Mayang mengepalkan tangannya. Ia kira mantan tunangan Dimas adalah wanita miskin dan lembek. Tapi ternyata dia menyebalkan juga.'Awas. Tunggu saja pembalasanku. Akan ku buat kamu bertekuk lutut meminta maaf dariku,' gumam Mayang dalam hati.Sementara itu Aruna tak habis pikir. Kurang kerjaan atau bagaimana wanita itu hingga datang kesini hanya untuk mengucapkan itu. Jika ia mau, bisa saja ia berbicara panjang lebar. Tapi untuk apa? Tak ada untungnya. Biar dia yang merasakan sendiri."Belum waktunya istirahat. Kok sudah ada disini? Kata Ko Ari kamu adalah karyawan teladan. Tapi kok?" tegur Andra.Di belakang toko, Ko Ari membuatkan sebuah teras untuk para kartawannya istirahat. Teras tersebut menghadap area persawahan secara langsung. Damainya, semilir anginnya. Benar benar membuat nyaman.Aruna hanya sekilas menoleh."Kamu sakit?" tanya Andra lagi."Iya. Sakit hati." jawab Aruna asal.Andra menatap Aruna dengan tawa seraknya. Sementara Aruna membalasnya dengan tatapan sinis."Kenapa
Bohong sekali jika saat itu Subrata tidak tersinggung. Tapi ia harus tetap menjaga sikap di depan Ko Ari. Setidaknya agar keinginanya terkabulkan."Apa mungkin kurang banyak? Saya bisa tambahkan lagi," tawar Subrata.Mendengar itu, Ko Ari bertambah kadar kekesalannya."Ah sudah sudah. Pergi saja. Saya tidak punya banyak waktu meladeni acara suap menyuap. Saya tidak butuh uang anda," usir Ko Ari yang mulai bangkit berdiri.Kedua bodyguard Subrata, sontak pasang badan melihat majikannya diperlakukan dengan sedemikian rupa.Namun Subrata mengangkat tangannya. Mengisyaratkan untuk tidak mengambil langkah yang lebih."Baiklah. Tapi tawaran saya masih berlaku Ko. Jika anda berubah pikiran, anda bisa menemui saya.""Iya iya iya," jawab Ko Ari dengan tangan yang mengusir.Subrata kecewa bukan main. Baru kali ini ada orang yang menolak tawarannya. Bagaimana dan apa yang bisa ia lakukan kepada Mayang untuk mengabulkan permintaannya. Dia tak pernah gagal melihat usaha Daddy-nya.Dan benar saja.
Aruna mengusap wajahnya dengan kasar."Ndra, berhenti gombal seperti itu. Aku bukan orang yang langsung mleyot mendengar rayuan laki laki."Andra mengangguk."Iya. Aku juga tidak akan mengobral janji, Run.""Maksut kamu?""Pikir saja sendiri," jawab Andra. Obrolan mereka dibuyarkan karena ada pelanggan yang datang."Ingat ya Ndra. Kamu masih punya hutang ke aku," bisik lirih Aruna."Utang apa Run? Yang ada kamu kemarin yang aku belikan cilok,""Utang penjelasan." jawab Aruna penuh penekanan.*"Dimas, antar ibu ke pasar," pinta Bu Siti saat anaknya baru pulang.Dimas mendengus kesal."Mau ngapain sih Bu? Dimas baru pulang," keluhnya."Heh, ini semua demi kamu ya. Ibu mau jual emas ini."Sontak Dimas terperanjat."Untuk apa Bu? Itu emas peninggalan bapak kan? Apa Mbak Diah butuh uang lagi? Ya Tuhan, kemarin habis dapat dari Mayang loh.""Jangan banyak omong kamu. Ini untuk lamaran kamu. Tak apa ibu menjualnya. Nanti kalau sudah dapat dari Mayang, ibu bisa beli lagi. Lebih banyak," kata
Dimas hanya menelan Saliva saat Aruna mengatakan itu. Tidak bohong, memang Aruna cantik."Lagipula, kamu juga aneh. Putus dari aku, cari yang lebih. Kenapa cari yang lebih jelek dari aku?" olok Aruna."Memangnya.. emm,"Kalimat Dimas terbata bata."Memangnya kenapa? Memangnya aku tidak tau begitu calon istrimu? Aku tau ya Dimas. Dia pernah datang ke toko. Entah maunya apa. Mungkin ingin membuat ku sakit hati."Dimas terdiam. Ah apa mungkin Aruna sakit hati? Itu artinya dia masih menyimpan rasa untuknya."Dan kamu sakit hati?" tanya Dimas. Besar harapannya agar Aruna mengatakan iya."Tidak sama sekali. Justru dia yang mungkin kena mental. Kamu tanya saja sendiri."Dimas melengos."Kamu selalu begitu Run,""Begitu bagaimana? Lalu mau kamu yang seperti apa? Yang diam saja saat harga dirinya dihina. Jika hari ini dia bisa menginjak ekorku, besar kemungkinan dia juga akan menginjak kepalaku esok. Dan aku tidak mau. Kalau bukan aku yang mempertahankan harga diriku. Lalu siapa lagi?" tanya b
Mendengar itu justru Aruna mundur ke belakang. Menghindar dari Andra."Gila. Kamu pasti kesurupan," komentar Aruna dan ia hendak lari.Andra tertawa kecil. Separah itukah luka hati Aruna? Hingga ia seolah tidak percaya kepada laki-laki.Andra tak mengejar. Tapi ia mempunyai rencana lain. Wanita seperti Aruna pasti effortnya tinggi andaikata ia sudah jatuh cinta. Sayang, mungkin dia pernah jatuh di tangan laki laki yang salah.Hari Mayang kembali berbunga-bunga. Bagaimana tidak hari ini ia diajak oleh Dimas ke toko emas untuk membeli cincin lamaran mereka."Naik motor?" tanya Mayang.Dimas mengangguk. Bagaimana lagi. Memang yang ia punya hanya montor. Hati Dimas berdebar, apakah Mayang menolak karena hanya naik montor?Namun siapa sangka justru Mayang memberikan sebuah kunci mobil."Kamu bisa pakai mobil kan?"Dimas melongo dan mengangguk pelan. Tangannya bergetar menerima kunci itu."Nanti kamu bawa pulang sekalian. Jadi kalau jemput aku langsung pakai mobil," kata Mayang lagi.Apa se
Bu Marni tak menggubris omongan tetangga. Bahkan ia masih dengan santai melakukan aktivitasnya.Dimas berangkat dengan wajah yang tidak sumringah sama sekali. Walau para tetangga yang mengiringnya tentu senang bukan main. Karena ia yakin di tempat Pak Subrata akan di suguhkan beragam hidangan yang mewah. Tentu pelayanannya pun bukan kaleng kaleng.Benar saja, bahkan Pak Subrata memasang sebuah tenda di depan rumahnya. Hanya untuk acara pertunangan saja. Dengan beraneka macam makanan prasmanan yang begitu menggugah selera.Mayang tampil dengan kebaya berwarna pink soft. Baju yang dikenakan memang bagus. Tapi di mata Dimas, apapun bajunya tetap aneh jika dipakai oleh Mayang.Semua tepuk tangan saat Dimas melingkarkan cincin di jari manis Mayang. Fotografer terkenal juga turut diundang di acara tersebut. Mengabadikan momen yang sangat berkesan di hati Mayang.Acara berlangsung dengan begitu meriah. Para tetangga Dimas sudah seperti rakyat yang tidak pernah makan berhari hari. Mereka beg
"Sudah sudah ayo pergi saja," ajak Mayang. Lalu naik ke mobil.Di dalam mobil bukannya ia sedih. Ia yang tidak terbiasa dengan kegagalan tentu menaruh dendam karena usahanya tidak berhasil.Ah keluarga Aruna memang bukan keluarga berada. Tapi mereka punya prinsip yang kuat."Nanti kita coba cara lain ya Non. Agar membyat mereka benar benar kapok dan menyesal sudah berani melawan Non Mayang," usul salah seorang bodyguard."Tidak usah. Buang buang waktu. Nanti akan ada saatnya anaknya akan benar benar sakit hati melihat aku bahagia. Kamu catat. Mereka harus diundang di acara nikahan ku nanti," perintah MayangSementara itu Pak Wito cukup mendengus kesal dengan kedatangan mereka. Nafasnya naik turun."Kurang kerjaan sekali mereka. Datang datang hanya untuk seperti itu. Bapak jadi khawatir dengan keadaan Aruna Bu," kata Pak Wito."Duh bapak seperti tidak kenal Aruna saja. Andai Aruna ada disini sudah habis wanita itu. Dia lebih keras dan lebih tegas daripada kita,"Pak Wito mengangguk pel
Aruna menoleh ke arah Andra dengan wajah yang serius. "Kalau kamu tidak butuh uang, kenapa kamu bekerja?" tanya Aruna."Run, tidak penting kamu bertanya seperti itu. Yang penting bapak kamu dulu." komentar Andra lagi.Aruna menatap dengan nanar. Seperti enggan, tapi ia butuh "Kamu benar tidak apa apa Ndra?"Andra mengangguk. Aruna menerima amplop itu dengan ragu "Bulan depan gajiku buat kamu ya." kata Aruna.Andra mengibaskan tangannya di udara. "Ah gampang masalah itu. Yang penting bapak kamu dulu," kata Andra.Aruna bersemangat pulang. Ia tidak sabar untuk segera mengirimkan uang itu kepada ibunya. Siapa tau ibunya segera butuh.Setelah selesai mentransfer, Aruna segera menghubungi sang ibu."Ibu, sudah Aruna transfer ya. Semoga cukup ya Bu," kata Aruna sembari menyelam keringatnya. Tabungannya sudah habis. Ditambah hutang ke Andra juga. Tak masalah baginya."Banyak sekali Run? Kamu dapat uang darimana Nak?" tanya Bu Marni di seberang sana."Ada lah Bu. Tapi tenang saja, itu uan
Dimas duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Matahari mulai condong ke barat, tapi pikirannya masih terjebak dalam kekhawatiran yang sama sejak pagi tadi — mencari pekerjaan. Tumpukan koran dengan lingkaran merah di kolom lowongan kerja tergeletak di sampingnya, namun satu pun panggilan belum ia terima. Melamar menjadi guru kembali pun juga sulit.Pintu rumah terbuka dengan kasar, dan Bu Siti muncul dengan wajah kesal. “Dimas! Kamu di sini aja dari tadi? Udah dapat kerja belum?” suaranya tajam, menusuk telinga Dimas yang sudah cukup lelah.Dimas menghela napas pelan, mencoba menahan diri. “Belum, Bu. Aku udah coba cari, tapi belum ada panggilan.”“Alasannya itu terus! Kamu mau jadi pengangguran sampai kapan?” nada Bu Siti semakin meninggi. “Ibu ini baru keluar dari rumah sakit, tapi kamu malah santai nggak jelas di rumah!”Dimas menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah dan rasa malu. “Aku nggak santai, Bu. Aku keliling seharian tadi nyari kerja. Tapi di mana-mana susah. Kala
“Bu!” Dyah menatap ibunya dengan pandangan tak percaya. “Ibu dengar nggak sih apa yang barusan Ibu katakan? Aruna sama sekali nggak minta dihormati atau disanjung, Bu. Dia cuma mau membantu kita! Kenapa Ibu selalu melihat dia dengan kebencian?”Bu Siti menggeleng, wajahnya mengeras. “Karena aku tahu siapa Aruna, Dyah. Dia itu sombong! Dulu dia sok jual mahal sama Dimas, dan sekarang aku yakin dia cuma mau pamer kalau dia lebih berhasil dari kita.”“Ya Allah, Bu...” Dyah menutup wajah dengan tangannya, berusaha menahan kekesalan yang semakin memuncak. “Sampai kapan Ibu mau kayak gini? Sampai kapan Ibu mau terjebak dengan kebencian yang nggak ada gunanya?”"kamu kenapa sih Dyah? Kenapa kamu justru membela si Aruna itu?" Tanya Bu Siti."Ya mau membela siapa lagi? Mayang? Bu, dia sudah tidak perduli dengan keluarga kita. Buat apa? Bahkan dia juga sudah membuang Dimas."Bu Siti mendengus pelan, matanya menatap lurus ke depan. “Pokoknya Ibu nggak mau berterima kasih sama Aruna. Kalau perlu,
