Walaupun bekerja di perusahaan keluarga, Raina Asmarani Hartanto meniti karir dari bawah. Setelah berjuang membuktikan diri selama tiga tahun, akhirnya sang Kakek memberikan kepercayaan padanya untuk memimpin proyek besar. Dia tidak mungkin mengacaukan kesempatan emas itu.
Beberapa detik sang wanita terdiam di depan pintu cendana sebelum akhirnya melangkah masuk. "Selamat pagi, Kakek mencari saya?" sapa Raina mencoba terdengar tenang, meski sempat terkejut melihat kakak tirinya juga berada di ruangan. Firasat buruk tiba-tiba mengusik hati wanita itu.
Pria sepuh itu menoleh, tersenyum tipis. "Duduklah."
Menurut, Raina memilih duduk di sofa sebelah kiri, tepat berhadapan dengan Vanya.
Selang beberapa saat, sekretaris kakek masuk membawa cangkir teh untuk Raina. Tapi ia mengabaikannya, tak punya selera untuk beramah-tamah, terutama jika harus berlama-lama satu ruangan dengan Vanya.
Kakek berdeham pelan, "Gimana perkembangan proyek Sakala Nusa?"
Yang dibalas dengan anggukan penuh antusias oleh Raina, "Lancar, Kek. Bulan depan udah bisa mulai konstruksi, sesuai rencana."
"Ray," pria paling tua di ruangan diam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya, "Kakek pikir lebih baik proyek ini dipegang Vanya."
Raina nyaris tersedak mendengar keputusan itu. Untung saja ia tidak sempat menyeruput teh. Ia menarik napas dalam, meredam gejolak emosinya. "Kenapa Kakek berpikir begitu?" tanyanya, menahan diri untuk tidak meninggikan suara.
"Diraja punya perusahaan properti, kalau Vanya yang memegang proyek ini, rencana bisa lebih lancar, terutama dengan dukungan langsung dari Aksa," tutur pria sepuh itu.
Raina menelan kekecewaannya. Dia memang sudah mengantisipasi campur tangan Vanya dalam proyek ini, tapi dia berharap kakek akan bersikap adil. Ternyata, kesempatannya direbut begitu saja.
Berbanding terbalik dengan mendung pada raut wajah Raina, si kakak sedari tadi menikmati teh dengan senyum penuh kemenangan. "Yah, siapa suruh kamu menikah sama suami yang nggak bisa ngasih apapun buat keluarga," sindir Vanya.
"Ini nggak ada hubungannya sama Mas Jovian," sergah Raina, rahangnya terkatup rapat sementara kepalan tangan mengerat.
Namun Kakek justru mengangguk setuju dengan Vanya. "Kakek juga sependapat." Sesaat, Kakek tampak berpikir sebelum berkata, "Kalau kamu mau cerai dengan Jovian dan menikah dengan lelaki pilihan Kakek, kamu bisa tetap memimpin proyek ini."
Wanita berambut ikal itu terhenyak. "Kakek!" serunya bersamaan dengan Vanya yang tak kalah kaget.
Kakek melanjutkan seolah usulannya adalah hal yang wajar, "Gimana? Mumpung kamu belum punya momongan."
"Kek, saya dan Mas Jovian menikah bukan main-main," jawabnya dengan suara bergetar.
Sesepuh itu mendengus. "Dari awal Kakek sama Papamu udah bilang, kalau kamu cuma kasihan karena dia pincang setelah menyelamatkanmu dari kecelakaan, kita bisa kasih dia uang. Ngapain juga harus menikah?"
"Saya bukan hanya kasihan, Kek," sanggah Raina, mencoba menahan amarahnya.
Kakek menggeleng, kecewa. "Dari kecil kamu itu penurut. Tapi kenapa sekarang kamu keras kepala begini?"
Embusan napas kasar terlepas dari bibir Raina. "Kalau tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, saya permisi," ucap sang wanita muda dengan nada dingin dan formal. Dia beranjak dan segera keluar ruangan sebelum mendengar perkataan lain yang manyakitkan.
