POV AUTHOR
"Ah menyesal ibu nurutin kemauan kamu untuk ngomong baik-baik kepada keluarga Aruna. Lagipula tingkah kamu itu memalukan, Dimas," gerutu Bu Siti sesampai di rumah.
"Bu, ini juga demi harga diri Dimas. Bagaimanapun akhirnya, kita pernah meminta Aruna pada keluarganya," elak Dimas.
"Ya sudah. Kalau begitu besok jual cincin dari Aruna itu. Hitung hitung untuk ganti rugi ke rumah Aruna,"
Bukannya langsung menjawab, Dimas hanya menghela nafas pelan.
"Dimas, kamu dengar apa kata ibu atau tidak?" tegur Bu Siti sedikit keras
Dimas tersentak dari lamunannya.
"Mana laku Bu?"
Mendengar itu Bu Siti tambah melotot.
"Maksud kamu bagaimana?"
"Ya itu hanya cincin palsu. Bukan emas. Berapa sih gaji Dimas itu untuk beli cincin Bu," keluhnya.
Bu Siti menepuk jidatnya.
"Ya Tuhan Dimas. Pantas saja Aruna begitu gampang menyerahkan cincin ini. Rupanya cincin ini bukan emas?"
Dimas hanya diam. Bagaimana lagi? Memang itu kenyataanya .
"Sudahlah Bu. Lagipula hubungan Dimas dan Aruna sudah berakhir bukan. Tak perlu di bahas lagi." komentar Diah-kakak Dimas.
Bu Siti hanya mendengus kesal. Lalu ia berlalu dari hadapan mereka. Sementara Dimas masih saja diam. Dalam hati dan kepalanya hanya ada kata percaya dan tidak percaya. Hubungannya satu dasawarsa dengan Aruna harus kandas.
"Kamu sedih Dim?" tanya Diah.
Dimas menoleh ke arah sang kakak namun tanpa ekspresi.
"Sedih itu manusiawi. Tapi kamu juga harus punya akal sehat. Mau jadi apa kalau kamu menikah dengan Aruna? Mau menambah daftar keluarga miskin di kelurahan ini? Kamu harus berfikir kedepan Dim. Mungkin saat ini Aruna masih bekerja, ya walau gajinya pas Pasan. Namun setahun dua tahun, kalau kalian punya anak bagaimana? Tak mungkin bukan Aruna bekerja? Jadi ya lebih baik kamu dengan Mayang. Anak pengusaha yang sekarang meneruskan usaha bapaknya. Mau kamu kerja, mau tidak. Tak berpengaruh. Toh kamu tetap bisa makan dan hidup dengan mewah," jelas Mbak Diah panjang lebar.
Siapa yang tak kenal dengan Keluarga Subrata? Ayah dari Mayang. Meskipun berbeda kelurahan namun nama Subrata cukup terkenal di kawasan itu. Mereka punya sejumlah armada truk. Juga lahan luas yang ditanami sayuran yang sering panen. Tak heran, keluarga Subrata cukup terpandang di kalangan masyarakat.
"Apa benar begitu Mbak?" tanya Dimas penuh keraguan. Bagaimana tidak? Aruna telah menemani masa jatuh bangunnya. Ia yang selalu menguatkan, bahwa menjadi honorer bukan pekerjaan yang hina. Semua kesabaran akan terbayar lunas suatu hari nanti.
Dan kata-kata penyemangat itu adalah kenangan belaka.
Mbak Diah mengangguk mantap
"Oh ya benar itu. Hidup harus realistis, Dimas. Mau makan apa kamu hanya dengan modal cinta?"
Dimas hanya diam. Lalu ia bangkit dari tempat duduknya.
"Dimas mau kemana kamu?" tanya Bu Siti yang datang tiba tiba.
"Mau tidur Bu. Dimas lelah."
"Alah, lelah apa kamu? Sehari tidak bekerja. Hari ini kamu absen ke sekolah,"
Dimas menghela nafas kasar.
"Lalu Dimas harus melakukan apa Bu?"
"Ibu lupa. Hari ini Mayang minta jemput. Mungkin dia ingin mengajakmu jalan jalan. Mumpung malam Minggu juga."
Lagi lagi Dimas mendengus kesal.
"Kenapa musti keluar sih Bu?" gerutu Dimas.
"Ya agar kalian lebih dekat Dimas. Pernikahan kamu dan Mayang itu pasti. Keluarga kita sudah janji dengan keluarga Subrata. Jadi jangan macam-macam ya."
"Bu, tapi aku malu. Ibu tau sendiri bukan bagaimana wajah Mayang? Ya Tuhan seperti wanita yang kena azab neraka."
Bu Siti mengibaskan tangannya di udara.
"Alah. Siapa yang berani mengolok-olok Mayang. Semua orang sudah tau bahwa dia adalah anak Subrata."
Dimas tak menjawab, tapi raut wajahnya begitu menyiratkan kekecewaan dan hati yang kesal.
"Apa tidak ada pilihan lain Bu?" tanya Dimas dengan lirih.
"Ibu memberi perintah, Dimas. Bukan memberi pilihan." kata Bu Siti dengan tegas.
Setelah ibunya beranjak, Diah yang masih ada disitu perlahan mendekati Dimas yang sedang termenung
"Jangan sedih, Dimas. Kalau kamu pergi dengan Mayang, kamu tidak perlu memikirkan uang jajan. Semua sudah tercover. Mau makan kemana dan dimana pun, dengan harga berapapun, semua oke. Kurang apa coba? Kamu harus belajar menerimanya Dimas. Ingat pepatah Jawa. Witing tresno jalaran Soko kulino." pesan Diah lagi.
"Iyalah," jawab Dimas dengan pasrah.
"Dimas, kalau kamu pergi dengan Mayang, aku titip sesuatu ya?" pinta Diah dengan lirih.
Dimas menoleh. Dahinya berkerut.
"Titip apa Mbak?"
"Tolong pinjamkan uang kepada Mayang. Tidak banyak kok. Hanya satu juta. Bagaimanapun juga aku ini adalah calon kakak iparnya loh," kata Diah.
Dimas melotot mendengar permintaan kakaknya tersebut."Apa tidak ada yang lebih konyol dari ini Mbak?" tanya Diams dengan kesal Justru Mbak Diah mengangguk tanpa rasa berdosanya."Ada." jawabnya.Dimas melengos. Geram. Bodoh dan tidak peka memang beda beda tipis."Mintakan sawah setengah hektar. Untuk dikelola suamiku. Agar tidak nganggur," jawab Diah tanpa rasa bersalah.Dimas bangkit dari tempat duduknya. Bisa meledak lama lama mendengar celoteh dari Mbak Diah."Dimas mau kemana? Kamu ingat pesan Mbak ya. Jangan lupa. Mbak tunggu," teriaknya, walau Dimas sudah menutup pintu kamar.Kehidupan keluarga Aruna masih biasa saja. Mereka menjalani hidup dengan harmonis. Tapi tidak dengan omongan tetangga.Bisik sana bisik sini. Sekarang Aruna menjadi trending topik di desa itu.Tapi hal tersebut lantas tidak membuat keluarga mereka berkecil hati lalu tidak mau keluar rumah. Tidak sama sekali. "Runa mau kemana?" tanya Bu Marni."Mau ke warung Bu. Sabun dan pasrah gigi habis.""Biar adikmu
"H...Hai," sapa Dimas dengan terbata.Namun Mayang langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia terlihat begitu antusias dengan kedatangan Dimas.Namun dekat semakin mendekat, wajah Mayang yang hitam karena bawaan lahir, semakin jelas terlihat. Sebenarnya Dimas ingin mundur, tapi dia tidak enak hati."Hai," jawab Mayang dengan riang."Ayo," ajak Dimas. Hanya kata itu yang keluar dari tenggorokannya. Lalu ia menuju montornya."Mau kemana?" tanya Mayang.Dimas hanya memasang wajah yang bingung."Katanya mau malam Minggu?"Mayang tertawa kecil. Jika wanita lain tersenyum manis. Justru bagi Dimas senyum Mayang tak ubah seperti pare. Pait."Iya. Tapi kita naik mobil. Ini," kata Mayang sembari menunjuk sebuah mobil Alphard.Dimas semakin melongo."Ta.. Tapi aku tidak bisa setir mobil," elak Dimas dengan lirih.Mayang mengibaskan tangannya di udara"Gampang. Kan ada sopir," jawabnya entengDimas dengan pelan masuk ke dalam mobil mewah itu. Bahkan sopirnya membukakan pintu untuknya. Ya Tuhan, b
Dimas melengos. Salah tingkah."Ehm ti... ti.. tidak Mayang. Tak apa," jawab Dimas dengan gugup.Mayang mengeluarkan satu kartu dari dompetnya. Fiyuhh Dimas lega bukan main. Ia kira Mayang akan menyuruhnya membayar."Kamu kenapa sih? Kok keringatan seperti itu? Ini tidak panas loh. Ini malam hari," tanya Mayang.Dimas sejenak tertunduk."Ah aku mungkin grogi di dekat kamu," elak Dimas. Ya ia hanya berbohong menutupi ketakutannya Mendengar itu, Mayang tersipu malu. Pipinya bersemu kemerahan. Perasaanya semakin berbunga-bunga."Kamu bisa saja," respon Mayang yang salah tingkah.Mayang masih senyum-senyum walau dia sampai di mobil"Terimakasih ya Dimas," ucap Mayang tiba-tiba.Dimas menoleh."Terimakasih kenapa? Aku yang justru berterimakasih. Kamu baik," ujar Dimas Ah rasanya Mayang sekarang seperti terbang tinggi. Tersanjung."Jangan kapok ya Dimas. Kapan kapan kita keluar lagi," ucapnya saat mereka sudah turun dari mobil.Dimas hanya mengangguk kecil. Memaksakan senyum. Lalu ia menu
Ko Ari yang sedang berkutat di depan kalkulator, tentu kaget mendengar teriakan Aruna. Begitupun dengan laki-laki itu. Ia kaget mengapa Aruna justru berteriak saat menatapnya"Hei, aku ini manusia. Bukan hantu. Lihat kakiku. Menapak tanah. Lagipula ini masih pagi. Hantu masih tidur," ucap laki-laki itu tak kalah panik.Runa masih berdiri dengan kaku "Ada Apa Runa? Kamu mengagetkan saja," tanya Ko Ari "Itu Ko. Ada Pangeran Arab nyasar kesini." jawab Runa sembari menunjuk laki laki di depannya.Laki laki itu menepuk jidat."Yaelah. Ada ya wanita yang alergi laki laki tampan," katanya."Idih. Sombong banget." balas Runa."Iya lah. Kamu tadi bilang aku seperti pangeran Arab kan. Semua wanita juga tau bahwa sosok yang dijuluki pangeran itu tentu sosok yang tampan.""Eh sudah sudah. Disini saya bayar kalian untuk bekerja. Bukan untuk berantem. Mengerti." kata Ko Ari Aruna mengangguk."Maaf Ko. Reflek." "Perkenalkan dia namanya Andra. Dan ini Aruna."Karena di depan Ko Ari, terpaksa Run
Mayang mengepalkan tangannya. Ia kira mantan tunangan Dimas adalah wanita miskin dan lembek. Tapi ternyata dia menyebalkan juga.'Awas. Tunggu saja pembalasanku. Akan ku buat kamu bertekuk lutut meminta maaf dariku,' gumam Mayang dalam hati.Sementara itu Aruna tak habis pikir. Kurang kerjaan atau bagaimana wanita itu hingga datang kesini hanya untuk mengucapkan itu. Jika ia mau, bisa saja ia berbicara panjang lebar. Tapi untuk apa? Tak ada untungnya. Biar dia yang merasakan sendiri."Belum waktunya istirahat. Kok sudah ada disini? Kata Ko Ari kamu adalah karyawan teladan. Tapi kok?" tegur Andra.Di belakang toko, Ko Ari membuatkan sebuah teras untuk para kartawannya istirahat. Teras tersebut menghadap area persawahan secara langsung. Damainya, semilir anginnya. Benar benar membuat nyaman.Aruna hanya sekilas menoleh."Kamu sakit?" tanya Andra lagi."Iya. Sakit hati." jawab Aruna asal.Andra menatap Aruna dengan tawa seraknya. Sementara Aruna membalasnya dengan tatapan sinis."Kenapa
Bohong sekali jika saat itu Subrata tidak tersinggung. Tapi ia harus tetap menjaga sikap di depan Ko Ari. Setidaknya agar keinginanya terkabulkan."Apa mungkin kurang banyak? Saya bisa tambahkan lagi," tawar Subrata.Mendengar itu, Ko Ari bertambah kadar kekesalannya."Ah sudah sudah. Pergi saja. Saya tidak punya banyak waktu meladeni acara suap menyuap. Saya tidak butuh uang anda," usir Ko Ari yang mulai bangkit berdiri.Kedua bodyguard Subrata, sontak pasang badan melihat majikannya diperlakukan dengan sedemikian rupa.Namun Subrata mengangkat tangannya. Mengisyaratkan untuk tidak mengambil langkah yang lebih."Baiklah. Tapi tawaran saya masih berlaku Ko. Jika anda berubah pikiran, anda bisa menemui saya.""Iya iya iya," jawab Ko Ari dengan tangan yang mengusir.Subrata kecewa bukan main. Baru kali ini ada orang yang menolak tawarannya. Bagaimana dan apa yang bisa ia lakukan kepada Mayang untuk mengabulkan permintaannya. Dia tak pernah gagal melihat usaha Daddy-nya.Dan benar saja.
Aruna mengusap wajahnya dengan kasar."Ndra, berhenti gombal seperti itu. Aku bukan orang yang langsung mleyot mendengar rayuan laki laki."Andra mengangguk."Iya. Aku juga tidak akan mengobral janji, Run.""Maksut kamu?""Pikir saja sendiri," jawab Andra. Obrolan mereka dibuyarkan karena ada pelanggan yang datang."Ingat ya Ndra. Kamu masih punya hutang ke aku," bisik lirih Aruna."Utang apa Run? Yang ada kamu kemarin yang aku belikan cilok,""Utang penjelasan." jawab Aruna penuh penekanan.*"Dimas, antar ibu ke pasar," pinta Bu Siti saat anaknya baru pulang.Dimas mendengus kesal."Mau ngapain sih Bu? Dimas baru pulang," keluhnya."Heh, ini semua demi kamu ya. Ibu mau jual emas ini."Sontak Dimas terperanjat."Untuk apa Bu? Itu emas peninggalan bapak kan? Apa Mbak Diah butuh uang lagi? Ya Tuhan, kemarin habis dapat dari Mayang loh.""Jangan banyak omong kamu. Ini untuk lamaran kamu. Tak apa ibu menjualnya. Nanti kalau sudah dapat dari Mayang, ibu bisa beli lagi. Lebih banyak," kata
Dimas hanya menelan Saliva saat Aruna mengatakan itu. Tidak bohong, memang Aruna cantik."Lagipula, kamu juga aneh. Putus dari aku, cari yang lebih. Kenapa cari yang lebih jelek dari aku?" olok Aruna."Memangnya.. emm,"Kalimat Dimas terbata bata."Memangnya kenapa? Memangnya aku tidak tau begitu calon istrimu? Aku tau ya Dimas. Dia pernah datang ke toko. Entah maunya apa. Mungkin ingin membuat ku sakit hati."Dimas terdiam. Ah apa mungkin Aruna sakit hati? Itu artinya dia masih menyimpan rasa untuknya."Dan kamu sakit hati?" tanya Dimas. Besar harapannya agar Aruna mengatakan iya."Tidak sama sekali. Justru dia yang mungkin kena mental. Kamu tanya saja sendiri."Dimas melengos."Kamu selalu begitu Run,""Begitu bagaimana? Lalu mau kamu yang seperti apa? Yang diam saja saat harga dirinya dihina. Jika hari ini dia bisa menginjak ekorku, besar kemungkinan dia juga akan menginjak kepalaku esok. Dan aku tidak mau. Kalau bukan aku yang mempertahankan harga diriku. Lalu siapa lagi?" tanya b
