Ratri, seorang istri yang harus menjalani kehidupan rumah tangga yang penuh kebohongan. Nafkah jauh dari kata cukup, membuatnya harus hidup hemat dan memutar otak setiap kali berganti hari. Namun, setelah rahasia besar sang suami terungkap, Ratri yang semula hanya wanita lemah, kini bangkit berusaha menjadi wanita mandiri dengan keahlian yang terpendam di dalam dirinya. Dengan keahliannya itu, siapa sangka membuat Ratri mampu merubah nasib dirinya dan juga anaknya.
view more"Ayah pulang ...."
"Ye ... Ayah pulang, pasti bawa makanan enak lagi." Teriakkan Gina, anak perempuan yang baru berusia 4 tahun itu begitu menggema di sebuah rumah kecil. Ia berhambur mengambil bungkusan makanan dari tangan ayahnya. Rusdi, sang ayah yang baru pulang bekerja sebagai office boy itu, langsung masuk ke dalam rumah, disambuthangat oleh istrinya yang bernama Ratri. "Wah ayam goreng, tapi kok ada bekas gigitan," ujar Gina, yang baru saja membuka bungkusan makanan itu. "Masa sih, Nak? Sini coba ibu lihat!" Ratri melihat ayam goreng tersebut. "Loh iya, kok ada bekas gigitan, Mas," imbuh Ratri. "Em ... Mungkin penjual ayam goreng itu salah memasukan ayamnya karena saking ramainya pembeli. Makan saja ya yang ada, mungkin itu bukan bekas gigitan. Masa iya sih bekas gigitan dimasukin dan dijual," sahut Rusdi. Gina yang menatap ayam itu, mengangguk lalu memakan ayam goreng itu dengan lahap. Ratri tersenyum melihat putri semata wayangnya itu begitu menikmati makanan itu. Sudah beberapa hari ini, Rusdi selalu membelikan Gina makanan enak, setiap sehabis kerja.Ia berpikir, mungkin Rusdi menggunakan sebagian jatah transportnya atau uang tips untuk membeli makanan itu, demi membahagiakan putrinya.
Melihat itu, Ratri bersyukur, walau pun ia hanya bisa makan seadanya, tapi baginya, melihat perhatian Rusdi terhadap putrinya, tentu menjadi kebahagiannya tersendiri.
"Mas ... Apakah gaji kamu sudah cair hari ini? Aku belum bayar listrik dan air. Sebentar lagi Gina juga akan ma‐suk sekolah TK," ujar Ratri. Rusdi tersenyum, seraya mengeluarkan sebuah amplop coklat dan menyerahkannya kepada Ratri. "Ini gaji aku sudah cair, kamu cukup-cukupin, ya! Di dalamnya ada satu juta lima ratus. Aku minta sedikit buat biaya transportasi untuk sebulan pergi kerja, ya!" seru Rusdi. Ratri mengangguk, kemudian ia menyerahkan lima ratus ribu kepada Rusdi. Kini uang di tangan Ratri tersisa satu juta lagi. "Mungkin bulan ini aku harus lebih hemat. Yang penting kebutuhan sekolah Gina tercukupi," batin Ratri. "Kenapa?" tanya Rusdi membuyarkan lamunan Ratri. "Eh nggak apa-apa, aku simpan dulu uangnya." Ratri masuk ke dalam kamar. Ini adalah tahun ke lima pernikahan Ratri dan Rusdi. Namun sayangnya, selama pernikahan mereka, Rusdi hanya mampu menafkahi Ratri satu juta perbulan, itu juga kadang tidak utuh. Ratri harus membaginya dengan ibu mertuanya. Namun beruntung, mereka tak perlu mengontrak rumah. Mereka menempati rumah peninggalan orang tua Ratri yang telah meninggal. Setelah Gina menghabiskan makanannya dan terlelap tidur di kamarnya. Ratri berpindah ke kamarnya. Ratri melewati ruang keluarga di mana Rusdi tampak asyik menyaksikan acara televisi seorang diri. Ratri merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit yang sudah bolong termakan usia. "Rat, kamu belum tidur?" tanya Rusdi yang baru saja masuk ke dalam kamar. Ratri menoleh kemudian menggeleng, "Belum, Mas ...." Rusdi berbaring di sebelah Ratri, kemudian sama-sama menatap