"Mas, kamu kenal dari mana?" Raina berbisik dengan nada penuh tanya.
Jovian hanya tersenyum, menjawab pelan, "Iya, pas dulu masih jadi jurnalis."
"Jurnalis?" Investor yang mendengar percakapan itu ikut angkat alis, tampak heran.
Jovian segera menimpali sebelum pria berjas biru tua itu sempat berbicara lebih jauh, "Aku pernah diminta bantu waktu wawancara beliau," ujarnya dengan nada santai.
Pengusaha besar itu memandangi wajah Jovian sejenak, lalu tertawa kecil, meskipun terdengar sedikit canggung. "Oh iya, dulu Pak Jovian memang banyak membantu," katanya, berusaha mengalihkan perhatian.
Raina menoleh ke arah suaminya, mencari jawaban di balik senyum tenang yang terukir di bibirnya. Tak ada yang mencurigakan, hanya tatapan lembut yang biasa ia lihat.
"Ini istrinya, Pak Jovian?" Investor itu bertanya, mencoba mengalihkan topik.
"Iya, ini Raina Asmarani Hartanto, adiknya Vanya," jelas Jovian, memperkenalkan istrinya dengan bangga.
"Oh, berarti kerja di Seruni Hospitality juga, ya? Nanti ikut mengerjakan proyek bersama Vanya?" tanya sang pria paruh baya dengan nada tertarik.
Sebelum Kakek sempat merespons, Jovian menyela, "Rencana awalnya Raina yang memimpin proyek, tapi karena ada kendala, proyek itu dialihkan ke Vanya."
Investor itu mengangguk-angguk. "Sayang sekali. Padahal kalau Raina yang mengerjakan proyek, saya berniat menambah investasi." Ia lalu menurunkan suaranya seperti hendak membisikkan rahasia penting, "Proyek yang didukung Pak Jovian biasanya sukses besar."
Melihat peluang ini, Kakek segera menimpali, "Iya, nanti Vanya akan bekerja sama dengan Raina," ucapnya tegas.
Raut wajah Vanya langsung berubah. Sejenak, ia terlihat ingin protes, namun Aksa segera menahan lengannya, memberi isyarat untuk menahan diri.
"Nah, begitu dong! Proyek ini pasti sukses besar," seru investor dengan nada puas.
Aksa melirik tajam ke arah Jovian, ada senyum tipis tapi penuh arti di sudut bibirnya. "Iya, selama tidak ada yang mengganggu," ujarnya dengan nada mengancam terselubung.
Tak lama setelah itu, Vanya dan Aksa berpamitan untuk berbicara dengan kolega lainnya. Sementara itu, Jovian meminta izin untuk duduk karena kakinya mulai terasa sakit. Raina segera menunjukkan kekhawatirannya.
Karena pesta diadakan di ballroom salah satu hotel milik Kakek, Raina meminta agar mereka disediakan ruang kecil untuk beristirahat tanpa gangguan.
"Mas, kok kamu nggak bilang kalau mau nyusul?" tanya Raina, masih terkejut dengan kemunculan tiba-tiba suaminya.
Jovian tertawa pelan, "Yah, kata orang, kalau mau mengelabui lawan, kita harus mengelabui kawan dulu," jawabnya ringan.
"Aku kan istri kamu, bukan sekadar teman," protes Raina dengan nada manja, bibirnya mencebik.
Sang suami membalas dengan mengecup bibirnya. "Tapi kamu senangkan aku datang?" goda Jovian, berusaha mengubah topik.
Raina mengangguk, tetapi kekhawatiran masih tergambar di wajahnya saat melihat kerut di dahi suaminya. "Mas, kita pulang aja, yuk? Toh kita sudah ngucapin selamat ke Mbak Vanya," ajaknya, suaranya terdengar cemas.
"Nanti kamu disangka nggak sopan, masa ke pesta kakak cuma sebentar," sahut Jovian, berusaha menenangkan.
"Siapa yang peduli sih, Mas?" Raina tak bisa menyembunyikan kegundahannya melihat suaminya meringis sambil memijat pergelangan kakinya yang nyeri.
"Aku peduli," jawab Jovian lembut, mengecup puncak kepala Raina. "Aku cuma butuh istirahat sebentar kok. Kamu keluar saja, temui tamu-tamu, siapa tahu dapat proyek besar lainnya," tambahnya dengan nada bercanda, berusaha menyemangati.
Meski ragu, Raina akhirnya keluar dari ruangan. Begitu dia melangkah ke lorong yang sepi, suara perdebatan yang kian memanas menarik perhatiannya.
Merasa mengenali suara-suara itu, Raina menghentikan langkahnya, mendengarkan dengan seksama.
"Kakek! Kan Kakek sudah janji untuk ngasih proyek Sakala Nusa ke aku!" terdengar suara Vanya yang meninggi, penuh kemarahan.
Di sampingnya, sang kakak pertama, Tama, berdiri dengan tenang, tetapi tidak ikut campur dalam pembicaraan.
"Vanya," Kakek menanggapi dengan suara berat, mencoba menenangkan. "Sebagai pemimpin perusahaan, Kakek harus memikirkan ini dari sudut pandang bisnis. Kalau memasukkan Raina kembali ke proyek bisa membuat kita dapat investasi ganda, itu lebih baik untuk perusahaan."
Vanya mendengus keras, suaranya penuh rasa tidak terima. "Kakek nggak curiga? Gimana bisa Jovian si pincang itu tahu pengusaha besar dan bahkan membuat mereka percaya untuk investasi di proyek Sakala Nusa?" tuntutnya dengan tangan berkacak pinggang. "Jangan-jangan dia itu pakai guna-guna!"
Tidak tahan, Raina langsung melangkah maju dari tempatnya berdiri. "Jangan ngomong sembarangan, Mbak!" serunya.
Vanya menoleh dengan tatapan marah dan sedikit terkejut. "Loh, bener kan? Suami kamu itu cuma orang biasa, darimana dia kenal investor kita?" balasnya dengan nada menantang.
"Mbak dengar sendiri kan tadi, Mas Jovian sering wawancara pebisnis ternama," sergah Raina, mencoba menahan amarah.
"Halah, bisa aja dia bohong. Lagian, kalau cuma wawancara sekali, nggak mungkin orang mau investasi puluhan bahkan ratusan juta," ucap Vanya, suaranya tajam.
Sang adik terdiam sejenak. Ada kebenaran dalam kata-kata kakaknya, tetapi ... "Aku percaya Mas Jovian," ujarnya tegas, walau perasaan ragu masih menggantung di hatinya.
"Tuh, Kek, lelaki gembel itu bahkan bisa bikin Raina bucin kayak gini. Pasti ada apa-apanya," cibir Vanya lagi, kali ini dengan nada mengejek.
"Sudah, sudah," Kakek menengahi sebelum pertengkaran semakin memanas. "Vanya, Kakek sudah bicara di depan investor akan memasukkan Raina ke proyek. Kalau tidak dilaksanakan, mau di taruh di mana muka Kakek?"
Belum sempat Raina tersenyum penuh kemenangan, sang sepuh meneruskan perkatannya, "Raina, ucapan kakakmu ada benarnya. Kita belum mengenal Jovian dengan baik. Kakek akan menyelidiki suamimu lebih lanjut."
Raina mendengus kesal, "Kemarin kalian bilang Mas Jovian nggak guna, sekarang pas kita dapat investasi tambahan, kenapa malah curiga?" gumamnya, merasa diperlakukan tidak adil.
Kakek mengangkat tangan, menghentikan perdebatan. "Keputusan Kakek sudah final. Vanya, ini acara kamu, lebih baik kamu kembali ke ruang pesta," tandasnya sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan ketiga cucunya.
Vanya melirik tajam ke arah Raina, berhenti sejenak di depannya. "Awas kamu, Ray. Aku nggak akan aku biarkan kamu ambil apa pun lagi dariku," bisiknya penuh ancaman sebelum berlalu.
Tama, yang sedari tadi hanya diam, mendekat dengan langkah pelan. "Ray," panggilnya lembut, tangannya terulur untuk meraih lengan adiknya.
Raina menoleh, sorot matanya masih dipenuhi amarah. Di antara kakak-kakaknya, saudara lelaki Raina itu yang bersikap seperti keluarga. Sama-sama diabaikan, mereka berdua menjadi akrab dengan cepat. Tama tak pernah ikut menghina atau merendahkan Raina. Bahkan sesekali, pria itu menghiburnya.
Tapi hari ini, bahkan kehadiran sang kakak lelaki tidak bisa menenangkan hatinya. "Mas juga curiga sama Mas Jovian?" tuduh Raina, suaranya dingin.
