Raina bangkit perlahan dari tempat tidur, meraih kaus Jovian yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya. Kaus itu terasa hangat dan nyaman di kulitnya, membawa aroma tubuh suaminya yang menenangkan.
Seraya memijat pundak yang terasa pegal, dia berjalan menuju arah suara. Badannya masih terasa lelah setelah hampir semalaman dijamah oleh Jovian. Meski demikian, ia menikmati setiap momen keintiman mereka. Senyum kecil terulas di bibirnya.
"... proyek pembangunan..." suara Jovian terdengar semakin jelas saat wanita itu mendekati pintu balkon, "lupakan saja. Biar saya sendiri yang urus."
"Mas?" panggil Raina lembut.
Bukan maksudnya untuk mengendap-endap, namun dia tak menyangka Jovian akan tersentak kaget hingga gawai di tangan hampir jatuh. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya pria itu menoleh, senyum tipis terlukis di wajahnya.
Melihat sang suami tertatih-tatih, Raina segera melangkah maju, meraih lengan Jovian untuk memapahnya. "Kebangun?" tanya Jovian dengan nada lembut, seraya merangkul pinggang istrinya.
Raina hanya mengangguk sebagai jawaban, matanya menatap ponsel sang suami penuh tanya. "Telepon dari siapa, Mas?"
"Oh, itu, dari teman. Dia minta saran soal kerjaan," balas Jovian, santai. Meski begitu ada kilatan gugup di mata pria itu yang tidak luput dari penglihatan Raina.
Sang wanita menaikkan alis. "Tengah malam begini?" sindirnya, bibirnya sedikit mengerucut.
Jovian tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Raina. "Deadline-nya mepet, jadi harus dieksekusi secepatnya. Kamu tahu kan, wartawan cari berita itu berpacu dengan waktu. Kalau terlambat nanti keburu basi," ujarnya seraya menarik sang istri agar ikut rebahan di kasur.
"Tidur lagi yuk, masih malam," lanjutnya, menggeser selimut ke atas tubuh mereka dan memeluk Raina erat. Tanpa memberi kesempatan bagi istrinya untuk bertanya lebih jauh, Jovian menutup mata.
Raina tidak punya pilihan lain selain mengikuti, meski pikirannya masih terus memikirkan panggilan telepon itu. Dia merebahkan kepalanya pada lengan kekar Jovian, mencari kehangatan dan kenyamanan. Dalam beberapa menit, kantuk mulai menjemput kembali.
Ketika Raina membuka mata untuk kedua kalinya, sinar mentari sudah menerobos masuk melalui celah-celah gorden. Dia mengedip-ngedipkan mata, lalu melihat Jovian sudah berdiri rapi mengenakan kemeja.
"Lho, kok rapi? Mau ke mana, Mas?" tanyanya, suaranya masih serak karena baru bangun tidur.
Jovian menoleh dan tersenyum. "Aku dapat rekomendasi dokter baru dari teman semalam. Mau coba konsultasi," jawabnya.
Raina merasakan jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Ia tahu betapa sulitnya bagi Jovian untuk tetap optimis setelah begitu banyak upaya penyembuhan yang gagal. "Aku temenin ya?" tawarnya.
"Lho, kerjaan kamu gimana?" tanya sang suami.
"Sebentar, sebelum ke kantor. Rapatku hari ini juga jam 2 kok," Raina buru-buru menjelaskan.
Akhirnya Jovian mengangguk. "Makasih ya, sayang," ucapnya, mengecup puncak kepala Raina dengan lembut.
Raina tersenyum tipis, meski di dalam hatinya ada rasa gugup yang menyelinap. Dia tidak ingin melihat suaminya kecewa lagi. Apalagi sampai menganggap dirinya sebagai beban bagi wanita itu.
Menggunakan mobil sang istri, mereka melaju menuju sebuah kawasan di pinggir kota setelah sarapan. Saat tiba, Raina mengedarkan pandangannya, melihat deretan gedung yang seperti pertokoan biasa.
"Mas, yakin di sini?" tanyanya, matanya menyipit menelisik sekeliling.
Jovian memeriksa ponselnya dan mengangguk. "Iya, bener kok. Ayo masuk."