Aruna menoleh ke arah Andra dengan wajah yang serius. "Kalau kamu tidak butuh uang, kenapa kamu bekerja?" tanya Aruna."Run, tidak penting kamu bertanya seperti itu. Yang penting bapak kamu dulu." komentar Andra lagi.Aruna menatap dengan nanar. Seperti enggan, tapi ia butuh "Kamu benar tidak apa apa Ndra?"Andra mengangguk. Aruna menerima amplop itu dengan ragu "Bulan depan gajiku buat kamu ya." kata Aruna.Andra mengibaskan tangannya di udara. "Ah gampang masalah itu. Yang penting bapak kamu dulu," kata Andra.Aruna bersemangat pulang. Ia tidak sabar untuk segera mengirimkan uang itu kepada ibunya. Siapa tau ibunya segera butuh.Setelah selesai mentransfer, Aruna segera menghubungi sang ibu."Ibu, sudah Aruna transfer ya. Semoga cukup ya Bu," kata Aruna sembari menyelam keringatnya. Tabungannya sudah habis. Ditambah hutang ke Andra juga. Tak masalah baginya."Banyak sekali Run? Kamu dapat uang darimana Nak?" tanya Bu Marni di seberang sana."Ada lah Bu. Tapi tenang saja, itu uan
"Sudah sudah ayo pergi saja," ajak Mayang. Lalu naik ke mobil.Di dalam mobil bukannya ia sedih. Ia yang tidak terbiasa dengan kegagalan tentu menaruh dendam karena usahanya tidak berhasil.Ah keluarga Aruna memang bukan keluarga berada. Tapi mereka punya prinsip yang kuat."Nanti kita coba cara lain ya Non. Agar membyat mereka benar benar kapok dan menyesal sudah berani melawan Non Mayang," usul salah seorang bodyguard."Tidak usah. Buang buang waktu. Nanti akan ada saatnya anaknya akan benar benar sakit hati melihat aku bahagia. Kamu catat. Mereka harus diundang di acara nikahan ku nanti," perintah MayangSementara itu Pak Wito cukup mendengus kesal dengan kedatangan mereka. Nafasnya naik turun."Kurang kerjaan sekali mereka. Datang datang hanya untuk seperti itu. Bapak jadi khawatir dengan keadaan Aruna Bu," kata Pak Wito."Duh bapak seperti tidak kenal Aruna saja. Andai Aruna ada disini sudah habis wanita itu. Dia lebih keras dan lebih tegas daripada kita,"Pak Wito mengangguk pel
Bu Marni tak menggubris omongan tetangga. Bahkan ia masih dengan santai melakukan aktivitasnya.Dimas berangkat dengan wajah yang tidak sumringah sama sekali. Walau para tetangga yang mengiringnya tentu senang bukan main. Karena ia yakin di tempat Pak Subrata akan di suguhkan beragam hidangan yang mewah. Tentu pelayanannya pun bukan kaleng kaleng.Benar saja, bahkan Pak Subrata memasang sebuah tenda di depan rumahnya. Hanya untuk acara pertunangan saja. Dengan beraneka macam makanan prasmanan yang begitu menggugah selera.Mayang tampil dengan kebaya berwarna pink soft. Baju yang dikenakan memang bagus. Tapi di mata Dimas, apapun bajunya tetap aneh jika dipakai oleh Mayang.Semua tepuk tangan saat Dimas melingkarkan cincin di jari manis Mayang. Fotografer terkenal juga turut diundang di acara tersebut. Mengabadikan momen yang sangat berkesan di hati Mayang.Acara berlangsung dengan begitu meriah. Para tetangga Dimas sudah seperti rakyat yang tidak pernah makan berhari hari. Mereka beg
