Tentang Aruna yang ditinggalkan tunangannya demi menikahi wanita yang dianggap lebih kaya raya. Tapi ternyata kebahagian Dimas hanya semu. Ia tersiksa di pernikahannya sendiri. Sementara Aruna dipertemukan dengan laki laki kaya raya yang sangat mencintai dia
Lihat lebih banyak"Kita batalkan pernikahan kita ya Run," ucap Dimas dengan tiba tiba.
Aku hanya menatapnya sekilas. Lalu menganggukan kepala pertanda setuju.
Terlihat kini bergantian Dimas menatapku penuh kecewa. Lah apa tidak salah? Seharusnya aku yang merasakan itu.
Dia pikir, dengan kalimatnya yang mengagetkan itu, jus jeruk yang sudah ada di kerongkonganku ini keluar begitu? Oh tidak. Aku tidak seperti di sinetron sinetron itu. Yang menangis, merengek saat diputuskan hubungan.
Andai dia bilang selesai, ya sudah selesai. Mau bagaimana lagi.
"Kok begitu tanggapanmu? Apa selama ini kamu tidak pernah cinta kepadaku? Kamu juga tidak tanya alasannya kenapa," keluh Dimas.
Aku mendongak. Menatap laki laki yang sebenarnya tidak tampan itu. Laki laki yang sudah hampir satu dasawarsa aku temani. Dari kita yang masih hobi bermain gundu. Hingga dia sudah menjadi guru.
"Lalu mau mu aku harus bagaimana? Harus menangis? Harus histeris? Satu dasawarsa bukan waktu yang lama untuk kamu mengenalku bukan? Jadi ku rasa kamu sudah paham," jawabku dengan santai.
Dimas melengos.
"Ya sudah terserah apa katamu. Sampaikan ini kepada kedua orang tuamu."
"Kalau merasa laki laki, ya bicara baik baik membawa orang tuamu untuk datang ke rumah. Mau bagaimanapun kamu dan keluargamu sudah meminta aku kepada orang tuaku. Kalau tidak berani, sana ke pasar. Banyak yang jual rok." jawabku. Ya aku dan Dimas sudah bertunangan. Walau tanggalnya belum kami tentukan.
Dimas semakin kesal. Dan dia meninggalkanku di sendiri. Di warung mi ayam. Yang menjadi saksi awal dan akhir hubunganku dengan Dimas.
Aku tidak akan mencegahnya pergi. Biarlah. Apapun alasannya Dimas ingin pergi, aku tak akan memaksa siapapun untuk tetap di sisi.
Justru yang aku lakukan adalah menghabiskan mi ayam yang sudah terlanjur aku pesan. Ditambah dengan suasana sedikit gerimis, membuat aku semakin betah.
"Aruna, kenapa jalan kaki? Dimas mana?" tanya Ibu yang sedang bersantai di teras.
"Pergi Bu."
"Pergi bagaimana? Tadi kamu berangkat dengan dia lho."
"Ya dia pergi dari hidupku."
Aku melangkah masuk ke dalam rumah Limas peninggalan kakek dan nenek ini. Dan ternyata ibu mengikutiku dari belakang.
"Runa, kamu ini bicara apa? Jangan bicara macam macam," pekik ibu. Terlihat beliau sudah panik.
"Dimas membatalkan rencana pernikahan, Bu," jawabku dengan tegar.
Ibu melongo.
"Kamu tidak bercanda Runa?" tanya ibu lagi memastikan.
Runa menggeleng.
"Tidak Bu."
Aku sedikit nanar menatap ibu. Aku takut jika beliau kaget. Dan akan menangis histeris.
"Luna, Lula," teriak ibu dengan tiba tiba. Aku juga tak tau apa maksud beliau memanggil adik kembarku.
Si kembar mendekat. Setengah berlari saat mendengar teriakan ibu
"Ada apa Bu?"
"Kalian jaga Mbak Runa. Takutnya dia bunuh diri," kata Ibu.
Aku terkekeh kecil.
"Tuh, lihat. Jangan jangan Mbak mu sudah mulai gila. Ya Tuhan, Runa. Laki laki masih banyak. Yang lebih dari Dimas masih ada ribuan. Istighfar Nduk," ucap ibu.
"Ibu itu yang harusnya istighfar. Aku tidak apa apa Bu. Aku belum gila jika harus mengakhiri hidup dengan cara konyol seperti itu. Ditinggal pergi ya justru aku persilahkan. Ya kali aku harus menangis, menahannya agar tetap tinggal. Tidak Bu. Aku tidak akan merendahkan harga diriku hanya karena laki laki," jawab Aruna.
Ibu terlihat bernafas lega.
"Berarti semua sudah aman. Aruna masih waras," kata Ibu dengan lega.
