Share

6. Kecurigaan

"Mas, kamu kenal dari mana?" Raina berbisik dengan nada penuh tanya.

Jovian hanya tersenyum, menjawab pelan, "Iya, pas dulu masih jadi jurnalis."

"Jurnalis?" Investor yang mendengar percakapan itu ikut angkat alis, tampak heran.

Jovian segera menimpali sebelum pria berjas biru tua itu sempat berbicara lebih jauh, "Aku pernah diminta bantu waktu wawancara beliau," ujarnya dengan nada santai.

Pengusaha besar itu memandangi wajah Jovian sejenak, lalu tertawa kecil, meskipun terdengar sedikit canggung. "Oh iya, dulu Pak Jovian memang banyak membantu," katanya, berusaha mengalihkan perhatian.

Raina menoleh ke arah suaminya, mencari jawaban di balik senyum tenang yang terukir di bibirnya. Tak ada yang mencurigakan, hanya tatapan lembut yang biasa ia lihat.

"Ini istrinya, Pak Jovian?" Investor itu bertanya, mencoba mengalihkan topik.

"Iya, ini Raina Asmarani Hartanto, adiknya Vanya," jelas Jovian, memperkenalkan istrinya dengan bangga.

"Oh, berarti kerja di Seruni Hospitality juga, ya? Nanti ikut mengerjakan proyek bersama Vanya?" tanya sang pria paruh baya dengan nada tertarik.

Sebelum Kakek sempat merespons, Jovian menyela, "Rencana awalnya Raina yang memimpin proyek, tapi karena ada kendala, proyek itu dialihkan ke Vanya."

Investor itu mengangguk-angguk. "Sayang sekali. Padahal kalau Raina yang mengerjakan proyek, saya berniat menambah investasi." Ia lalu menurunkan suaranya seperti hendak membisikkan rahasia penting, "Proyek yang didukung Pak Jovian biasanya sukses besar."

Melihat peluang ini, Kakek segera menimpali, "Iya, nanti Vanya akan bekerja sama dengan Raina," ucapnya tegas.

Raut wajah Vanya langsung berubah. Sejenak, ia terlihat ingin protes, namun Aksa segera menahan lengannya, memberi isyarat untuk menahan diri.

"Nah, begitu dong! Proyek ini pasti sukses besar," seru investor dengan nada puas.

Aksa melirik tajam ke arah Jovian, ada senyum tipis tapi penuh arti di sudut bibirnya. "Iya, selama tidak ada yang mengganggu," ujarnya dengan nada mengancam terselubung.

Tak lama setelah itu, Vanya dan Aksa berpamitan untuk berbicara dengan kolega lainnya. Sementara itu, Jovian meminta izin untuk duduk karena kakinya mulai terasa sakit. Raina segera menunjukkan kekhawatirannya.

Karena pesta diadakan di ballroom salah satu hotel milik Kakek, Raina meminta agar mereka disediakan ruang kecil untuk beristirahat tanpa gangguan.

"Mas, kok kamu nggak bilang kalau mau nyusul?" tanya Raina, masih terkejut dengan kemunculan tiba-tiba suaminya.

Jovian tertawa pelan, "Yah, kata orang, kalau mau mengelabui lawan, kita harus mengelabui kawan dulu," jawabnya ringan.

"Aku kan istri kamu, bukan sekadar teman," protes Raina dengan nada manja, bibirnya mencebik.

Sang suami membalas dengan mengecup bibirnya. "Tapi kamu senangkan aku datang?" goda Jovian, berusaha mengubah topik.

Raina mengangguk, tetapi kekhawatiran masih tergambar di wajahnya saat melihat kerut di dahi suaminya. "Mas, kita pulang aja, yuk? Toh kita sudah ngucapin selamat ke Mbak Vanya," ajaknya, suaranya terdengar cemas.

"Nanti kamu disangka nggak sopan, masa ke pesta kakak cuma sebentar," sahut Jovian, berusaha menenangkan.

"Siapa yang peduli sih, Mas?" Raina tak bisa menyembunyikan kegundahannya melihat suaminya meringis sambil memijat pergelangan kakinya yang nyeri.

"Aku peduli," jawab Jovian lembut, mengecup puncak kepala Raina. "Aku cuma butuh istirahat sebentar kok. Kamu keluar saja, temui tamu-tamu, siapa tahu dapat proyek besar lainnya," tambahnya dengan nada bercanda, berusaha menyemangati.

Meski ragu, Raina akhirnya keluar dari ruangan. Begitu dia melangkah ke lorong yang sepi, suara perdebatan yang kian memanas menarik perhatiannya.

Merasa mengenali suara-suara itu, Raina menghentikan langkahnya, mendengarkan dengan seksama.

"Kakek! Kan Kakek sudah janji untuk ngasih proyek Sakala Nusa ke aku!" terdengar suara Vanya yang meninggi, penuh kemarahan.

Di sampingnya, sang kakak pertama, Tama, berdiri dengan tenang, tetapi tidak ikut campur dalam pembicaraan.

"Vanya," Kakek menanggapi dengan suara berat, mencoba menenangkan. "Sebagai pemimpin perusahaan, Kakek harus memikirkan ini dari sudut pandang bisnis. Kalau memasukkan Raina kembali ke proyek bisa membuat kita dapat investasi ganda, itu lebih baik untuk perusahaan."

Vanya mendengus keras, suaranya penuh rasa tidak terima. "Kakek nggak curiga? Gimana bisa Jovian si pincang itu tahu pengusaha besar dan bahkan membuat mereka percaya untuk investasi di proyek Sakala Nusa?" tuntutnya dengan tangan berkacak pinggang. "Jangan-jangan dia itu pakai guna-guna!"

Tidak tahan, Raina langsung melangkah maju dari tempatnya berdiri. "Jangan ngomong sembarangan, Mbak!" serunya.

Vanya menoleh dengan tatapan marah dan sedikit terkejut. "Loh, bener kan? Suami kamu itu cuma orang biasa, darimana dia kenal investor kita?" balasnya dengan nada menantang.

"Mbak dengar sendiri kan tadi, Mas Jovian sering wawancara pebisnis ternama," sergah Raina, mencoba menahan amarah.

"Halah, bisa aja dia bohong. Lagian, kalau cuma wawancara sekali, nggak mungkin orang mau investasi puluhan bahkan ratusan juta," ucap Vanya, suaranya tajam.

Sang adik terdiam sejenak. Ada kebenaran dalam kata-kata kakaknya, tetapi ... "Aku percaya Mas Jovian," ujarnya tegas, walau perasaan ragu masih menggantung di hatinya.

"Tuh, Kek, lelaki gembel itu bahkan bisa bikin Raina bucin kayak gini. Pasti ada apa-apanya," cibir Vanya lagi, kali ini dengan nada mengejek.

"Sudah, sudah," Kakek menengahi sebelum pertengkaran semakin memanas. "Vanya, Kakek sudah bicara di depan investor akan memasukkan Raina ke proyek. Kalau tidak dilaksanakan, mau di taruh di mana muka Kakek?"

Belum sempat Raina tersenyum penuh kemenangan, sang sepuh meneruskan perkatannya, "Raina, ucapan kakakmu ada benarnya. Kita belum mengenal Jovian dengan baik. Kakek akan menyelidiki suamimu lebih lanjut."

Raina mendengus kesal, "Kemarin kalian bilang Mas Jovian nggak guna, sekarang pas kita dapat investasi tambahan, kenapa malah curiga?" gumamnya, merasa diperlakukan tidak adil.

Kakek mengangkat tangan, menghentikan perdebatan. "Keputusan Kakek sudah final. Vanya, ini acara kamu, lebih baik kamu kembali ke ruang pesta," tandasnya sebelum berbalik dan pergi, meninggalkan ketiga cucunya.

Vanya melirik tajam ke arah Raina, berhenti sejenak di depannya. "Awas kamu, Ray. Aku nggak akan aku biarkan kamu ambil apa pun lagi dariku," bisiknya penuh ancaman sebelum berlalu.

Tama, yang sedari tadi hanya diam, mendekat dengan langkah pelan. "Ray," panggilnya lembut, tangannya terulur untuk meraih lengan adiknya.

Raina menoleh, sorot matanya masih dipenuhi amarah. Di antara kakak-kakaknya, saudara lelaki Raina itu yang bersikap seperti keluarga. Sama-sama diabaikan, mereka berdua menjadi akrab dengan cepat. Tama tak pernah ikut menghina atau merendahkan Raina. Bahkan sesekali, pria itu menghiburnya.

Tapi hari ini, bahkan kehadiran sang kakak lelaki tidak bisa menenangkan hatinya. "Mas juga curiga sama Mas Jovian?" tuduh Raina, suaranya dingin.

Pria itu menggeleng, tetapi jeda pada balasan mengkhianati perasaannya. "Aku cuma takut dia nyakitin kamu, Ray," ujarnya pelan.

Raina menarik napas dalam, mencoba meredakan gejolak di dadanya. "Mas Jovian nggak akan nyakitin aku," katanya yakin. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, dia melepaskan genggaman tangan kakaknya. "Aku mau sendiri dulu."

Rasa sesak masih menguasai dadanya. Raina memilih keluar dari gedung, mencari udara segar di taman hotel. Di bawah pendar cahaya bulan yang memantul di kolam, dia mencoba menenangkan hatinya yang bimbang.

Namun, suara bariton dari belakang mengejutkannya, membuyarkan lamunan.

"Di sini kamu rupanya.".

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status