Mendengar itu justru Aruna mundur ke belakang. Menghindar dari Andra."Gila. Kamu pasti kesurupan," komentar Aruna dan ia hendak lari.Andra tertawa kecil. Separah itukah luka hati Aruna? Hingga ia seolah tidak percaya kepada laki-laki.Andra tak mengejar. Tapi ia mempunyai rencana lain. Wanita seperti Aruna pasti effortnya tinggi andaikata ia sudah jatuh cinta. Sayang, mungkin dia pernah jatuh di tangan laki laki yang salah.Hari Mayang kembali berbunga-bunga. Bagaimana tidak hari ini ia diajak oleh Dimas ke toko emas untuk membeli cincin lamaran mereka."Naik motor?" tanya Mayang.Dimas mengangguk. Bagaimana lagi. Memang yang ia punya hanya montor. Hati Dimas berdebar, apakah Mayang menolak karena hanya naik montor?Namun siapa sangka justru Mayang memberikan sebuah kunci mobil."Kamu bisa pakai mobil kan?"Dimas melongo dan mengangguk pelan. Tangannya bergetar menerima kunci itu."Nanti kamu bawa pulang sekalian. Jadi kalau jemput aku langsung pakai mobil," kata Mayang lagi.Apa se
Dimas hanya menelan Saliva saat Aruna mengatakan itu. Tidak bohong, memang Aruna cantik."Lagipula, kamu juga aneh. Putus dari aku, cari yang lebih. Kenapa cari yang lebih jelek dari aku?" olok Aruna."Memangnya.. emm,"Kalimat Dimas terbata bata."Memangnya kenapa? Memangnya aku tidak tau begitu calon istrimu? Aku tau ya Dimas. Dia pernah datang ke toko. Entah maunya apa. Mungkin ingin membuat ku sakit hati."Dimas terdiam. Ah apa mungkin Aruna sakit hati? Itu artinya dia masih menyimpan rasa untuknya."Dan kamu sakit hati?" tanya Dimas. Besar harapannya agar Aruna mengatakan iya."Tidak sama sekali. Justru dia yang mungkin kena mental. Kamu tanya saja sendiri."Dimas melengos."Kamu selalu begitu Run,""Begitu bagaimana? Lalu mau kamu yang seperti apa? Yang diam saja saat harga dirinya dihina. Jika hari ini dia bisa menginjak ekorku, besar kemungkinan dia juga akan menginjak kepalaku esok. Dan aku tidak mau. Kalau bukan aku yang mempertahankan harga diriku. Lalu siapa lagi?" tanya b
Aruna mengusap wajahnya dengan kasar."Ndra, berhenti gombal seperti itu. Aku bukan orang yang langsung mleyot mendengar rayuan laki laki."Andra mengangguk."Iya. Aku juga tidak akan mengobral janji, Run.""Maksut kamu?""Pikir saja sendiri," jawab Andra. Obrolan mereka dibuyarkan karena ada pelanggan yang datang."Ingat ya Ndra. Kamu masih punya hutang ke aku," bisik lirih Aruna."Utang apa Run? Yang ada kamu kemarin yang aku belikan cilok,""Utang penjelasan." jawab Aruna penuh penekanan.*"Dimas, antar ibu ke pasar," pinta Bu Siti saat anaknya baru pulang.Dimas mendengus kesal."Mau ngapain sih Bu? Dimas baru pulang," keluhnya."Heh, ini semua demi kamu ya. Ibu mau jual emas ini."Sontak Dimas terperanjat."Untuk apa Bu? Itu emas peninggalan bapak kan? Apa Mbak Diah butuh uang lagi? Ya Tuhan, kemarin habis dapat dari Mayang loh.""Jangan banyak omong kamu. Ini untuk lamaran kamu. Tak apa ibu menjualnya. Nanti kalau sudah dapat dari Mayang, ibu bisa beli lagi. Lebih banyak," kata
Bohong sekali jika saat itu Subrata tidak tersinggung. Tapi ia harus tetap menjaga sikap di depan Ko Ari. Setidaknya agar keinginanya terkabulkan."Apa mungkin kurang banyak? Saya bisa tambahkan lagi," tawar Subrata.Mendengar itu, Ko Ari bertambah kadar kekesalannya."Ah sudah sudah. Pergi saja. Saya tidak punya banyak waktu meladeni acara suap menyuap. Saya tidak butuh uang anda," usir Ko Ari yang mulai bangkit berdiri.Kedua bodyguard Subrata, sontak pasang badan melihat majikannya diperlakukan dengan sedemikian rupa.Namun Subrata mengangkat tangannya. Mengisyaratkan untuk tidak mengambil langkah yang lebih."Baiklah. Tapi tawaran saya masih berlaku Ko. Jika anda berubah pikiran, anda bisa menemui saya.""Iya iya iya," jawab Ko Ari dengan tangan yang mengusir.Subrata kecewa bukan main. Baru kali ini ada orang yang menolak tawarannya. Bagaimana dan apa yang bisa ia lakukan kepada Mayang untuk mengabulkan permintaannya. Dia tak pernah gagal melihat usaha Daddy-nya.Dan benar saja.
Mayang mengepalkan tangannya. Ia kira mantan tunangan Dimas adalah wanita miskin dan lembek. Tapi ternyata dia menyebalkan juga.'Awas. Tunggu saja pembalasanku. Akan ku buat kamu bertekuk lutut meminta maaf dariku,' gumam Mayang dalam hati.Sementara itu Aruna tak habis pikir. Kurang kerjaan atau bagaimana wanita itu hingga datang kesini hanya untuk mengucapkan itu. Jika ia mau, bisa saja ia berbicara panjang lebar. Tapi untuk apa? Tak ada untungnya. Biar dia yang merasakan sendiri."Belum waktunya istirahat. Kok sudah ada disini? Kata Ko Ari kamu adalah karyawan teladan. Tapi kok?" tegur Andra.Di belakang toko, Ko Ari membuatkan sebuah teras untuk para kartawannya istirahat. Teras tersebut menghadap area persawahan secara langsung. Damainya, semilir anginnya. Benar benar membuat nyaman.Aruna hanya sekilas menoleh."Kamu sakit?" tanya Andra lagi."Iya. Sakit hati." jawab Aruna asal.Andra menatap Aruna dengan tawa seraknya. Sementara Aruna membalasnya dengan tatapan sinis."Kenapa
Ko Ari yang sedang berkutat di depan kalkulator, tentu kaget mendengar teriakan Aruna. Begitupun dengan laki-laki itu. Ia kaget mengapa Aruna justru berteriak saat menatapnya"Hei, aku ini manusia. Bukan hantu. Lihat kakiku. Menapak tanah. Lagipula ini masih pagi. Hantu masih tidur," ucap laki-laki itu tak kalah panik.Runa masih berdiri dengan kaku "Ada Apa Runa? Kamu mengagetkan saja," tanya Ko Ari "Itu Ko. Ada Pangeran Arab nyasar kesini." jawab Runa sembari menunjuk laki laki di depannya.Laki laki itu menepuk jidat."Yaelah. Ada ya wanita yang alergi laki laki tampan," katanya."Idih. Sombong banget." balas Runa."Iya lah. Kamu tadi bilang aku seperti pangeran Arab kan. Semua wanita juga tau bahwa sosok yang dijuluki pangeran itu tentu sosok yang tampan.""Eh sudah sudah. Disini saya bayar kalian untuk bekerja. Bukan untuk berantem. Mengerti." kata Ko Ari Aruna mengangguk."Maaf Ko. Reflek." "Perkenalkan dia namanya Andra. Dan ini Aruna."Karena di depan Ko Ari, terpaksa Run