Meski merasa ragu, Raina menahan diri untuk tidak berkomentar lebih lanjut. Dia mengikuti Jovian masuk ke dalam rumah sakit kecil. Di luar perkiraannya, bagian dalam gedung ternyata lebih bersih dan terawat daripada yang terlihat dari luar.
Mereka segera disambut oleh seorang petugas administrasi yang ramah, dan tak lama kemudian, diantar masuk ke ruang praktik.
"Selamat pagi," dokter itu menengadah setelah membaca data pasian di tangan, "pak Jovian Wirananta, ya?"
Jovian mengangguk, tersenyum sopan. "Iya, Dok."
"Jadi, bagaimana keluhannya?" tanya dokter itu, menatap Raina dan Jovian bergantian.
Sang istri segera mengambil alih. "Suami saya pernah kecelakaan, Dok, dan kakinya cedera. Sudah berulang kali kami mencoba terapi, tapi tidak ada hasil yang signifikan."
"Pak dokter?" panggil wanita itu lagi ketika pria paruh baya dihadapannya diam.
"Oh iya, maaf. Kasusnya sama seperti ponakan saya," dia berdeham sebelum melanjutkan perkataannya, "Saya akan melakukan beberapa pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan kondisi terkini."
Dokter itu menatap Jovian dengan tatapan yang sulit diartikan, seperti mengenali sesuatu yang lebih dari sekadar pasien biasa.
Aneh. Raina merasa janggal dengan tatapan itu.
Setelah serangkaian pemeriksaan singkat, mereka kembali duduk di depan meja dokter.
"Pak Jovian mengalami cedera saraf," jelas dokter itu sambil membaca hasil pemeriksaan dengan cermat. "Cedera ini biasanya sembuh dalam hitungan minggu atau bulan. Namun, karena ini sudah berlangsung hampir dua tahun, ada kemungkinan terjadi komplikasi."
Raina mengangguk pelan. "Dokter-dokter lain juga mengatakan ada komplikasi, tapi tidak ada yang bisa memberikan solusi pasti," ujarnya.
Pria paruh baya itu menatapnya dengan tenang, lalu berkata, "Kita bisa mulai dengan fisioterapi lagi, Bu. Mungkin terapi sebelumnya belum dilakukan dengan metode yang tepat."
"Fisioterapi? Lagi?" tanya Raina, suaranya nyaris pecah. "Kami sudah mencoba fisioterapi berkali-kali, Dok, dan tidak ada hasilnya."
Dokter itu menarik napas panjang, lalu menjawab dengan sabar, "Saya mengerti frustrasi Anda. Keponakan saya juga mengalami kasus yang sama dan ternyata fisioterapinya tidak dilakukan dengan benar sehingga menunda penyembuhan. Saya sarankan kita coba pendekatan yang lebih spesifik kali ini."
Raina membuka mulutnya, hendak membantah. Namun, Jovian di sampingnya mengangguk pelan dengan senyum di bibir. "Baik, Dok. Kami coba lagi," ucap wanita itu akhirnya.
Setelah keluar dari ruang praktik, sang istri berpikir sejenak. Dia ingin menyarankan mereka mencari dokter lain, mungkin rumah sakit yang lebih besar atau lebih terkenal. Akan tetapi, melihat suaminya tampak lebih bersemangat, ia mengurungkan niat.
Hari-hari berikutnya, Raina tidak bisa selalu menemani Jovian terapi karena pekerjaan di kantor. Setiap malam, mereka selalu berbincang mengenai perkembangan terapi. Pria itu tampaknya puas dengan kemajuan yang dirasa, meski masih membutuhkan tongkat untuk berjalan.
"Mas, masih di rumah sakit?" Raina bertanya sambil memasukkan berkas-berkas pekerjaan ke dalam tasnya. Rapatnya baru saja selesai, dan ia berencana menjemput Jovian.
Dari ujung telepon, terdengar suara ketukan tongkat kayu yang khas. "Iya, ini baru selesai," jawab Jovian, terdengar sedikit terengah.
Wanita itu mengangguk, meski tahu sang suami tak bisa melihat gerakannya. "Kebetulan aku tadi rapatnya di dekat rumah sakit. Tunggu sebentar ya, aku jemput."
"Oke, hati-hati nyetirnya," ucap sang suami sebelum menutup telepon.
Begitu sampai rumah sakit, Raina buru-buru turun dari mobil, langkahnya cepat, matanya sesekali melirik ke arah pintu keluar rumah sakit. Ketika ia mendekati bangunan, ia melihat sosok suaminya menghampiri dari kejauhan. Namun, ada yang berbeda. Sesuatu yang membuat Raina menghentikan langkahnya.
Jovian berjalan tanpa tongkatnya.
Wanita itu terpaku. Matanya membelalak, hatinya berdebar keras. Ia hampir tidak percaya dengan penglihatannya.
Ini … bukan mimpi kan?
Jovian tersenyum penuh kemenangan. Namun langkah pria itu masih terlihat goyah. Semakin dekat, Raina bisa melihat peluh yang membasahi kening suaminya. Hanya beberapa langkah lagi menuju Raina, sang suami kehilangan keseimbangan dan limbung, jatuh berlutut ke tanah."Mas!" Raina berseru panik, cepat-cepat menghampiri. Tangannya meraih lengan suaminya, mencoba mengangkat tubuh Jovian yang tampak kelelahan.Pria itu tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Duh, malah jatoh. Malu-maluin aja," katanya dengan cengengesan, seolah berusaha menghapus rasa canggung.Manik Raina berkaca-kaca, suaranya tertahan di tenggorokan. "Ya Tuhan, Mas... ini luar biasa," bisiknya, lalu memeluk Jovian erat-erat. Hatinya berdebar kencang, dipenuhi perasaan campur aduk—bahagia, syukur, dan juga kekhawatiran.Dia menyembunyikan wajahnya di dada Jovian, menghidu aroma tubuh yang hangat dan akrab. Melihat suaminya berdiri dan berjalan tanpa tongkat adalah impian yang selalu ia pendam. Akhirnya, itu terwuju
"Ya sadar diri aja. Suami kamu tuh pincang. Udah malu-maluin, nanti malah nyusahin orang. Dasar nggak guna." Cibiran Vanya masih terngiang di ingatan Raina ketika bertemu calon besan sang kakak beberapa hari lalu."Nak Jovian, tolong maklumi ya? Ini acara besar, takutnya kaki kamu semakin sakit." Kalimat yang dilontarkan sang kakek setelah omongan Vanya semakin membuat Raina kecewa.Awalnya, wanita itu masih enggan untuk pergi. Ia lebih memilih tinggal di rumah, dalam dekapan hangat Jovian, daripada harus berpura-pura tersenyum di pesta pertunangan kakak tirinya.Namun, suaminya, bersikukuh bahwa dia harus menghadiri acara keluarga yang penting itu. "Aku nggak mau nanti kamu dibilang adik kurang ajar, masa hajatan kakaknya nggak datang," kata Jovian sebelum sang istri pergi ke pesta.Raina menggigit bibir. "Kalau kenapa-napa, telepon ya, Mas. Pokoknya aku nggak bakal lama-lama di sana," ucapnya dengan nada khawatir.Jovian terkekeh pelan, mengusap pipi Raina dengan lembut. "Kamu yang
"Mas, kamu kenal dari mana?" Raina berbisik dengan nada penuh tanya.Jovian hanya tersenyum, menjawab pelan, "Iya, pas dulu masih jadi jurnalis.""Jurnalis?" Investor yang mendengar percakapan itu ikut angkat alis, tampak heran.Jovian segera menimpali sebelum pria berjas biru tua itu sempat berbicara lebih jauh, "Aku pernah diminta bantu waktu wawancara beliau," ujarnya dengan nada santai.Pengusaha besar itu memandangi wajah Jovian sejenak, lalu tertawa kecil, meskipun terdengar sedikit canggung. "Oh iya, dulu Pak Jovian memang banyak membantu," katanya, berusaha mengalihkan perhatian.Raina menoleh ke arah suaminya, mencari jawaban di balik senyum tenang
Senyum Raina pudar saat mendapati pria yang menyapa bukanlah Jovian.Di hadapannya, berdiri Aksa dengan senyum tipis dan mata yang tampak sedikit berat. Dengan dagu, wanita itu menunjuk ke arah pintu ballroom yang tadi dilalui, "Mbak Vanya udah masuk lagi," ucapnya kepada calon kakak ipar.Aksa, mengenakan jas berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan rapi, hanya berdiri diam di tempatnya, seolah sengaja menghalangi jalan Raina. Segelas sampanye tergenggam di tangannya. "Aku emang nyari kamu kok," ucapnya tiba-tiba saat Raina mencoba melangkah pergi.Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati Raina. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Aksa, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. "Lepas," pintanya pelan, matanya melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang
Desahan kenikmatan lolos dari bibir Raina. Matanya mengerjap, berusaha fokus di tengah badai sensasi yang menggelora. "Aku hanya milikmu, Mas," bisiknya lembut, suaranya bergetar dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Sentuhan Jovian tak berhenti sampai di situ. Bibirnya yang panas mulai menelusuri setiap inci kulit Raina, meninggalkan jejak-jejak keinginannya. Seolah setiap ciuman adalah janji yang ingin ditegaskan, setiap sentuhan adalah klaim atas apa yang memang menjadi miliknya. Raina hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya bergetar di bawah kuasa sang suami.Desakan hasrat yang tertahan mulai membakar dada ketika Jovian dengan sengaja menghindari titik-titik sensitif di tubuh sang wanita. "Mas," rengeknya, jemarinya yang gemetar menyelinap di antara surai kastanye suaminya, menariknya pelan, memohon lebih.Jovian terkekeh, getaran tawanya menggelitik kulit Raina. Manik mata madunya yang kini tampak lebih gelap beradu pandang dengan netra sang istri, dipenuhi gelo
"Cih, si pincang ngapain di sini?"Baru memasuki ruang privat pada restoran, Raina dan Jovian sudah disuguhi hinaan. Netra sang istri melotot menatap kakak tiri.Sementara pria di samping menepuk pundaknya pelan, seolah menenangkan. "Selamat malam semuanya. Maaf terlambat. Jalan ke sini agak lama, banyak tangga," ucapnya ramah."Makanya, orang cacat tuh harusnya diem aja di rumah, nggak usah ikut-ikutan kemari," ejek Vanya yang lalu cekikikan dengan sang ibu. Saudari tiri Raina itu memang tidak akan melewatkan kesempatan untuk merendahkan Jovian.Belum sempat Raina membalas nyinyiran si nenek lampir, Jovian sudah meraih tangan sang istri dan membelainya lembut. Pria berusia 33 tahun itu menggeleng pelan, mengisyaratkan pada Raina agar tidak terpancing.Dengan muka masam, wanita itu duduk pada bangku kosong. Kalau bukan karena permintaan Jovian untuk ikut makan malam keluarga, mungkin Raina lebih memilih istirahat di rumah.Kakek berdeham pelan hingga semua perhatian tertuju padanya. "
Walaupun bekerja di perusahaan keluarga, Raina Asmarani Hartanto meniti karir dari bawah. Setelah berjuang membuktikan diri selama tiga tahun, akhirnya sang Kakek memberikan kepercayaan padanya untuk memimpin proyek besar. Dia tidak mungkin mengacaukan kesempatan emas itu. Beberapa detik sang wanita terdiam di depan pintu cendana sebelum akhirnya melangkah masuk. "Selamat pagi, Kakek mencari saya?" sapa Raina mencoba terdengar tenang, meski sempat terkejut melihat kakak tirinya juga berada di ruangan. Firasat buruk tiba-tiba mengusik hati wanita itu.Pria sepuh itu menoleh, tersenyum tipis. "Duduklah." Menurut, Raina memilih duduk di sofa sebelah kiri, tepat berhadapan dengan Vanya.Selang beberapa saat, sekretaris kakek masuk membawa cangkir teh untuk Raina. Tapi ia mengabaikannya, tak punya selera untuk beramah-tamah, terutama jika harus berlama-lama satu ruangan dengan Vanya. Kakek berdeham pelan, "Gimana perkembangan proyek Sakala Nusa?" Yang dibalas dengan anggukan penuh an