Andra menatap Aruna dengan pandangan tajam, namun tidak ada kemarahan di sana. Hanya sedikit kekecewaan yang tersirat di matanya. Aruna yang sejak tadi duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa. Ia takut jika Andra berpikiran yang tidak-tidak tentang keputusannya membantu Dimas.“Aku tahu,” akhirnya Andra bersuara, suaranya datar namun tegas. “Aku tahu kamu bantu Dimas.”Aruna menelan ludah, sedikit salah tingkah. “Mas, aku cuma...”“Berapa yang kamu kasih ke dia?” potong Andra sebelum Aruna sempat menyelesaikan kalimatnya.Aruna terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, “Sepuluh juta.”Andra terdiam sesaat, menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, bukan karena Aruna memberi uang kepada Dimas, tapi lebih kepada nominal yang cukup besar.“Sepuluh juta?” ulangnya, menatap Aruna dengan sedikit tidak percaya. “Aruna, kalau kamu memang mau bantu, kenapa nggak sekalian?”Aruna mengernyit. “Maksud Mas?”Andra bangkit dari duduk
Dimas duduk gelisah di ruang tamu rumah Aruna. Tangannya menggenggam erat lututnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tidak menyangka harus kembali ke rumah ini dalam kondisi seperti ini. Dulu, ia meninggalkan Aruna tanpa ragu, dan kini, ia kembali sebagai seorang peminta-minta.Pak Wito, ayah Aruna, duduk di hadapannya dengan wajah keras. Sorot matanya tajam, penuh amarah yang ia tahan. Ia melipat kedua tangannya di dada, menunggu penjelasan dari Dimas."Jadi, kau datang ke sini untuk meminjam uang?" suara Pak Wito rendah, namun penuh tekanan.Dimas menelan ludah. "Pak Wito, saya benar-benar dalam kesulitan. Ibu saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Saya butuh biaya untuk membayar pengobatannya."Pak Wito menghela napas, lalu menggeleng. "Kau tahu, Dimas? Aku sudah mendengar banyak tentang kehidupanmu sekarang. Kau meninggalkan Aruna, menikahi perempuan lain, lalu hidup dalam kemiskinan. Dan sekarang, kau kembali ke sini dengan tangan kosong, meminta bantuan?"Dimas m
Dimas duduk di ruang tamu rumah ibunya dengan wajah letih. Sudah beberapa hari ia tinggal di sini sejak Mayang mengusirnya. Di depannya, Bu Siti duduk dengan tangan bersedekap, ekspresinya penuh kekecewaan."Ibu, sudahlah. Kita nggak akan menang lawan Bu Lina," Dimas berkata dengan suara datar.Bu Siti melotot. "Maksudmu apa? Kamu mau menyerah begitu saja? Mayang itu istrimu, Dimas! Kamu nggak boleh membiarkan dia semena-mena seperti ini!"Dimas mengusap wajahnya dengan frustasi. "Aku sudah capek, Bu. Bu Lina memang keras kepala. Dia nggak akan membiarkan Mayang kembali ke aku. Lagipula, aku nggak bisa terus-terusan begini. Aku harus mulai membangun hidupku sendiri."Bu Siti mengerutkan dahi. "Kamu mau ngapain?"Dimas menarik napas dalam. "Aku mau mulai dari awal. Seperti dulu, aku bakal jadi guru lagi."Bu Siti langsung menepuk pahanya dengan keras. "Guru?! Kamu mau jadi guru honorer lagi? Kamu pikir itu cukup? Kamu pikir dengan gaji receh itu kamu bisa hidup enak?"Dimas terdiam. Ia
Dimas terduduk di ruang tengah rumah ibunya, wajahnya tampak kusut. Sudah tiga hari ia tinggal di sini sejak diusir Mayang. Hatinya masih dipenuhi amarah dan gengsi yang terluka.Bu Siti berjalan keluar dari dapur sambil membawa segelas teh manis, lalu meletakkannya di meja di depan Dimas. Namun, tatapan matanya penuh selidik."Sudah tiga hari kamu di sini. Kamu nggak pulang ke rumah?"Dimas menghela napas panjang. Ia meneguk tehnya tanpa menjawab.Bu Siti duduk di sebelahnya, menatapnya lekat-lekat. "Dimas, kamu ada masalah apa sama Mayang?"Dimas mendengus. "Masalah besar, Bu."Bu Siti menyipitkan mata. "Jangan bilang kamu berantem lagi. Kamu itu laki-laki, Dimas. Istri itu harus kamu kendalikan, bukan malah kamu yang diusir dari rumah!"Dimas menoleh dengan ekspresi kesal. "Iya, Bu! Aku diusir! Mayang sudah nggak mau sama aku lagi!"Bu Siti terbelalak. "Apa?!"Dimas bersandar ke sofa dengan wajah penuh kekecewaan. "Dia bilang dia nggak bisa hidup sama laki-laki yang nggak bertanggu
