Jovian tersenyum penuh kemenangan. Namun langkah pria itu masih terlihat goyah. Semakin dekat, Raina bisa melihat peluh yang membasahi kening suaminya. Hanya beberapa langkah lagi menuju Raina, sang suami kehilangan keseimbangan dan limbung, jatuh berlutut ke tanah.
"Mas!" Raina berseru panik, cepat-cepat menghampiri. Tangannya meraih lengan suaminya, mencoba mengangkat tubuh Jovian yang tampak kelelahan.
Pria itu tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Duh, malah jatoh. Malu-maluin aja," katanya dengan cengengesan, seolah berusaha menghapus rasa canggung.
Manik Raina berkaca-kaca, suaranya tertahan di tenggorokan. "Ya Tuhan, Mas... ini luar biasa," bisiknya, lalu memeluk Jovian erat-erat. Hatinya berdebar kencang, dipenuhi perasaan campur aduk—bahagia, syukur, dan juga kekhawatiran.
Dia menyembunyikan wajahnya di dada Jovian, menghidu aroma tubuh yang hangat dan akrab. Melihat suaminya berdiri dan berjalan tanpa tongkat adalah impian yang selalu ia pendam. Akhirnya, itu terwujud meski hanya sesaat.
Berbeda dengan raut wajah penuh keraguan saat pertama kali mereka mengunjungi rumah sakit, kini senyum lebar menghiasi wajah Raina. "Mas, kita beruntung banget bisa ketemu dokter ini," ucapnya sambil menggenggam erat lengan suaminya, membantunya menuju mobil.
"Iya, makanya ada untungnya juga kan aku terima telepon tengah malam?" Jovian menggoda, nada suaranya riang.
Bibir Raina sedikit mencebik. "Tapi, dokter itu aneh ya? Ngapain coba terus-terusan ngebandingin kondisi kamu sama ponakannya? Kan dia lagi nanganin kamu, harusnya fokus ke kamu aja," keluhnya. Masih terbayang wajah dokter yang selalu menyebut-nyebut keponakannya hampir di setiap pertemuan.
Jovian hanya terkekeh pelan. "Mungkin aku mirip sama keponakannya," jawabnya santai sambil membukakan pintu pengemudi untuk Raina, lalu mengitari mobil dan masuk ke sisi penumpang.
Di tengah perjalanan, Jovian bertanya, "Oh iya, keluarganya Aksa datang ke rumah malam ini kan?"
Dengan mata tetap terfokus pada jalan, Raina menjawab acuh, "Iya, kali." Baginya, pertemuan keluarga itu bukan sesuatu yang penting. Vanya juga tak pernah secara formal mengundangnya.
"Kita mampir ke rumah yuk?" ajak Jovian tiba-tiba.
"Ih, ngapain?" Raina berseru, memanfaatkan lampu merah untuk menoleh. Matanya menyipit, tak suka dengan ide itu.
"Kan acara keluarga, nggak enak kalau kita nggak datang," ujar Jovian lembut.
Raina mendengus. "Mas, Mbak Vanya aja nggak pernah bilang apa-apa. Aku nggak mau ah."
"Jangan gitu, mungkin Vanya sibuk," sahut Jovian, mencoba menenangkan.
Suaminya selalu berprasangka baik, meskipun sudah sering dicemooh oleh keluarganya. Namun, melihat tatapan memohon di mata Jovian, hatinya perlahan luluh.
"Ray," Jovian mengulurkan tangan, mengelus puncak kepala Raina. "Aku nggak mau, karena menikah denganku, hubungan kamu dengan keluarga jadi renggang."
Wanita itu terdiam sejenak. Sebenarnya, hubungan dengan keluarganya memang sudah buruk bahkan sebelum ia menikah dengan Jovian. Tapi, ia tidak ingin suaminya merasa bersalah. Maka, dengan setengah hati, dia mengangguk dan memenuhi permintaan pria itu.
Setibanya di rumah, mereka disambut dengan tatapan tajam Vanya. "Ngapain kalian kemari?!" hardik Vanya, suaranya penuh ketidaksukaan.
Jovian tersenyum ramah, tidak terpengaruh oleh nada iparnya. "Sore, Vanya. Gimana persiapannya? Ada yang bisa saya bantu?" tawarnya sopan.
"Halah, orang pincang mau bantu apa? Lagian, rumah ini punya banyak pelayan. Dasar kampungan," balas Vanya tajam, sinis.
"Mbak, nggak perlu ngomong kasar begitu, kan?" Raina menegur, suaranya bergetar menahan kesal. Dia tak tahan melihat suaminya diperlakukan begitu.
Vanya mendengus, matanya memelototi Raina. "Kalo nggak digituin, kalian tuh nggak tahu diri. Nggak ada yang ngundang, ngapain kalian datang ke sini?"
"Mas Jovian cuma nggak enak kalau nggak datang ke acara keluarga," jawab Raina ketus.
Vanya mendenkus lagi, kali ini lebih keras. "Emangnya kamu keluarga?"
"Mbak! Aku juga anak Papa!" seru Raina, nadanya naik, menahan amarah yang sudah lama dipendam.
Sebelum sang kakak sempat membalas, Papa muncul dari ruang tengah. "Ray? Kata Vanya kamu nggak bisa datang," ucap Papa heran.
Raina memandang sang kakak dengan tajam, siap membalas, namun Jovian meremas tangannya, seolah meminta istrinya menahan diri.
"Iya, Pa, akhir-akhir ini Jovian sibuk fisioterapi. Tapi sesi hari ini sudah selesai, jadi kami bisa datang," jelas Jovian.
Papa memandang kaki Jovian, lalu pada tongkat yang masih setia di tangan sang menantu. Tatapannya skeptis. "Oh, iya. Jadi kamu terapi lagi?"
Jovian mengangguk, tersenyum. "Iya, Pa. Doakan supaya cepat pulih, ya?"
"Halah," Vanya mencibir. "Kemarin-kemarin juga rehab, tapi nggak sembuh-sembuh. Cacat mah cacat aja. Nanti kalau minta-minta duit buat pengobatan, jangan kasih, Pa. Buang-buang duit aja."
"Mbak Vanya!" Raina memotong, suaranya penuh kemarahan.
"Sudah-sudah," Papa mencoba melerai. "Kalian istirahat dulu saja. Nanti kita makan malam bersama keluarga Diraja."
"Pa! Nanti mereka malu-maluin!" Vanya protes, matanya menyorot tajam ke arah Raina dan Jovian.
"Vanya! Ini rumah Papa, dan Papa berhak menentukan siapa yang ikut makan malam, siapa yang tidak!" sahut Papa, suaranya tegas dan tak terbantahkan.
Meski terlihat kesal, sang kakak terpaksa diam.
Keluarga Diraja tiba tepat sebelum makan malam. Mereka segera bergabung di meja makan besar yang sudah penuh dengan hidangan lezat.
"Jadi, bagaimana rencananya, Nak Aksa?" Kakek bertanya setelah semua hidangan hampir selesai di santap.
Aksa, dengan senyum lebar dan percaya diri, menatap sekeliling meja. "Iya, Kek. Mengingat kita akan bekerja sama dalam proyek Sakala Nusa, kami berencana sekalian ngundang rekan-rekan bisnis saat pesta pertunangan. Bagaimana menurut Kakek?"
Kakek mengangguk antusias, matanya berbinar. "Itu ide bagus! Kakek setuju," jawabnya.
Vanya, yang duduk di samping Aksa, melirik ke arah Raina dan Jovian. Sebuah senyum kecil tidak menyenangkan tersungging di bibirnya. "Oh iya, tapi karena ini acara besar dan banyak orang penting datang, Jovian nggak usah hadir, ya," katanya.
Sebenarnya Raina sendiri malas datang, terutama karena proyek itu telah direbut dengan cara tidak adil. Namun, harga dirinya tersengat. "Kenapa emangnya?!”
"Ya sadar diri aja. Suami kamu tuh pincang. Udah malu-maluin, nanti malah nyusahin orang. Dasar nggak guna." Cibiran Vanya masih terngiang di ingatan Raina ketika bertemu calon besan sang kakak beberapa hari lalu."Nak Jovian, tolong maklumi ya? Ini acara besar, takutnya kaki kamu semakin sakit." Kalimat yang dilontarkan sang kakek setelah omongan Vanya semakin membuat Raina kecewa.Awalnya, wanita itu masih enggan untuk pergi. Ia lebih memilih tinggal di rumah, dalam dekapan hangat Jovian, daripada harus berpura-pura tersenyum di pesta pertunangan kakak tirinya.Namun, suaminya, bersikukuh bahwa dia harus menghadiri acara keluarga yang penting itu. "Aku nggak mau nanti kamu dibilang adik kurang ajar, masa hajatan kakaknya nggak datang," kata Jovian sebelum sang istri pergi ke pesta.Raina menggigit bibir. "Kalau kenapa-napa, telepon ya, Mas. Pokoknya aku nggak bakal lama-lama di sana," ucapnya dengan nada khawatir.Jovian terkekeh pelan, mengusap pipi Raina dengan lembut. "Kamu yang
"Mas, kamu kenal dari mana?" Raina berbisik dengan nada penuh tanya.Jovian hanya tersenyum, menjawab pelan, "Iya, pas dulu masih jadi jurnalis.""Jurnalis?" Investor yang mendengar percakapan itu ikut angkat alis, tampak heran.Jovian segera menimpali sebelum pria berjas biru tua itu sempat berbicara lebih jauh, "Aku pernah diminta bantu waktu wawancara beliau," ujarnya dengan nada santai.Pengusaha besar itu memandangi wajah Jovian sejenak, lalu tertawa kecil, meskipun terdengar sedikit canggung. "Oh iya, dulu Pak Jovian memang banyak membantu," katanya, berusaha mengalihkan perhatian.Raina menoleh ke arah suaminya, mencari jawaban di balik senyum tenang
Senyum Raina pudar saat mendapati pria yang menyapa bukanlah Jovian.Di hadapannya, berdiri Aksa dengan senyum tipis dan mata yang tampak sedikit berat. Dengan dagu, wanita itu menunjuk ke arah pintu ballroom yang tadi dilalui, "Mbak Vanya udah masuk lagi," ucapnya kepada calon kakak ipar.Aksa, mengenakan jas berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan rapi, hanya berdiri diam di tempatnya, seolah sengaja menghalangi jalan Raina. Segelas sampanye tergenggam di tangannya. "Aku emang nyari kamu kok," ucapnya tiba-tiba saat Raina mencoba melangkah pergi.Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati Raina. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Aksa, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. "Lepas," pintanya pelan, matanya melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang
Desahan kenikmatan lolos dari bibir Raina. Matanya mengerjap, berusaha fokus di tengah badai sensasi yang menggelora. "Aku hanya milikmu, Mas," bisiknya lembut, suaranya bergetar dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Sentuhan Jovian tak berhenti sampai di situ. Bibirnya yang panas mulai menelusuri setiap inci kulit Raina, meninggalkan jejak-jejak keinginannya. Seolah setiap ciuman adalah janji yang ingin ditegaskan, setiap sentuhan adalah klaim atas apa yang memang menjadi miliknya. Raina hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya bergetar di bawah kuasa sang suami.Desakan hasrat yang tertahan mulai membakar dada ketika Jovian dengan sengaja menghindari titik-titik sensitif di tubuh sang wanita. "Mas," rengeknya, jemarinya yang gemetar menyelinap di antara surai kastanye suaminya, menariknya pelan, memohon lebih.Jovian terkekeh, getaran tawanya menggelitik kulit Raina. Manik mata madunya yang kini tampak lebih gelap beradu pandang dengan netra sang istri, dipenuhi gelo
"Cih, si pincang ngapain di sini?"Baru memasuki ruang privat pada restoran, Raina dan Jovian sudah disuguhi hinaan. Netra sang istri melotot menatap kakak tiri.Sementara pria di samping menepuk pundaknya pelan, seolah menenangkan. "Selamat malam semuanya. Maaf terlambat. Jalan ke sini agak lama, banyak tangga," ucapnya ramah."Makanya, orang cacat tuh harusnya diem aja di rumah, nggak usah ikut-ikutan kemari," ejek Vanya yang lalu cekikikan dengan sang ibu. Saudari tiri Raina itu memang tidak akan melewatkan kesempatan untuk merendahkan Jovian.Belum sempat Raina membalas nyinyiran si nenek lampir, Jovian sudah meraih tangan sang istri dan membelainya lembut. Pria berusia 33 tahun itu menggeleng pelan, mengisyaratkan pada Raina agar tidak terpancing.Dengan muka masam, wanita itu duduk pada bangku kosong. Kalau bukan karena permintaan Jovian untuk ikut makan malam keluarga, mungkin Raina lebih memilih istirahat di rumah.Kakek berdeham pelan hingga semua perhatian tertuju padanya. "
Walaupun bekerja di perusahaan keluarga, Raina Asmarani Hartanto meniti karir dari bawah. Setelah berjuang membuktikan diri selama tiga tahun, akhirnya sang Kakek memberikan kepercayaan padanya untuk memimpin proyek besar. Dia tidak mungkin mengacaukan kesempatan emas itu. Beberapa detik sang wanita terdiam di depan pintu cendana sebelum akhirnya melangkah masuk. "Selamat pagi, Kakek mencari saya?" sapa Raina mencoba terdengar tenang, meski sempat terkejut melihat kakak tirinya juga berada di ruangan. Firasat buruk tiba-tiba mengusik hati wanita itu.Pria sepuh itu menoleh, tersenyum tipis. "Duduklah." Menurut, Raina memilih duduk di sofa sebelah kiri, tepat berhadapan dengan Vanya.Selang beberapa saat, sekretaris kakek masuk membawa cangkir teh untuk Raina. Tapi ia mengabaikannya, tak punya selera untuk beramah-tamah, terutama jika harus berlama-lama satu ruangan dengan Vanya. Kakek berdeham pelan, "Gimana perkembangan proyek Sakala Nusa?" Yang dibalas dengan anggukan penuh an
Raina bangkit perlahan dari tempat tidur, meraih kaus Jovian yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya. Kaus itu terasa hangat dan nyaman di kulitnya, membawa aroma tubuh suaminya yang menenangkan.Seraya memijat pundak yang terasa pegal, dia berjalan menuju arah suara. Badannya masih terasa lelah setelah hampir semalaman dijamah oleh Jovian. Meski demikian, ia menikmati setiap momen keintiman mereka. Senyum kecil terulas di bibirnya."... proyek pembangunan..." suara Jovian terdengar semakin jelas saat wanita itu mendekati pintu balkon, "lupakan saja. Biar saya sendiri yang urus.""Mas?" panggil Raina lembut.Bukan maksudnya untuk mengendap-endap, namun dia tak menyangka Jovian akan tersentak kaget hingga gawai di tangan hampir jatuh. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya pria itu menoleh, senyum tipis terlukis di wajahnya.Melihat sang suami tertatih-tatih, Raina segera melangkah maju, meraih lengan Jovian untuk memapahnya. "Kebangun?" tanya Jovian dengan nada lembut, seraya m