Raina mampir sebentar ke ruangannya untuk menyampaikan mandat bahwa posisi ketua proyek dialihkan kepada Vanya. Lalu, dia langsung pamit, izin pulang lebih cepat.
Meski raut kecewa dan cemas jelas tergurat pada wajah rekan-rekan kerjanya, tidak ada yang menahan Raina. Mereka tahu persis bahwa wanita itulah yang paling frustrasi atas keputusan tersebut.
Sesampainya di rumah, dia menemui Jovian tengah menelpon di kamar. Tanpa berkata apa-apa, Raina langsung menubruk sang suami, memeluknya erat hingga mereka terjatuh ke kasur.
"Ada masalah di kantor?" Jovian bertanya dengan nada lembut, satu tangan membelai rambut hitam legam istrinya.
Masih enggan menjawab, Raina memilih mengusakkan hidungnya pada dada bidang sang suami. Rasa tenang yang biasa dia dapatkan dari aroma maskulin Jovian bercampur wangi vetiver kini tidak cukup. Sesak yang sejak tadi ia tahan tak bisa lagi dibendung. Air mata Raina mengalir, membasahi kaus yang dikenakan suaminya.
"Ray." Saat sang istri masih menunduk dan menolak untuk menatapnya, Jovian menangkup kedua pipi Raina. "Sayang, kenapa?" tanya pria itu lagi dengan nadan penuh kekhawatiran.
Selama ini, Raina selalu menahan diri untuk tidak menangis di depan Jovian. Namun kini, dalam dekapan hangat sang suami, Raina tak lagi mampu berpura-pura kuat.
Dengan suara bergetar, Raina akhirnya membiarkan perasaannya tumpah, "Kakek ngasih proyek Sakala Nusa ke Mbak Vanya."
"Kok bisa? Kan kamu yang ngerjain proyek itu dari awal." Jovian mencoba menenangkan dengan usapan lembut di punggung Raina.
"Katanya, Mas Aksa lebih bisa membantu, jadi lebih baik Mbak Vanya yang pegang proyek itu," Raina tersenyum pahit sebelum melanjutkan, "terus Kakek bilang aku harus cerai sama kamu, mumpung belum ada anak."
"Terus, kamu mau cerai?" tanya Jovian sambil menyelipkan beberapa helai rambut Raina ke belakang telinga.
Alih-alih menjawab, Raina menatap suaminya tajam, bibirnya mengerucut sejenak. Lalu, tanpa peringatan, dia menggigit pundak tegap Jovian.
"Aduh! Apa-apaan sih?" Jovian tertawa kecil, meski ada sedikit rasa sakit dalam suaranya.
"Kamu juga! Ngapain nanya yang nggak penting kayak gitu?!" Raina mengomel, namun dengan segera mengecup bekas gigitan itu, seakan ingin menghapus jejak marah yang tak sungguh-sungguh.
Jovian tersenyum lembut, lalu menunduk untuk mengecup sisa air mata di pipi Raina. "Aku cuma takut kamu nyesal menikah denganku," bisiknya.
Inilah mengapa Raina selalu berusaha menahan diri untuk tidak tampak rapuh di depan Jovian. Dia tak ingin suaminya merasa bersalah atau salah paham.
Raina menggeleng pelan, netranya beradu pandang dengan manik cokelat madu milik Jovian. "Yang aku sesalkan itu selama ini diam aja waktu mereka menghina kamu."
Dia membenamkan wajahnya kembali pada dada berotot milik suami. Membiarkan dirinya terbuai dalam sentuhan lembut jemari panjang Jovian, melupakan sejenak luka-luka yang ditorehkan keluarga. Hingga lelah membawa sejoli itu kembali pada peraduan.
Namun, tak lama kemudian, sayup-sayup percakapan mengusik telinga Raina, membangunkannya dari lelap.
"... Dokter... lebih cepat dari rencana."
Dengan mata masih terpejam, Raina menggeliat, merasakan dingin di sisinya. Dia meraba-raba tempat tidur di sebelahnya. Kosong.
Perlahan, dia membuka mata dan mengusap pelan kelopak matanya yang masih berat. Wanita itu mengulurkan tangan ke nakas di samping kasur, mencari gawainya. Setelah matanya beradaptasi dengan kegelapan, dia melihat jam pada layar ponsel. Pukul 02.14.
Dengan siapa Jovian mengobrol tengah malam begini?
Raina bangkit perlahan dari tempat tidur, meraih kaus Jovian yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya. Kaus itu terasa hangat dan nyaman di kulitnya, membawa aroma tubuh suaminya yang menenangkan.Seraya memijat pundak yang terasa pegal, dia berjalan menuju arah suara. Badannya masih terasa lelah setelah hampir semalaman dijamah oleh Jovian. Meski demikian, ia menikmati setiap momen keintiman mereka. Senyum kecil terulas di bibirnya."... proyek pembangunan..." suara Jovian terdengar semakin jelas saat wanita itu mendekati pintu balkon, "lupakan saja. Biar saya sendiri yang urus.""Mas?" panggil Raina lembut.Bukan maksudnya untuk mengendap-endap, namun dia tak menyangka Jovian akan tersentak kaget hingga gawai di tangan hampir jatuh. Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya pria itu menoleh, senyum tipis terlukis di wajahnya.Melihat sang suami tertatih-tatih, Raina segera melangkah maju, meraih lengan Jovian untuk memapahnya. "Kebangun?" tanya Jovian dengan nada lembut, seraya m
Jovian tersenyum penuh kemenangan. Namun langkah pria itu masih terlihat goyah. Semakin dekat, Raina bisa melihat peluh yang membasahi kening suaminya. Hanya beberapa langkah lagi menuju Raina, sang suami kehilangan keseimbangan dan limbung, jatuh berlutut ke tanah."Mas!" Raina berseru panik, cepat-cepat menghampiri. Tangannya meraih lengan suaminya, mencoba mengangkat tubuh Jovian yang tampak kelelahan.Pria itu tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Duh, malah jatoh. Malu-maluin aja," katanya dengan cengengesan, seolah berusaha menghapus rasa canggung.Manik Raina berkaca-kaca, suaranya tertahan di tenggorokan. "Ya Tuhan, Mas... ini luar biasa," bisiknya, lalu memeluk Jovian erat-erat. Hatinya berdebar kencang, dipenuhi perasaan campur aduk—bahagia, syukur, dan juga kekhawatiran.Dia menyembunyikan wajahnya di dada Jovian, menghidu aroma tubuh yang hangat dan akrab. Melihat suaminya berdiri dan berjalan tanpa tongkat adalah impian yang selalu ia pendam. Akhirnya, itu terwuju
"Ya sadar diri aja. Suami kamu tuh pincang. Udah malu-maluin, nanti malah nyusahin orang. Dasar nggak guna." Cibiran Vanya masih terngiang di ingatan Raina ketika bertemu calon besan sang kakak beberapa hari lalu."Nak Jovian, tolong maklumi ya? Ini acara besar, takutnya kaki kamu semakin sakit." Kalimat yang dilontarkan sang kakek setelah omongan Vanya semakin membuat Raina kecewa.Awalnya, wanita itu masih enggan untuk pergi. Ia lebih memilih tinggal di rumah, dalam dekapan hangat Jovian, daripada harus berpura-pura tersenyum di pesta pertunangan kakak tirinya.Namun, suaminya, bersikukuh bahwa dia harus menghadiri acara keluarga yang penting itu. "Aku nggak mau nanti kamu dibilang adik kurang ajar, masa hajatan kakaknya nggak datang," kata Jovian sebelum sang istri pergi ke pesta.Raina menggigit bibir. "Kalau kenapa-napa, telepon ya, Mas. Pokoknya aku nggak bakal lama-lama di sana," ucapnya dengan nada khawatir.Jovian terkekeh pelan, mengusap pipi Raina dengan lembut. "Kamu yang
