Share

4. Kedatangan Aksa

Author: Ayria
last update Last Updated: 2024-09-27 15:52:28

Jovian tersenyum penuh kemenangan. Namun langkah pria itu masih terlihat goyah. Semakin dekat, Raina bisa melihat peluh yang membasahi kening suaminya. Hanya beberapa langkah lagi menuju Raina, sang suami kehilangan keseimbangan dan limbung, jatuh berlutut ke tanah.

"Mas!" Raina berseru panik, cepat-cepat menghampiri. Tangannya meraih lengan suaminya, mencoba mengangkat tubuh Jovian yang tampak kelelahan.

Pria itu tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Duh, malah jatoh. Malu-maluin aja," katanya dengan cengengesan, seolah berusaha menghapus rasa canggung.

Manik Raina berkaca-kaca, suaranya tertahan di tenggorokan. "Ya Tuhan, Mas... ini luar biasa," bisiknya, lalu memeluk Jovian erat-erat. Hatinya berdebar kencang, dipenuhi perasaan campur aduk—bahagia, syukur, dan juga kekhawatiran.

Dia menyembunyikan wajahnya di dada Jovian, menghidu aroma tubuh yang hangat dan akrab. Melihat suaminya berdiri dan berjalan tanpa tongkat adalah impian yang selalu ia pendam. Akhirnya, itu terwujud meski hanya sesaat.

Berbeda dengan raut wajah  penuh keraguan saat pertama kali mereka mengunjungi rumah sakit, kini senyum lebar menghiasi wajah Raina. "Mas, kita beruntung banget bisa ketemu dokter ini," ucapnya sambil menggenggam erat lengan suaminya, membantunya menuju mobil.

"Iya, makanya ada untungnya juga kan aku terima telepon tengah malam?" Jovian menggoda, nada suaranya riang.

Bibir Raina sedikit mencebik. "Tapi, dokter itu aneh ya? Ngapain coba terus-terusan ngebandingin kondisi kamu sama ponakannya? Kan dia lagi nanganin kamu, harusnya fokus ke kamu aja," keluhnya. Masih terbayang wajah dokter yang selalu menyebut-nyebut keponakannya hampir di setiap pertemuan.

Jovian hanya terkekeh pelan. "Mungkin aku mirip sama keponakannya," jawabnya santai sambil membukakan pintu pengemudi untuk Raina, lalu mengitari mobil dan masuk ke sisi penumpang.

Di tengah perjalanan, Jovian bertanya, "Oh iya, keluarganya Aksa datang ke rumah malam ini kan?"

Dengan mata tetap terfokus pada jalan, Raina menjawab acuh, "Iya, kali." Baginya, pertemuan keluarga itu bukan sesuatu yang penting. Vanya juga tak pernah secara formal mengundangnya.

"Kita mampir ke rumah yuk?" ajak Jovian tiba-tiba.

"Ih, ngapain?" Raina berseru, memanfaatkan lampu merah untuk menoleh. Matanya menyipit, tak suka dengan ide itu.

"Kan acara keluarga, nggak enak kalau kita nggak datang," ujar Jovian lembut.

Raina mendengus. "Mas, Mbak Vanya aja nggak pernah bilang apa-apa. Aku nggak mau ah."

"Jangan gitu, mungkin Vanya sibuk," sahut Jovian, mencoba menenangkan.

Suaminya selalu berprasangka baik, meskipun sudah sering dicemooh oleh keluarganya. Namun, melihat tatapan memohon di mata Jovian, hatinya perlahan luluh.

"Ray," Jovian mengulurkan tangan, mengelus puncak kepala Raina. "Aku nggak mau, karena menikah denganku, hubungan kamu dengan keluarga jadi renggang."

Wanita itu terdiam sejenak. Sebenarnya, hubungan dengan keluarganya memang sudah buruk bahkan sebelum ia menikah dengan Jovian. Tapi, ia tidak ingin suaminya merasa bersalah. Maka, dengan setengah hati, dia mengangguk dan memenuhi permintaan pria itu.

Setibanya di rumah, mereka disambut dengan tatapan tajam Vanya. "Ngapain kalian kemari?!" hardik Vanya, suaranya penuh ketidaksukaan.

Jovian tersenyum ramah, tidak terpengaruh oleh nada iparnya. "Sore, Vanya. Gimana persiapannya? Ada yang bisa saya bantu?" tawarnya sopan.

"Halah, orang pincang mau bantu apa? Lagian, rumah ini punya banyak pelayan. Dasar kampungan," balas Vanya tajam, sinis.

"Mbak, nggak perlu ngomong kasar begitu, kan?" Raina menegur, suaranya bergetar menahan kesal. Dia tak tahan melihat suaminya diperlakukan begitu.

Vanya mendengus, matanya memelototi Raina. "Kalo nggak digituin, kalian tuh nggak tahu diri. Nggak ada yang ngundang, ngapain kalian datang ke sini?"

"Mas Jovian cuma nggak enak kalau nggak datang ke acara keluarga," jawab Raina ketus.

Vanya mendenkus lagi, kali ini lebih keras. "Emangnya kamu keluarga?"

"Mbak! Aku juga anak Papa!" seru Raina, nadanya naik, menahan amarah yang sudah lama dipendam.

Sebelum sang kakak sempat membalas, Papa muncul dari ruang tengah. "Ray? Kata Vanya kamu nggak bisa datang," ucap Papa heran.

Raina memandang sang kakak dengan tajam, siap membalas, namun Jovian meremas tangannya, seolah meminta istrinya menahan diri.

"Iya, Pa, akhir-akhir ini Jovian sibuk fisioterapi. Tapi sesi hari ini sudah selesai, jadi kami bisa datang," jelas Jovian.

Papa memandang kaki Jovian, lalu pada tongkat yang masih setia di tangan sang menantu. Tatapannya skeptis. "Oh, iya. Jadi kamu terapi lagi?"

Jovian mengangguk, tersenyum. "Iya, Pa. Doakan supaya cepat pulih, ya?"

"Halah," Vanya mencibir. "Kemarin-kemarin juga rehab, tapi nggak sembuh-sembuh. Cacat mah cacat aja. Nanti kalau minta-minta duit buat pengobatan, jangan kasih, Pa. Buang-buang duit aja."

"Mbak Vanya!" Raina memotong, suaranya penuh kemarahan.

"Sudah-sudah," Papa mencoba melerai. "Kalian istirahat dulu saja. Nanti kita makan malam bersama keluarga Diraja."

"Pa! Nanti mereka malu-maluin!" Vanya protes, matanya menyorot tajam ke arah Raina dan Jovian.

"Vanya! Ini rumah Papa, dan Papa berhak menentukan siapa yang ikut makan malam, siapa yang tidak!" sahut Papa, suaranya tegas dan tak terbantahkan.

Meski terlihat kesal, sang kakak terpaksa diam.

Keluarga Diraja tiba tepat sebelum makan malam. Mereka segera bergabung di meja makan besar yang sudah penuh dengan hidangan lezat.

"Jadi, bagaimana rencananya, Nak Aksa?" Kakek bertanya setelah semua hidangan hampir selesai di santap.

Aksa, dengan senyum lebar dan percaya diri, menatap sekeliling meja. "Iya, Kek. Mengingat kita akan bekerja sama dalam proyek Sakala Nusa, kami berencana sekalian ngundang rekan-rekan bisnis saat pesta pertunangan. Bagaimana menurut Kakek?"

Kakek mengangguk antusias, matanya berbinar. "Itu ide bagus! Kakek setuju," jawabnya.

Vanya, yang duduk di samping Aksa, melirik ke arah Raina dan Jovian. Sebuah senyum kecil tidak menyenangkan tersungging di bibirnya. "Oh iya, tapi karena ini acara besar dan banyak orang penting datang, Jovian nggak usah hadir, ya," katanya.

Sebenarnya Raina sendiri malas datang, terutama karena proyek itu telah direbut dengan cara tidak adil. Namun, harga dirinya tersengat. "Kenapa emangnya?!”