Pria itu menggeleng, tetapi jeda pada balasan mengkhianati perasaannya. "Aku cuma takut dia nyakitin kamu, Ray," ujarnya pelan.
Raina menarik napas dalam, mencoba meredakan gejolak di dadanya. "Mas Jovian nggak akan nyakitin aku," katanya yakin. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, dia melepaskan genggaman tangan kakaknya. "Aku mau sendiri dulu."
Rasa sesak masih menguasai dadanya. Raina memilih keluar dari gedung, mencari udara segar di taman hotel. Di bawah pendar cahaya bulan yang memantul di kolam, dia mencoba menenangkan hatinya yang bimbang.
Namun, suara bariton dari belakang mengejutkannya, membuyarkan lamunan.
"Di sini kamu rupanya.".
Senyum Raina pudar saat mendapati pria yang menyapa bukanlah Jovian.Di hadapannya, berdiri Aksa dengan senyum tipis dan mata yang tampak sedikit berat. Dengan dagu, wanita itu menunjuk ke arah pintu ballroom yang tadi dilalui, "Mbak Vanya udah masuk lagi," ucapnya kepada calon kakak ipar.Aksa, mengenakan jas berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan rapi, hanya berdiri diam di tempatnya, seolah sengaja menghalangi jalan Raina. Segelas sampanye tergenggam di tangannya. "Aku emang nyari kamu kok," ucapnya tiba-tiba saat Raina mencoba melangkah pergi.Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati Raina. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Aksa, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. "Lepas," pintanya pelan, matanya melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang
Desahan kenikmatan lolos dari bibir Raina. Matanya mengerjap, berusaha fokus di tengah badai sensasi yang menggelora. "Aku hanya milikmu, Mas," bisiknya lembut, suaranya bergetar dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Sentuhan Jovian tak berhenti sampai di situ. Bibirnya yang panas mulai menelusuri setiap inci kulit Raina, meninggalkan jejak-jejak keinginannya. Seolah setiap ciuman adalah janji yang ingin ditegaskan, setiap sentuhan adalah klaim atas apa yang memang menjadi miliknya. Raina hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya bergetar di bawah kuasa sang suami.Desakan hasrat yang tertahan mulai membakar dada ketika Jovian dengan sengaja menghindari titik-titik sensitif di tubuh sang wanita. "Mas," rengeknya, jemarinya yang gemetar menyelinap di antara surai kastanye suaminya, menariknya pelan, memohon lebih.Jovian terkekeh, getaran tawanya menggelitik kulit Raina. Manik mata madunya yang kini tampak lebih gelap beradu pandang dengan netra sang istri, dipenuhi gelo
"Cih, si pincang ngapain di sini?"Baru memasuki ruang privat pada restoran, Raina dan Jovian sudah disuguhi hinaan. Netra sang istri melotot menatap kakak tiri.Sementara pria di samping menepuk pundaknya pelan, seolah menenangkan. "Selamat malam semuanya. Maaf terlambat. Jalan ke sini agak lama, banyak tangga," ucapnya ramah."Makanya, orang cacat tuh harusnya diem aja di rumah, nggak usah ikut-ikutan kemari," ejek Vanya yang lalu cekikikan dengan sang ibu. Saudari tiri Raina itu memang tidak akan melewatkan kesempatan untuk merendahkan Jovian.Belum sempat Raina membalas nyinyiran si nenek lampir, Jovian sudah meraih tangan sang istri dan membelainya lembut. Pria berusia 33 tahun itu menggeleng pelan, mengisyaratkan pada Raina agar tidak terpancing.Dengan muka masam, wanita itu duduk pada bangku kosong. Kalau bukan karena permintaan Jovian untuk ikut makan malam keluarga, mungkin Raina lebih memilih istirahat di rumah.Kakek berdeham pelan hingga semua perhatian tertuju padanya. "