"Belum Bu," ujar Lula tiba tiba.
Kami semua menoleh ke arahnya.
"Iya. Masih ada satu yang harus diselesaikan." tambah Luna.
Ah seperti bermain teka teki saja.
"Maksud kalian apa?" tanyaku tidak sabar.
"Kalau hubungan Mbak Runa dan Mas Dimas selesai. Dia pun juga harus selesai Mbak," kata Lula.
"Heh, bicara apa kalian?"
"Enak saja. Meninggalkan anak orang seenak jidat. Dia belum tau keluarga kita kak," jawab Lula sedikit singing.
Aku tertawa.
"Seperti kurang kerjaan saja. Pakai acara balas dendam. Tenang saja. Serahkan kepada ahlinya. Tuhanmu tidak akan pernah tidur," pesanku kepada mereka.
Malam hari, benar saja keluarga Dimas datang. Tapi mereka datang dengan wajah yang sepertinya tidak suka. Jika dulu mereka terlihat ramah dan baik. Kini topeng itu sudah di lepas.
"Wah ada apa ya Bu Siti? Tumben sekali datang kesini malam," sambut Ibu dengan tanah.
Bu Siti membenarkan letak duduknya
"Jadi begini Bu Marni, apa Runa sebelumnya sudah bercerita?" tanya Bu Siti
Ibu menggeleng. Ia hanya ingin alasannya itu keluar dari mulutnya sendiri. Meskipun ibu sudah tau.
"Pernikahan Dimas dan Aruna dibatalkan."
Ibu mengangguk mantap. Sama seperti Aruna. Ia tampak tidak ada beban.
"Boleh saya tau alasannya?"
"Apapun alasannya, tetapi Aruna tidak akan bisa memperbaiki," elak Bu Siti.
"Tante, saya juga tidak ada niat untuk memperbaiki kok," sela Aruna yang kesal.
"Baguslah kalau begitu. Jadi begini Bu Siti. Seantero kampung sudah tau bahwa Dimas ini adalah seorang guru. Kok tidak masuk akal ya akan melangsungkan pernikahannya dengan Runa yang hanya sebagai penjaga toko?"
"Oh jadi begitu alasannya?"
Bu Siti mengangguk mantap.
"Tapi Bu Siti juga tidak lupa bukan ? Bahwa Dimas juga hanya sebagai guru honorer," celetuk ibu lagi.
Mendengar kata honorer disebut. Bu Siti tampak tak enak hati.
"Meskipun honorer. Dia sudah sarjana, Bu. Kalau menikah dengan Aruna, mana bisa maju? Ini hidup Bu. Yang semuanya tak gratis. Jadi setelah kami berfikir dengan matang. Lebih baik Dimas menikah dengan Mayang. Seorang pengusaha. Yang tentu bisa membuat suaminya menjadi maju andai mereka menikah nanti." jawab Bu Siti dengan sombong.
"Oh berarti Dimas sama saja dengan barang barang yang ada di pasar ya Bu. Sama sama dijual."celetukku.
Dimas berdiri kaku di depan Pak Wito, dadanya terasa sesak menahan malu dan amarah yang bercampur jadi satu. Kata-kata pria paruh baya itu menyakitkan, tapi Dimas tahu, ia tak berhak membantah.“Saya tahu saya banyak salah, Pak…” suaranya bergetar, tapi ia berusaha tetap tegar. “Tapi saya benar-benar butuh pekerjaan. Tolong kasih saya kesempatan.”Pak Wito menatapnya lama, ekspresinya tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. “Kesempatan? Kamu pikir dunia ini gampang? Kamu udah buang kesempatan itu, Dimas. Kamu buang Aruna… dan sekarang kamu mau datang ke sini, minta belas kasihan saya?”Dimas mengepalkan tangannya erat-erat di sisi tubuhnya. Ia ingin membantah, tapi kata-kata itu terlalu benar. Ia memang sudah menyia-nyiakan semuanya — Aruna, kesempatan, dan mungkin… masa depannya sendiri.“Pak… saya nggak minta belas kasihan,” kata Dimas pelan. “Saya cuma minta kerja. Apa pun itu, saya siap.”“Kerja jadi kuli? Kamu yakin?” Pak Wito menyipitkan mata. “Kamu yang dulu begitu bangga sa
Suara meteran listrik yang berbunyi makin cepat, seperti menambah ketegangan yang sudah menumpuk di dalam rumah itu. Dimas hanya bisa duduk diam, menatap lantai dengan mata kosong. Dalam kepalanya, berbagai pikiran berkecamuk — tentang pekerjaan, tentang ibunya, dan sekarang, tentang listrik yang sebentar lagi mati.“Ya Allah, gimana ini…” keluh Bu Siti sambil mondar-mandir di ruang tamu. “Dimas! Kamu tuh ngapain aja seharian?! Cari kerja nggak dapat, listrik juga mau habis! Kamu nggak punya solusi apa?!”Dimas menghela napas panjang, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. “Aku udah nyoba, Bu… udah ke mana-mana. Tapi belum ada yang nerima.”“Alasannya itu lagi! Kalau kamu mau kerja apa aja, pasti udah dapat!” sergah Bu Siti, suaranya meninggi. “Tapi kamu tuh terlalu milih-milih, Dimas! Coba dari kemarin kamu mau kerja jadi kuli bangunan yang ditawarin Aruna, mungkin sekarang kita nggak kayak gini!”Dimas mengepalkan tangannya di atas lutut, berusaha keras menahan emosinya. “Aku nggak
Dimas duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Matahari mulai condong ke barat, tapi pikirannya masih terjebak dalam kekhawatiran yang sama sejak pagi tadi — mencari pekerjaan. Tumpukan koran dengan lingkaran merah di kolom lowongan kerja tergeletak di sampingnya, namun satu pun panggilan belum ia terima. Melamar menjadi guru kembali pun juga sulit.Pintu rumah terbuka dengan kasar, dan Bu Siti muncul dengan wajah kesal. “Dimas! Kamu di sini aja dari tadi? Udah dapat kerja belum?” suaranya tajam, menusuk telinga Dimas yang sudah cukup lelah.Dimas menghela napas pelan, mencoba menahan diri. “Belum, Bu. Aku udah coba cari, tapi belum ada panggilan.”“Alasannya itu terus! Kamu mau jadi pengangguran sampai kapan?” nada Bu Siti semakin meninggi. “Ibu ini baru keluar dari rumah sakit, tapi kamu malah santai nggak jelas di rumah!”Dimas menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah dan rasa malu. “Aku nggak santai, Bu. Aku keliling seharian tadi nyari kerja. Tapi di mana-mana susah. Kala
“Bu!” Dyah menatap ibunya dengan pandangan tak percaya. “Ibu dengar nggak sih apa yang barusan Ibu katakan? Aruna sama sekali nggak minta dihormati atau disanjung, Bu. Dia cuma mau membantu kita! Kenapa Ibu selalu melihat dia dengan kebencian?”Bu Siti menggeleng, wajahnya mengeras. “Karena aku tahu siapa Aruna, Dyah. Dia itu sombong! Dulu dia sok jual mahal sama Dimas, dan sekarang aku yakin dia cuma mau pamer kalau dia lebih berhasil dari kita.”“Ya Allah, Bu...” Dyah menutup wajah dengan tangannya, berusaha menahan kekesalan yang semakin memuncak. “Sampai kapan Ibu mau kayak gini? Sampai kapan Ibu mau terjebak dengan kebencian yang nggak ada gunanya?”"kamu kenapa sih Dyah? Kenapa kamu justru membela si Aruna itu?" Tanya Bu Siti."Ya mau membela siapa lagi? Mayang? Bu, dia sudah tidak perduli dengan keluarga kita. Buat apa? Bahkan dia juga sudah membuang Dimas."Bu Siti mendengus pelan, matanya menatap lurus ke depan. “Pokoknya Ibu nggak mau berterima kasih sama Aruna. Kalau perlu,
Andra menatap Aruna dengan pandangan tajam, namun tidak ada kemarahan di sana. Hanya sedikit kekecewaan yang tersirat di matanya. Aruna yang sejak tadi duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa. Ia takut jika Andra berpikiran yang tidak-tidak tentang keputusannya membantu Dimas.“Aku tahu,” akhirnya Andra bersuara, suaranya datar namun tegas. “Aku tahu kamu bantu Dimas.”Aruna menelan ludah, sedikit salah tingkah. “Mas, aku cuma...”“Berapa yang kamu kasih ke dia?” potong Andra sebelum Aruna sempat menyelesaikan kalimatnya.Aruna terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, “Sepuluh juta.”Andra terdiam sesaat, menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, bukan karena Aruna memberi uang kepada Dimas, tapi lebih kepada nominal yang cukup besar.“Sepuluh juta?” ulangnya, menatap Aruna dengan sedikit tidak percaya. “Aruna, kalau kamu memang mau bantu, kenapa nggak sekalian?”Aruna mengernyit. “Maksud Mas?”Andra bangkit dari duduk
