Share

4. Kedatangan Aksa

Jovian tersenyum penuh kemenangan. Namun langkah pria itu masih terlihat goyah. Semakin dekat, Raina bisa melihat peluh yang membasahi kening suaminya. Hanya beberapa langkah lagi menuju Raina, sang suami kehilangan keseimbangan dan limbung, jatuh berlutut ke tanah.

"Mas!" Raina berseru panik, cepat-cepat menghampiri. Tangannya meraih lengan suaminya, mencoba mengangkat tubuh Jovian yang tampak kelelahan.

Pria itu tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Duh, malah jatoh. Malu-maluin aja," katanya dengan cengengesan, seolah berusaha menghapus rasa canggung.

Manik Raina berkaca-kaca, suaranya tertahan di tenggorokan. "Ya Tuhan, Mas... ini luar biasa," bisiknya, lalu memeluk Jovian erat-erat. Hatinya berdebar kencang, dipenuhi perasaan campur aduk—bahagia, syukur, dan juga kekhawatiran.

Dia menyembunyikan wajahnya di dada Jovian, menghidu aroma tubuh yang hangat dan akrab. Melihat suaminya berdiri dan berjalan tanpa tongkat adalah impian yang selalu ia pendam. Akhirnya, itu terwujud meski hanya sesaat.

Berbeda dengan raut wajah  penuh keraguan saat pertama kali mereka mengunjungi rumah sakit, kini senyum lebar menghiasi wajah Raina. "Mas, kita beruntung banget bisa ketemu dokter ini," ucapnya sambil menggenggam erat lengan suaminya, membantunya menuju mobil.

"Iya, makanya ada untungnya juga kan aku terima telepon tengah malam?" Jovian menggoda, nada suaranya riang.

Bibir Raina sedikit mencebik. "Tapi, dokter itu aneh ya? Ngapain coba terus-terusan ngebandingin kondisi kamu sama ponakannya? Kan dia lagi nanganin kamu, harusnya fokus ke kamu aja," keluhnya. Masih terbayang wajah dokter yang selalu menyebut-nyebut keponakannya hampir di setiap pertemuan.

Jovian hanya terkekeh pelan. "Mungkin aku mirip sama keponakannya," jawabnya santai sambil membukakan pintu pengemudi untuk Raina, lalu mengitari mobil dan masuk ke sisi penumpang.

Di tengah perjalanan, Jovian bertanya, "Oh iya, keluarganya Aksa datang ke rumah malam ini kan?"

Dengan mata tetap terfokus pada jalan, Raina menjawab acuh, "Iya, kali." Baginya, pertemuan keluarga itu bukan sesuatu yang penting. Vanya juga tak pernah secara formal mengundangnya.

"Kita mampir ke rumah yuk?" ajak Jovian tiba-tiba.

"Ih, ngapain?" Raina berseru, memanfaatkan lampu merah untuk menoleh. Matanya menyipit, tak suka dengan ide itu.

"Kan acara keluarga, nggak enak kalau kita nggak datang," ujar Jovian lembut.

Raina mendengus. "Mas, Mbak Vanya aja nggak pernah bilang apa-apa. Aku nggak mau ah."

"Jangan gitu, mungkin Vanya sibuk," sahut Jovian, mencoba menenangkan.

Suaminya selalu berprasangka baik, meskipun sudah sering dicemooh oleh keluarganya. Namun, melihat tatapan memohon di mata Jovian, hatinya perlahan luluh.

"Ray," Jovian mengulurkan tangan, mengelus puncak kepala Raina. "Aku nggak mau, karena menikah denganku, hubungan kamu dengan keluarga jadi renggang."

Wanita itu terdiam sejenak. Sebenarnya, hubungan dengan keluarganya memang sudah buruk bahkan sebelum ia menikah dengan Jovian. Tapi, ia tidak ingin suaminya merasa bersalah. Maka, dengan setengah hati, dia mengangguk dan memenuhi permintaan pria itu.

Setibanya di rumah, mereka disambut dengan tatapan tajam Vanya. "Ngapain kalian kemari?!" hardik Vanya, suaranya penuh ketidaksukaan.

Jovian tersenyum ramah, tidak terpengaruh oleh nada iparnya. "Sore, Vanya. Gimana persiapannya? Ada yang bisa saya bantu?" tawarnya sopan.

"Halah, orang pincang mau bantu apa? Lagian, rumah ini punya banyak pelayan. Dasar kampungan," balas Vanya tajam, sinis.

"Mbak, nggak perlu ngomong kasar begitu, kan?" Raina menegur, suaranya bergetar menahan kesal. Dia tak tahan melihat suaminya diperlakukan begitu.

Vanya mendengus, matanya memelototi Raina. "Kalo nggak digituin, kalian tuh nggak tahu diri. Nggak ada yang ngundang, ngapain kalian datang ke sini?"

"Mas Jovian cuma nggak enak kalau nggak datang ke acara keluarga," jawab Raina ketus.

Vanya mendenkus lagi, kali ini lebih keras. "Emangnya kamu keluarga?"

"Mbak! Aku juga anak Papa!" seru Raina, nadanya naik, menahan amarah yang sudah lama dipendam.

Sebelum sang kakak sempat membalas, Papa muncul dari ruang tengah. "Ray? Kata Vanya kamu nggak bisa datang," ucap Papa heran.

Raina memandang sang kakak dengan tajam, siap membalas, namun Jovian meremas tangannya, seolah meminta istrinya menahan diri.

"Iya, Pa, akhir-akhir ini Jovian sibuk fisioterapi. Tapi sesi hari ini sudah selesai, jadi kami bisa datang," jelas Jovian.

Papa memandang kaki Jovian, lalu pada tongkat yang masih setia di tangan sang menantu. Tatapannya skeptis. "Oh, iya. Jadi kamu terapi lagi?"

Jovian mengangguk, tersenyum. "Iya, Pa. Doakan supaya cepat pulih, ya?"

"Halah," Vanya mencibir. "Kemarin-kemarin juga rehab, tapi nggak sembuh-sembuh. Cacat mah cacat aja. Nanti kalau minta-minta duit buat pengobatan, jangan kasih, Pa. Buang-buang duit aja."

"Mbak Vanya!" Raina memotong, suaranya penuh kemarahan.

"Sudah-sudah," Papa mencoba melerai. "Kalian istirahat dulu saja. Nanti kita makan malam bersama keluarga Diraja."

"Pa! Nanti mereka malu-maluin!" Vanya protes, matanya menyorot tajam ke arah Raina dan Jovian.

"Vanya! Ini rumah Papa, dan Papa berhak menentukan siapa yang ikut makan malam, siapa yang tidak!" sahut Papa, suaranya tegas dan tak terbantahkan.

Meski terlihat kesal, sang kakak terpaksa diam.

Keluarga Diraja tiba tepat sebelum makan malam. Mereka segera bergabung di meja makan besar yang sudah penuh dengan hidangan lezat.

"Jadi, bagaimana rencananya, Nak Aksa?" Kakek bertanya setelah semua hidangan hampir selesai di santap.

Aksa, dengan senyum lebar dan percaya diri, menatap sekeliling meja. "Iya, Kek. Mengingat kita akan bekerja sama dalam proyek Sakala Nusa, kami berencana sekalian ngundang rekan-rekan bisnis saat pesta pertunangan. Bagaimana menurut Kakek?"

Kakek mengangguk antusias, matanya berbinar. "Itu ide bagus! Kakek setuju," jawabnya.

Vanya, yang duduk di samping Aksa, melirik ke arah Raina dan Jovian. Sebuah senyum kecil tidak menyenangkan tersungging di bibirnya. "Oh iya, tapi karena ini acara besar dan banyak orang penting datang, Jovian nggak usah hadir, ya," katanya.

Sebenarnya Raina sendiri malas datang, terutama karena proyek itu telah direbut dengan cara tidak adil. Namun, harga dirinya tersengat. "Kenapa emangnya?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status