Mayang duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah lantai. Suara ibunya masih terngiang di kepalanya, terus-menerus mengusik pikirannya."Ayo ikut Ibu. Kamu masih punya masa depan, Mayang. Jangan buang hidupmu untuk laki-laki yang tidak punya modal."Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya dengan berat. Ia tahu ibunya tidak salah. Sejak awal menikah, Dimas memang tidak pernah benar-benar berjuang untuknya. Bahkan saat mereka masih hidup berkecukupan berkat usaha ayahnya, Dimas lebih banyak bergantung daripada berusaha. Sekarang, setelah semua hancur, ia bahkan lebih banyak mengeluh daripada mencari solusi.Namun, di sisi lain, Mayang merasa tidak punya pilihan lain. Sejak dulu, ia sudah terbiasa berpikir bahwa tidak ada laki-laki lain yang akan menginginkannya selain Dimas. Wajahnya biasa saja—tidak secantik perempuan-perempuan lain di luar sana. Bahkan sejak kecil, ia selalu merasa kurang menarik dibandingkan teman-temannya.Jika ia meninggalkan Dimas sekarang, apakah
Rumah itu kini terasa hampa. Sejak kepergian Pak Subrata, seolah-olah seluruh kehangatan yang dulu menyelimuti keluarga mereka ikut pergi bersamanya. Mayang duduk di sudut ruang tamu, menatap kosong ke arah lantai. Matanya sembab, namun air matanya seakan sudah habis.Orang-orang masih berdatangan untuk menyampaikan belasungkawa. Namun, bagi Mayang, semuanya hanya suara yang sayup-sayup masuk ke telinganya tanpa benar-benar ia pahami. Sejak hari kematian ayahnya, ia menjadi seperti orang linglung. Ia masih bernapas, masih bergerak, tapi jiwanya seperti tertinggal di hari di mana ayahnya pergi.Bu Lina mencoba menguatkan Mayang, tapi semua orang bisa melihat betapa rapuhnya ia sekarang. Wajahnya yang dulu selalu tegas kini dipenuhi garis-garis kesedihan yang semakin dalam. Berulang kali ia memanggil nama Mayang, namun putrinya hanya menoleh sebentar, lalu kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.Dimas berdiri di sudut ruangan, merasa serba salah. Sejak hari itu, Mayang hampir tidak be
Bu Lina berdiri di ambang pintu ruang tamu dengan tatapan tajam. Wajahnya tegas, dan sorot matanya penuh dengan kekecewaan. Mayang menoleh ke arah ibunya, sedikit terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Sementara itu, Dimas tampak pucat, tidak menyangka bahwa mertuanya akan muncul di saat pertengkaran sedang memuncak."Bu?" Mayang bersuara lirih.Bu Lina berjalan mendekat dengan langkah mantap, tangannya terlipat di dada. "Laki-laki seperti ini masih kamu pertahankan, Mayang?" tanyanya lagi, suaranya dingin namun penuh ketegasan.Dimas berusaha menenangkan dirinya, lalu berkata dengan nada terpaksa, "Bu Lina, ini urusan saya dan Mayang. Ibu nggak perlu ikut campur."Namun, Bu Lina tidak bergeming. Ia menatap Dimas dengan pandangan penuh penilaian. "Ikut campur? Kamu kira aku bisa diam saja melihat anak perempuanku diperlakukan seperti mesin ATM? Mayang itu bukan sapi perah kamu, Dimas! Dia bukan sumber uang untuk membiayai hidup ibumu di kampung. Dia adalah istrimu!"Dimas menge