Dimas duduk gelisah di ruang tamu rumah Aruna. Tangannya menggenggam erat lututnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tidak menyangka harus kembali ke rumah ini dalam kondisi seperti ini. Dulu, ia meninggalkan Aruna tanpa ragu, dan kini, ia kembali sebagai seorang peminta-minta.Pak Wito, ayah Aruna, duduk di hadapannya dengan wajah keras. Sorot matanya tajam, penuh amarah yang ia tahan. Ia melipat kedua tangannya di dada, menunggu penjelasan dari Dimas."Jadi, kau datang ke sini untuk meminjam uang?" suara Pak Wito rendah, namun penuh tekanan.Dimas menelan ludah. "Pak Wito, saya benar-benar dalam kesulitan. Ibu saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Saya butuh biaya untuk membayar pengobatannya."Pak Wito menghela napas, lalu menggeleng. "Kau tahu, Dimas? Aku sudah mendengar banyak tentang kehidupanmu sekarang. Kau meninggalkan Aruna, menikahi perempuan lain, lalu hidup dalam kemiskinan. Dan sekarang, kau kembali ke sini dengan tangan kosong, meminta bantuan?"Dimas m
Dimas duduk di ruang tamu rumah ibunya dengan wajah letih. Sudah beberapa hari ia tinggal di sini sejak Mayang mengusirnya. Di depannya, Bu Siti duduk dengan tangan bersedekap, ekspresinya penuh kekecewaan."Ibu, sudahlah. Kita nggak akan menang lawan Bu Lina," Dimas berkata dengan suara datar.Bu Siti melotot. "Maksudmu apa? Kamu mau menyerah begitu saja? Mayang itu istrimu, Dimas! Kamu nggak boleh membiarkan dia semena-mena seperti ini!"Dimas mengusap wajahnya dengan frustasi. "Aku sudah capek, Bu. Bu Lina memang keras kepala. Dia nggak akan membiarkan Mayang kembali ke aku. Lagipula, aku nggak bisa terus-terusan begini. Aku harus mulai membangun hidupku sendiri."Bu Siti mengerutkan dahi. "Kamu mau ngapain?"Dimas menarik napas dalam. "Aku mau mulai dari awal. Seperti dulu, aku bakal jadi guru lagi."Bu Siti langsung menepuk pahanya dengan keras. "Guru?! Kamu mau jadi guru honorer lagi? Kamu pikir itu cukup? Kamu pikir dengan gaji receh itu kamu bisa hidup enak?"Dimas terdiam. Ia
Dimas terduduk di ruang tengah rumah ibunya, wajahnya tampak kusut. Sudah tiga hari ia tinggal di sini sejak diusir Mayang. Hatinya masih dipenuhi amarah dan gengsi yang terluka.Bu Siti berjalan keluar dari dapur sambil membawa segelas teh manis, lalu meletakkannya di meja di depan Dimas. Namun, tatapan matanya penuh selidik."Sudah tiga hari kamu di sini. Kamu nggak pulang ke rumah?"Dimas menghela napas panjang. Ia meneguk tehnya tanpa menjawab.Bu Siti duduk di sebelahnya, menatapnya lekat-lekat. "Dimas, kamu ada masalah apa sama Mayang?"Dimas mendengus. "Masalah besar, Bu."Bu Siti menyipitkan mata. "Jangan bilang kamu berantem lagi. Kamu itu laki-laki, Dimas. Istri itu harus kamu kendalikan, bukan malah kamu yang diusir dari rumah!"Dimas menoleh dengan ekspresi kesal. "Iya, Bu! Aku diusir! Mayang sudah nggak mau sama aku lagi!"Bu Siti terbelalak. "Apa?!"Dimas bersandar ke sofa dengan wajah penuh kekecewaan. "Dia bilang dia nggak bisa hidup sama laki-laki yang nggak bertanggu
Mayang duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah lantai. Suara ibunya masih terngiang di kepalanya, terus-menerus mengusik pikirannya."Ayo ikut Ibu. Kamu masih punya masa depan, Mayang. Jangan buang hidupmu untuk laki-laki yang tidak punya modal."Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya dengan berat. Ia tahu ibunya tidak salah. Sejak awal menikah, Dimas memang tidak pernah benar-benar berjuang untuknya. Bahkan saat mereka masih hidup berkecukupan berkat usaha ayahnya, Dimas lebih banyak bergantung daripada berusaha. Sekarang, setelah semua hancur, ia bahkan lebih banyak mengeluh daripada mencari solusi.Namun, di sisi lain, Mayang merasa tidak punya pilihan lain. Sejak dulu, ia sudah terbiasa berpikir bahwa tidak ada laki-laki lain yang akan menginginkannya selain Dimas. Wajahnya biasa saja—tidak secantik perempuan-perempuan lain di luar sana. Bahkan sejak kecil, ia selalu merasa kurang menarik dibandingkan teman-temannya.Jika ia meninggalkan Dimas sekarang, apakah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen