Share

3. Dokter Baru

Penulis: Ayria
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-27 15:44:42

Raina bangkit perlahan dari tempat tidur, meraih kaus Jovian yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya. Kaus itu terasa hangat dan nyaman di kulitnya, membawa aroma tubuh suaminya yang menenangkan.

Seraya memijat pundak yang terasa pegal, dia berjalan menuju arah suara. Badannya masih terasa lelah setelah hampir semalaman dijamah oleh Jovian. Meski demikian, ia menikmati setiap momen keintiman mereka. Senyum kecil terulas di bibirnya.

"... proyek pembangunan..." suara Jovian terdengar semakin jelas saat wanita itu mendekati pintu balkon, "lupakan saja. Biar saya sendiri yang urus."

"Mas?" panggil Raina lembut.

Bukan maksudnya untuk mengendap-endap, namun dia tak menyangka Jovian akan tersentak kaget hingga gawai di tangan hampir jatuh. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya pria itu menoleh, senyum tipis terlukis di wajahnya.

Melihat sang suami tertatih-tatih, Raina segera melangkah maju, meraih lengan Jovian untuk memapahnya. "Kebangun?" tanya Jovian dengan nada lembut, seraya merangkul pinggang istrinya.

Raina hanya mengangguk sebagai jawaban, matanya menatap ponsel sang suami penuh tanya. "Telepon dari siapa, Mas?"

"Oh, itu, dari teman. Dia minta saran soal kerjaan," balas Jovian, santai. Meski begitu ada kilatan gugup di mata pria itu yang tidak luput dari penglihatan Raina.

Sang wanita menaikkan alis. "Tengah malam begini?" sindirnya, bibirnya sedikit mengerucut.

Jovian tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Raina. "Deadline-nya mepet, jadi harus dieksekusi secepatnya. Kamu tahu kan, wartawan cari berita itu berpacu dengan waktu. Kalau terlambat nanti keburu basi," ujarnya seraya menarik sang istri agar ikut rebahan di kasur.

"Tidur lagi yuk, masih malam," lanjutnya, menggeser selimut ke atas tubuh mereka dan memeluk Raina erat. Tanpa memberi kesempatan bagi istrinya untuk bertanya lebih jauh, Jovian menutup mata.

Raina tidak punya pilihan lain selain mengikuti, meski pikirannya masih terus memikirkan panggilan telepon itu. Dia merebahkan kepalanya pada lengan kekar Jovian, mencari kehangatan dan kenyamanan. Dalam beberapa menit, kantuk mulai menjemput kembali.

Ketika Raina membuka mata untuk kedua kalinya, sinar mentari sudah menerobos masuk melalui celah-celah gorden. Dia mengedip-ngedipkan mata, lalu melihat Jovian sudah berdiri rapi mengenakan kemeja.

"Lho, kok rapi? Mau ke mana, Mas?" tanyanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.

Jovian menoleh dan tersenyum. "Aku dapat rekomendasi dokter baru dari teman semalam. Mau coba konsultasi," jawabnya.

Raina merasakan jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Ia tahu betapa sulitnya bagi Jovian untuk tetap optimis setelah begitu banyak upaya penyembuhan yang gagal. "Aku temenin ya?" tawarnya.

"Lho, kerjaan kamu gimana?" tanya sang suami.

"Sebentar, sebelum ke kantor. Rapatku hari ini juga jam 2 kok," Raina buru-buru menjelaskan.

Akhirnya Jovian mengangguk. "Makasih ya, sayang," ucapnya, mengecup puncak kepala Raina dengan lembut.

Raina tersenyum tipis, meski di dalam hatinya ada rasa gugup yang menyelinap. Dia tidak ingin melihat suaminya kecewa lagi. Apalagi sampai menganggap dirinya sebagai beban bagi wanita itu.

Menggunakan mobil sang istri, mereka melaju menuju sebuah kawasan di pinggir kota setelah sarapan. Saat tiba, Raina mengedarkan pandangannya, melihat deretan gedung yang seperti pertokoan biasa.

