Kegelapan mengepung Jovian.
Sejauh apa pun pria itu melangkah, hanya ada bayang-bayang hitam pekat yang mengikuti. Tak ada arah. Tak ada ujung. Hanya ketiadaan yang menyesakkan.
Maniknya bergerak panik, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa membantunya keluar dari kehampaan ini.
Hingga akhirnya ia menangkap seberkas cahaya redup di kejauhan. Seperti lilin kecil yang berusaha bertahan di tengah badai. Dengan napas terengah, Jovian tertatih menghampirinya. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya.
Terkesiap, ia menoleh. Di sana, sosok sang ayah, Haris, duduk bersimpuh di atas tanah yang retak dan kering. Jemari kurus pria itu mencengkeram celana Jovian dengan erat, seperti seseorang yang tengah tenggelam memohon pertolongan. Mata lelaki itu sayu, tapi penuh dengan harapan yang menyakitk
Semenjak malam-malam kelam dipenuhi oleh rasa bersalah yang menghantui pikirannya, Jovian mulai mempertimbangkan untuk menghentikan rencana balas dendamnya.Namun, perasaan itu menghimpit seperti kabut tebal—tak memberi ruang untuk napas. Tidak tenang, itu pasti. Tapi, bahkan jika ia ingin berhenti sekarang, apakah itu mungkin?Pria itu sudah kadung basah. Rencana ini bukan lagi sekadar tentang dirinya. Terlalu banyak yang ia seret ke dalam jalan gelap ini.“Kita tidak bisa tiba-tiba menghentikan rencana ini!” Suara serak seorang pria bertopi hitam memecah udara di ruang kecil itu. Matanya membelalak penuh amarah, tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya terlihat menonjol.“Kamu yang membujuk kami untuk melakukan ini, Jovian!” timpal seorang wanita paruh baya, wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar,
"Cih, si pincang ngapain di sini?"Baru memasuki ruang privat pada restoran, Raina dan Jovian sudah disuguhi hinaan. Netra sang istri melotot menatap kakak tiri.Sementara pria di samping menepuk pundaknya pelan, seolah menenangkan. "Selamat malam semuanya. Maaf terlambat. Jalan ke sini agak lama, banyak tangga," ucapnya ramah."Makanya, orang cacat tuh harusnya diem aja di rumah, nggak usah ikut-ikutan kemari," ejek Vanya yang lalu cekikikan dengan sang ibu. Saudari tiri Raina itu memang tidak akan melewatkan kesempatan untuk merendahkan Jovian.Belum sempat Raina membalas nyinyiran si nenek lampir, Jovian sudah meraih tangan sang istri dan membelainya lembut. Pria berusia 33 tahun itu menggeleng pelan, mengisyaratkan pada Raina agar tidak terpancing.Dengan muka masam, wanita itu duduk pada bangku kosong. Kalau bukan karena permintaan Jovian untuk ikut makan malam keluarga, mungkin Raina lebih memilih istirahat di rumah.Kakek berdeham pelan hingga semua perhatian tertuju padanya. "
Walaupun bekerja di perusahaan keluarga, Raina Asmarani Hartanto meniti karir dari bawah. Setelah berjuang membuktikan diri selama tiga tahun, akhirnya sang Kakek memberikan kepercayaan padanya untuk memimpin proyek besar. Dia tidak mungkin mengacaukan kesempatan emas itu. Beberapa detik sang wanita terdiam di depan pintu cendana sebelum akhirnya melangkah masuk. "Selamat pagi, Kakek mencari saya?" sapa Raina mencoba terdengar tenang, meski sempat terkejut melihat kakak tirinya juga berada di ruangan. Firasat buruk tiba-tiba mengusik hati wanita itu.Pria sepuh itu menoleh, tersenyum tipis. "Duduklah." Menurut, Raina memilih duduk di sofa sebelah kiri, tepat berhadapan dengan Vanya.Selang beberapa saat, sekretaris kakek masuk membawa cangkir teh untuk Raina. Tapi ia mengabaikannya, tak punya selera untuk beramah-tamah, terutama jika harus berlama-lama satu ruangan dengan Vanya. Kakek berdeham pelan, "Gimana perkembangan proyek Sakala Nusa?" Yang dibalas dengan anggukan penuh an
Raina bangkit perlahan dari tempat tidur, meraih kaus Jovian yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya. Kaus itu terasa hangat dan nyaman di kulitnya, membawa aroma tubuh suaminya yang menenangkan.Seraya memijat pundak yang terasa pegal, dia berjalan menuju arah suara. Badannya masih terasa lelah setelah hampir semalaman dijamah oleh Jovian. Meski demikian, ia menikmati setiap momen keintiman mereka. Senyum kecil terulas di bibirnya."... proyek pembangunan..." suara Jovian terdengar semakin jelas saat wanita itu mendekati pintu balkon, "lupakan saja. Biar saya sendiri yang urus.""Mas?" panggil Raina lembut.Bukan maksudnya untuk mengendap-endap, namun dia tak menyangka Jovian akan tersentak kaget hingga gawai di tangan hampir jatuh. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya pria itu menoleh, senyum tipis terlukis di wajahnya.Melihat sang suami tertatih-tatih, Raina segera melangkah maju, meraih lengan Jovian untuk memapahnya. "Kebangun?" tanya Jovian dengan nada lembut, seraya m
Jovian tersenyum penuh kemenangan. Namun langkah pria itu masih terlihat goyah. Semakin dekat, Raina bisa melihat peluh yang membasahi kening suaminya. Hanya beberapa langkah lagi menuju Raina, sang suami kehilangan keseimbangan dan limbung, jatuh berlutut ke tanah."Mas!" Raina berseru panik, cepat-cepat menghampiri. Tangannya meraih lengan suaminya, mencoba mengangkat tubuh Jovian yang tampak kelelahan.Pria itu tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Duh, malah jatoh. Malu-maluin aja," katanya dengan cengengesan, seolah berusaha menghapus rasa canggung.Manik Raina berkaca-kaca, suaranya tertahan di tenggorokan. "Ya Tuhan, Mas... ini luar biasa," bisiknya, lalu memeluk Jovian erat-erat. Hatinya berdebar kencang, dipenuhi perasaan campur aduk—bahagia, syukur, dan juga kekhawatiran.Dia menyembunyikan wajahnya di dada Jovian, menghidu aroma tubuh yang hangat dan akrab. Melihat suaminya berdiri dan berjalan tanpa tongkat adalah impian yang selalu ia pendam. Akhirnya, itu terwuju
"Ya sadar diri aja. Suami kamu tuh pincang. Udah malu-maluin, nanti malah nyusahin orang. Dasar nggak guna." Cibiran Vanya masih terngiang di ingatan Raina ketika bertemu calon besan sang kakak beberapa hari lalu."Nak Jovian, tolong maklumi ya? Ini acara besar, takutnya kaki kamu semakin sakit." Kalimat yang dilontarkan sang kakek setelah omongan Vanya semakin membuat Raina kecewa.Awalnya, wanita itu masih enggan untuk pergi. Ia lebih memilih tinggal di rumah, dalam dekapan hangat Jovian, daripada harus berpura-pura tersenyum di pesta pertunangan kakak tirinya.Namun, suaminya, bersikukuh bahwa dia harus menghadiri acara keluarga yang penting itu. "Aku nggak mau nanti kamu dibilang adik kurang ajar, masa hajatan kakaknya nggak datang," kata Jovian sebelum sang istri pergi ke pesta.Raina menggigit bibir. "Kalau kenapa-napa, telepon ya, Mas. Pokoknya aku nggak bakal lama-lama di sana," ucapnya dengan nada khawatir.Jovian terkekeh pelan, mengusap pipi Raina dengan lembut. "Kamu yang
"Mas, kamu kenal dari mana?" Raina berbisik dengan nada penuh tanya.Jovian hanya tersenyum, menjawab pelan, "Iya, pas dulu masih jadi jurnalis.""Jurnalis?" Investor yang mendengar percakapan itu ikut angkat alis, tampak heran.Jovian segera menimpali sebelum pria berjas biru tua itu sempat berbicara lebih jauh, "Aku pernah diminta bantu waktu wawancara beliau," ujarnya dengan nada santai.Pengusaha besar itu memandangi wajah Jovian sejenak, lalu tertawa kecil, meskipun terdengar sedikit canggung. "Oh iya, dulu Pak Jovian memang banyak membantu," katanya, berusaha mengalihkan perhatian.Raina menoleh ke arah suaminya, mencari jawaban di balik senyum tenang
Senyum Raina pudar saat mendapati pria yang menyapa bukanlah Jovian.Di hadapannya, berdiri Aksa dengan senyum tipis dan mata yang tampak sedikit berat. Dengan dagu, wanita itu menunjuk ke arah pintu ballroom yang tadi dilalui, "Mbak Vanya udah masuk lagi," ucapnya kepada calon kakak ipar.Aksa, mengenakan jas berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan rapi, hanya berdiri diam di tempatnya, seolah sengaja menghalangi jalan Raina. Segelas sampanye tergenggam di tangannya. "Aku emang nyari kamu kok," ucapnya tiba-tiba saat Raina mencoba melangkah pergi.Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati Raina. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Aksa, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. "Lepas," pintanya pelan, matanya melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang
Semenjak malam-malam kelam dipenuhi oleh rasa bersalah yang menghantui pikirannya, Jovian mulai mempertimbangkan untuk menghentikan rencana balas dendamnya.Namun, perasaan itu menghimpit seperti kabut tebal—tak memberi ruang untuk napas. Tidak tenang, itu pasti. Tapi, bahkan jika ia ingin berhenti sekarang, apakah itu mungkin?Pria itu sudah kadung basah. Rencana ini bukan lagi sekadar tentang dirinya. Terlalu banyak yang ia seret ke dalam jalan gelap ini.“Kita tidak bisa tiba-tiba menghentikan rencana ini!” Suara serak seorang pria bertopi hitam memecah udara di ruang kecil itu. Matanya membelalak penuh amarah, tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya terlihat menonjol.“Kamu yang membujuk kami untuk melakukan ini, Jovian!” timpal seorang wanita paruh baya, wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar,
Kegelapan mengepung Jovian.Sejauh apa pun pria itu melangkah, hanya ada bayang-bayang hitam pekat yang mengikuti. Tak ada arah. Tak ada ujung. Hanya ketiadaan yang menyesakkan.Maniknya bergerak panik, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa membantunya keluar dari kehampaan ini.Hingga akhirnya ia menangkap seberkas cahaya redup di kejauhan. Seperti lilin kecil yang berusaha bertahan di tengah badai. Dengan napas terengah, Jovian tertatih menghampirinya. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya.Terkesiap, ia menoleh. Di sana, sosok sang ayah, Haris, duduk bersimpuh di atas tanah yang retak dan kering. Jemari kurus pria itu mencengkeram celana Jovian dengan erat, seperti seseorang yang tengah tenggelam memohon pertolongan. Mata lelaki itu sayu, tapi penuh dengan harapan yang menyakitk
“Sial!”Jovian menggebrak meja kayu di depannya, membuat tumpukan kertas serta kotak alat tulis di atasnya bergetar, nyaris terjatuh. Napasnya memburu, dada naik turun seolah tak mampu menahan luapan emosi yang bergolak di dalam diri. Pikirannya terus berputar, mengutuk dirinya sendiri.Rencananya sederhana—atau setidaknya itulah yang ia pikirkan. Ia hanya akan memantau gerak-gerik Ambar dari kejauhan. Lalu, ketika wanita itu bertindak ceroboh dan mencoba mencelakai Lilis, Jovian akan muncul sebagai penyelamat. Semudah itu, seperti pahlawan dalam cerita.Ia ingin membuat Bram, pewaris Hartanto Global Venture, berhutang budi padanya. ‘Dan pada waktunya,’ pikir Jovian, ‘Bram dan juga Adi akan membayar harga yang lebih mahal daripada sekadar penolakan mereka terhadap ayahku.’
Hujan deras mengguyur kota malam itu, membawa bau tanah basah yang samar menyusup ke dalam hidung Jovian. Dia berdiri di tepi jembatan tua, memandangi sungai yang mengalir deras di bawahnya.Tetesan air menetes dari ujung jaket hoodie-nya, jatuh ke aspal basah. Tangannya menggenggam erat ponsel kecil sekali pakai yang ia siapkan untuk mengerjakan misi rahasia.“Bahkan nggak ada satu minggu,” gumamnya sambil menyeringai.Deretan angka asing di layar gawai mulai berkedip—dering pertama, kedua, ketiga. Ia tahu siapa yang menghubungi. Jemarinya bergerak lambat, mengangkat panggilan.“Dari mana kamu mendapatkan informasi dalam amplop itu?” Suara seorang wanita terdengar dari seberang, tajam dan penuh emosi. Bahkan tanpa ucapan salam, nada Ambar sudah cukup untuk membuat sang pria puas.
Kendaraan yang diikuti akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang terlihat sederhana. Jovian segera memperlambat laju motornya, mematikan mesin tanpa suara. Ia menghentikan kendaraannya di sudut yang gelap, cukup jauh agar tak mencurigakan, namun masih dapat melihat dengan jelas.“Jemput saya dua hari lagi. Saya tidak ingin diganggu saat ada di sini.”Samar-samar pria muda itu mendengar arahan Bram pada supirnya, di sela gemerisik angin yang membawa aroma embun malam. Suara itu terdengar lebih lembut dibanding di ruang naratetama tadi, seperti seseorang yang mendadak meninggalkan semua atribut kekuasaan setelah sampai di rumah. Lalu pria paruh baya itu membuka gerbang besi bercelah dengan hati-hati, seolah takut mengganggu keheningan malam yang pekat.Sang pria muda memperhatikan dengan seksama. Rumah itu berbeda dari bayangan masa lalu yang terekam kuat di
Ditengah-tengah percakapan Jovian menaruh minuman limun milik Bram di atas meja lalu kembali ke tempatnya di balik bar kecil ruang naratetama.Manik Bram mendelik., menatap sang kawan dengan tajam. “Jangan berbicara sembarangan. Tentu saja Tama anakku. Apa kamu tidak lihat matanya yang sangat mirip dengan milikku!” geramnya.Gelak tawa Krisna memenuhi ruangan. “Santai saja, aku cuma bercanda. Semua orang tahu betapa Ambar terobsesi menunjukkan keharmonisan keluarganya. Mana mungkin dia berselingkuh.”Jovian, yang kembali menyajikan limun untuk Bram, menangkap ketegangan di wajah pria itu. Sebuah ekspresi yang sangat kecil, hampir tak terlihat, namun cukup untuk menandakan ada sesuatu yang salah. Dia menaruh gelas di meja dengan gerakan tenang, lalu kembali ke tempatnya di balik bar.Pria muda itu kini semakin lihai menyembunyikan emosi. Dia be
“Ayolah, Bram, kaku sekali kamu.” Seorang pria paruh baya berpostur besar merangkul temannya, menariknya dengan santai menuju ruang naratetama. Wajahnya penuh senyum lebar yang menyiratkan keakraban.“Sudah kubilang, aku tidak nyaman di tempat seperti ini,” sahut Bram, pria berkacamata yang berjalan ragu di sebelahnya. Ada garis-garis ketegangan di wajahnya, kontras dengan cara santai kawannya.“Terlalu banyak aturan hidupmu itu,” jawab si pria berjas abu-abu dengan nada bercanda, menepuk bahu Bram. “Kita hanya akan membahas bisnis, kok.”Nama ‘Bram’ itu bergaung di telinga Jovian. Familiar. Namun pemuda itu tetap memasang senyum tipis di wajah, menyambut mereka dengan sopan. “Selamat malam, Pak Krisna, Pak Bram. Selamat datang,” sapanya sambil sedikit membungkuk.
Pria bercincin itu tiba-tiba mendekatkan tubuhnya ke arah pria mata keranjang, senyumnya samar tapi penuh misteri. “Aku dengar mereka pernah menjebak satu perusahaan dalam kasus korupsi besar-besaran,” katanya, suaranya kini lebih rendah, hampir seperti bisikan.Jovian, yang tengah sibuk memindahkan potongan keju dan daging ke atas piring, menegang tanpa terlihat. Tangannya tetap cekatan, tapi ia memastikan piring itu tidak gemetar saat diletakkan di meja. Wajahnya datar, persis seperti topeng yang selama ini ia kuasai. Meski begitu, telinganya tak melewatkan satu kata pun dari percakapan mereka.“Perusahaan yang dijebak itu…” Pria bercincin sengaja membuat jeda panjang, seakan menunggu perhatian sepenuhnya dari lawan bicaranya. Jemarinya memainkan cerutu sebelum ia melanjutkan. “Kabarnya mereka sampai bangkrut. Bahkan pemilik
“Anak muda…” Sebuah tepukan tiba-tiba mendarat di pundaknya.Jovian menoleh cepat, mendapati pria tambun dengan jas mahal yang tadi memintanya melayani tamu naratetama. Senyum pria itu masih sama, hangat tapi sarat intrik, seperti seorang penjudi yang baru saja memenangkan taruhan besar.“Kamu sudah mendengar banyak hal malam ini,” ujarnya pelan, hampir seperti bisikan. Sorot matanya menelusuri wajah Jovian, mencari jawaban di balik ekspresi tenangnya.Tubuh Jovian seolah membeku. Pernyataan itu menggantung di udara, seperti perangkap tak kasatmata yang siap menjeratnya.Tamu itu kembali terkekeh, suara tawanya serak dan sedikit berat. Sudah berjam-jam Jovian mendengar tawa itu, namun kali ini, ada sesuatu yang membuatnya semakin tak nyaman. Si pria muda menahan dorongan untuk bergeser menjauh.