langit-langit. "Tadi ibu telepon, katanya butuh uang. Em ... Apa kamu tidak apa-apa, kalau aku minta sedikit uang dari kamu untuk ibuku?" tanya Rusdi. Ratri menghela nafas, kemudian mengangguk, "Ya, tidak apa-apa." Jika harus jujur, Ratri keberatan jika harus membagi lagi uang itu. Bukan karena tak ikhlas berbagi dengan mertua. Hanya saja, uang pemberian Rusdi jauh dari kata cukup untuk biaya sehari-hari, ditambah Gina akan masuk sekolah TK. Ratri beranjak, kemudian mengambil dompet miliknya di dalam lemari. "Ini, Mas!" Ratri menyerahkan uang sebesar tiga ratus ribu kepada Rusdi, untuk diserahkan kepada ibunya. Rusdi tersenyum kemudian menerimanya. Setelah menyimpan uang itu, Rusdi menepuk bantal di sebelahnya,menyuruh Ratri untuk tidur di sampingnya. "Aku akan kasih uang ini ke ibu besok lewat mini ATM," ujar Rusdi yang disambut anggukan kepala Ratri. Setelah berkata demikian, Rusdi tiba-tiba terdiam sebentar menatap wajah Ratri. "Kok sekarang kamu agak hitam dan jerawatan, ya!" celetuk Rusdi ketika tangannya menyentuh wajah Ratri. "Ah nggak apa-apa, sudah lama aku nggak pakai make up, jadi kelihatan kusam dan jerawatan," sahut Ratri sam‐bil memalingkan wajahnya. "Harusnya kamu bisa rawat wajah kamu, Rat. Biar kata, suami kamu hanya seorang office boy, tapi aku mau kamu tetap terlihat cantik," ujar Rusdi. Mendengar perkataan Rusdi barusan, sebenarnya banyak unek-unek yang ingin Ratri lontarkan. Namun, Ratri berusaha menahannya demi menjaga perasaan suaminya. Tak berselang lama, terdengar suara dengkuran dari mulut Rusdi. Esoknya, Ratri bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan bekal untuk Rusdi dan Gina. Namun, karena uang yang terbatas, keduanya hanya bisa makan lauk seadanya. Bahkan, setelah mengantar Gina, Ratri hanya makan nasi dengan taburan bubuk cabai dan garam. Semuanya Ratri lakukan demi menghemat keburuhan keluarganya selama beberapa hari kedepan. "Bu, hari ini aku ulang tahun loh! Boleh kan aku minta dibelikan makan yang enak sama ayah?" Sepulang sekolah, Gina dengan wajah semringah berkata pada Ratri. Sebagai ibu, tentu saja Ratri ingin sekali mengabulkan permintaan anaknya. Sambil mengangguk dan mengelus kepala putrinya, Ratri berucap, "Tentu, Nak. Nanti Ibu bilang sama ayah." Malamnya, Gina tengah sibuk menyibak gorden, menunggu ayahnya pulang. Ratri yang melihat tingkah laku putrinya itu, hanya tersenyum kecil sambil geleng-geleng kepala. "Bu, kok ayah belum pulang juga, ya! Apa ayah lupa ya kalau hari ini ulang tahun aku?" tanya Gina dengan raut wajah yang terlihat gelisah. Ratri mendekat, mengusap rambut ikal Gina, berusaha menenangkannya. "Sabar, ayah pasti pulang. Tidak mungkin ayah lupa sama hari ulang tahun kamu, Nak. Mungkin ayah sedang ter‐jebak macet di jalan. Jadi pulangnya sedikit terlambat," jawab Ratri memberi pengertian. Gina masih merengut, ia terus saja menatap gelisah ke arah halaman rumahnya, dari celah gorden yang terusdisingkapnya sedari tadi. Beberapa kali Ratri melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul 20.20, Rusdi belum kunjung pulang. "Gina kalau ngantuk, tidur saja dulu, Nak. Nanti kalau ayah pulang, Ibu bangunin, ya!" seru Ratri. Gina menggeleng, ia enggan untuk sekedar beranjak dari tempatnya berdiam diri. Tak berselang lama, terdengar suara motor dari depan rumah. Membuat Gina berjingkrak kesenangan ketikamelihat ayahnya pulang, dari balik gorden. "Ye ... Akhirnya ayah pulang, Bu. Asyik, pasti ayah beliin aku makanan enak. Aku sudah nggak sabar, aku lapar." Gina loncat-loncat saking senangnya. Ceklek! Pintu pun terbuka, terlihat Rusdi menenteng sebuah kresek berwarna putih. "Sayang, ini makanannya. Semoga kamu suka, ya! Selamat ulang tahun ...." imbuh Rusdi memberikan kantong kresek itu kepada Gina. "Mas, apa kamu terjebak macet? Tumben pulangnya telat?" tanya Ratri. "Iya, tadi macet parah, jadi telat deh pulangnya. Maaf, ya!" ucap Rusdi. Ratri mengangguk, kemudian Rusdi gegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ratri hendak ke kamar, untuk mengambilkan baju ganti. Namun, langkahnya terhenti ketika ponsel Rusdi yang ia tinggalkan di atas meja, berdering. "Siapa yang nelepon?" gumam Ratri. "Tiana? Siapa dia?" gumam Ratri ketika melihat layar ponsel itu. Ratri meraih ponsel Rusdi, hendak mengangkat panggilan telepon itu. Akan tetapi panggilan telepon itu berhentisebelum Ratri sempat mengangkatnya. Ratri menggedikkan bahu, kemudian hendak menyimpan kembali ponsel itu ke tempat semula. Ting .... Belum sampai ponsel itu Ratri letakkan, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponsel Rusdi. "Mas, kenapa kamu cepat pulang. Padahal ulang ...." Ehem! Ratri terjingkat, ketika Rusdi tengah berdiri di belakangnya. "Ngapain kamu buka-buka ponselku?"Selain meninggalkan ponsel baru untuk Gina. Lena pun meninggalkan nomornya, supaya Gina menghubunginya.Gina kemudian menghubungi Lena untuk mengucapkan terima kasih. Lena begitu perhatian. Bersyukur ia memiliki ibu sambung sepertinya. Selain itu, Gina juga menanyakan kabar tentang orang tuanya. Belum begitu lama tinggal di kampung, Gina merasa sangat merindukan mereka. Entah sedang apa mereka, apakah mereka masih sibuk mencari Gina?Telepon pun tersambung, Lena segera mengangkatnya."Halo, Bunda. Bunda di mana sekarang? Maaf, tadi kata Nenek saat Bunda berkunjung, akunya nggak ada di rumah. Aku sedang ada urusan di luar. Oh iya, terima kasih banyak ya, Bun ponsel dan uangnya. Kebetulan sekali aku sangat membutuhkan ponsel ini," ucap Gina."Halo, Sayang. Iya tidak apa-apa. Bunda ada di jalan, sebentar lagi sampai di rumah," sahut Lena."Em ... Bunda, bagaimana kabar ayah? Terus ibu dan ayah Saga? Bunda juga apa kabar? Kangen aku sama kalian," imbuh Gina."Kabar ibu dan ayah Saga baik-
Beberapa saat kemudian, Farrel dan tim kepolisian kembali dengan tangan kosong. Rumiah telah lolos dari kejaran mereka. Sehingga membuat Rumiah ditetapkan menjadi DPO."Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tapi, kami akan berusaha semaksimal mungkin, untuk mencari keberadaan saudari Rumiah." Polisi pun pamit dari rumah Farrel."Bagaimana ini? Keadaan ini belum aman jika Rumiah masih bebas berkeliaran. Bisa saja sewaktu-waktu, dia kembali mencari Ayah dan memaksa lagi untuk memberikan semua milik Ayah. Bahkan tak segan membuat Ayah menderita lagi." Farrel merasa khawatir.Mereka terdiam untuk beberapa saat. Namun, beberapa saat kemudian Gina mengutarakan pendapatnya."Em ... Bagaimana kalau Om Romi ikut kita ke kampung saja, Rel. Sekalian kita jelaskan kepada ibu kamu," imbuh Gina.Farrel menoleh ke arah ayahnya. Pak Reno pun ikut menimpali, "Ide yang bagus. Memang sebaiknya untuk sementara waktu, Ayah kamu harus kamu bawa dari rumah ini. Bahaya jika dibiarkan tinggal sendirian, seme
"Ya Tuhan, Gina!" teriak Rumiah, ketika Gina terbatuk dan menyemburkan air di dalam mulutnya pada berkas itu."Aduh, maaf-maaf. Aku tidak sengaja, biar aku bersihkan berkasnya," ucap Gina.Gina kemudian merebut berkas itu, lalu berusaha mengeringkannya menggunakan ujung kerudung yang dipakainya."Ya ... Sobek," ujar Gina.Rumiah melotot tajam, melihat apa yang dilakukan oleh Gina. Namun, pak Reno dan juga Farrel menahan tawa atas apa yang terjadi."Kamu, ya! Kamu apakan berkas ini? Kurang ajar kamu, Gina!"Rumiah melayangkan tamparan ke arah Gina. Namun, secepatnya Farrel menahan tangan Rumiah."Berani menampar dia, maka rekaman itu akan aku berikan ke polisi dan aku sebar luaskan." Farrel memberi ancaman.Rumiah menepis tangan Farrel, ia berbalik badan menghadap Farrel."Rekaman apa yang kamu maksud? Bukankah rekaman itu sudah aku hapus? Jangan main-main denganku, Farrel. Aku tidak bisa kamu kelabuhi. Aku bukan wanita bodoh seperti yang kamu pikirkan," cetus Rumiah.Farrel tertawa be
Rumiah membeliak, saat melihat kak Reno memperlihatkan rekaman kejahatannya barusan. Farrel, Gina dan pak Reno tersenyum puas atas bukti yang telah mereka dapatkan."Sialan kalian semua, ternyata kalian menjebakku. Aku tidak akan tinggal diam. Aku hanya menuntut hakku sebagai istri Romi. Tapi kalian, berani-beraninya merekamku tanpa sepengetahuanku," ujar Rumiah.Romi bangkit lalu berdiri, ia menimpali ucapan Rumiah, "Apa? Hak? Jelas-jelas aku sudah menjatuhkan talak terhadap kamu. Lagi pula, kita hanya menikah secara siri. Jadi, tidak ada hak untuk kamu menguasai apa yang aku punya.""Jelas aku punya hak, kamu hanya memberikan sebagian kecil uang dan perhiasan. Kamu jangan hanya mau enaknya saja, Romi!" sarkas Rumiah."Kamu tidak bisa bersyukur, Rumiah. Aku sudah menolongmu dari garis kemiskinan. Aku menikahi kamu, karena aku kira kamu baik. Tapi ternyata, kamu tidak lebih dari seekor ular. Beruntung aku hanya menikahi kamu secara siri. Kamu tidak ada bedanya dengan seorang penipu. K
Dua hari kemudian, Farrel bergegas membawa kembali ayahnya untuk pulang. Terpaksa ia dan Gina tidak pulang ke kampung, karena urusan bersama ayahnya sangat penting, demi menyelesaikan misinya.Sesampainya di rumah, Romi kembali dipakaikan baju yang terakhir kali ia pakai di rumah itu. Walau pun sudah tidak nyaman. Namun, demi mengelabuhi Rumiah, Romi harus memakainya lagi.Tidak hanya itu, Farrel juga sengaja menyimpan sedikit makanan mentah di atas lantai. Seolah-olah Romi telah memakan makanan itu demi bertahan hidup.Tepat pada siang hari, Farrel, Gina dan pak Reno kembali bersembunyi saat terdengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Namun, sebelumnya pak Reno telah menyimpan sebuah kamera tersembunyi di kamar itu, untuk merekam aksi kejahatan yang akan dilakukan Rumiah."Semoga rencana ini berhasil, ya Tuhan. Aku ingin melihat Ayah dan Ibu kembali bersama lagi seperti dulu, bahagia tanpa ada wanita jahat itu. Tuhan, tolong permudah jalan kami untuk mengungkap semuanya di ha
Romi menelan sedikit demi sedikit air kelapa itu. Walau pun sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan. Namun, ia masih bisa menelan cairan yang diberikan oleh pak Reno.Romi telah menghabiskan air kelapa itu satu botol. Pak Reno membiarkan Romi setelah meminum air itu, menunggu reaksi air kelapa yang baru saja masuk ke dalam tubuhnya.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Romi sedikit demi sedikit mulai bisa menggerakkan tangannya. Hal itu membuat Farrel senang."Ayah coba gerakkan kakinya," ujar Farrel.Walau pun belum pulih sepenuhnya, sedikit demi sedikit kaki Romi pun mulai bisa di gerakkan. Romi pun kembali bisa berbicara walau pun belum lancar sepenuhnya."Aku akan panggilkan dokter, Romi. Kamu butuh dokter untuk memeriksa keadaan kamu," ujar pak Reno."Em ... Pak, apa nggak sebaiknya kita bawa saja Ayah ke rumah sakit? Lagi pula, wanita itu sudah pergi," sahut Farrel memberi usul."Ya, kamu benar, Farrel. Ayok, kita bawa Ayah kamu ke rumah sakit. Saya akan siapkan mobil saya dulu
Semua tampak bingung atas permintaan Romi. Farrel, Gina dan pak Reno saling melempar pandang."Maksud Ayah?" tanya Farrel."Jangan pergi ke mana-mana, cukup kalian di sini dan tunggu sebentar lagi. Kalian pasti akan mengetahui semuanya," jawab Romi.Mereka semakin tidak mengerti dengan segala ucapan yang terlontar dari mulut Romi. Terutama Farrel, wajahnya menunjukkan seakan menuntut penjelasan dari sang ayah."Sebentar lagi kalian akan paham maksud Ayah. Kalian sebaiknya bersembunyi, jangan sampai menampakkan batang hidung kalian saat dia datang. Ayah akan jelaskan semuanya setelah dia pergi. Tapi, Ayah minta salah satu dari kalian, bawakan Ayah air kelapa sebanyak-banyaknya," pinta Romi.Setiap perkataan Romi, begitu banyak menyimpan teka-teki yang sulit untuk dipecahkan. Namun, mereka akan menuruti perkataan Romi, mereka akan menunggu dan bersembunyi."Biar saya saja yang akan memesan air kelapa. Saya akan menyuruh ART saya," imbuh pak Reno, yang kemudian menghubungi ART-nya.Dari
"Loh iya, ya!" sahut Gina, mereka mulai menyusuri arah bau bangkai yang mereka cium.Farrel mengajak Gina untuk pergi ke dapur. Sesampainya di sana, mereka melihat banyaknya makanan berceceran di lantai. Isi kulkas yang menyimpan bahan makanan mentah, semua sudah berada di lantai. Dan ternyata bau bangkai yang tercium berasal dari daging mentah yang telah dikerubuti lalat hijau dan belatung.Sontak membuat mereka berdua membekap hidungnya, tak tahan dengan bau yang sangat tidak enak dan menyengat itu."Farrel, aku mau muntah!" Gina berlari ke arah kamar mandi ART di dekat dapur.Gina menumpahkan semua isi perutnya. Isi perutnya yang terasa diaduk, hingga akhirnya semua sarapan yang ia santap tadi, terkuras habis."Farrel, jangan berlama-lama di sini. Aku takut muntah lagi," ujar Gina, sehingga matanya mengeluarkan banyak air.Farrel mengangguk, mereka menjauh dari dapur. Farrel kemudian mengajak Gina untuk menuju lantai atas, kamar ayahnya.Mereka mulai menaiki anak tangga. Rumah itu
"Loh iya, ya. Kenapa bisa pecah, ya? Mungkin ada orang iseng melempar batu kali, ya!" sahut Farrel, ia pun mengamati jendela itu."Rel, apakah kita langsung masuk saja? Tapi ... Apakah tante Rumiah ada di dalam? Sebaiknya kita harus berhati-hati. Dia sangat jahat, bahkan tidak segan untuk menyakiti orang lain," ujar Gina."Tapi di sana tidak ada mobil sama sekali di garasi, semuanya tidak ada. Apa ayahku dan juga Rumiah lagi keluar, ya? Tapi kok satpam juga tidak kelihatan. Kondisi halaman juga tidak sebersih seperti biasanya," sahut Farrel.Lama mereka berdua berdiam diri sambil mengamati rumah itu. Farrel pun segera mengajak Gina untuk masuk. Ia begitu penasaran dengan kondisi di dalam. Sungguh aneh sekali. Kaca pecah, beberapa mobil yang dimiliki tidak ada satu pun yang terparkir, bahkan satpam penjaga rumah pun tidak ada. Lantas ke mana semua?Farrel mulai membuka pintu gerbang yang ternyata tidak terkunci itu. Membuat mereka senang, karena tidak kesulitan untuk masuk ke dalam rum
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments