"Kita batalkan pernikahan kita ya Run," ucap Dimas dengan tiba tiba.
Aku hanya menatapnya sekilas. Lalu menganggukan kepala pertanda setuju.
Terlihat kini bergantian Dimas menatapku penuh kecewa. Lah apa tidak salah? Seharusnya aku yang merasakan itu.
Dia pikir, dengan kalimatnya yang mengagetkan itu, jus jeruk yang sudah ada di kerongkonganku ini keluar begitu? Oh tidak. Aku tidak seperti di sinetron sinetron itu. Yang menangis, merengek saat diputuskan hubungan.
Andai dia bilang selesai, ya sudah selesai. Mau bagaimana lagi.
"Kok begitu tanggapanmu? Apa selama ini kamu tidak pernah cinta kepadaku? Kamu juga tidak tanya alasannya kenapa," keluh Dimas.
Aku mendongak. Menatap laki laki yang sebenarnya tidak tampan itu. Laki laki yang sudah hampir satu dasawarsa aku temani. Dari kita yang masih hobi bermain gundu. Hingga dia sudah menjadi guru.
"Lalu mau mu aku harus bagaimana? Harus menangis? Harus histeris? Satu dasawarsa bukan waktu yang lama untuk kamu mengenalku bukan? Jadi ku rasa kamu sudah paham," jawabku dengan santai.
Dimas melengos.
"Ya sudah terserah apa katamu. Sampaikan ini kepada kedua orang tuamu."
"Kalau merasa laki laki, ya bicara baik baik membawa orang tuamu untuk datang ke rumah. Mau bagaimanapun kamu dan keluargamu sudah meminta aku kepada orang tuaku. Kalau tidak berani, sana ke pasar. Banyak yang jual rok." jawabku. Ya aku dan Dimas sudah bertunangan. Walau tanggalnya belum kami tentukan.
Dimas semakin kesal. Dan dia meninggalkanku di sendiri. Di warung mi ayam. Yang menjadi saksi awal dan akhir hubunganku dengan Dimas.
Aku tidak akan mencegahnya pergi. Biarlah. Apapun alasannya Dimas ingin pergi, aku tak akan memaksa siapapun untuk tetap di sisi.
Justru yang aku lakukan adalah menghabiskan mi ayam yang sudah terlanjur aku pesan. Ditambah dengan suasana sedikit gerimis, membuat aku semakin betah.
"Aruna, kenapa jalan kaki? Dimas mana?" tanya Ibu yang sedang bersantai di teras.
"Pergi Bu."
"Pergi bagaimana? Tadi kamu berangkat dengan dia lho."
"Ya dia pergi dari hidupku."
Aku melangkah masuk ke dalam rumah Limas peninggalan kakek dan nenek ini. Dan ternyata ibu mengikutiku dari belakang.
"Runa, kamu ini bicara apa? Jangan bicara macam macam," pekik ibu. Terlihat beliau sudah panik.
"Dimas membatalkan rencana pernikahan, Bu," jawabku dengan tegar.
Ibu melongo.
"Kamu tidak bercanda Runa?" tanya ibu lagi memastikan.
Runa menggeleng.
"Tidak Bu."
Aku sedikit nanar menatap ibu. Aku takut jika beliau kaget. Dan akan menangis histeris.
"Luna, Lula," teriak ibu dengan tiba tiba. Aku juga tak tau apa maksud beliau memanggil adik kembarku.
Si kembar mendekat. Setengah berlari saat mendengar teriakan ibu
"Ada apa Bu?"
"Kalian jaga Mbak Runa. Takutnya dia bunuh diri," kata Ibu.
Aku terkekeh kecil.
"Tuh, lihat. Jangan jangan Mbak mu sudah mulai gila. Ya Tuhan, Runa. Laki laki masih banyak. Yang lebih dari Dimas masih ada ribuan. Istighfar Nduk," ucap ibu.
"Ibu itu yang harusnya istighfar. Aku tidak apa apa Bu. Aku belum gila jika harus mengakhiri hidup dengan cara konyol seperti itu. Ditinggal pergi ya justru aku persilahkan. Ya kali aku harus menangis, menahannya agar tetap tinggal. Tidak Bu. Aku tidak akan merendahkan harga diriku hanya karena laki laki," jawab Aruna.
Ibu terlihat bernafas lega.
"Berarti semua sudah aman. Aruna masih waras," kata Ibu dengan lega.
"Belum Bu," ujar Lula tiba tiba.
Kami semua menoleh ke arahnya.
"Iya. Masih ada satu yang harus diselesaikan." tambah Luna.
Ah seperti bermain teka teki saja.
"Maksud kalian apa?" tanyaku tidak sabar.
"Kalau hubungan Mbak Runa dan Mas Dimas selesai. Dia pun juga harus selesai Mbak," kata Lula.
"Heh, bicara apa kalian?"
"Enak saja. Meninggalkan anak orang seenak jidat. Dia belum tau keluarga kita kak," jawab Lula sedikit singing.
Aku tertawa.
"Seperti kurang kerjaan saja. Pakai acara balas dendam. Tenang saja. Serahkan kepada ahlinya. Tuhanmu tidak akan pernah tidur," pesanku kepada mereka.
Malam hari, benar saja keluarga Dimas datang. Tapi mereka datang dengan wajah yang sepertinya tidak suka. Jika dulu mereka terlihat ramah dan baik. Kini topeng itu sudah di lepas.
"Wah ada apa ya Bu Siti? Tumben sekali datang kesini malam," sambut Ibu dengan tanah.
Bu Siti membenarkan letak duduknya
"Jadi begini Bu Marni, apa Runa sebelumnya sudah bercerita?" tanya Bu Siti
Ibu menggeleng. Ia hanya ingin alasannya itu keluar dari mulutnya sendiri. Meskipun ibu sudah tau.
"Pernikahan Dimas dan Aruna dibatalkan."
Ibu mengangguk mantap. Sama seperti Aruna. Ia tampak tidak ada beban.
"Boleh saya tau alasannya?"
"Apapun alasannya, tetapi Aruna tidak akan bisa memperbaiki," elak Bu Siti.
"Tante, saya juga tidak ada niat untuk memperbaiki kok," sela Aruna yang kesal.
"Baguslah kalau begitu. Jadi begini Bu Siti. Seantero kampung sudah tau bahwa Dimas ini adalah seorang guru. Kok tidak masuk akal ya akan melangsungkan pernikahannya dengan Runa yang hanya sebagai penjaga toko?"
"Oh jadi begitu alasannya?"
Bu Siti mengangguk mantap.
"Tapi Bu Siti juga tidak lupa bukan ? Bahwa Dimas juga hanya sebagai guru honorer," celetuk ibu lagi.
Mendengar kata honorer disebut. Bu Siti tampak tak enak hati.
"Meskipun honorer. Dia sudah sarjana, Bu. Kalau menikah dengan Aruna, mana bisa maju? Ini hidup Bu. Yang semuanya tak gratis. Jadi setelah kami berfikir dengan matang. Lebih baik Dimas menikah dengan Mayang. Seorang pengusaha. Yang tentu bisa membuat suaminya menjadi maju andai mereka menikah nanti." jawab Bu Siti dengan sombong.
"Oh berarti Dimas sama saja dengan barang barang yang ada di pasar ya Bu. Sama sama dijual."celetukku.
Bu Siti melotot menatapku. Aku tak perduli. Tak gentar. Terlebih saat mengetahui alasan Dimas membatalkan rencana pernikahan kami."Ya sudah kalau begitu. Itu saja yang bisa kami sampaikan. Kami harap keluarga kalian legowo menerima ini ya. Untuk pelajaran juga. Lain kali harus tau diri" kata Bu Siti lagi. Ia bangkit dan beranjak dari tempat duduknya."Iya. Benar apa kata Bu Siti. Kita harus tau diri. Aruna yang hanya lulusan SMP, kok mau menikah dengan sarjana. Yang sarjana juga harus tau diri akan menikah dengan siapa," balas ibu.Sebenarnya keluarga Dimas bukan keluarga yang kaya. Dimas bisa kuliah karena menjual sawah bapaknya yang telah meninggal."Aruna, apa tidak ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Bu Siti tiba tiba.Aku menggeleng."Itu. Cincin yang kamu pakai, apa tidak ada niat untuk kamu kembalikan?" tegurnya lagiYa Tuhan, ia sampai ingat sekali tentang cincin ini "Oh baiklah. Ini," ucapku sembari menyerahkan cincin yang melekat di jari manisku, kurang lebih lima bulan
POV AUTHOR"Ah menyesal ibu nurutin kemauan kamu untuk ngomong baik-baik kepada keluarga Aruna. Lagipula tingkah kamu itu memalukan, Dimas," gerutu Bu Siti sesampai di rumah."Bu, ini juga demi harga diri Dimas. Bagaimanapun akhirnya, kita pernah meminta Aruna pada keluarganya," elak Dimas."Ya sudah. Kalau begitu besok jual cincin dari Aruna itu. Hitung hitung untuk ganti rugi ke rumah Aruna,"Bukannya langsung menjawab, Dimas hanya menghela nafas pelan."Dimas, kamu dengar apa kata ibu atau tidak?" tegur Bu Siti sedikit keras Dimas tersentak dari lamunannya."Mana laku Bu?"Mendengar itu Bu Siti tambah melotot."Maksud kamu bagaimana?""Ya itu hanya cincin palsu. Bukan emas. Berapa sih gaji Dimas itu untuk beli cincin Bu," keluhnya.Bu Siti menepuk jidatnya."Ya Tuhan Dimas. Pantas saja Aruna begitu gampang menyerahkan cincin ini. Rupanya cincin ini bukan emas?"Dimas hanya diam. Bagaimana lagi? Memang itu kenyataanya ."Sudahlah Bu. Lagipula hubungan Dimas dan Aruna sudah berakhir
Dimas melotot mendengar permintaan kakaknya tersebut."Apa tidak ada yang lebih konyol dari ini Mbak?" tanya Diams dengan kesal Justru Mbak Diah mengangguk tanpa rasa berdosanya."Ada." jawabnya.Dimas melengos. Geram. Bodoh dan tidak peka memang beda beda tipis."Mintakan sawah setengah hektar. Untuk dikelola suamiku. Agar tidak nganggur," jawab Diah tanpa rasa bersalah.Dimas bangkit dari tempat duduknya. Bisa meledak lama lama mendengar celoteh dari Mbak Diah."Dimas mau kemana? Kamu ingat pesan Mbak ya. Jangan lupa. Mbak tunggu," teriaknya, walau Dimas sudah menutup pintu kamar.Kehidupan keluarga Aruna masih biasa saja. Mereka menjalani hidup dengan harmonis. Tapi tidak dengan omongan tetangga.Bisik sana bisik sini. Sekarang Aruna menjadi trending topik di desa itu.Tapi hal tersebut lantas tidak membuat keluarga mereka berkecil hati lalu tidak mau keluar rumah. Tidak sama sekali. "Runa mau kemana?" tanya Bu Marni."Mau ke warung Bu. Sabun dan pasrah gigi habis.""Biar adikmu
"H...Hai," sapa Dimas dengan terbata.Namun Mayang langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia terlihat begitu antusias dengan kedatangan Dimas.Namun dekat semakin mendekat, wajah Mayang yang hitam karena bawaan lahir, semakin jelas terlihat. Sebenarnya Dimas ingin mundur, tapi dia tidak enak hati."Hai," jawab Mayang dengan riang."Ayo," ajak Dimas. Hanya kata itu yang keluar dari tenggorokannya. Lalu ia menuju montornya."Mau kemana?" tanya Mayang.Dimas hanya memasang wajah yang bingung."Katanya mau malam Minggu?"Mayang tertawa kecil. Jika wanita lain tersenyum manis. Justru bagi Dimas senyum Mayang tak ubah seperti pare. Pait."Iya. Tapi kita naik mobil. Ini," kata Mayang sembari menunjuk sebuah mobil Alphard.Dimas semakin melongo."Ta.. Tapi aku tidak bisa setir mobil," elak Dimas dengan lirih.Mayang mengibaskan tangannya di udara"Gampang. Kan ada sopir," jawabnya entengDimas dengan pelan masuk ke dalam mobil mewah itu. Bahkan sopirnya membukakan pintu untuknya. Ya Tuhan, b
Dimas melengos. Salah tingkah."Ehm ti... ti.. tidak Mayang. Tak apa," jawab Dimas dengan gugup.Mayang mengeluarkan satu kartu dari dompetnya. Fiyuhh Dimas lega bukan main. Ia kira Mayang akan menyuruhnya membayar."Kamu kenapa sih? Kok keringatan seperti itu? Ini tidak panas loh. Ini malam hari," tanya Mayang.Dimas sejenak tertunduk."Ah aku mungkin grogi di dekat kamu," elak Dimas. Ya ia hanya berbohong menutupi ketakutannya Mendengar itu, Mayang tersipu malu. Pipinya bersemu kemerahan. Perasaanya semakin berbunga-bunga."Kamu bisa saja," respon Mayang yang salah tingkah.Mayang masih senyum-senyum walau dia sampai di mobil"Terimakasih ya Dimas," ucap Mayang tiba-tiba.Dimas menoleh."Terimakasih kenapa? Aku yang justru berterimakasih. Kamu baik," ujar Dimas Ah rasanya Mayang sekarang seperti terbang tinggi. Tersanjung."Jangan kapok ya Dimas. Kapan kapan kita keluar lagi," ucapnya saat mereka sudah turun dari mobil.Dimas hanya mengangguk kecil. Memaksakan senyum. Lalu ia menu
