud Kakeknya."Kakek tahu kamu selama ini berusaha
Vanya mendesis, wajahnya penuh kemarahan. "Ngapain kamu ke sini? Kamu pikir kamu bisa kembali dan ngambil alih proyek ini?" sergahnya tajam.Raina menatap kakaknya dengan tatapan dingin. "Aku hanya melakukan tugas yang diberikan Kakek, sama seperti Mbak," jawabnya tanpa gentar.Vanya mendengus, jelas tidak puas dengan jawaban adiknya. "Jangan berpikir aku nggak tahu apa yang kamu rencanakan, Raina. Kamu cuma mau mencuri perhatian Kakek, biar kamu bisa kembali memimpin proyek, kan?" ujarnya dengan nada meremehkan.Raina menghela napas, mencoba meredam emosinya. "Tidak semua orang seambisius kamu, Mbak. Aku hanya ingin proyek ini berhasil," balasnya dengan nada tenang. "Udahlah, Mbak. Yang penting sekarang kita bisa menyelesaikan masalah yang ada. Jadi, apa masalahnya?" desakn
"Mas Jovian? Kok bisa di sini?" seru Raina, setengah berlari menghampiri suaminya.Jovian hanya tersenyum samar, matanya berbinar meski tampak lelah. "Kan kamu bilang ada masalah di site, ini aku bawa pompa yang dibutuhkan," jawabnya singkat, seolah hal itu adalah hal paling biasa di dunia. Dengan datangnya pompa air yang ditunggu-tunggu, kebocoran di lokasi konstruksi akhirnya bisa segera diatasi. Pompa besar itu mulai mengisap air yang meluap, mengeringkan genangan dengan cepat.Para pekerja bergegas mengatur peralatan, memindahkan material yang terendam air, dan menghitung ulang kerugian yang mungkin terjadi. Meski banyak material yang tak lagi bisa digunakan, ada perasaan lega di antara mereka karena situasi yang tampak suram ini mulai terkendali.Raina berdiri di dekat suaminya, mengamati para pekerja yang tampak sibuk. "Mas, kok bisa dapatin pompa airnya? Mbak Vanya aja sampai kewalahan," selidiknya, masih sedikit bingung.Jovian tersenyum tipis, wajahnya tenang seperti biasa
Vanya, yang sudah lebih dulu berada di ruangan sang Kakek, menyeringai puas dengan tangan terlipat di dada. Ada kilatan kemenangan di matanya, seolah menunggu Raina tiba di tengah badai amarah sang Kakek.Kakek menghela napas panjang, punggungnya terhenyak ke sandaran sofa kulit megah. Dengan dahi berkerut, menandakan kekecewaan dan kemarahan yang mendalam."Kakek dengar ada kebocoran pipa di site," suara Kakek berat, nyaris terdengar seperti geraman.Raina mengangguk. Ia tahu ini bukan percakapan yang akan berakhir baik. "Ada beberapa material yang rusak, tapi karena kebocoran bisa langsung diatasi sorenya, kerugian tidak terlalu besar. Untungnya Mas Jovian bisa bantu nemuin pompa air buat nguras," jelasnya, menekankan bagaimana bantuan suaminya telah mempercepat penanganan.Namun, Kakek mengibaskan tangannya dalam gerakan tegas dan tak sabar. "Kakek sudah baca laporan Vanya tadi pagi. Apa sebelumnya kamu nggak melakukan pengecekan ulang? Kamu tahu seberapa besar dampaknya berita ini
Sang kakak tertawa kecil, dengan nada dingin dan menghina. "Jangan konyol, Raina. Buat apa aku sabotase proyek yang akan jadi milikku?" balasnya, melepas cengkeraman Raina dengan gerakan tegas.Raina terdiam, hatinya masih penuh dengan kegundahan. Saat ia berpaling untuk keluar dari ruangan, Nita mendekat dan berbisik pelan di telinganya, "Kamu memang selalu bikin masalah, ya? Harusnya dari awal kamu tahu diri soal posisimu di perusahaan ini, juga di keluarga Hartanto."Tanpa menghiraukan perkataan sang kakak, Raina berjalan cepat keluar dari ruangan Kakek. Langkahnya terburu-buru menyeberangi lorong panjang dipenuhi dengan dekorasi marmer dan ornamen klasik. Hatinya diliputi kekesalan tanpa dapat ia sembunyikan. Wanita itu menolak untuk percaya bahwa kakaknya tidak ada sangkut paut sama sekali dengan kejadian ini."Bu Raina, Ibu nggak apa-apa?" nada khawatir terdengar dari sisinya.Pas banget!Tanpa menjawab pertanyaan sang asisten, Raina menarik wanita tersebut. "Jai, ikut saya," tit
Tepat ketika dia melewati pintu, suara ketus kakaknya menyapa.Raina berbalik, mencoba terlihat tenang meski tubuhnya menegang. Kakaknya berdiri di sana, dengan tatapan sinis menelusuri wajah Raina."Ruangan kamu kan di lantai 3," lanjut Vanya ketus.Sambil melirik kantornya, Vanya mencibir. "Apa kamu diam-diam masuk ke ruanganku? Nggak sopan kamu, Ray."Berusaha berpikir cepat, Raina memutar otaknya. "Nuduh aja kamu, Mbak. Ini aku nyariin Jai, dia daritadi nggak ada di meja," kilah sang adik sambil menoleh ke arah Jainitra yang masih berbincang dengan sekretaris Vanya. "Ternyata ngobrol di sini," ia berpura-pura kesal pada asistennya."Maaf, Bu," Jainitra buru-buru menimpali dengan suara rendah, seolah merasa bersalah.Setelah beberapa saat menatap sang adik dengan curiga, Vanya mendengus sambil mengibaskan tangan. "Ya udah. Balik sana. Aku tuh sibuk. Kamu tau sendiri kan, aku harus ngurusin masalah yang kamu buat," ejeknya.Meski geram, Raina menahan lidah agar tidak meledak di depan
Raina terhuyung mundur, punggungnya membentur lemari ketika mendengar suara panggilan dari pintu. Tubuhnya membeku, jantungnya berdegup kencang. Ia pikir itu Vanya yang akan menemukannya.Namun, bukan suara wanita yang kemudian terdengar. "Ray, kamu nggak apa-apa?" Tama buru-buru masuk dengan langkah panjang, wajahnya khawatir. Dia segera meraih tangan Raina, memeriksa dahi adiknya yang sedikit memerah karena terantuk."Lagian, kamu ngapain di sini? Ini kan kamar Vanya? Kalau dia tahu kamu ada di sini, nanti kamu kena omel lagi!" cecarnya tanpa memberi Raina kesempatan untuk menjawab.Buru-buru Raina membungkam mulut sang kakak dengan tangan. Mendekatkan telunjuk ke bibirnya, serta melirik cepat ke arah pintu yang terbuka. Napasnya terhenti, memastikan tak ada suara langkah mendekat. Namun hanya hening yang menyapa. Wanita itu menghela napas lega.Tak bisa melanjutkan investigasinya, sang adik lalu menarik tangan Tama, menyeretnya keluar dari kamar Vanya. Tidak ada waktu lagi untuk mel
“Bangsat! Kalau jalan yang bener!” teriakan kasar itu membelah keheningan malam.Jovian tersentak, menunduk dalam-dalam tanpa menatap pria bertato yang berteriak ke arahnya. Tubuhnya terasa lelah, hampir kehabisan tenaga, ia hanya mampu menggumamkan kata maaf pelan sambil berlalu.“Woy! Bocah tengik! Songong kali kau! Main pergi-pergi aja!” seorang pria lain dengan bandana mencengkeram bahunya, kasar, memaksa Jovian berhenti.“Maaf, Bang. Saya buru-buru,” ucap pemuda itu, suaranya serak dan tertekan. Ia melirik jam tangan kesayangan yang terpasang di pergelangan tangan—hadiah terakhir dari ayahnya yang sudah tiada. Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Aji pasti sudah menangis ketakutan di rumah yang gelap.Namun para preman itu tak membiarkannya pergi begitu saja. Salah satu dari mereka mendorong Jovian hingga terjengkang, memaksanya untuk melawan.
“Jo, gue pinjem uang dong!” seru seorang siswa berseragam abu-abu.Belum sempat Jovian menjawab, temannya yang lain langsung menyikut lengan si peminjam. “Bego, perusahaan bokapnya udah bangkrut,” bisiknya. Pelan tapi cukup keras hingga terdengar.Siswa yang pertama langsung terkesiap. “Eh, maaf, Jo. Gue nggak tahu,” ucapnya, menangkupkan tangan, berusaha terlihat menyesal, meski senyumnya masih terkesan mengejek.Tanpa menjawab, Jovian bangkit dari kursinya, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah yang berat dan kasar, meninggalkan mereka semua di belakang.“Apaan, gitu doang ngambek,” gerutu si peminjam, menyandarkan tubuhnya santai ke kursi.“Jangan gitu, bego! Nyokapnya meninggal gara-gara nggak ada duit buat berobat, terus nggak lama bo
Pria bertubuh besar itu berdiri di depan pintu rumah Haris, wajahnya mengeras dan penuh amarah. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya dengan kasar menampar-nampar buku yang tampaknya berisi catatan utang. Wajahnya sangar, dihiasi dengan kumis tebal dan tatapan yang menakutkan, seperti elang yang sedang menatap mangsanya.“Bayar hutangmu, Pak Tua!” bentak pria itu, suaranya menggema di ruang tamu yang semakin hari semakin tak terurus. Matanya memelototi Haris dengan sorot meremehkan, sementara tubuhnya condong maju, seakan siap menyerang.Ayah Jovian yang berdiri berjarak beberapa langkah, tampak ciut. Pria paruh baya itu mencoba merapatkan kedua tangannya di dada, membungkuk sedikit, menatap lantai dengan wajah penuh kekhawatiran. “S-saya janji akan membayarnya, Pak… tolong beri saya keringanan,” katanya dengan suara bergetar.
Enam belas tahun silam.Jovian menendang kerikil, menghela napas panjang. Bosan menyelimutinya. Terutama setelah lebih dari satu jam Ayahnya meninggalkannya sendirian di tepi jalan, berpesan agar tetap menunggu di mobil. Namun setelah lama duduk diam, sosok pria paruh baya itu tak juga terlihat.“Ayah lama nih,” gumamnya, kembali menendang batu kerikil di dekat kaki.Manik cokelat madu pemuda itu teralihkan ke arah rumah mewah di hadapannya. Halaman luas terbentang dengan kolam renang berair jernih yang memantulkan sinar matahari sore. Pohon-pohon rindang menaungi jalan masuknya, menghadirkan bayangan seperti lengan-lengan yang melambai pelan.Bangunan megah itu membuat mata Jovian berbinar. Tapi tiba-tiba, suara serak yang ia kenali mengusik pemujaannya.“Tolonglah, Pak Adi… saya sudah tidak tahu harus kemana,&r
“Apa kamu senang sekarang?”Suara cibiran memecah lamunan Raina akan pertemuannya dengan kakek beberapa hari lalu. Wanita itu tersentak dan menoleh, mendapati Nita berdiri tak jauh darinya dengan gaun perak berkilauan di bawah cahaya lampu pesta. Pipi sang kakak memerah serta maniknya tampak tak fokus.Entah apa yang kakaknya bicarakan, Raina sedang tak dalam kondisi untuk meladeninya. Dia berencana untuk pergi, tapi Nita mendekat, menghalangi jalannya.“Mau kemana?” Ucap wanita itu dengan senyum sinis di bibir. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Kesempatan untuk pamer, bersikap angkuh setelah berhasil menyelesaikan proyek besar Sakala Nusa?” sindirnya sambil menyilangkan tangan di dada.Raina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Mbak, ini bukan waktu atau tempat yang tepat untuk
Kakek melanjutkan perkataannya, seolah berharap sang cucu akan melunak. “Lagipula, sebentar lagi, dengan pembukaan resmi Hotel Sakala yang baru, siapapun tak akan bisa menyangkal kualitasmu sebagai anggota Hartanto.”Raina terdiam sejenak, napasnya tersengal pelan menahan emosi yang bergejolak dalam sanubari. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia meraih tasnya dan mengeluarkan amplop cokelat yang selama ini selalu ia bawa, seolah itu adalah perisai terakhirnya.Tanpa berkata apa pun, ia mengeluarkan isi amplop dan menyusun beberapa lembar dokumen di atas meja.Sambil menyesuaikan posisi kacamatanya, Kakek mencondongkan tubuh. Kemudian mulai menelisik foto-foto serta dokumen-dokumen yang dibawakan oleh sang cucu.Matanya membelalak sejenak, keterkejutan yang jarang sekali ia tunjukkan. “I-ini… darimana kamu mendapatkannya?&r
“Selamat atas pembukaan hotel barunya.”Suara yang menyapa telinganya bukanlah nada bariton khas Jovian.Raina menelan pahit di ujung lidah. Pikirannya telah sadar sepenuhnya bahwa pria itu adalah sosok berbahaya—seseorang yang tak seharusnya ia dambakan. Namun hatinya masih saja merindukan bayangan suaminya.“Terima kasih, Aji,” ucapnya, mencoba menguasai diri saat menerima uluran tangan dari pria di depannya.CEO TechNova itu menatap wanita itu dengan mata yang tajam, senyum tipis terpatri di bibirnya, tampak memancarkan ketenangan. “Omong-omong,” manik Aji melirik ke samping, seolah mencari-cari sosok lain. “Di mana suamimu?”Mendengar pertanyaan itu, sang wanita mendengus kecil, nyaris tak terdengar. Meski Jovian tak melakukan sesuatu seca
“Selamat atas pembukaan hotel Sakala cabang baru, Bu Vanya, Bu Raina! Saya tidak sabar melihat bagaimana hotel ini berkembang ke depannya,” sahut seorang pria berjas biru tua, sambil menjabat tangan Raina dan Vanya secara bergantian. Senyumnya ramah, namun sorot matanya penuh harapan pada kesuksesan investasi barunya.Akhirnya, pesta pembukaan Hotel Sakala yang ditunggu-tunggu telah tiba.Dengan senyum tipis, Raina membalas ucapan sang investor. “Kami sangat menghargai kehadiran Anda di acara ini, Pak. Semoga malam ini menjadi malam menyenangkan dan penuh makna bagi kita semua,” ucapnya sopan, berusaha tetap tenang di tengah perasaan yang berkecamuk.Di sampingnya, Papa berdiri berdampingan dengan Ambar. Setiap kali Raina mencuri pandang ke arah mereka, hatinya menggelegak, namun mati-matian ia menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang menco
“Sepertinya, ada alasan lain kenapa Jovian menikahimu,” suara Tama terdengar rendah, nyaris seperti bisikan di tengah keheningan.Raina terdiam, tangan yang memegang ponsel terasa dingin. “A-apa maksudmu, Mas?” bisiknya dengan gugup.“Anak buahku mendengar desas-desus tentang Sindikat Sinara,” Sang kakak melanjutkan, suaranya terdengar semakin dalam, seolah menggema langsung di dalam kepala Raina. “Organisasi itu tidak hanya sekadar mengelola informasi. Mereka mengincar grup-grup besar, mendekati target mereka dan membuatnya percaya, mengorek semua rahasia yang dibutuhkan. Dan ketika waktunya tiba… mereka menghancurkan target tanpa ampun.”Tenggorak sang adik tercekat. Seperti ada batu besar yang menyangkut di sana. Matanya membelalak kosong ke arah dinding kamarnya, tapi pikirannya bising, mencoba mencerna semua yang baru saja didengar.