Beranda / Pernikahan / Identitas Tersembunyi Suami Cacat / 5. Kejutan Di Pesta Pertunangan

Share

5. Kejutan Di Pesta Pertunangan

Penulis: Ayria
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Ya sadar diri aja. Suami kamu tuh pincang. Udah malu-maluin, nanti malah nyusahin orang. Dasar nggak guna." Cibiran Vanya masih terngiang di ingatan Raina ketika bertemu calon besan sang kakak beberapa hari lalu.

"Nak Jovian, tolong maklumi ya? Ini acara besar, takutnya kaki kamu semakin sakit." Kalimat yang dilontarkan sang kakek setelah omongan Vanya semakin membuat Raina kecewa.

Awalnya, wanita itu masih enggan untuk pergi. Ia lebih memilih tinggal di rumah, dalam dekapan hangat Jovian, daripada harus berpura-pura tersenyum di pesta pertunangan kakak tirinya.

Namun, suaminya, bersikukuh bahwa dia harus menghadiri acara keluarga yang penting itu. "Aku nggak mau nanti kamu dibilang adik kurang ajar, masa hajatan kakaknya nggak datang," kata Jovian sebelum sang istri pergi ke pesta.

Raina menggigit bibir. "Kalau kenapa-napa, telepon ya, Mas. Pokoknya aku nggak bakal lama-lama di sana," ucapnya dengan nada khawatir.

Jovian terkekeh pelan, mengusap pipi Raina dengan lembut. "Kamu yang hati-hati nyetirnya. Jangan ngebut," kata pria itu, manik cokelat madunya memancarkan rasa sayang.

Lalu, dia menunduk, mengecup puncak kepala Raina dengan lembut. "Jangan marah-marah, kamu cantikan senyum," bisiknya dengan nada menggoda.

Rona merah muda langsung menghiasi pipi kuning langsat Raina. "Apaan sih," sergahnya, berusaha menutupi rasa malu yang menggelitik hati.

Akhirnya, dengan perasaan campur aduk, Raina berangkat menuju tempat acara. Pesta diadakan di aula hotel mewah milik keluarga Hartanto, sebuah bangunan megah dengan pilar-pilar tinggi dan langit-langit berhias ornamen klasik yang berkilauan.

Raina menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Di antara riuh rendah obrolan tamu-tamu yang terdiri dari relasi bisnis, kerabat, serta orang-orang penting lainnya, ia merasa terjebak. Mengumbar senyum bisnis untuk sekumpulan orang yang entah benar-benar peduli atau hanya menunggu kesempatan untuk memetik keuntungan.

"Wah, Bu Ambar pasti bangga ya. Putri-putrinya cantik, menantunya tampan," ucap salah satu rekan bisnis Papa Raina, memecah lamunan wanita itu.

Ibu tiri Raina, Ambar, yang berdiri tak jauh darinya, menghela napas dengan gaya dramatis. "Sayangnya nggak semua menantu saya bisa diandalkan. Kalau Aksa kan jelas, seorang pengusaha ternama. Ini suaminya Raina, kerjaannya nggak jelas. Jujur saja, saya khawatir," katanya.

Raina merasakan semburat panas menjalar di wajahnya. Perlahan, dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan diri.

Salah satu pria dalam kelompok itu menatap Raina dengan penasaran. "Benar juga, rasanya saya belum pernah melihat menantu Ibu yang satu itu," katanya dengan nada suara sarat rasa ingin tahu.

Ambar melanjutkan dengan senyuman simpul yang dibuat-buat. "Katanya sih dulunya jurnalis, tapi saya tidak tahu. Takutnya dia sengaja menikahi Raina hanya karena harta, seperti kejadian dulu..." ucapnya dengan nada pura-pura khawatir sambil melirik ke arah Raina.

Raina tahu persis maksud perkataan Ambar. Rumor tentang Papa yang memiliki istri kedua sudah lama menjadi rahasia umum. Ketika ia pertama kali memasuki rumah Hartanto, cerita tentang kemurahan hati ibu tirinya telah menyebar di kalangan elit. Diiringi bisik-bisik tentang ibu kandung Raina yang dianggap mata duitan. Dia merasa dadanya nyeri mendengar semua itu diungkit lagi.

"Mama," desis Raina, suaranya rendah namun tajam. Ia jarang memanggil Ambar dengan sebutan itu, kecuali saat acara formal seperti ini.

"Ray, Mama cuma khawatir, kamu mengerti kan perasaan Mama?" Ambar pura-pura bersikap lembut, tangannya mencengkeram lengan Raina dengan kukunya yang panjang, seakan memberi peringatan.

Sebelum Raina sempat menjawab, keramaian menyita perhatian mereka. Kasak kusuk di antara para tamu berdengung menyaingi alunan musik. Mata semua orang tertuju ke arah pintu masuk aula.

Wanita itu memutar tubuhnya, mengikuti arah pandang semua orang. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat siapa yang memasuki ruangan.

Jovian.

Rambut ikal pendeknya tertata rapi, mata cokelat madunya tampak bersinar. Sebelumnya, dengan hidung bangir, alis tebal serta rahang tegasnya pria itu termasuk dalam kategori tampan meskipun memiliki disabilitas pada bagian kaki. Namun kini, tubuh tegap setinggi 180an senti itu berjalan dengan langkah lambat namun mantap, tanpa tongkat. Jas hitam yang ia kenakan menambah pesona pria itu malam ini.

Raina terkesiap kaget. Di sebelahnya, Ambar dan Papa tampak terpaku, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.

Jovian menghampiri mereka dengan senyum tenang. "Malam, Pa, Ma. Selamat atas acaranya," katanya, suaranya rendah namun penuh percaya diri.

Dengan lembut, ia melingkarkan lengannya di pinggang Raina, seolah melindungi istrinya dari setiap pandangan yang merendahkan.

Sang Ibu tiri menyipitkan mata, wajahnya dipenuhi rasa tidak suka. "Halah, mau kamu bisa jalan juga tetap saja kerjaan kamu nggak guna," gumamnya pelan, hanya cukup keras untuk didengar oleh Raina dan Jovian.

Papa berdeham, berusaha mengalihkan perhatian. "Papa tidak menyangka kamu bisa datang, Jovian," ujarnya, suaranya bergetar sedikit.

Jovian mengangguk. "Saya sudah konsultasi ke dokter, katanya sudah boleh jalan-jalan, jadi saya langsung kemari," jawabnya dengan nada santai, menatap Papa dan Ambar dengan senyum lembut.

Raina merasa kebanggaan membuncah di dadanya. "Ayo kita ke Mbak Vanya, Mas. Kamu kan belum ngucapin selamat ke dia," ajaknya cepat, ingin segera memperlihatkan suaminya yang gagah dan tampan kepada kakak-kakaknya.

Mereka berdua berjalan menuju kerumunan di mana kakak-kakak tiri Raina, Aksa, dan beberapa rekan bisnis berdiri. Di dekatnya, Kakek tampak sedang berbicara dengan beberapa investor penting proyek Sakala Nusa.

"Mbak Vanya, ini Mas Jovian susah-susah datang, mau ngucapin selamat secara langsung," ucap Raina dengan nada yang manis namun mengandung tantangan, memecah percakapan di antara mereka.

Vanya, yang tadinya berdiri dengan bangga di samping sang tunangan, tampak terkejut. Wajahnya memucat, matanya membelalak, nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Senyum puas mulai terbentuk di bibir Raina. Untuk pertama kalinya, ia berhasil membungkam sang kakak dengan telak.

Vanya segera mengubah ekspresinya menjadi dingin, wajahnya menegang. Sampai-sampai Aksa menyenggol pinggang tunangannya, seolah mengingatkan untuk menjaga sikap di depan para investor dan relasi bisnis.

"Terima kasih sudah datang, Jovian. Aku pikir kamu tidak bisa hadir karena kendala kesehatan," ucap Aksa, terdengar ramah tapi ada nada sindiran yang tidak bisa disembunyikan.

Jovian tersenyum tipis, mengabaikan makna tersembunyi dibalik perkataan Aksa. "Maaf saya sedikit telat," jawabnya dengan tenang.

Saat mereka sedang asyik bercengkerama, seorang pria paruh baya dengan jas mahal yang tadi berbincang dengan Kakek tiba-tiba melangkah maju. Dengan senyum lebar, dia mengulurkan tangan ke arah Jovian.

"Pak Jovian, kan?" ucapnya, suaranya ramah dan penuh hormat. "Senang sekali bisa bertemu dengan Anda di sini."

.

Suasana mendadak menjadi lebih hening. Kening Vanya dan Aksa mengernyit, seolah bertanya-tanya perihal interaksi seorang investor besar dengan Jovian yang selama ini dianggap remeh. Raina pun ikut terkejut, matanya beralih ke wajah suaminya.

Dari mana Jovian mengenal orang penting ini?

Jovian hanya tersenyum dan menyambut uluran tangan pria itu. "Senang bertemu dengan Anda juga, Pak."

Raina merasa ada sesuatu yang tak diketahuinya. Rahasia apa yang disimpan suaminya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ami Usrekk
menarik cerita nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   6. Kecurigaan

    "Mas, kamu kenal dari mana?" Raina berbisik dengan nada penuh tanya.Jovian hanya tersenyum, menjawab pelan, "Iya, pas dulu masih jadi jurnalis.""Jurnalis?" Investor yang mendengar percakapan itu ikut angkat alis, tampak heran.Jovian segera menimpali sebelum pria berjas biru tua itu sempat berbicara lebih jauh, "Aku pernah diminta bantu waktu wawancara beliau," ujarnya dengan nada santai.Pengusaha besar itu memandangi wajah Jovian sejenak, lalu tertawa kecil, meskipun terdengar sedikit canggung. "Oh iya, dulu Pak Jovian memang banyak membantu," katanya, berusaha mengalihkan perhatian.Raina menoleh ke arah suaminya, mencari jawaban di balik senyum tenang

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   7. Tawaran Gila

    Senyum Raina pudar saat mendapati pria yang menyapa bukanlah Jovian.Di hadapannya, berdiri Aksa dengan senyum tipis dan mata yang tampak sedikit berat. Dengan dagu, wanita itu menunjuk ke arah pintu ballroom yang tadi dilalui, "Mbak Vanya udah masuk lagi," ucapnya kepada calon kakak ipar.Aksa, mengenakan jas berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan rapi, hanya berdiri diam di tempatnya, seolah sengaja menghalangi jalan Raina. Segelas sampanye tergenggam di tangannya. "Aku emang nyari kamu kok," ucapnya tiba-tiba saat Raina mencoba melangkah pergi.Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati Raina. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Aksa, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. "Lepas," pintanya pelan, matanya melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   8. Cemburu

    Desahan kenikmatan lolos dari bibir Raina. Matanya mengerjap, berusaha fokus di tengah badai sensasi yang menggelora. "Aku hanya milikmu, Mas," bisiknya lembut, suaranya bergetar dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Sentuhan Jovian tak berhenti sampai di situ. Bibirnya yang panas mulai menelusuri setiap inci kulit Raina, meninggalkan jejak-jejak keinginannya. Seolah setiap ciuman adalah janji yang ingin ditegaskan, setiap sentuhan adalah klaim atas apa yang memang menjadi miliknya. Raina hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya bergetar di bawah kuasa sang suami.Desakan hasrat yang tertahan mulai membakar dada ketika Jovian dengan sengaja menghindari titik-titik sensitif di tubuh sang wanita. "Mas," rengeknya, jemarinya yang gemetar menyelinap di antara surai kastanye suaminya, menariknya pelan, memohon lebih.Jovian terkekeh, getaran tawanya menggelitik kulit Raina. Manik mata madunya yang kini tampak lebih gelap beradu pandang dengan netra sang istri, dipenuhi gelo

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   9. Masalah

    Sang sepuh mengangkat bahu dengan sikap acuh. "Itu sebenarnya hasil investigasi sebelum kalian menikah. Kamu pikir Kakek bakal biarin seorang Hartanto menikah begitu saja dengan sembarang orang?"Raina mendengus kesal. "Terus kenapa Kakek ngebiarin aku nikah sama Mas Jovian?" tanyanya tajam, merasa ada sesuatu yang disembunyikan.Kakek tersenyum tipis, sedikit menyeringai. "Karena Jovian sudah berjanji sama Kakek. Dia akan hidup dalam diam, tidak membuat nama baik Hartanto tercoreng," jelasnya tenang.Raina tertegun. "Kenapa sekarang kakek minta aku cerai dari Mas Jovian? Kan Mas Jovian udah nurutin permintaan Kakek." Dia merasa marah, tetapi juga bingung dengan maksud Kakeknya."Kakek tahu kamu selama ini berusaha

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   10. Kebocoran

    Vanya mendesis, wajahnya penuh kemarahan. "Ngapain kamu ke sini? Kamu pikir kamu bisa kembali dan ngambil alih proyek ini?" sergahnya tajam.Raina menatap kakaknya dengan tatapan dingin. "Aku hanya melakukan tugas yang diberikan Kakek, sama seperti Mbak," jawabnya tanpa gentar.Vanya mendengus, jelas tidak puas dengan jawaban adiknya. "Jangan berpikir aku nggak tahu apa yang kamu rencanakan, Raina. Kamu cuma mau mencuri perhatian Kakek, biar kamu bisa kembali memimpin proyek, kan?" ujarnya dengan nada meremehkan.Raina menghela napas, mencoba meredam emosinya. "Tidak semua orang seambisius kamu, Mbak. Aku hanya ingin proyek ini berhasil," balasnya dengan nada tenang. "Udahlah, Mbak. Yang penting sekarang kita bisa menyelesaikan masalah yang ada. Jadi, apa masalahnya?" desakn

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   11. Ganjil

    "Mas Jovian? Kok bisa di sini?" seru Raina, setengah berlari menghampiri suaminya.Jovian hanya tersenyum samar, matanya berbinar meski tampak lelah. "Kan kamu bilang ada masalah di site, ini aku bawa pompa yang dibutuhkan," jawabnya singkat, seolah hal itu adalah hal paling biasa di dunia. Dengan datangnya pompa air yang ditunggu-tunggu, kebocoran di lokasi konstruksi akhirnya bisa segera diatasi. Pompa besar itu mulai mengisap air yang meluap, mengeringkan genangan dengan cepat.Para pekerja bergegas mengatur peralatan, memindahkan material yang terendam air, dan menghitung ulang kerugian yang mungkin terjadi. Meski banyak material yang tak lagi bisa digunakan, ada perasaan lega di antara mereka karena situasi yang tampak suram ini mulai terkendali.Raina berdiri di dekat suaminya, mengamati para pekerja yang tampak sibuk. "Mas, kok bisa dapatin pompa airnya? Mbak Vanya aja sampai kewalahan," selidiknya, masih sedikit bingung.Jovian tersenyum tipis, wajahnya tenang seperti biasa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   12. Sabotase

    Vanya, yang sudah lebih dulu berada di ruangan sang Kakek, menyeringai puas dengan tangan terlipat di dada. Ada kilatan kemenangan di matanya, seolah menunggu Raina tiba di tengah badai amarah sang Kakek.Kakek menghela napas panjang, punggungnya terhenyak ke sandaran sofa kulit megah. Dengan dahi berkerut, menandakan kekecewaan dan kemarahan yang mendalam."Kakek dengar ada kebocoran pipa di site," suara Kakek berat, nyaris terdengar seperti geraman.Raina mengangguk. Ia tahu ini bukan percakapan yang akan berakhir baik. "Ada beberapa material yang rusak, tapi karena kebocoran bisa langsung diatasi sorenya, kerugian tidak terlalu besar. Untungnya Mas Jovian bisa bantu nemuin pompa air buat nguras," jelasnya, menekankan bagaimana bantuan suaminya telah mempercepat penanganan.Namun, Kakek mengibaskan tangannya dalam gerakan tegas dan tak sabar. "Kakek sudah baca laporan Vanya tadi pagi. Apa sebelumnya kamu nggak melakukan pengecekan ulang? Kamu tahu seberapa besar dampaknya berita ini

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   13. Jejak Vanya

    Sang kakak tertawa kecil, dengan nada dingin dan menghina. "Jangan konyol, Raina. Buat apa aku sabotase proyek yang akan jadi milikku?" balasnya, melepas cengkeraman Raina dengan gerakan tegas.Raina terdiam, hatinya masih penuh dengan kegundahan. Saat ia berpaling untuk keluar dari ruangan, Nita mendekat dan berbisik pelan di telinganya, "Kamu memang selalu bikin masalah, ya? Harusnya dari awal kamu tahu diri soal posisimu di perusahaan ini, juga di keluarga Hartanto."Tanpa menghiraukan perkataan sang kakak, Raina berjalan cepat keluar dari ruangan Kakek. Langkahnya terburu-buru menyeberangi lorong panjang dipenuhi dengan dekorasi marmer dan ornamen klasik. Hatinya diliputi kekesalan tanpa dapat ia sembunyikan. Wanita itu menolak untuk percaya bahwa kakaknya tidak ada sangkut paut sama sekali dengan kejadian ini."Bu Raina, Ibu nggak apa-apa?" nada khawatir terdengar dari sisinya.Pas banget!Tanpa menjawab pertanyaan sang asisten, Raina menarik wanita tersebut. "Jai, ikut saya," tit

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   96. Kisah Jovian - Penolakan

    “Bangsat! Kalau jalan yang bener!” teriakan kasar itu membelah keheningan malam.Jovian tersentak, menunduk dalam-dalam tanpa menatap pria bertato yang berteriak ke arahnya. Tubuhnya terasa lelah, hampir kehabisan tenaga, ia hanya mampu menggumamkan kata maaf pelan sambil berlalu.“Woy! Bocah tengik! Songong kali kau! Main pergi-pergi aja!” seorang pria lain dengan bandana mencengkeram bahunya, kasar, memaksa Jovian berhenti.“Maaf, Bang. Saya buru-buru,” ucap pemuda itu, suaranya serak dan tertekan. Ia melirik jam tangan kesayangan yang terpasang di pergelangan tangan—hadiah terakhir dari ayahnya yang sudah tiada. Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Aji pasti sudah menangis ketakutan di rumah yang gelap.Namun para preman itu tak membiarkannya pergi begitu saja. Salah satu dari mereka mendorong Jovian hingga terjengkang, memaksanya untuk melawan.

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   95. Kisah Jovian - Teman Tapi…

    “Jo, gue pinjem uang dong!” seru seorang siswa berseragam abu-abu.Belum sempat Jovian menjawab, temannya yang lain langsung menyikut lengan si peminjam. “Bego, perusahaan bokapnya udah bangkrut,” bisiknya. Pelan tapi cukup keras hingga terdengar.Siswa yang pertama langsung terkesiap. “Eh, maaf, Jo. Gue nggak tahu,” ucapnya, menangkupkan tangan, berusaha terlihat menyesal, meski senyumnya masih terkesan mengejek.Tanpa menjawab, Jovian bangkit dari kursinya, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah yang berat dan kasar, meninggalkan mereka semua di belakang.“Apaan, gitu doang ngambek,” gerutu si peminjam, menyandarkan tubuhnya santai ke kursi.“Jangan gitu, bego! Nyokapnya meninggal gara-gara nggak ada duit buat berobat, terus nggak lama bo

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   94. Kisah Jovian - Ayah… Tidak Mungkin…

    Pria bertubuh besar itu berdiri di depan pintu rumah Haris, wajahnya mengeras dan penuh amarah. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya dengan kasar menampar-nampar buku yang tampaknya berisi catatan utang. Wajahnya sangar, dihiasi dengan kumis tebal dan tatapan yang menakutkan, seperti elang yang sedang menatap mangsanya.“Bayar hutangmu, Pak Tua!” bentak pria itu, suaranya menggema di ruang tamu yang semakin hari semakin tak terurus. Matanya memelototi Haris dengan sorot meremehkan, sementara tubuhnya condong maju, seakan siap menyerang.Ayah Jovian yang berdiri berjarak beberapa langkah, tampak ciut. Pria paruh baya itu mencoba merapatkan kedua tangannya di dada, membungkuk sedikit, menatap lantai dengan wajah penuh kekhawatiran. “S-saya janji akan membayarnya, Pak… tolong beri saya keringanan,” katanya dengan suara bergetar.

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   93. Kisah Jovian - Awal Mula

    Enam belas tahun silam.Jovian menendang kerikil, menghela napas panjang. Bosan menyelimutinya. Terutama setelah lebih dari satu jam Ayahnya meninggalkannya sendirian di tepi jalan, berpesan agar tetap menunggu di mobil. Namun setelah lama duduk diam, sosok pria paruh baya itu tak juga terlihat.“Ayah lama nih,” gumamnya, kembali menendang batu kerikil di dekat kaki.Manik cokelat madu pemuda itu teralihkan ke arah rumah mewah di hadapannya. Halaman luas terbentang dengan kolam renang berair jernih yang memantulkan sinar matahari sore. Pohon-pohon rindang menaungi jalan masuknya, menghadirkan bayangan seperti lengan-lengan yang melambai pelan.Bangunan megah itu membuat mata Jovian berbinar. Tapi tiba-tiba, suara serak yang ia kenali mengusik pemujaannya.“Tolonglah, Pak Adi… saya sudah tidak tahu harus kemana,&r

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   92. Selamat Tinggal

    “Apa kamu senang sekarang?”Suara cibiran memecah lamunan Raina akan pertemuannya dengan kakek beberapa hari lalu. Wanita itu tersentak dan menoleh, mendapati Nita berdiri tak jauh darinya dengan gaun perak berkilauan di bawah cahaya lampu pesta. Pipi sang kakak memerah serta maniknya tampak tak fokus.Entah apa yang kakaknya bicarakan, Raina sedang tak dalam kondisi untuk meladeninya. Dia berencana untuk pergi, tapi Nita mendekat, menghalangi jalannya.“Mau kemana?” Ucap wanita itu dengan senyum sinis di bibir. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Kesempatan untuk pamer, bersikap angkuh setelah berhasil menyelesaikan proyek besar Sakala Nusa?” sindirnya sambil menyilangkan tangan di dada.Raina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Mbak, ini bukan waktu atau tempat yang tepat untuk

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   91. Perjanjian Dengan Kakek

    Kakek melanjutkan perkataannya, seolah berharap sang cucu akan melunak. “Lagipula, sebentar lagi, dengan pembukaan resmi Hotel Sakala yang baru, siapapun tak akan bisa menyangkal kualitasmu sebagai anggota Hartanto.”Raina terdiam sejenak, napasnya tersengal pelan menahan emosi yang bergejolak dalam sanubari. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia meraih tasnya dan mengeluarkan amplop cokelat yang selama ini selalu ia bawa, seolah itu adalah perisai terakhirnya.Tanpa berkata apa pun, ia mengeluarkan isi amplop dan menyusun beberapa lembar dokumen di atas meja.Sambil menyesuaikan posisi kacamatanya, Kakek mencondongkan tubuh. Kemudian mulai menelisik foto-foto serta dokumen-dokumen yang dibawakan oleh sang cucu.Matanya membelalak sejenak, keterkejutan yang jarang sekali ia tunjukkan. “I-ini… darimana kamu mendapatkannya?&r

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   90. Senyum itu…

    “Selamat atas pembukaan hotel barunya.”Suara yang menyapa telinganya bukanlah nada bariton khas Jovian.Raina menelan pahit di ujung lidah. Pikirannya telah sadar sepenuhnya bahwa pria itu adalah sosok berbahaya—seseorang yang tak seharusnya ia dambakan. Namun hatinya masih saja merindukan bayangan suaminya.“Terima kasih, Aji,” ucapnya, mencoba menguasai diri saat menerima uluran tangan dari pria di depannya.CEO TechNova itu menatap wanita itu dengan mata yang tajam, senyum tipis terpatri di bibirnya, tampak memancarkan ketenangan. “Omong-omong,” manik Aji melirik ke samping, seolah mencari-cari sosok lain. “Di mana suamimu?”Mendengar pertanyaan itu, sang wanita mendengus kecil, nyaris tak terdengar. Meski Jovian tak melakukan sesuatu seca

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   89. Pesta Pembukaan Hotel

    “Selamat atas pembukaan hotel Sakala cabang baru, Bu Vanya, Bu Raina! Saya tidak sabar melihat bagaimana hotel ini berkembang ke depannya,” sahut seorang pria berjas biru tua, sambil menjabat tangan Raina dan Vanya secara bergantian. Senyumnya ramah, namun sorot matanya penuh harapan pada kesuksesan investasi barunya.Akhirnya, pesta pembukaan Hotel Sakala yang ditunggu-tunggu telah tiba.Dengan senyum tipis, Raina membalas ucapan sang investor. “Kami sangat menghargai kehadiran Anda di acara ini, Pak. Semoga malam ini menjadi malam menyenangkan dan penuh makna bagi kita semua,” ucapnya sopan, berusaha tetap tenang di tengah perasaan yang berkecamuk.Di sampingnya, Papa berdiri berdampingan dengan Ambar. Setiap kali Raina mencuri pandang ke arah mereka, hatinya menggelegak, namun mati-matian ia menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang menco

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   88. Mimpi Buruk Tak Berkesudahan

    “Sepertinya, ada alasan lain kenapa Jovian menikahimu,” suara Tama terdengar rendah, nyaris seperti bisikan di tengah keheningan.Raina terdiam, tangan yang memegang ponsel terasa dingin. “A-apa maksudmu, Mas?” bisiknya dengan gugup.“Anak buahku mendengar desas-desus tentang Sindikat Sinara,” Sang kakak melanjutkan, suaranya terdengar semakin dalam, seolah menggema langsung di dalam kepala Raina. “Organisasi itu tidak hanya sekadar mengelola informasi. Mereka mengincar grup-grup besar, mendekati target mereka dan membuatnya percaya, mengorek semua rahasia yang dibutuhkan. Dan ketika waktunya tiba… mereka menghancurkan target tanpa ampun.”Tenggorak sang adik tercekat. Seperti ada batu besar yang menyangkut di sana. Matanya membelalak kosong ke arah dinding kamarnya, tapi pikirannya bising, mencoba mencerna semua yang baru saja didengar.

DMCA.com Protection Status