"Mas, yakin di sini?" tanyanya, matanya menyipit menelisik sekeliling.

Jovian memeriksa ponselnya dan mengangguk. "Iya, bener kok. Ayo masuk."

Meski merasa ragu, Raina menahan diri untuk tidak berkomentar lebih lanjut. Dia mengikuti Jovian masuk ke dalam rumah sakit kecil. Di luar perkiraannya, bagian dalam gedung ternyata lebih bersih dan terawat daripada yang terlihat dari luar.

Mereka segera disambut oleh seorang petugas administrasi yang ramah, dan tak lama kemudian, diantar masuk ke ruang praktik.

"Selamat pagi," dokter itu menengadah setelah membaca data pasian di tangan, "pak Jovian Wirananta, ya?"

Jovian mengangguk, tersenyum sopan. "Iya, Dok."

"Jadi, bagaimana keluhannya?" tanya dokter itu, menatap Raina dan Jovian bergantian.

Sang istri segera mengambil alih. "Suami saya pernah kecelakaan, Dok, dan kakinya cedera. Sudah berulang kali kami mencoba terapi, tapi tidak ada hasil yang signifikan."

"Pak dokter?" panggil wanita itu lagi ketika pria paruh baya dihadapannya diam.

"Oh iya, maaf. Kasusnya sama seperti ponakan saya," dia berdeham sebelum melanjutkan perkataannya, "Saya akan melakukan beberapa pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan kondisi terkini."

Dokter itu menatap Jovian dengan tatapan yang sulit diartikan, seperti mengenali sesuatu yang lebih dari sekadar pasien biasa.

Aneh. Raina merasa janggal dengan tatapan itu.

Setelah serangkaian pemeriksaan singkat, mereka kembali duduk di depan meja dokter.

"Pak Jovian mengalami cedera saraf," jelas dokter itu sambil membaca hasil pemeriksaan dengan cermat. "Cedera ini biasanya sembuh dalam hitungan minggu atau bulan. Namun, karena ini sudah berlangsung hampir dua tahun, ada kemungkinan terjadi komplikasi."

Raina mengangguk pelan. "Dokter-dokter lain juga mengatakan ada komplikasi, tapi tidak ada yang bisa memberikan solusi pasti," ujarnya.

Pria paruh baya itu menatapnya dengan tenang, lalu berkata, "Kita bisa mulai dengan fisioterapi lagi, Bu. Mungkin terapi sebelumnya belum dilakukan dengan metode yang tepat."

"Fisioterapi? Lagi?" tanya Raina, suaranya nyaris pecah. "Kami sudah mencoba fisioterapi berkali-kali, Dok, dan tidak ada hasilnya."

Dokter itu menarik napas panjang, lalu menjawab dengan sabar, "Saya mengerti frustrasi Anda. Keponakan saya juga mengalami kasus yang sama dan ternyata fisioterapinya tidak dilakukan dengan benar sehingga menunda penyembuhan. Saya sarankan kita coba pendekatan yang lebih spesifik kali ini."

Raina membuka mulutnya, hendak membantah. Namun, Jovian di sampingnya mengangguk pelan dengan senyum di bibir. "Baik, Dok. Kami coba lagi," ucap wanita itu akhirnya.

Setelah keluar dari ruang praktik, sang istri berpikir sejenak. Dia ingin menyarankan mereka mencari dokter lain, mungkin rumah sakit yang lebih besar atau lebih terkenal. Akan tetapi, melihat suaminya tampak lebih bersemangat, ia mengurungkan niat.

Hari-hari berikutnya, Raina tidak bisa selalu menemani Jovian terapi karena pekerjaan di kantor. Setiap malam, mereka selalu berbincang mengenai perkembangan terapi. Pria itu tampaknya puas dengan kemajuan yang dirasa, meski masih membutuhkan tongkat untuk berjalan.

"Mas, masih di rumah sakit?" Raina bertanya sambil memasukkan berkas-berkas pekerjaan ke dalam tasnya. Rapatnya baru saja selesai, dan ia berencana menjemput Jovian.

Dari ujung telepon, terdengar suara ketukan tongkat kayu yang khas. "Iya, ini baru selesai," jawab Jovian, terdengar sedikit terengah.

Wanita itu mengangguk, meski tahu sang suami tak bisa melihat gerakannya. "Kebetulan aku tadi rapatnya di dekat rumah sakit. Tunggu sebentar ya, aku jemput."

"Oke, hati-hati nyetirnya," ucap sang suami sebelum menutup telepon.

Begitu sampai rumah sakit, Raina buru-buru turun dari mobil, langkahnya cepat, matanya sesekali melirik ke arah pintu keluar rumah sakit. Ketika ia mendekati bangunan, ia melihat sosok suaminya menghampiri dari kejauhan. Namun, ada yang berbeda. Sesuatu yang membuat Raina menghentikan langkahnya.

Jovian berjalan tanpa tongkatnya.

Wanita itu terpaku. Matanya membelalak, hatinya berdebar keras. Ia hampir tidak percaya dengan penglihatannya.

Ini … bukan mimpi kan?

Bab terkait

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   4. Kedatangan Aksa

    Jovian tersenyum penuh kemenangan. Namun langkah pria itu masih terlihat goyah. Semakin dekat, Raina bisa melihat peluh yang membasahi kening suaminya. Hanya beberapa langkah lagi menuju Raina, sang suami kehilangan keseimbangan dan limbung, jatuh berlutut ke tanah."Mas!" Raina berseru panik, cepat-cepat menghampiri. Tangannya meraih lengan suaminya, mencoba mengangkat tubuh Jovian yang tampak kelelahan.Pria itu tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Duh, malah jatoh. Malu-maluin aja," katanya dengan cengengesan, seolah berusaha menghapus rasa canggung.Manik Raina berkaca-kaca, suaranya tertahan di tenggorokan. "Ya Tuhan, Mas... ini luar biasa," bisiknya, lalu memeluk Jovian erat-erat. Hatinya berdebar kencang, dipenuhi perasaan campur aduk—bahagia, syukur, dan juga kekhawatiran.Dia menyembunyikan wajahnya di dada Jovian, menghidu aroma tubuh yang hangat dan akrab. Melihat suaminya berdiri dan berjalan tanpa tongkat adalah impian yang selalu ia pendam. Akhirnya, itu terwuju

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-27
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   5. Kejutan Di Pesta Pertunangan

    "Ya sadar diri aja. Suami kamu tuh pincang. Udah malu-maluin, nanti malah nyusahin orang. Dasar nggak guna." Cibiran Vanya masih terngiang di ingatan Raina ketika bertemu calon besan sang kakak beberapa hari lalu."Nak Jovian, tolong maklumi ya? Ini acara besar, takutnya kaki kamu semakin sakit." Kalimat yang dilontarkan sang kakek setelah omongan Vanya semakin membuat Raina kecewa.Awalnya, wanita itu masih enggan untuk pergi. Ia lebih memilih tinggal di rumah, dalam dekapan hangat Jovian, daripada harus berpura-pura tersenyum di pesta pertunangan kakak tirinya.Namun, suaminya, bersikukuh bahwa dia harus menghadiri acara keluarga yang penting itu. "Aku nggak mau nanti kamu dibilang adik kurang ajar, masa hajatan kakaknya nggak datang," kata Jovian sebelum sang istri pergi ke pesta.Raina menggigit bibir. "Kalau kenapa-napa, telepon ya, Mas. Pokoknya aku nggak bakal lama-lama di sana," ucapnya dengan nada khawatir.Jovian terkekeh pelan, mengusap pipi Raina dengan lembut. "Kamu yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-27
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   6. Kecurigaan

    "Mas, kamu kenal dari mana?" Raina berbisik dengan nada penuh tanya.Jovian hanya tersenyum, menjawab pelan, "Iya, pas dulu masih jadi jurnalis.""Jurnalis?" Investor yang mendengar percakapan itu ikut angkat alis, tampak heran.Jovian segera menimpali sebelum pria berjas biru tua itu sempat berbicara lebih jauh, "Aku pernah diminta bantu waktu wawancara beliau," ujarnya dengan nada santai.Pengusaha besar itu memandangi wajah Jovian sejenak, lalu tertawa kecil, meskipun terdengar sedikit canggung. "Oh iya, dulu Pak Jovian memang banyak membantu," katanya, berusaha mengalihkan perhatian.Raina menoleh ke arah suaminya, mencari jawaban di balik senyum tenang

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   7. Tawaran Gila

    Senyum Raina pudar saat mendapati pria yang menyapa bukanlah Jovian.Di hadapannya, berdiri Aksa dengan senyum tipis dan mata yang tampak sedikit berat. Dengan dagu, wanita itu menunjuk ke arah pintu ballroom yang tadi dilalui, "Mbak Vanya udah masuk lagi," ucapnya kepada calon kakak ipar.Aksa, mengenakan jas berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan rapi, hanya berdiri diam di tempatnya, seolah sengaja menghalangi jalan Raina. Segelas sampanye tergenggam di tangannya. "Aku emang nyari kamu kok," ucapnya tiba-tiba saat Raina mencoba melangkah pergi.Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati Raina. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Aksa, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. "Lepas," pintanya pelan, matanya melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   8. Cemburu

    Desahan kenikmatan lolos dari bibir Raina. Matanya mengerjap, berusaha fokus di tengah badai sensasi yang menggelora. "Aku hanya milikmu, Mas," bisiknya lembut, suaranya bergetar dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Sentuhan Jovian tak berhenti sampai di situ. Bibirnya yang panas mulai menelusuri setiap inci kulit Raina, meninggalkan jejak-jejak keinginannya. Seolah setiap ciuman adalah janji yang ingin ditegaskan, setiap sentuhan adalah klaim atas apa yang memang menjadi miliknya. Raina hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya bergetar di bawah kuasa sang suami.Desakan hasrat yang tertahan mulai membakar dada ketika Jovian dengan sengaja menghindari titik-titik sensitif di tubuh sang wanita. "Mas," rengeknya, jemarinya yang gemetar menyelinap di antara surai kastanye suaminya, menariknya pelan, memohon lebih.Jovian terkekeh, getaran tawanya menggelitik kulit Raina. Manik mata madunya yang kini tampak lebih gelap beradu pandang dengan netra sang istri, dipenuhi gelo

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   9. Masalah

    Sang sepuh mengangkat bahu dengan sikap acuh. "Itu sebenarnya hasil investigasi sebelum kalian menikah. Kamu pikir Kakek bakal biarin seorang Hartanto menikah begitu saja dengan sembarang orang?"Raina mendengus kesal. "Terus kenapa Kakek ngebiarin aku nikah sama Mas Jovian?" tanyanya tajam, merasa ada sesuatu yang disembunyikan.Kakek tersenyum tipis, sedikit menyeringai. "Karena Jovian sudah berjanji sama Kakek. Dia akan hidup dalam diam, tidak membuat nama baik Hartanto tercoreng," jelasnya tenang.Raina tertegun. "Kenapa sekarang kakek minta aku cerai dari Mas Jovian? Kan Mas Jovian udah nurutin permintaan Kakek." Dia merasa marah, tetapi juga bingung dengan maksud Kakeknya."Kakek tahu kamu selama ini berusaha

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   10. Kebocoran

    Vanya mendesis, wajahnya penuh kemarahan. "Ngapain kamu ke sini? Kamu pikir kamu bisa kembali dan ngambil alih proyek ini?" sergahnya tajam.Raina menatap kakaknya dengan tatapan dingin. "Aku hanya melakukan tugas yang diberikan Kakek, sama seperti Mbak," jawabnya tanpa gentar.Vanya mendengus, jelas tidak puas dengan jawaban adiknya. "Jangan berpikir aku nggak tahu apa yang kamu rencanakan, Raina. Kamu cuma mau mencuri perhatian Kakek, biar kamu bisa kembali memimpin proyek, kan?" ujarnya dengan nada meremehkan.Raina menghela napas, mencoba meredam emosinya. "Tidak semua orang seambisius kamu, Mbak. Aku hanya ingin proyek ini berhasil," balasnya dengan nada tenang. "Udahlah, Mbak. Yang penting sekarang kita bisa menyelesaikan masalah yang ada. Jadi, apa masalahnya?" desakn

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18
  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   11. Ganjil

    "Mas Jovian? Kok bisa di sini?" seru Raina, setengah berlari menghampiri suaminya.Jovian hanya tersenyum samar, matanya berbinar meski tampak lelah. "Kan kamu bilang ada masalah di site, ini aku bawa pompa yang dibutuhkan," jawabnya singkat, seolah hal itu adalah hal paling biasa di dunia. Dengan datangnya pompa air yang ditunggu-tunggu, kebocoran di lokasi konstruksi akhirnya bisa segera diatasi. Pompa besar itu mulai mengisap air yang meluap, mengeringkan genangan dengan cepat.Para pekerja bergegas mengatur peralatan, memindahkan material yang terendam air, dan menghitung ulang kerugian yang mungkin terjadi. Meski banyak material yang tak lagi bisa digunakan, ada perasaan lega di antara mereka karena situasi yang tampak suram ini mulai terkendali.Raina berdiri di dekat suaminya, mengamati para pekerja yang tampak sibuk. "Mas, kok bisa dapatin pompa airnya? Mbak Vanya aja sampai kewalahan," selidiknya, masih sedikit bingung.Jovian tersenyum tipis, wajahnya tenang seperti biasa

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-18

Bab terbaru

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   106. Kisah Jovian - Bencana

    “Sial!”Jovian menggebrak meja kayu di depannya, membuat tumpukan kertas serta kotak alat tulis di atasnya bergetar, nyaris terjatuh. Napasnya memburu, dada naik turun seolah tak mampu menahan luapan emosi yang bergolak di dalam diri. Pikirannya terus berputar, mengutuk dirinya sendiri.Rencananya sederhana—atau setidaknya itulah yang ia pikirkan. Ia hanya akan memantau gerak-gerik Ambar dari kejauhan. Lalu, ketika wanita itu bertindak ceroboh dan mencoba mencelakai Lilis, Jovian akan muncul sebagai penyelamat. Semudah itu, seperti pahlawan dalam cerita.Ia ingin membuat Bram, pewaris Hartanto Global Venture, berhutang budi padanya. ‘Dan pada waktunya,’ pikir Jovian, ‘Bram dan juga Adi akan membayar harga yang lebih mahal daripada sekadar penolakan mereka terhadap ayahku.’

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   105. Kisah Jovian - Sesuai Rencana

    Hujan deras mengguyur kota malam itu, membawa bau tanah basah yang samar menyusup ke dalam hidung Jovian. Dia berdiri di tepi jembatan tua, memandangi sungai yang mengalir deras di bawahnya.Tetesan air menetes dari ujung jaket hoodie-nya, jatuh ke aspal basah. Tangannya menggenggam erat ponsel kecil sekali pakai yang ia siapkan untuk mengerjakan misi rahasia.“Bahkan nggak ada satu minggu,” gumamnya sambil menyeringai.Deretan angka asing di layar gawai mulai berkedip—dering pertama, kedua, ketiga. Ia tahu siapa yang menghubungi. Jemarinya bergerak lambat, mengangkat panggilan.“Dari mana kamu mendapatkan informasi dalam amplop itu?” Suara seorang wanita terdengar dari seberang, tajam dan penuh emosi. Bahkan tanpa ucapan salam, nada Ambar sudah cukup untuk membuat sang pria puas.

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   104. Kisah Jovian - Keluarga ‘Lain’

    Kendaraan yang diikuti akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang terlihat sederhana. Jovian segera memperlambat laju motornya, mematikan mesin tanpa suara. Ia menghentikan kendaraannya di sudut yang gelap, cukup jauh agar tak mencurigakan, namun masih dapat melihat dengan jelas.“Jemput saya dua hari lagi. Saya tidak ingin diganggu saat ada di sini.”Samar-samar pria muda itu mendengar arahan Bram pada supirnya, di sela gemerisik angin yang membawa aroma embun malam. Suara itu terdengar lebih lembut dibanding di ruang naratetama tadi, seperti seseorang yang mendadak meninggalkan semua atribut kekuasaan setelah sampai di rumah. Lalu pria paruh baya itu membuka gerbang besi bercelah dengan hati-hati, seolah takut mengganggu keheningan malam yang pekat.Sang pria muda memperhatikan dengan seksama. Rumah itu berbeda dari bayangan masa lalu yang terekam kuat di

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   103. Kisah Jovian - Jangan Bicara Sembarangan

    Ditengah-tengah percakapan Jovian menaruh minuman limun milik Bram di atas meja lalu kembali ke tempatnya di balik bar kecil ruang naratetama.Manik Bram mendelik., menatap sang kawan dengan tajam. “Jangan berbicara sembarangan. Tentu saja Tama anakku. Apa kamu tidak lihat matanya yang sangat mirip dengan milikku!” geramnya.Gelak tawa Krisna memenuhi ruangan. “Santai saja, aku cuma bercanda. Semua orang tahu betapa Ambar terobsesi menunjukkan keharmonisan keluarganya. Mana mungkin dia berselingkuh.”Jovian, yang kembali menyajikan limun untuk Bram, menangkap ketegangan di wajah pria itu. Sebuah ekspresi yang sangat kecil, hampir tak terlihat, namun cukup untuk menandakan ada sesuatu yang salah. Dia menaruh gelas di meja dengan gerakan tenang, lalu kembali ke tempatnya di balik bar.Pria muda itu kini semakin lihai menyembunyikan emosi. Dia be

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   102. Kisah Jovian - Tamu Naratetama

    “Ayolah, Bram, kaku sekali kamu.” Seorang pria paruh baya berpostur besar merangkul temannya, menariknya dengan santai menuju ruang naratetama. Wajahnya penuh senyum lebar yang menyiratkan keakraban.“Sudah kubilang, aku tidak nyaman di tempat seperti ini,” sahut Bram, pria berkacamata yang berjalan ragu di sebelahnya. Ada garis-garis ketegangan di wajahnya, kontras dengan cara santai kawannya.“Terlalu banyak aturan hidupmu itu,” jawab si pria berjas abu-abu dengan nada bercanda, menepuk bahu Bram. “Kita hanya akan membahas bisnis, kok.”Nama ‘Bram’ itu bergaung di telinga Jovian. Familiar. Namun pemuda itu tetap memasang senyum tipis di wajah, menyambut mereka dengan sopan. “Selamat malam, Pak Krisna, Pak Bram. Selamat datang,” sapanya sambil sedikit membungkuk.

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   101. Kisah Jovian - Tekad

    Pria bercincin itu tiba-tiba mendekatkan tubuhnya ke arah pria mata keranjang, senyumnya samar tapi penuh misteri. “Aku dengar mereka pernah menjebak satu perusahaan dalam kasus korupsi besar-besaran,” katanya, suaranya kini lebih rendah, hampir seperti bisikan.Jovian, yang tengah sibuk memindahkan potongan keju dan daging ke atas piring, menegang tanpa terlihat. Tangannya tetap cekatan, tapi ia memastikan piring itu tidak gemetar saat diletakkan di meja. Wajahnya datar, persis seperti topeng yang selama ini ia kuasai. Meski begitu, telinganya tak melewatkan satu kata pun dari percakapan mereka.“Perusahaan yang dijebak itu…” Pria bercincin sengaja membuat jeda panjang, seakan menunggu perhatian sepenuhnya dari lawan bicaranya. Jemarinya memainkan cerutu sebelum ia melanjutkan. “Kabarnya mereka sampai bangkrut. Bahkan pemilik

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   100. Kisah Jovian - Kesempatan Baru

    “Anak muda…” Sebuah tepukan tiba-tiba mendarat di pundaknya.Jovian menoleh cepat, mendapati pria tambun dengan jas mahal yang tadi memintanya melayani tamu naratetama. Senyum pria itu masih sama, hangat tapi sarat intrik, seperti seorang penjudi yang baru saja memenangkan taruhan besar.“Kamu sudah mendengar banyak hal malam ini,” ujarnya pelan, hampir seperti bisikan. Sorot matanya menelusuri wajah Jovian, mencari jawaban di balik ekspresi tenangnya.Tubuh Jovian seolah membeku. Pernyataan itu menggantung di udara, seperti perangkap tak kasatmata yang siap menjeratnya.Tamu itu kembali terkekeh, suara tawanya serak dan sedikit berat. Sudah berjam-jam Jovian mendengar tawa itu, namun kali ini, ada sesuatu yang membuatnya semakin tak nyaman. Si pria muda menahan dorongan untuk bergeser menjauh.

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   99. Kisah Jovian - Bantuan Kecil

    Setelah semakin luwes menghadapi tamu-tamu yang mabuk dan keras kepala, Jovian akhirnya dipercaya untuk menangani ruang naratetama. Ruang di mana para tamu penting mengadakan pertemuan mereka, berbicara bisnis di balik denting gelas kristal dan aroma alkohol mahal.“Jo, lo dipanggil ke ruang VVIP 1,” ujar salah seorang senior Jovian.“Oke, Bang,” balas Jovian sambil menepuk apron hitam yang melingkar di pinggangnya. Usianya baru menginjak dua puluh tahun, namun ia telah belajar banyak dari pekerjaannya. Pekerjaan ini—meski keras—membuka pintu harapan yang sedikit terang di tengah hidupnya yang penuh perjuangan.Dengan langkah ringan, Jovian menyusuri lorong remang-remang yang mengarah ke ruang naratetama. Udara di sana sedikit berbeda, terasa lebih dingin karena aliran AC yang bekerja ekstra keras. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi tembakau menggantung di udara, memberikan kesan eksklusif yang hanya ada di sudut-sudut tertentu tempat hiburan malam itu.Pikirannya melayang sesa

  • Identitas Tersembunyi Suami Cacat   98. Kisah Jovian - Bertahan

    Ternyata pekerjaan yang dimaksud oleh sang senior adalah pelayan di sebuah bar ternama di kota. Suasana bar itu sangat berbeda dari kafe tempatnya bekerja. Di sini, musik berdentum kencang, lampu-lampu remang-remang menghiasi ruangan dengan warna-warni yang menari di dinding, dan aroma alkohol yang tajam menyelimuti udara.Tugas Jovian sebenarnya mirip dengan pekerjaannya di kafe—menyajikan minuman, membersihkan meja, dan memastikan pelanggan merasa nyaman. Tapi, di bar ini, ia harus menghadapi tamu-tamu mabuk yang kadang bertingkah di luar kendali.Seperti suatu malam, saat ia sedang mengelap meja, terdengar suara ribut di sudut ruangan. Dua pria paruh baya terlibat adu mulut, wajah mereka merah padam. Sebelum situasi makin panas, Jovian segera menghampiri mereka, mencoba menenangkan.“Tuan, tolong jangan bertengkar di sini,” ucapnya hati-hati, menjaga

DMCA.com Protection Status