Ketika istri kedua dijadikan sapi perah oleh suaminya untuk menghidupi istri pertama. Meski pahit kehidupan yang Susan jalani, wanita empat anak itu berusaha untuk tegar. Semua demi si bungsu yang menginginkan sosok ayah di hidupnya. Namun, ketika lelaki yang diharapkannya bisa menggantikan posisi mantan suaminya, justru menelantarkan anak-anaknya. Di situlah kesabaran Susan berada di ujung tanduk.
View More“Mbok, titip anak anak-anak ya.” Ke sekian kalinya aku merepotkan Mbok Darmi.Kali ini kepergianku untuk urusan yang sangat penting. Menemui Paman Kiswo dan ustadz yang menikahkan aku dengan Mas Yanto.“Kamu sudah yakin, San sama keputusanmu?”“Insya Allah yakin Mbok. Tidak ada alasan lain yang membuat Susan ragu lagi.”“Ya sudah. Hati-hati di jalan.”“Iya Mbok.”Aku meninggalkan rumah dengan hati mantap, agar masa depanku dengan anak-anak lebih baik lagi.Ampuni hama-Mu ini ya Allah jika lagi-lagi memilih perceraian sebagai jalan keluar dari masalah. Karena hamba tidak sanggup jika terus menerus dibohongi. Lebih baik capek fisik, daripada lelah hati.**Tiba di rumah Paman Kiswo, disambut istri paman yang biasa kusapa Bi Asih. Bi Asih sudah seperti ibuku sendiri. Tidak pernah membedakan antara aku dengan anak-anak beliau.“Bibi sedih ikut kalau nasib rumah tanggamu, San,” ucap Bi Asih dengan mata berkaca-kaca. “Bibi masih ingat dulu waktu awal awal pernikahan bibi dengan pamanmu, ibu
Tidurku pulas sekali. Kalau saja tidak dibangunkan Akbar karena harus salat Magrib, mungkin aku masih keenakan tidur. Bahkan, Asar pun sudah terlewati. Aku pun beristigfar berkali-kali.“Kayaknya Ranti kecepekan banget ya. Sampe tidurnya lama gitu,” ucap simbok yang terdengar seperti sebuah nyinyiran. Masa bodoh. Lagi pula kedatanganku ke sini juga karena terpaksa. Dan satu lagi yang membuatku tambah kesal, panggilan ngawur wanita tua itu.“Susan, Mbok.” Mas Yanto meralat.“Oh, iya Susan. Maaf, simbok keingetnya sama Ranti terus.” Simbok terkekeh.Mereka pikir aku akan cemburu sama Ranti? Mereka salah besar. Malah rasaku pada Mas Yanto sudah menguap begitu saja saat kebohongannya itu sudah terungkap.“Kalau simbok kangen sama Ranti, kenapa dia nggak disuruh ke sini saja, bantu-bantu di dapur,” cetusku, lalu memasukkan makanan ke mulut. Tidak peduli siapa yang masak. Aku di sini sebagai tamu, karena Mas Yanto yang membawaku, jadi untuk apa aku ikut sibuk membantu mereka.“Yan, kenapa
Mas Yanto benar-benar mengibarkan bendera perang. Bisa-bisanya dia berani menjejakkan kakinya di rumahku. “Langsung saja, mau apa lagi Antum datang ke rumah ini?” Masih kuredam amarahku, mengingat ada anak-anak di rumah. Memang seharusnya tempat kami beradu bukanlah di rumah. Langsung saja di ring, biar kutinju sampai babak belur muka yang tidak tahu malu itu. “Umi lupa ya? Umi kan sudah janji mau ikut silaturahmi ke rumah simbok di kampung, kalau abi bersedia menjenguk Ohim di rumah sakit kemarin. Nah, abi kan sudah penuhi tuh permintaan Umi. Sekarang giliran Umi.” Ke rumah orang tua Mas Yanto? Kalau tidak penuhi, nanti aku dicap ingkar janji. Akan tetapi, apa yang harus kulakukan di sana, sementara mengenal mereka saja belum pernah? Lagi pula, aku sama Mas Yanto kan sebentar lagi mau cerai. Seharusnya tidak perlu lagi menjaga hubungan baik dengan keluarga besarnya. “Mi,” ucap Yanto, seolah menyadari kalau aku tengah melamun. “Iya aku mengerti.” Alhamdulillah. Kalau gitu, kita
“Ya Allah Cal, hati-hati kalau nyetir.”Untung mobil Faisal tidak sampai memukul pejalan kaki.“Kamu nggak apa-apa, San?” Faisal tampak rugi keadaanku.“Aku ngga papa kok. Justru yang kukhawatirkan itu kamu.”Lelaki itu malah nyengir. Entah apa yang ada di pikirannya?Mobil kembali melaju, dan kali ini Faisal tampak fokus mengemudikannya. Sampai akhirnya belok dan berhenti di halaman Masjid. Kami berdua turun untuk menunaikan kewajiban sebagai orang muslim.*Saya tidak menyangka kalau sore ini ada kejutan besar. Calon pembeli tanah yang kukukunjungi tidak lain dan bukan orang yang sudah lama kukenal. Temanku sendiri. Faisal. Dia membeli untuk membangun cabang butik yang akan dia kelola sendiri.“Kamu pasti sengaja mau ngerjai aku kan Cal?”Lelaki itu sejak tadi tidak henti-hentinya tertawa.“Maaf, saya hanya ingin tahu reaksi kamu aja. Lagi pula, sebenarnya ini tuh idenya mbakku. Kalau kamu mau protes, protes aja sama dia.”Ide Bu RT?“Mana berani aku protes sama majikanku sendiri. Y
“Tenangkan dirimu dulu, San. Ohim biar simbok yang jagain,” ujar Mbok Darmi.Saya sedang di warung Mbok Darmi. Menceritakan kejadian di rumah sakit yang mirip drama ikan buntal tadi. “Apa mungkin Rohim sudah diguna-guna Mas Yanto ya Mbok?” cetusku, tidak terima putraku terobsesi dengan lelaki pembohong itu.“Kamu ada-ada aja, San. Ohim itu Cuma butuh figur seorang ayah. Menurut simbok, kalau kamu mau Ohim lupa sama Yanto, ya kamu tinggal bawa aja pengganti Yanto.”“Maksud simbok?”“Ya kamu mencari suami baru buat gantiin Yanto.”Mataku membulat mendengar ide ngawur Mbok Darmi.“Ya Allah Mbok. Sebenarnya setelah apa yang menimpa rumah tangga Susan, Susan jadi tidak kepikiran mau menikah lagi. Susan masih trauma.”Mbok Darmi mengusap punggungku dengan lembut, hingga kurasakan kenyamanan di sana.“Yang sabar ya San. Insya Allah akan ada pelangi demi hujan badai.”“Ya Allah… simbok ternyata gaul juga ya. Bisa tahu kata-kata gitu.”“Oh… jangan salah. Gini-gini simbok hobi baca juga loh S
Ya Allah, ujian apa lagi yang akan Kau berikan pada hamba-Mu ini? Putra bungsuku terlihat sangat lahap menyantap makanan dari tangan Mas Yanto. Entah, pelet apa yang lelaki pembohong itu berikan pada putraku, sehingga ia seperti tidak bisa jauh-jauh darinya. “Sudah Bi. Ohim sudah kenyang.” “Sekali lagi deh. Habis itu Ohim minum obat ya.” Bocah itu pun menurut. Membuka mulutnya lebar-lebar saat suapan itu kembali masuk. “Ohim pinter banget ya. Sekarang minum obatnya.” Mas Yanto membuka bungkusan berisi obat yang tadi sempat kuberikan padanya. Satu per satu obat itu diberikan pada bungsuku, hingga menandaskan segelas air putih. “Tuh Mi. Dek Ohim pinter kan,” kata Mas Yanto mencoba menarik simpatiku. Sayangnya aku sudah tidak tertarik lagi. “Ohim istirahat ya, biar cepat sembuh,” imbuhnya merebahkan Rohim. “Abi jangan pergi ya,” pinta Bocah itu. Seakan takut ditinggalkan Mas Yanto lagi. “Nggak. Abi bakal di sini nemenin Ohim sampai Ohim sembuh, terus bisa pulang.” “Beneran ya B
“Mbak Ria,” tegur Faisal.Bu RT tergelak dan semakin menggoda adik lelakinya itu.“Lagian, kamu sih. Mbak pikir kamu pulang sudah bawa calon adik ipar buat mbak. Tapi, ternyata ....” Majikanku itu menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.“Mbak, aku kan udah sering bilang sama Mbak lewat telepon, kalau aku itu nggak mungkin menikah dengan orang sana.”“Ya kan bisa juga dengan WNI yang sedang menempuh pendidikan di sana. Ya, nggak San?”Aku hanya tersenyum sebentar menanggapi obrolan kakak-beradik yang melepas rasa rindu dengan gurauan itu. Tidak mengambil hati atas perkataan Bu RT tadi, karena kutahu pasti itu pun bagian dari candaan mereka berdua.“Kecuali kalau kamu memang masih berharap dengan Susan,” imbuh Wanita berkaca mata itu, kembali tergelak.“Mbak, ingat kita ini sedang mengantar anak yang lagi sakit.” Faisal menegur.“Astaghfirullah. Maafkan aku ya San.” Bu RT menoleh ke belakang.“Iya Bu. Nggak apa-apa.”Aku dan Faisal pernah tumbuh bersama sebagai teman dek
“Abi. Abi.” Ke sekian kalinya Rohim mengigau, dan anehnya lelaki itu yang dicari-carinya.“Ya Allah… panasnya naik lagi Mbok. Kita bawa ke rumah sakit aja kali ya.”“Ya udah simbok mau ke rumah Mitro dulu, minta tolong dia buat antar kita ke rumah sakit.”Saya menanggapi Mbok Darmi dengan anggukan.Wanita paruh baya itu pun pergi tergesa-gesa.“Akbar!” panggilku pada si sulung.Anak-anak sengaja tidak kuperbolehkan melihat keadaan adiknya yang kini berada di kamarku. Boleh, tapi satu per satu. Kalau bersamaan, nanti adiknya akan terganggu istirahatnya.Tidak lama kemudian, sosok yang kupanggil pun datang.“Nak, tolong gantikan air ini. Isi dengan air hangat buat mengompres Dek Ohim.” Kuberikan baskom berisi air bekas mengompres tadi.“Pakai air termos ya Mak?”“Iya. Tambahi keran udara, biar nggak terlalu panas airnya. Dan handuknya itu, tolong dibilas pakai keran air ya Nak. Mau mamak pakai buat ngompres lagi.”“Baik, Mak.” Akbar meninggalkan kamar.Setelahnya terdengar bunyi ketukan
Kalau kuingat keadaan Ranti yang kacau tadi, rasanya sungguh memprihatinkan. Miris. Mempunyai suami yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Tugas rumah tangga dan mengurus anak-anak dibebankan pada dia sendiri. Sepertinya psikisnya pun mulai terganggu.Masa bodoh sama rumah tangga mereka. Toh, aku pun pernah di posisi Ranti, pasca bercerai dengan suami pertamaku. Buat apa aku harus memikirkan orang yang bahkan suaminya sendiri tidak memedulikannya.*“Agak dipercepat dikit, Pak. Anak saya sedang demam di rumah membutuhkan saya,” ucapku pada sopir Go Car yang kupesan lewat sebuah aplikasi online.“Baik, Bu.” Lelaki paruh baya itu sekilas melihat ke arahku lewat kaca di atas dasbornya.Baru saja kusandarkan tubuh lelah ini di sandaran kursi mobil, ponselku berdenting beberapa kali. Setelah dilihat, ternyata dari lelaki pembohong itu.“Gara-gara umi, Ranti jadi marah besar sama Abi. Tahu ngga Mi, Ranti sampai nekat pulang ke rumah orang tuanya membawa anak-anak.”Entah, aku harus tertawa at
"Mi, hari ini masak apa?" tanya Mas Yanto, membuka tudung saji di atas meja. Padahal terlihat secara jelas ada sayur bening, ikan goreng, dan sambal tomat di sana. "Sayur bening, ikan lele goreng, sama sambal tomat, Bi. Tapi jangan lupa, Ikan lelenya sisain buat anak-anak. Mereka sedang ngaji di musala. Belum pada makan. Paling sebentar lagi mereka pulang." Aku mengingatkan."Hemmm."Mas Yanto mulai menyantap makanannya. Duduk sambil menekuk satu kaki ke atas kursi, sementara kaki satunya lagi dibiarkan menyangga di bawah lantai semen. Lama lelaki itu tidak bersuara, aku pun melongo dari balik punggungnya. Astaghfirullaahal ‘aziim. Lele goreng yang tadi berjumlah tujuh ekor itu kini tersisa dua ekor saja. “Ikan gorengnya tinggal segitu, Bi?”“He-emm.”Lelaki berjenggot tipis itu menyendokkan nasi ke piring. Entah sudah ke berapa kali. Seperti orang yang tidak makan selama setahun."Sudah dong Bi. Sisain napa buat anak-anak," dengkusku melihat Lelaki itu hendak mengambil ikan lele...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments