Share

5. Kejutan Di Pesta Pertunangan

"Ya sadar diri aja. Suami kamu tuh pincang. Udah malu-maluin, nanti malah nyusahin orang. Dasar nggak guna." Cibiran Vanya masih terngiang di ingatan Raina ketika bertemu calon besan sang kakak beberapa hari lalu.

"Nak Jovian, tolong maklumi ya? Ini acara besar, takutnya kaki kamu semakin sakit." Kalimat yang dilontarkan sang kakek setelah omongan Vanya semakin membuat Raina kecewa.

Awalnya, wanita itu masih enggan untuk pergi. Ia lebih memilih tinggal di rumah, dalam dekapan hangat Jovian, daripada harus berpura-pura tersenyum di pesta pertunangan kakak tirinya.

Namun, suaminya, bersikukuh bahwa dia harus menghadiri acara keluarga yang penting itu. "Aku nggak mau nanti kamu dibilang adik kurang ajar, masa hajatan kakaknya nggak datang," kata Jovian sebelum sang istri pergi ke pesta.

Raina menggigit bibir. "Kalau kenapa-napa, telepon ya, Mas. Pokoknya aku nggak bakal lama-lama di sana," ucapnya dengan nada khawatir.

Jovian terkekeh pelan, mengusap pipi Raina dengan lembut. "Kamu yang hati-hati nyetirnya. Jangan ngebut," kata pria itu, manik cokelat madunya memancarkan rasa sayang.

Lalu, dia menunduk, mengecup puncak kepala Raina dengan lembut. "Jangan marah-marah, kamu cantikan senyum," bisiknya dengan nada menggoda.

Rona merah muda langsung menghiasi pipi kuning langsat Raina. "Apaan sih," sergahnya, berusaha menutupi rasa malu yang menggelitik hati.

Akhirnya, dengan perasaan campur aduk, Raina berangkat menuju tempat acara. Pesta diadakan di aula hotel mewah milik keluarga Hartanto, sebuah bangunan megah dengan pilar-pilar tinggi dan langit-langit berhias ornamen klasik yang berkilauan.

Raina menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. Di antara riuh rendah obrolan tamu-tamu yang terdiri dari relasi bisnis, kerabat, serta orang-orang penting lainnya, ia merasa terjebak. Mengumbar senyum bisnis untuk sekumpulan orang yang entah benar-benar peduli atau hanya menunggu kesempatan untuk memetik keuntungan.

"Wah, Bu Ambar pasti bangga ya. Putri-putrinya cantik, menantunya tampan," ucap salah satu rekan bisnis Papa Raina, memecah lamunan wanita itu.

Ibu tiri Raina, Ambar, yang berdiri tak jauh darinya, menghela napas dengan gaya dramatis. "Sayangnya nggak semua menantu saya bisa diandalkan. Kalau Aksa kan jelas, seorang pengusaha ternama. Ini suaminya Raina, kerjaannya nggak jelas. Jujur saja, saya khawatir," katanya.

Raina merasakan semburat panas menjalar di wajahnya. Perlahan, dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan diri.

Salah satu pria dalam kelompok itu menatap Raina dengan penasaran. "Benar juga, rasanya saya belum pernah melihat menantu Ibu yang satu itu," katanya dengan nada suara sarat rasa ingin tahu.

Ambar melanjutkan dengan senyuman simpul yang dibuat-buat. "Katanya sih dulunya jurnalis, tapi saya tidak tahu. Takutnya dia sengaja menikahi Raina hanya karena harta, seperti kejadian dulu..." ucapnya dengan nada pura-pura khawatir sambil melirik ke arah Raina.

Raina tahu persis maksud perkataan Ambar. Rumor tentang Papa yang memiliki istri kedua sudah lama menjadi rahasia umum. Ketika ia pertama kali memasuki rumah Hartanto, cerita tentang kemurahan hati ibu tirinya telah menyebar di kalangan elit. Diiringi bisik-bisik tentang ibu kandung Raina yang dianggap mata duitan. Dia merasa dadanya nyeri mendengar semua itu diungkit lagi.

"Mama," desis Raina, suaranya rendah namun tajam. Ia jarang memanggil Ambar dengan sebutan itu, kecuali saat acara formal seperti ini.

"Ray, Mama cuma khawatir, kamu mengerti kan perasaan Mama?" Ambar pura-pura bersikap lembut, tangannya mencengkeram lengan Raina dengan kukunya yang panjang, seakan memberi peringatan.

Sebelum Raina sempat menjawab, keramaian menyita perhatian mereka. Kasak kusuk di antara para tamu berdengung menyaingi alunan musik. Mata semua orang tertuju ke arah pintu masuk aula.

Wanita itu memutar tubuhnya, mengikuti arah pandang semua orang. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat siapa yang memasuki ruangan.

Jovian.

Rambut ikal pendeknya tertata rapi, mata cokelat madunya tampak bersinar. Sebelumnya, dengan hidung bangir, alis tebal serta rahang tegasnya pria itu termasuk dalam kategori tampan meskipun memiliki disabilitas pada bagian kaki. Namun kini, tubuh tegap setinggi 180an senti itu berjalan dengan langkah lambat namun mantap, tanpa tongkat. Jas hitam yang ia kenakan menambah pesona pria itu malam ini.

Raina terkesiap kaget. Di sebelahnya, Ambar dan Papa tampak terpaku, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.

Jovian menghampiri mereka dengan senyum tenang. "Malam, Pa, Ma. Selamat atas acaranya," katanya, suaranya rendah namun penuh percaya diri.

Dengan lembut, ia melingkarkan lengannya di pinggang Raina, seolah melindungi istrinya dari setiap pandangan yang merendahkan.

Sang Ibu tiri menyipitkan mata, wajahnya dipenuhi rasa tidak suka. "Halah, mau kamu bisa jalan juga tetap saja kerjaan kamu nggak guna," gumamnya pelan, hanya cukup keras untuk didengar oleh Raina dan Jovian.

Papa berdeham, berusaha mengalihkan perhatian. "Papa tidak menyangka kamu bisa datang, Jovian," ujarnya, suaranya bergetar sedikit.

Jovian mengangguk. "Saya sudah konsultasi ke dokter, katanya sudah boleh jalan-jalan, jadi saya langsung kemari," jawabnya dengan nada santai, menatap Papa dan Ambar dengan senyum lembut.

Raina merasa kebanggaan membuncah di dadanya. "Ayo kita ke Mbak Vanya, Mas. Kamu kan belum ngucapin selamat ke dia," ajaknya cepat, ingin segera memperlihatkan suaminya yang gagah dan tampan kepada kakak-kakaknya.

Mereka berdua berjalan menuju kerumunan di mana kakak-kakak tiri Raina, Aksa, dan beberapa rekan bisnis berdiri. Di dekatnya, Kakek tampak sedang berbicara dengan beberapa investor penting proyek Sakala Nusa.

"Mbak Vanya, ini Mas Jovian susah-susah datang, mau ngucapin selamat secara langsung," ucap Raina dengan nada yang manis namun mengandung tantangan, memecah percakapan di antara mereka.

Vanya, yang tadinya berdiri dengan bangga di samping sang tunangan, tampak terkejut. Wajahnya memucat, matanya membelalak, nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Senyum puas mulai terbentuk di bibir Raina. Untuk pertama kalinya, ia berhasil membungkam sang kakak dengan telak.

Vanya segera mengubah ekspresinya menjadi dingin, wajahnya menegang. Sampai-sampai Aksa menyenggol pinggang tunangannya, seolah mengingatkan untuk menjaga sikap di depan para investor dan relasi bisnis.

"Terima kasih sudah datang, Jovian. Aku pikir kamu tidak bisa hadir karena kendala kesehatan," ucap Aksa, terdengar ramah tapi ada nada sindiran yang tidak bisa disembunyikan.

Jovian tersenyum tipis, mengabaikan makna tersembunyi dibalik perkataan Aksa. "Maaf saya sedikit telat," jawabnya dengan tenang.

Saat mereka sedang asyik bercengkerama, seorang pria paruh baya dengan jas mahal yang tadi berbincang dengan Kakek tiba-tiba melangkah maju. Dengan senyum lebar, dia mengulurkan tangan ke arah Jovian.

"Pak Jovian, kan?" ucapnya, suaranya ramah dan penuh hormat. "Senang sekali bisa bertemu dengan Anda di sini."

.

Suasana mendadak menjadi lebih hening. Kening Vanya dan Aksa mengernyit, seolah bertanya-tanya perihal interaksi seorang investor besar dengan Jovian yang selama ini dianggap remeh. Raina pun ikut terkejut, matanya beralih ke wajah suaminya.

Dari mana Jovian mengenal orang penting ini?

Jovian hanya tersenyum dan menyambut uluran tangan pria itu. "Senang bertemu dengan Anda juga, Pak."

Raina merasa ada sesuatu yang tak diketahuinya. Rahasia apa yang disimpan suaminya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status