Walaupun bekerja di perusahaan keluarga, Raina Asmarani Hartanto meniti karir dari bawah. Setelah berjuang membuktikan diri selama tiga tahun, akhirnya sang Kakek memberikan kepercayaan padanya untuk memimpin proyek besar. Dia tidak mungkin mengacaukan kesempatan emas itu. Beberapa detik sang wanita terdiam di depan pintu cendana sebelum akhirnya melangkah masuk. "Selamat pagi, Kakek mencari saya?" sapa Raina mencoba terdengar tenang, meski sempat terkejut melihat kakak tirinya juga berada di ruangan. Firasat buruk tiba-tiba mengusik hati wanita itu.Pria sepuh itu menoleh, tersenyum tipis. "Duduklah." Menurut, Raina memilih duduk di sofa sebelah kiri, tepat berhadapan dengan Vanya.Selang beberapa saat, sekretaris kakek masuk membawa cangkir teh untuk Raina. Tapi ia mengabaikannya, tak punya selera untuk beramah-tamah, terutama jika harus berlama-lama satu ruangan dengan Vanya. Kakek berdeham pelan, "Gimana perkembangan proyek Sakala Nusa?" Yang dibalas dengan anggukan penuh an
Raina bangkit perlahan dari tempat tidur, meraih kaus Jovian yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya. Kaus itu terasa hangat dan nyaman di kulitnya, membawa aroma tubuh suaminya yang menenangkan.Seraya memijat pundak yang terasa pegal, dia berjalan menuju arah suara. Badannya masih terasa lelah setelah hampir semalaman dijamah oleh Jovian. Meski demikian, ia menikmati setiap momen keintiman mereka. Senyum kecil terulas di bibirnya."... proyek pembangunan..." suara Jovian terdengar semakin jelas saat wanita itu mendekati pintu balkon, "lupakan saja. Biar saya sendiri yang urus.""Mas?" panggil Raina lembut.Bukan maksudnya untuk mengendap-endap, namun dia tak menyangka Jovian akan tersentak kaget hingga gawai di tangan hampir jatuh. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya pria itu menoleh, senyum tipis terlukis di wajahnya.Melihat sang suami tertatih-tatih, Raina segera melangkah maju, meraih lengan Jovian untuk memapahnya. "Kebangun?" tanya Jovian dengan nada lembut, seraya m
Jovian tersenyum penuh kemenangan. Namun langkah pria itu masih terlihat goyah. Semakin dekat, Raina bisa melihat peluh yang membasahi kening suaminya. Hanya beberapa langkah lagi menuju Raina, sang suami kehilangan keseimbangan dan limbung, jatuh berlutut ke tanah."Mas!" Raina berseru panik, cepat-cepat menghampiri. Tangannya meraih lengan suaminya, mencoba mengangkat tubuh Jovian yang tampak kelelahan.Pria itu tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Duh, malah jatoh. Malu-maluin aja," katanya dengan cengengesan, seolah berusaha menghapus rasa canggung.Manik Raina berkaca-kaca, suaranya tertahan di tenggorokan. "Ya Tuhan, Mas... ini luar biasa," bisiknya, lalu memeluk Jovian erat-erat. Hatinya berdebar kencang, dipenuhi perasaan campur aduk—bahagia, syukur, dan juga kekhawatiran.Dia menyembunyikan wajahnya di dada Jovian, menghidu aroma tubuh yang hangat dan akrab. Melihat suaminya berdiri dan berjalan tanpa tongkat adalah impian yang selalu ia pendam. Akhirnya, itu terwuju
"Ya sadar diri aja. Suami kamu tuh pincang. Udah malu-maluin, nanti malah nyusahin orang. Dasar nggak guna." Cibiran Vanya masih terngiang di ingatan Raina ketika bertemu calon besan sang kakak beberapa hari lalu."Nak Jovian, tolong maklumi ya? Ini acara besar, takutnya kaki kamu semakin sakit." Kalimat yang dilontarkan sang kakek setelah omongan Vanya semakin membuat Raina kecewa.Awalnya, wanita itu masih enggan untuk pergi. Ia lebih memilih tinggal di rumah, dalam dekapan hangat Jovian, daripada harus berpura-pura tersenyum di pesta pertunangan kakak tirinya.Namun, suaminya, bersikukuh bahwa dia harus menghadiri acara keluarga yang penting itu. "Aku nggak mau nanti kamu dibilang adik kurang ajar, masa hajatan kakaknya nggak datang," kata Jovian sebelum sang istri pergi ke pesta.Raina menggigit bibir. "Kalau kenapa-napa, telepon ya, Mas. Pokoknya aku nggak bakal lama-lama di sana," ucapnya dengan nada khawatir.Jovian terkekeh pelan, mengusap pipi Raina dengan lembut. "Kamu yang