"Mas, kamu kenal dari mana?" Raina berbisik dengan nada penuh tanya.Jovian hanya tersenyum, menjawab pelan, "Iya, pas dulu masih jadi jurnalis.""Jurnalis?" Investor yang mendengar percakapan itu ikut angkat alis, tampak heran.Jovian segera menimpali sebelum pria berjas biru tua itu sempat berbicara lebih jauh, "Aku pernah diminta bantu waktu wawancara beliau," ujarnya dengan nada santai.Pengusaha besar itu memandangi wajah Jovian sejenak, lalu tertawa kecil, meskipun terdengar sedikit canggung. "Oh iya, dulu Pak Jovian memang banyak membantu," katanya, berusaha mengalihkan perhatian.Raina menoleh ke arah suaminya, mencari jawaban di balik senyum tenang
Senyum Raina pudar saat mendapati pria yang menyapa bukanlah Jovian.Di hadapannya, berdiri Aksa dengan senyum tipis dan mata yang tampak sedikit berat. Dengan dagu, wanita itu menunjuk ke arah pintu ballroom yang tadi dilalui, "Mbak Vanya udah masuk lagi," ucapnya kepada calon kakak ipar.Aksa, mengenakan jas berwarna krem yang membalut tubuhnya dengan rapi, hanya berdiri diam di tempatnya, seolah sengaja menghalangi jalan Raina. Segelas sampanye tergenggam di tangannya. "Aku emang nyari kamu kok," ucapnya tiba-tiba saat Raina mencoba melangkah pergi.Perasaan tidak nyaman mulai merayap di hati Raina. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Aksa, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. "Lepas," pintanya pelan, matanya melirik ke sekeliling, berharap tidak ada yang
Desahan kenikmatan lolos dari bibir Raina. Matanya mengerjap, berusaha fokus di tengah badai sensasi yang menggelora. "Aku hanya milikmu, Mas," bisiknya lembut, suaranya bergetar dengan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Sentuhan Jovian tak berhenti sampai di situ. Bibirnya yang panas mulai menelusuri setiap inci kulit Raina, meninggalkan jejak-jejak keinginannya. Seolah setiap ciuman adalah janji yang ingin ditegaskan, setiap sentuhan adalah klaim atas apa yang memang menjadi miliknya. Raina hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya bergetar di bawah kuasa sang suami.Desakan hasrat yang tertahan mulai membakar dada ketika Jovian dengan sengaja menghindari titik-titik sensitif di tubuh sang wanita. "Mas," rengeknya, jemarinya yang gemetar menyelinap di antara surai kastanye suaminya, menariknya pelan, memohon lebih.Jovian terkekeh, getaran tawanya menggelitik kulit Raina. Manik mata madunya yang kini tampak lebih gelap beradu pandang dengan netra sang istri, dipenuhi gelo
"Cih, si pincang ngapain di sini?"Baru memasuki ruang privat pada restoran, Raina dan Jovian sudah disuguhi hinaan. Netra sang istri melotot menatap kakak tiri.Sementara pria di samping menepuk pundaknya pelan, seolah menenangkan. "Selamat malam semuanya. Maaf terlambat. Jalan ke sini agak lama, banyak tangga," ucapnya ramah."Makanya, orang cacat tuh harusnya diem aja di rumah, nggak usah ikut-ikutan kemari," ejek Vanya yang lalu cekikikan dengan sang ibu. Saudari tiri Raina itu memang tidak akan melewatkan kesempatan untuk merendahkan Jovian.Belum sempat Raina membalas nyinyiran si nenek lampir, Jovian sudah meraih tangan sang istri dan membelainya lembut. Pria berusia 33 tahun itu menggeleng pelan, mengisyaratkan pada Raina agar tidak terpancing.Dengan muka masam, wanita itu duduk pada bangku kosong. Kalau bukan karena permintaan Jovian untuk ikut makan malam keluarga, mungkin Raina lebih memilih istirahat di rumah.Kakek berdeham pelan hingga semua perhatian tertuju padanya. "