Nurma adalah istri kedua yang baik, justru kehadirannya sangat diinginkan oleh istri pertama, Giska, 27 tahun, wanita yang bisu dan lumpuh semenjak mengalami kecelakaan 3 tahun silam. Giska menguak pengkhianatan suaminya pada Nurma. Bagaimana ceritanya kalau istri pertama dan istri kedua bersatu untuk menghancurkan suami nakal mereka?
View More"Jangan pergi, lelaki itu berkhianat." Mata Mbak Giska berembun saat aku hendak pamit ke luar kota mengurus bisnisnya seperti biasa. Dia bicara dengan bahasa isyarat karena istri pertama suamiku itu bisu. Bukan hanya itu, tubuhnya hanya mampu berada di atas ranjang, ia tak berdaya.
"Kenapa, Mbak? Khianat bagaimana?" tanyaku padanya. Namun, hanya uraian air mata yang jatuh membasahi pipi kakak maduku tersebut.
Tiga tahun yang lalu aku memutuskan untuk menjadi madu. Kala itu permintaan secara tertulis hitam di atas putih yang menjadi saksi bahwa pernikahan kedua ini atas restu istri pertama suamiku.
Giska, nama wanita yang begitu anggun dan baik hatinya, usianya terpaut lima tahun lebih tua dariku, dia 27 tahun, sedangkan aku 22 tahun. Namun, di usia mudanya, Mbak Giska Yolantika mengalami kelumpuhan dan bisu akibat kecelakaan yang terjadi tiga tahun lalu.
Dia terus menggelengkan kepalanya, hal ini membuatku semakin berat meninggalkan orang yang telah kuanggap sebagai malaikat. Ya, karena Mbak Giska lah, nyawa kedua orang tuaku tertolong. Mereka bisa menjalani operasi berkat uang yang disodorkan olehnya ketika aku menyetujui menjadi madunya.
"Mbak Giska bisa ceritakan padaku, Mbak. Apa yang telah Mas Firman lakukan padamu?" pintaku pun dengan bahasa isyarat, khawatir kalau bicara dengan keras Mas Firman dengar. Meskipun suami kami ada di ruangan kerjanya, tapi ruangan ini penuh dengan penyadap.
Kemudian, Mbak Giska menoleh ke arah laci yang berada di sebelah kiri. Kamar ini kamarnya, aku sebagai madu tidak pernah sekali pun lancang menggeledah.
"Ada sesuatu di sana?" tanyaku memastikan, Mbak Giska pun mengangguk. "Oke, aku coba buka ya, Mbak, mohon izin," tambahku pun masih dengan bahasa isyarat.
Kemudian, aku langkahkan kaki ini ke arah laci tersebut dan membukanya tanpa mengulur waktu.
Deg!
"Hanya kunci?" Aku segera menoleh lagi ke arah Mbak Giska, kenapa dengan kunci ini? Sebegitu pentingkah?
Aku kembali duduk di sebelahnya berbaring. Kemudian tersenyum ke arahnya.
"Ini kunci?" tanyaku padanya.
"Duplikat!" suruh Mbak Giska singkat dengan bahasa isyarat.
"Ya udah nanti aku suruh Mas Firman," jawabku sambil bangkit. Namun, dia menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu suruh Mbok Tuti," usulku lagi. Namun, jawabannya sama, Mbak Giska menolak.
Astaga, aku kesulitan berkomunikasi dengan Mbak Giska kalau begini. Namun, sejujurnya penasaran dengan apa yang ingin ia katakan.
Aku membasahi bibir seraya mencari cara supaya paham maksud Mbak Giska itu apa. Namun, tiba-tiba handle pintu terlihat bergerak, aku yakin itu Mas Firman yang mau masuk, segera aku kembalikan kunci yang berada di laci tadi.
Benar saja dugaanku, ternyata Mas Firman yang masuk. Ia menghampiri kami berdua.
"Loh, Nurma, kamu belum berangkat? Katanya mau ke luar kota." Mas Firman berdiri di depan laci tadi. Lalu sambil mengajakku bicara terlihat jarinya ke arah laci tersebut dan mengambil kunci tadi.
'Untung sudah aku taro lagi, tapi gelagat Mas Firman membuatku curiga. Kenapa sembunyi-sembunyi mengambil kunci?' batinku sambil menautkan kedua alis.
"A-ada telepon tadi dari Adnan, katanya jadwal ke luar kota dipending minggu depan," jawabku gugup.
"Oh, batal. Hm, lagian baru pulang dari luar kota kemarin, sekarang sudah harus berangkat lagi, jangan-jangan siasat Adnan aja kali," sindir Mas Firman kemudian ia putar badan lalu melangkah hendak pergi tanpa permisi.
"Tunggu, Mas. Kamu mau ke mana?" tanyaku penasaran.
"Aku mau ke kantor satunya, kamu di sini temani Giska dulu ya," suruh Mas Firman. "Ingat, jangan keluar kamar sebelum aku memanasi mobil ya, soalnya aku mau ambil sesuatu dulu di ruangan kerja." Mas Firman menambah serangkaian pesan padaku.
Setelah Mas Firman pergi, Mbak Giska memberikan isyarat padaku. "Kamu ikuti, dia mau ke ruang bawah tanah," suruh Mbak Giska dengan bahasa isyaratnya.
Ruang bawah tanah? Setahu aku ruangan itu sudah tidak boleh lagi dihuni oleh Mas Firman sejak lima bulan lalu. Katanya kalau kita membuka pintu ruangan bawah tanah maka barang-barang akan berjatuhan di dalamnya terlalu penuh dan sumpek.
Aku ikuti Mas Firman dengan hati-hati, tiap kali dia berbalik, aku bersembunyi di mana pun tempat yang aman. Setibanya di dekat pintu bawah tanah, barulah aku bersembunyi dan tidak bergerak lagi.
Mas Firman masuk, kemudian keluar lagi membuka pintunya.
Deg!
'Wanita? Siapa wanita yang keluar dari balik pintu itu?' batinku bertanya-tanya.
"Aduh capek, Mas, kucing-kucingan begini tiap kali istri keduamu pulang dari luar kota. Selama dia di luar kota sih aman, pembantu, satpam, semua kan orang baru yang kamu bayar khusus," ucap wanita yang tidak kuketahui namanya.
Sesak, dada ini terasa sesak saat dia membicarakan aku barusan. Terdengar lekat di telinga ini bahwa semua pekerja ternyata orang suruhan Mas Firman.
"Sabar, baru satu perusahaan yang atas namaku, satu lagi belum. Kamu sabar ya, setelah ini kita akan usir Giska dan Nurma dari rumah ini," jawab Mas Firman dengan disertai tawa renyah.
Astaga, ternyata Mas Firman orang jahat, kasihan Mbak Giska, sudah tidak punya orang tua, kini hartanya mau dikuasai oleh Mas Firman. Aku takkan biarkan ini terjadi. 'Setelah perusahaan pindah lagi ke tangan Mbak Giska, maka kamu harus pergi dari rumah ini bersama selingkuhanmu, Mas!' batinku dengan tangan mengepal.
To be continue
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments