Aku melirik sebentar ke arah Mbak Giska, tapi dari tempatnya berbaring aku lihat dia menggerakkan tangannya. Lalu mengayunkan dan memberikan bahasa isyarat. "Jangan mudah percaya."
Aku paham sekarang, apa itu artinya dokter yang bersamaku saat ini pun pengkhianat?
"Maaf, Dok. Memang Dokter Hans praktek di mana ya?" Bola mata dokter yang menangani Mbak Giska berputar seraya mencari jawaban.
"Saya, saya." Aku sampai geram nunggu jawabannya.
"Kenapa gugup? Bukankah tadi dokter bilang bahwa Mas Firman telah mengancam akan mencabut izin praktek? Memangnya seorang direktur utama perusahaan bisa ya?" sindirku kena telak dan membuat Dokter Hans terdiam.
Dokter itu menghela napas panjang, banyak kejanggalan yang terjadi selama ini, tapi sekarang satu persatu terkuak olehku. Ternyata semua memakai topeng saat berhadapan denganku, dan ketika aku ke luar kota, mereka lebih leluasa memainkan perannya.
"Saya akan laporkan ini pada pihak yang berwajib," ancamku sekali lagi.
"Jangan Nyonya, saya janji akan berpihak pada Nyonya Giska dan Nyonya Nurma, tolong saya," lirihnya lagi.
Hal apa yang bisa membuatku mempercayainya kalau bertahun-tahun sudah berani membohongiku?
"Jangan bilang pada Mas Firman kalau saya sudah mengetahuinya, itu saja tugas kamu, apa bisa?" Aku mengancamnya lagi. "Kalau Anda sampai bicara, maka akan saya tuntut karena telah membantu suami saya," tambahku lagi.
"I-iya, Nyonya, tapi sebenarnya saya ini bukan dokter," jawabnya sambil menunduk.
Aku mengernyitkan kening. Aneh saja dia punya perlengkapan dokter dari mana?
"Saya akan ceritakan, tapi saya mohon jangan libatkan saya dari kejadian tiga tahun silam," lirihnya lagi.
Aku menoleh ke arah Mbak Giska, dia menganggukkan kepalanya, lalu aku pun melakukan hal yang sama dengannya.
"Silakan kamu ceritakan apa yang kamu ketahui," suruhku.
Hening, saat itu Hans juga diam sejenak sambil terdengar menghela napas.
"Saya ini orang yang menabrak Nyonya Giska tiga tahun silam," terang Hans.
Aku meneliti gerak-gerik mulutnya, khawatir ia berbohong.
"Lantas kecelakaan itu juga direncanakan?" Aku memotong dia bercerita.
"Kecelakaan itu tidak direncanakan, semua terjadi memang karena musibah dan karena saya lalai, mengendalikan mobil saat menerima panggilan masuk, saat itu sopir Nyonya Giska meninggal dunia, dan Nyonya Giska sendiri mengalami lumpuh dan bisu karena benturan keras," terang Hans yang ternyata bukan seorang dokter.
Aku masih menyimak cerita darinya, menunggu dia bercerita penuh, terutama alasan menjadi dokter gadungan.
"Tuan Firman melaporkan kecelakaan ini, karena saya menghilangkan nyawa sopir dan mencelakai istrinya, tapi tiba-tiba dia berubah pikiran, entah angin apa saya dibebaskan. Saat itu kata-kata yang keluar dari mulut Tuan Firman adalah utang budi," terang Hans lagi.
"Lantas karena hal ini kamu mau disuruh jadi dokter gadungan? Kamu itu utang budi dengan Mbak Giska, bukan Mas Firman," cetusku kesal. Emosi yang sudah kutahan ternyata tidak bisa dibendung.
Gara-gara dokter gadungan, Mbak Giska jadi tidak ada perubahan kondisi kesehatannya. Padahal jika ia ditangani dan terapi, kemungkinan besar bisa sembuh bisu juga lumpuhnya. Sekarang, sudah tiga tahun, apa masih ada peluang untuk kesembuhan?
Aku menatap wajah sendu Mbak Giska, rasa sakit pun teriris mengingat jasanya terhadapku sungguh luar biasa.
"Tapi, Nyonya, awalnya kan Nyonya Giska ditangani oleh Dokter ahli, dan saya juga kan hanya berikan vitamin, karena nggak berani," ungkap Hans.
"Ya, kamu nggak berani, selama ini Mbok Tuti lah yang berani berikan obat yang membuat Mbak Giska terkapar lemah," timpalku dengan posisi kedua tangan di atas dada.
"Saya mohon maaf, Nyonya, ini semua saya lakukan supaya tidak dipenjara. Tapi, jujur saja saya simpatik dengan Nyonya Giska, beliau begitu tegar menghadapi hidup ini, rela dimadu dan tinggal satu atap dengan madunya," tutur Hans.
Mbak Giska memang wanita berhati malaikat, aku pun sangat mengagumi sosoknya. Bagiku, dia adalah kakak terbaik.
Kami tengah berbicara dengan serius, tapi kedengaran deru mobil terparkir di halaman depan.
"Kamu tetap bersandiwara ya,aku yakin itu Mas Firman yang mau ambil bajunya di kamarku," ucapku sambil bersiap-siap untuk tidak bicara lagi mengenai masa lalu.
Selang beberapa menit kemudian, Mas Firman masuk dengan membuka handle pintu.
"Kamu di sini, Sayang? Kok nggak siap-siap?" Mas Firman melangkah ke arah tempat kami berdua, tangannya membawa koper yang sudah berisikan baju. Ia mencium kening Mbak Giska, lalu mengulurkan tangannya untuk aku kecup juga.
"Kamu sudah siapin baju? Kok bisa secepat itu?" Aku berpura-pura heran padanya.
"Tadi sudah telepon Mbok Tuti," jawabnya.
"Kenapa nggak telepon aku? Kan aku istrimu," timpalku lagi.
"Kamu kan lagi sibuk urus Giska, jadi aku takut ganggu," jawab Mas Firman. "Dok, bagaimana istri saya? Dia tadi nggak mau minum obat kata Mbok Tuti, tolong paksa ya, Dok. Saya ada tugas ke Bali," tambahnya.
Hans mengangguk sambil tersenyum. Ia sudah memainkan perannya.
Setelah itu, Mas Firman bergegas pergi, dia pamit dengan wajah yang semringah. Jelas bahagia, dia ke Bali dengan wanita selingkuhannya.
"Saya pamit, Nyonya, saya janji akan merahasiakan ini," ucapnya sebelum beranjak pergi.
"Tunggu sebentar, ingat ya, kalau semua terbongkar, itu artinya kamu yang buka mulut," ancamku.
Setelah semua pergi meninggalkan kamar, aku dan Mbak Giska musyawarah kembali. Namun, aku masih kepikiran rencana awal yang mau membawa Mbak Giska ke Semarang, khawatir Mbok Tuti mengadukan hal ini pada bos-nya.
"Mbak, tadinya aku mau ajak Mbak Giska ke Semarang, tapi khawatir Mbok Tuti tahu," ucapku. "Bagaimana kalau mamaku di sini untuk menjaga Mbak Giska di saat aku urus masalah kantor dan surat-surat yang akan dipindah alih," ungkapku sambil menumpuk tangan Mbak Giska di atas telapak tangan ini.
Dia mengangguk dengan disertai senyuman. Lalu mengayunkan tangannya lagi. "Adnan suruh carikan dokter untukku, tolong aku, Nurma. Mbak kepingin sembuh."
Aku pun tersenyum mendengar antusias Mbak Giska yang ingin sembuh.
"Insyaallah, Mbak Giska akan sembuh, kita akan balas semuanya berdua, secepatnya akan ada pelajaran yang pedih untuk Mas Firman dan gundiknya," paparku dengan menggunakan bahasa isyarat.
Telepon genggamku berdering, nama Adnan yang terlihat di layar ponsel.
"Halo, Bu," ucap Adnan lebih dulu.
"Kata Pak Firman, Ibu mau ke luar kota, apa benar, Bu?" tanyanya.
"Kalau Bapak sudah tiba di Bali, tolong informasikan padanya bahwa klien membatalkan pertemuan denganku ya, dan jangan lupa kamu siapkan klien palsu di Bali, nanti Pak Firman curiga kalau semua ini rekayasa," pesanku pada Adnan. "Oh ya, satu lagi, tolong carikan dokter terbaik yang bisa ke rumah, berapa pun akan saya bayar," tambahku.
"Baik, Bu, saya akan cari yang direkomendasikan," ucap Adnan.
"Satu lagi, kamu hubungi pengacara untuk urus semua harta kepemilikan Bu Giska yang dibalik nama oleh Pak Firman, tolong dengan segera diurus dan dikembalikan seperti sediakala, ingat ya, Adnan, tanpa sepengetahuan Pak Firman." Aku bicara dengan penuh penekanan.
Telepon pun terputus, setelah itu aku hubungi mama untuk membatalkan keberangkatan ke Semarang dan meminta beliau yang ke sini membantuku.
Mama setuju dengan apa yang menjadi keputusanku. Ia akan segera berangkat ke rumah ini esok hari.
'Setidaknya, kecelakaan terjadi bukan karena sabotase Mas Firman, mungkin dia tergoda wanita lain dan dipengaruhi oleh wanita itu,' batinku bicara dalam hati di sebelah Mbak Giska.
Aku keluar kamar sebentar, ingin melihat kerjaan Mbok Tuti. Ternyata ia tidak ada di dapur dan kamarnya, aku penasaran dengannya lalu segera mencari di mana keberadaan Mbok Tuti.
Namun, tiba-tiba suara ponsel terdengar. Aku melihat telepon genggam Mbok Tuti tertinggal di atas lemari es, ada panggilan masuk dari Mas Firman, tapi sudah keburu mati karena aku tak berani mengangkatnya.
Kemudian, disusul dengan pesan chat dikirim oleh Mas Firman. Aku sempat membacanya dari layar jendela.
[Kalau bisa jangan kasih Giska makan, selama saya dan Nurma berada di luar kota. Biar cepat mati!]
Aku terkejut dengan pesan yang dikirim olehnya. Setega itu Mas Firman pada Mbak Giska? Astaga, aku mengelus-elus dada saat tak sengaja membaca pesannya.
Bersambung
Aku menghela napas kasar lalu meletakkan ponsel Mbok Tuti kembali. Kemudian, aku beranjak ke kamar Mbak Giska. Kaki ini melangkah begitu cepat, aku ingin sekali memeluk raga Mbak Giska, seorang kakak madu yang sangat baik tapi dikhianati oleh suaminya. Kubuka pintu lebar-lebar lalu mengayunkan kaki ini dengan setengah berlari. "Mbak, kamu akan baik-baik saja, aku akan jamin itu semua, sebagaimana dulu kau telah menjamin orang tuaku akan kembali pulang ke rumah dengan sehat," pungkasku di hadapan wanita bisu dan tak berdaya itu. Aku menoleh ke arahnya, mata Mbak Giska berkaca-kaca seolah-olah ingin mengutarakan semua isi hatinya. Namun, ketidakberdayaan membuat Mbak Giska hanya mampu terdiam selama ini. "Kenapa baru terungkap sekarang, Mbak? Aku terlalu sibuk urus kantor sehingga melupakan kondisimu, maafkan aku yang tidak mengetahui bahwa dirimu telah dikelilingi orang-orang jahat, pengkhianat bermuka dua!" umpatku kesal. Mungkin karena Mas Firman berkhianat jadi sesakit ini yan
"Tenang, Bu, kalau menurut saya mereka takkan melukai Mbak Giska secara terang-terangan. Kalau memang iya, pasti sudah dilakukan sejak dulu. Tujuan Pak Firman kan harta, jadi tidak mungkin berbuat hal bodoh," sambung Adnan. Ucapannya membuatku sedikit tenang, tarikan napas pun aku hembuskan karena sekarang tidak lagi terlalu cemas. Hati kecilku mengatakan bahwa mamaku takkan membiarkan orang lain melukai orang yang telah menyelamatkan keluarga kami dulunya. Setibanya di rumah, aku langsung menerobos ke dalam. Teriakan yang aku lontarkan membuat Mbok Tuti menghampiriku dengan tergesa-gesa. "Kenapa pulang, Non? Teriak-teriak pula!" Aku menghentikan langkah lalu menggigit bibir sendiri seraya geram dengan tingkah seorang pembantu bak majikan. "Bisa sopan nggak bicara dengan majikan? Hah!" Mataku membulat dengan dagu sedikit terangkat. "Loh, majikan saya kan Pak Firman, bukankah Bu Nurma ini hanya pelakor?" Istri kedua itu belum tentu pelakor. Rasanya aku tidak terima dengan celoteh
Bab 7Aku menghela napas, lalu meraih ponsel Mbok Tuti. Sudah ada wajah Mas Firman di layar ponsel. "Nurma!" Mas Firman menyapa dengan nada tinggi. "Ya, ada apa, Mas?" "Aku dengar dari Mbok Tuti bahwa kamu dan Adnan membawa dokter baru, apa betul? Coba sorot handphone ini ke seluruh ruangan!" Dia mencurigai istri sendiri dan lebih percaya pada pembantu. Jelas itu terjadi, karena Mas Firman tengah bersandiwara. Akhirnya aku edarkan layar ponsel ke seluruh ruangan, lalu berhenti tepat di depan wajahnya Hans. Lalu aku memberikan isyarat suruh Hans bicara dengan cara menaikkan dagu. "Pak, ini saya Hans, maaf lupa bilang bawa teman ke sini, hanya mampir kok nggak ada keperluan lain," jawab Hans sebagai dokter yang dibayar Mas Firman untuk tetap melakukan segala perintahnya. "Jangan bohong ya, saya tunggu kamu hubungi ke nomor saya sore ini juga," suruh Mas Firman. Kemudian, dia kembali bicara denganku. Wajah ini masih tegang, tapi berusaha santai. "Ada lagi yang ingin kamu tanyakan
Namun, ponselku tiba-tiba berdering. Panggilan masuk dari mamaku. Segera aku menjauh dari orang yang tak dikenali tadi. "Nurma, kamu sudah di mana?" tanya Mama. "Di apotek, Mah, ada apa?" tanyaku penasaran. Mata ini aku edarkan ke sekeliling, khawatir orang tadi mendengarkan pembicaraanku. "Mbok Tuti ngikutin kamu, dia nggak ada di rumah, jadi kalau bisa nanti kamu tulis ke kasirnya, jangan kasih tahu siapa pun kamu membeli obat apa aja, suruh jawab vitamin atau apalah," pesan mamaku. Mata ini sontak mencari keberadaannya. Ternyata benar, dia Mbok Tuti, aku sudah menduganya sedari diikuti. "Baik, Mah. Tolong jaga Mbak Giska ya, Mah," jawabku, telepon pun terputus setelah aku melontarkan salam penutup. Kemudian, aku masuk ke dalam, memberikan resep pada penjaganya, tidak lupa menyelipkan tulisan yang berisi pesan untuk tidak memberitahu pada orang lain tentang obat yang kubeli. Wanita berhijab itu paham, karena aku tulis juga bahwa ada orang yang mengintai. Setelah selesai memb
"Aku nggak percaya, maaf, jadi nunggu mamaku muncul aja," timpalku membuat Mbok Tuti beranjak pergi dan terdengar menghentakkan kakinya. Tangan Mbak Giska meraih telapak tangan ini. Lalu meletakkan ke dadanya. Dia tersenyum sangat manis. Seandainya Mas Firman juga tidak neko-neko, mungkin kami adalah salah satu keluarga yang sangat harmonis. Jarang ditemui kakak dan adik madu saling mendukung seperti ini.Aku sengaja duduk dengan posisi setengah jongkok, supaya bisa bicara dengan bahasa isyarat pada Mbak Giska. "Mas Firman akan menyesal, Mbak." Tangan ini diayunkan ketika bicara dengan Mbak Giska. "Tuhan telah menunjukkan keburukannya," jawab Mbak Giska dengan tangan yang memperagakan bicaranya. Tidak lama kemudian, mama pun datang, aku sontak memberikan pesan padanya untuk menjaga Mbak Giska. Sebab, ada urusan kantor yang harus diselesaikan. Di ruang tamu, aku berpapasan dengan Mbok Tuti, dia menghadang jalanku dengan tangan yang sengaja dibentangkan. Ini bukan satu kali pembant
Aku membuka mata dan ternyata sudah ada ruangan yang berisi suster. "Aku di mana, Sus?" Suaraku pelan tapi seorang suster langsung menghampiriku. "Ibu berada di rumah sakit, tadi Ibu beserta keluarga mengalami kecelakaan," jawab suster. Aku teringat kejadian tadi, dimana mamaku dan Mbak Giska juga terserempet dan terakhir kalinya aku membuka mata sempat mendengar suara lembut Mbak Giska. "Keluarga saya di mana, Sus?" tanyaku padanya. "Kondisiku bagaimana?" Aku menambah pertanyaan. "Kondisi Ibu baik, hanya tadi pingsan mungkin shock ringan, sedangkan dia wanita yang bersama Ibu ....""Bu Rosmala dan Bu Giska juga baik-baik saja."Suster menghentikan ucapannya. Namun, tiba-tiba Adnan muncul dan dia yang memberikan informasi bahwa mereka juga dalam kondisi baik. "Adnan, kamu bicara serius atau hanya ingin menenangkanku?" Suster pergi karena sudah ada Adnan yang datang. Kini sosok orang kepercayaan Mbak Giska itu berada di dekatku dengan disertai senyuman semringah. Aku ingat betu
Entah apa kesalahanku sehingga Mama menamparku dengan api kemarahan. Yang jelas Mama tengah membela Mbak Giska yang barusan aku maki-maki. "Pergi dari sini, Mama tidak sudi melihat anak yang tidak tahu terima kasih," celetuknya dengan nada pelan. "Mah, aku berkata benar, tadi Mama ingin menyelamatkan Mbak Giska, kan?" sanggahku tak mau kalah. Mama membuang wajahnya, ia tak mau menatapku. "Mama istirahat ya, aku akan kembali setelah urus ruang rawat inap," ucapku padanya. Ia kembali menoleh lagi, lalu mencekal tangan ini. "Nggak malu urus biaya rumah sakit dengan menggunakan uangnya Giska?" sindir Mama membuatku tertegun. Omongannya pelan tapi dalam, tidakkah dia berpikir bahwa telah menyakitiku? "Mah, aku kerja, yang urus perusahaan adalah aku," jawabku ketus. Mama menggelengkan kepalanya, la menarik napasnya sambil memegang dada. "Tolong telepon papamu suruh jemput Mama di sini, jangan membantah," suruhnya. "Baik, aku akan telepon Papa," jawabku. "Kamu juga pulang, nggak u
"Lapor aja, silakan! Saya nggak takut!" Aku menabrak bahu Mbok Tuti, lalu mendorong kursi roda mamaku ke dalam. Rencananya malam ini Mama akan diantar pulang ke Semarang oleh Adnan. Aku putuskan tidak melibatkan Mama lagi dalam misi ini, terlalu beresiko, biarkan aku saja yang menjadi taruhannya. Meskipun nyawa yang akan kupertaruhkan nantinya, demi Mbak Giska. ***Aku duduk di ruang keluarga, ada Mama Rosmala tengah berkemas-kemas. Ponsel pun berdering, panggilan masuk dari Mas Firman. Aku segera mengangkat telepon darinya. "Halo, Mas," ucapku. "Nurma, kamu gimana sih, kenapa nggak bilang-bilang kalau terjadi kecelakaan?" Mas Firman membentak meskipun melalui sambungan telepon. "Maaf, Mas. Ponsel kami mati," jawabku. sekenanya. "Loh, kalau kecelakaan kan ada polisi, kenapa nggak ada yang kabarin aku?" tanyanya lagi lebih detail. "Mas, sudahlah, lebih baik sekarang kita pikirkan bagaimana mencari keberadaan Mbak Giska," jawabku membuat suasana di seberang sama hening. Kenapa t
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint
Beruntungnya sopir truk sadar bahwa tengah terjadi kecelakaan kecil yang menimpa Mbak Giska. Namun, ia sudah berada di pasir dengan posisi tubuhnya telungkup."Giska!" Eric berteriak kemudian. Ia lebih dulu menghampiri ketimbang aku. Laki-laki yang memiliki amanah dari Yunna itu segera membopongnya ke tempat teduh, tepatnya di bawah pepohonan. Aku pun mengekor dari belakang, begitu juga dengan Helen yang ikut bersama kami.Tubuh Mbak Giska berlumur pasir, kelihatannya ia shock sampai pingsan.Adnan yang berada di ujung proyek pun segera mendekat.Adnan memberikan air, ia menyiram seluruh wajah dan tubuh yang tersiram pasir."Astaga, Giska kamu nggak apa-apa, kan?" Eric tampak panik melihat kondisi Mbak Giska. "Adnan, coba hubungi ambulance, saya takut Giska cidera," suruh Eric kelihatan sangat panik. Adnan pun sontak mengindahkan perintah Eric untuk menghubungi ambulance.Berbeda dengan Helen, ia melipat kedua tangan lalu mendesah kesal."Sok perhatian banget sih, dia cuma pingsan it
Helen maju tiga langkah, kemudian ia berjejer dengan Eric."Aku tahu semuanya Eric," ucap Helen.Kemudian Eric menoleh dan menatapnya sinis."Apa-apaan sih, Helen? Maksud kamu itu apa?" tanya Eric."Wasiat itu tidak sungguhan kan? Kamu yang menulis di catatan handphone sepupuku." Pernyataan Helen barusan membuatku dan Mbak Giska saling beradu pandang. Aku membasahi bibir saya tak percaya."Jangan ngada-ngada kamu, Helen," ucap Eric."Loh kenapa kau sebut aku ngada-ngada? Sekarang pikir aja, Yunna tidak tahu akan kematiannya. Kenapa pakai nulis kayak begitu? Artinya ini rekayasa kan?" Jelas obrolan ini sudah ngawur, Helen hanya ingin mencari masalah saja. Datangnya ia ke sini menunjukkan bahwa Helen benar-benar ingin proyek itu ada di tangannya.Mbak Giska menghentikan perdebatan ini. Aku yakin pikirannya sama sepertiku."Mendingan kalian pulang. Aku tidak mau mencari masalah dan membuat onar di manapun. Terlebih Ini rumahku sendiri!" Mbak Giska menekan setiap kata-katanya.Aku yakin
Mbak Giska menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian mengajak kami untuk meninggalkan restoran. Ia tidak meladeni ucapan dari Helen.Kami naik mobil terpisah dengan Adnan. Dikarenakan mood Mbak Giska sedang tidak baik-baik saja. Aku memutuskan yang menggantikan mengendalikan mobil ini.Sepanjang jalan wajahnya cemberut dilipat. Mbak Giska pun melipat kedua tangannya di atas dada. "Kapan bahagianya sih? Perasaan ketemu orang arogan terus!"Aku berdecak sambil menoleh ke arah kakak angkatku."Bukan hidup namanya jika lurus-lurus aja. Hidup ya begini Mbak, penuh liku-liku," ucapku."Tapi kenapa selalu wanita yang membuat masalah, ini masalah proyek doang, Ya Allah." Mbak Giska menyandarkan tubuhnya, siku sebelah kiri berada di dekat kaca jendela mobil. Setelah itu ia memegang pelipisnya."Sepertinya memang Helennya yang bermasalah." Aku menelan apa sambil bicara pada Mbak Giska.Tadinya kami mau kembali ke kantor, tapi berhubung mood bagisha sedang tidak baik-baik saja, akhirnya