Related chapters

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   5. Kejutan Di Pesta Pertunangan

    "Ya sadar diri aja. Suami kamu tuh pincang. Udah malu-maluin, nanti malah nyusahin orang. Dasar nggak guna." Cibiran Vanya masih terngiang di ingatan Raina ketika bertemu calon besan sang kakak beberapa hari lalu."Nak Jovian, tolong maklumi ya? Ini acara besar, takutnya kaki kamu semakin sakit." Kalimat yang dilontarkan sang kakek setelah omongan Vanya semakin membuat Raina kecewa.Awalnya, wanita itu masih enggan untuk pergi. Ia lebih memilih tinggal di rumah, dalam dekapan hangat Jovian, daripada harus berpura-pura tersenyum di pesta pertunangan kakak tirinya.Namun, suaminya, bersikukuh bahwa dia harus menghadiri acara keluarga yang penting itu. "Aku nggak mau nanti kamu dibilang adik kurang ajar, masa hajatan kakaknya nggak datang," kata Jovian sebelum sang istri pergi ke pesta.Raina menggigit bibir. "Kalau kenapa-napa, telepon ya, Mas. Pokoknya aku nggak bakal lama-lama di sana," ucapnya dengan nada khawatir.Jovian terkekeh pelan, mengusap pipi Raina dengan lembut. "Kamu yang

    Last Updated : 2024-09-27
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   6. Kecurigaan

    "Mas, kamu kenal dari mana?" Raina berbisik dengan nada penuh tanya.Jovian hanya tersenyum, menjawab pelan, "Iya, pas dulu masih jadi jurnalis.""Jurnalis?" Investor yang mendengar percakapan itu ikut angkat alis, tampak heran.Jovian segera menimpali sebelum pria berjas biru tua itu sempat berbicara lebih jauh, "Aku pernah diminta bantu waktu wawancara beliau," ujarnya dengan nada santai.Pengusaha besar itu memandangi wajah Jovian sejenak, lalu tertawa kecil, meskipun terdengar sedikit canggung. "Oh iya, dulu Pak Jovian memang banyak membantu," katanya, berusaha mengalihkan perhatian.Raina menoleh ke arah suaminya, mencari jawaban di balik senyum tenang

    Last Updated : 2024-10-17
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   7. Tawaran Gila

    Senyum Raina pudar saat mendapati pria yang menyapa bukanlah Jovian.Di hadapannya, berdiri Aksa dengan senyum tipis dan mata yang tampak sedikit berat. Dengan dagu, wanita itu menunjuk ke arah pintu ballroom yang tadi dilalui, "Mbak Vanya udah masuk lagi," ucapnya kepada calon kakak ipar.Aksa, mengenakan jas berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan rapi, hanya berdiri diam di tempatnya, seolah sengaja menghalangi jalan Raina. Segelas sampanye tergenggam di tangannya. "Aku emang nyari kamu kok," ucapnya tiba-tiba saat Raina mencoba melangkah pergi.Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati Raina. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Aksa, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. "Lepas," pintanya pelan, matanya melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang

    Last Updated : 2024-10-17
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   8. Cemburu

    Desahan kenikmatan lolos dari bibir Raina. Matanya mengerjap, berusaha fokus di tengah badai sensasi yang menggelora. "Aku hanya milikmu, Mas," bisiknya lembut, suaranya bergetar dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Sentuhan Jovian tak berhenti sampai di situ. Bibirnya yang panas mulai menelusuri setiap inci kulit Raina, meninggalkan jejak-jejak keinginannya. Seolah setiap ciuman adalah janji yang ingin ditegaskan, setiap sentuhan adalah klaim atas apa yang memang menjadi miliknya. Raina hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya bergetar di bawah kuasa sang suami.Desakan hasrat yang tertahan mulai membakar dada ketika Jovian dengan sengaja menghindari titik-titik sensitif di tubuh sang wanita. "Mas," rengeknya, jemarinya yang gemetar menyelinap di antara surai kastanye suaminya, menariknya pelan, memohon lebih.Jovian terkekeh, getaran tawanya menggelitik kulit Raina. Manik mata madunya yang kini tampak lebih gelap beradu pandang dengan netra sang istri, dipenuhi gelo

    Last Updated : 2024-10-17
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   9. Masalah

    Sang sepuh mengangkat bahu dengan sikap acuh. "Itu sebenarnya hasil investigasi sebelum kalian menikah. Kamu pikir Kakek bakal biarin seorang Hartanto menikah begitu saja dengan sembarang orang?"Raina mendengus kesal. "Terus kenapa Kakek ngebiarin aku nikah sama Mas Jovian?" tanyanya tajam, merasa ada sesuatu yang disembunyikan.Kakek tersenyum tipis, sedikit menyeringai. "Karena Jovian sudah berjanji sama Kakek. Dia akan hidup dalam diam, tidak membuat nama baik Hartanto tercoreng," jelasnya tenang.Raina tertegun. "Kenapa sekarang kakek minta aku cerai dari Mas Jovian? Kan Mas Jovian udah nurutin permintaan Kakek." Dia merasa marah, tetapi juga bingung dengan maksud Kakeknya."Kakek tahu kamu selama ini berusaha

    Last Updated : 2024-10-18
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   10. Kebocoran

    Vanya mendesis, wajahnya penuh kemarahan. "Ngapain kamu ke sini? Kamu pikir kamu bisa kembali dan ngambil alih proyek ini?" sergahnya tajam.Raina menatap kakaknya dengan tatapan dingin. "Aku hanya melakukan tugas yang diberikan Kakek, sama seperti Mbak," jawabnya tanpa gentar.Vanya mendengus, jelas tidak puas dengan jawaban adiknya. "Jangan berpikir aku nggak tahu apa yang kamu rencanakan, Raina. Kamu cuma mau mencuri perhatian Kakek, biar kamu bisa kembali memimpin proyek, kan?" ujarnya dengan nada meremehkan.Raina menghela napas, mencoba meredam emosinya. "Tidak semua orang seambisius kamu, Mbak. Aku hanya ingin proyek ini berhasil," balasnya dengan nada tenang. "Udahlah, Mbak. Yang penting sekarang kita bisa menyelesaikan masalah yang ada. Jadi, apa masalahnya?" desakn

    Last Updated : 2024-10-18
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   11. Ganjil

    "Mas Jovian? Kok bisa di sini?" seru Raina, setengah berlari menghampiri suaminya.Jovian hanya tersenyum samar, matanya berbinar meski tampak lelah. "Kan kamu bilang ada masalah di site, ini aku bawa pompa yang dibutuhkan," jawabnya singkat, seolah hal itu adalah hal paling biasa di dunia. Dengan datangnya pompa air yang ditunggu-tunggu, kebocoran di lokasi konstruksi akhirnya bisa segera diatasi. Pompa besar itu mulai mengisap air yang meluap, mengeringkan genangan dengan cepat.Para pekerja bergegas mengatur peralatan, memindahkan material yang terendam air, dan menghitung ulang kerugian yang mungkin terjadi. Meski banyak material yang tak lagi bisa digunakan, ada perasaan lega di antara mereka karena situasi yang tampak suram ini mulai terkendali.Raina berdiri di dekat suaminya, mengamati para pekerja yang tampak sibuk. "Mas, kok bisa dapatin pompa airnya? Mbak Vanya aja sampai kewalahan," selidiknya, masih sedikit bingung.Jovian tersenyum tipis, wajahnya tenang seperti biasa

    Last Updated : 2024-10-18
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   12. Sabotase

    Vanya, yang sudah lebih dulu berada di ruangan sang Kakek, menyeringai puas dengan tangan terlipat di dada. Ada kilatan kemenangan di matanya, seolah menunggu Raina tiba di tengah badai amarah sang Kakek.Kakek menghela napas panjang, punggungnya terhenyak ke sandaran sofa kulit megah. Dengan dahi berkerut, menandakan kekecewaan dan kemarahan yang mendalam."Kakek dengar ada kebocoran pipa di site," suara Kakek berat, nyaris terdengar seperti geraman.Raina mengangguk. Ia tahu ini bukan percakapan yang akan berakhir baik. "Ada beberapa material yang rusak, tapi karena kebocoran bisa langsung diatasi sorenya, kerugian tidak terlalu besar. Untungnya Mas Jovian bisa bantu nemuin pompa air buat nguras," jelasnya, menekankan bagaimana bantuan suaminya telah mempercepat penanganan.Namun, Kakek mengibaskan tangannya dalam gerakan tegas dan tak sabar. "Kakek sudah baca laporan Vanya tadi pagi. Apa sebelumnya kamu nggak melakukan pengecekan ulang? Kamu tahu seberapa besar dampaknya berita ini

    Last Updated : 2024-10-18

Latest chapter

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   114. Kisah Jovian - Hanya Kali ini

    Persiapan pernikahan berjalan dengan lancar. Terutama karena memang tak banyak yang harus dipikirkan, mengingat pihak keluarga mempelai wanita menginginkan acara yang sederhana. Akad serta resepsi akan dilakukan sesederhana mungkin, hanya dihadiri oleh keluarga dekat serta beberapa kerabat terpercaya.Jovian menurut, karena baginya, yang terpenting adalah menyusup ke dalam kediaman Hartanto. Hal-hal lain hanyalah formalitas belaka.Namun siang itu, suara rendah sarat akan wibawa menghentikan langkah Jovian, kala pria itu baru menyelesaikan sesi terapinya. Atau yang sebenarnya rapat strategi bersama Saka, Aji dan para petinggi Sindikat Sinara.“Anak muda, bisa kita berbicara sejenak?”Sang pria muda menoleh, mendapati sosok Adi Prakoso Hartanto berdiri tak jauh darinya. Tubuhnya tinggi, tegap, meskipun usia senja telah men

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   113 - Kisah Jovian - Berantakan

    Dengan tertatih-tatih, Jovian menyusuri trotoar, melangkah secepat yang kaki pincangnya sanggup. Tongkat di tangannya mengetuk ritmis di atas permukaan aspal, seolah mengiringi detak jantungnya yang gelisah.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk tulang, tapi itu tak sebanding dengan kecemasan yang mencengkeram hatinya. Kata-kata Raina di telepon tadi terus terngiang-ngiang di benaknya.“Mas, tolong datang ke sini. Cepat.”Hanya satu alamat yang disebutkan sebelum sambungan terputus. Terdengar napas berat yang tak biasa dari wanita itu.‘Sial!’ Jovian mengumpat dalam hati. Kenapa ia harus berpura-pura pincang? Kalau saja ia tidak membatasi dirinya dengan cedera palsu ini, mungkin ia sudah sampai lebih cepat. ‘Kenapa juga aku tidak memilih pura-pura cacat tangan saja?’ pikirnya penuh

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   112 - Kisah Jovian - Akal-akalan

    Jovian membuka matanya perlahan, siluet lampu putih menyilaukan penglihatannya. Kepalanya berat, dan tubuhnya terasa kaku, nyeri menusuk-nusuk dari sisi tubuh hingga ke kakinya. Namun pandangannya tak butuh waktu lama untuk menangkap sosok wanita di samping ranjang. Manik kecokelatan yang memancarkan kecemasan itu adalah hal pertama yang ia lihat saat kesadarannya kembali.Raina.Menyipitkan mata, pria itu mencoba memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan ilusi. Wanita itu benar-benar ada di sana, duduk di kursi, wajahnya khawatir namun tetap anggun di bawah cahaya lembut lampu ruangan.Jovian langsung menyadari sesuatu—luka kecil di pelipis Raina terlihat sudah mengering, tak ada perban kasat mata lainnya di tubuh wanita itu. Syukurlah, kecelakaan itu tak meninggalkan cedera serius pada dirinya.Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, s

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   111. Kisah Jovian - Kejadian Menarik

    “Jovian!”Teriakan lantang menggema di lorong rumah sakit, memecah kesunyian malam. Langkah tergesa-gesa dua pria terdengar semakin mendekat. Di ambang pintu unit gawat darurat, Aji dan Saka muncul dengan napas tersengal. Raut wajah mereka campuran antara cemas dan panik.Di ranjang yang tak terlalu lebar, Jovian membuka matanya dengan susah payah. Wajahnya pucat, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Namun, seperti biasa, ia mencoba menyembunyikan kelemahannya di balik ekspresi datar yang ia latih bertahun-tahun. Meski kali ini, kelopak matanya yang berat dan bibirnya yang pucat membuat semua itu sia-sia.“Ngapain kalian di sini? Gimana dengan pesta pendiriannya?” tanyanya dengan suara serak dan lemah, berusaha terdengar biasa saja meski kesadarannya nyaris kabur.“Masih sempat mikirin itu?!” bentak Saka, matanya memicing tajam, sorotnya penuh amar

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   110. Kisah Jovian - Laporan Mingguan

    Sebuah amplop cokelat dilempar kasar oleh pria bertubuh kekar dengan jaket hitam. “Ini laporan tentang Raina Asmarani Hartanto minggu ini,” ucap pria tersebut tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar bosan, seolah tugas ini adalah rutinitas yang sudah ia lakukan terlalu sering.Jovian, yang duduk di kursi kerjanya, melirik sekilas amplop itu. Namun sebelum ia sempat bereaksi, Aji, yang kebetulan juga berada di ruangan, langsung menoleh dengan penuh minat. Manik cokelatnya bergerak cepat antara amplop dan pria bertubuh kekar itu, bibirnya terangkat membentuk senyum nakal.“Raina?” tanya Aji, menaikkan satu alisnya dengan nada menggoda. Dia memutar tubuh, memandang ke arah Saka, tangan kanan sang kakak. “Apa maksudnya nih?”Yang ditatap hanya mengedikkan bahu santai sambil melempar tubuhnya ke sofa di sudut ruangan. “Tanya Mas-mu i

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   109 - Kisah Jovian - Pria Mencurigakan

    “Oh,” suara berat pria tambun itu tiba-tiba terdengar, diiringi tawa pendek. “Kamu bartender ruang VVIP yang dulu sering membantuku, kan?” Ucapannya seolah hanya sekadar basa-basi, namun seringai di bibirnya menyiratkan lebih dari itu.Jovian mendongak, meski tubuhnya terasa berat setelah dihantam habis-habisan. Napasnya tersengal, darah mengalir pelan dari sudut bibirnya, namun ia tetap diam. Wajahnya tetap datar.Pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras, seakan menemukan hiburan. “Anak muda, aku tidak menyangka kamu bisa sampai pada titik ini. Bahkan hanya dengan sedikit dorongan dariku.” Dengan santai, pria itu menjentikkan jarinya.Seorang anak buahnya—pria berjaket hitam dengan wajah tanpa ekspresi—bergerak cepat. Dalam sekejap sebuah kursi dilapisi kulit didorong ke arahnya.“Sebagai senior di bidang ini,

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   108. Kisah Jovian - Terjebak

    Semenjak malam-malam kelam dipenuhi oleh rasa bersalah yang menghantui pikirannya, Jovian mulai mempertimbangkan untuk menghentikan rencana balas dendamnya.Namun, perasaan itu menghimpit seperti kabut tebal—tak memberi ruang untuk napas. Tidak tenang, itu pasti. Tapi, bahkan jika ia ingin berhenti sekarang, apakah itu mungkin?Pria itu sudah kadung basah. Rencana ini bukan lagi sekadar tentang dirinya. Terlalu banyak yang ia seret ke dalam jalan gelap ini.“Kita tidak bisa tiba-tiba menghentikan rencana ini!” Suara serak seorang pria bertopi hitam memecah udara di ruang kecil itu. Matanya membelalak penuh amarah, tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya terlihat menonjol.“Kamu yang membujuk kami untuk melakukan ini, Jovian!” timpal seorang wanita paruh baya, wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar,

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   107. Kisah Jovian - Janji

    Kegelapan mengepung Jovian.Sejauh apa pun pria itu melangkah, hanya ada bayang-bayang hitam pekat yang mengikuti. Tak ada arah. Tak ada ujung. Hanya ketiadaan yang menyesakkan.Maniknya bergerak panik, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa membantunya keluar dari kehampaan ini.Hingga akhirnya ia menangkap seberkas cahaya redup di kejauhan. Seperti lilin kecil yang berusaha bertahan di tengah badai. Dengan napas terengah, Jovian tertatih menghampirinya. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya.Terkesiap, ia menoleh. Di sana, sosok sang ayah, Haris, duduk bersimpuh di atas tanah yang retak dan kering. Jemari kurus pria itu mencengkeram celana Jovian dengan erat, seperti seseorang yang tengah tenggelam memohon pertolongan. Mata lelaki itu sayu, tapi penuh dengan harapan yang menyakitk

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   106. Kisah Jovian - Bencana

    “Sial!”Jovian menggebrak meja kayu di depannya, membuat tumpukan kertas serta kotak alat tulis di atasnya bergetar, nyaris terjatuh. Napasnya memburu, dada naik turun seolah tak mampu menahan luapan emosi yang bergolak di dalam diri. Pikirannya terus berputar, mengutuk dirinya sendiri.Rencananya sederhana—atau setidaknya itulah yang ia pikirkan. Ia hanya akan memantau gerak-gerik Ambar dari kejauhan. Lalu, ketika wanita itu bertindak ceroboh dan mencoba mencelakai Lilis, Jovian akan muncul sebagai penyelamat. Semudah itu, seperti pahlawan dalam cerita.Ia ingin membuat Bram, pewaris Hartanto Global Venture, berhutang budi padanya. ‘Dan pada waktunya,’ pikir Jovian, ‘Bram dan juga Adi akan membayar harga yang lebih mahal daripada sekadar penolakan mereka terhadap ayahku.’

DMCA.com Protection Status