Ko Ari yang sedang berkutat di depan kalkulator, tentu kaget mendengar teriakan Aruna. Begitupun dengan laki-laki itu. Ia kaget mengapa Aruna justru berteriak saat menatapnya"Hei, aku ini manusia. Bukan hantu. Lihat kakiku. Menapak tanah. Lagipula ini masih pagi. Hantu masih tidur," ucap laki-laki itu tak kalah panik.Runa masih berdiri dengan kaku "Ada Apa Runa? Kamu mengagetkan saja," tanya Ko Ari "Itu Ko. Ada Pangeran Arab nyasar kesini." jawab Runa sembari menunjuk laki laki di depannya.Laki laki itu menepuk jidat."Yaelah. Ada ya wanita yang alergi laki laki tampan," katanya."Idih. Sombong banget." balas Runa."Iya lah. Kamu tadi bilang aku seperti pangeran Arab kan. Semua wanita juga tau bahwa sosok yang dijuluki pangeran itu tentu sosok yang tampan.""Eh sudah sudah. Disini saya bayar kalian untuk bekerja. Bukan untuk berantem. Mengerti." kata Ko Ari Aruna mengangguk."Maaf Ko. Reflek." "Perkenalkan dia namanya Andra. Dan ini Aruna."Karena di depan Ko Ari, terpaksa Run
Mayang mengepalkan tangannya. Ia kira mantan tunangan Dimas adalah wanita miskin dan lembek. Tapi ternyata dia menyebalkan juga.'Awas. Tunggu saja pembalasanku. Akan ku buat kamu bertekuk lutut meminta maaf dariku,' gumam Mayang dalam hati.Sementara itu Aruna tak habis pikir. Kurang kerjaan atau bagaimana wanita itu hingga datang kesini hanya untuk mengucapkan itu. Jika ia mau, bisa saja ia berbicara panjang lebar. Tapi untuk apa? Tak ada untungnya. Biar dia yang merasakan sendiri."Belum waktunya istirahat. Kok sudah ada disini? Kata Ko Ari kamu adalah karyawan teladan. Tapi kok?" tegur Andra.Di belakang toko, Ko Ari membuatkan sebuah teras untuk para kartawannya istirahat. Teras tersebut menghadap area persawahan secara langsung. Damainya, semilir anginnya. Benar benar membuat nyaman.Aruna hanya sekilas menoleh."Kamu sakit?" tanya Andra lagi."Iya. Sakit hati." jawab Aruna asal.Andra menatap Aruna dengan tawa seraknya. Sementara Aruna membalasnya dengan tatapan sinis."Kenapa
Bohong sekali jika saat itu Subrata tidak tersinggung. Tapi ia harus tetap menjaga sikap di depan Ko Ari. Setidaknya agar keinginanya terkabulkan."Apa mungkin kurang banyak? Saya bisa tambahkan lagi," tawar Subrata.Mendengar itu, Ko Ari bertambah kadar kekesalannya."Ah sudah sudah. Pergi saja. Saya tidak punya banyak waktu meladeni acara suap menyuap. Saya tidak butuh uang anda," usir Ko Ari yang mulai bangkit berdiri.Kedua bodyguard Subrata, sontak pasang badan melihat majikannya diperlakukan dengan sedemikian rupa.Namun Subrata mengangkat tangannya. Mengisyaratkan untuk tidak mengambil langkah yang lebih."Baiklah. Tapi tawaran saya masih berlaku Ko. Jika anda berubah pikiran, anda bisa menemui saya.""Iya iya iya," jawab Ko Ari dengan tangan yang mengusir.Subrata kecewa bukan main. Baru kali ini ada orang yang menolak tawarannya. Bagaimana dan apa yang bisa ia lakukan kepada Mayang untuk mengabulkan permintaannya. Dia tak pernah gagal melihat usaha Daddy-nya.Dan benar saja.
Dimas duduk di teras rumah dengan pandangan kosong. Matahari mulai condong ke barat, tapi pikirannya masih terjebak dalam kekhawatiran yang sama sejak pagi tadi — mencari pekerjaan. Tumpukan koran dengan lingkaran merah di kolom lowongan kerja tergeletak di sampingnya, namun satu pun panggilan belum ia terima. Melamar menjadi guru kembali pun juga sulit.Pintu rumah terbuka dengan kasar, dan Bu Siti muncul dengan wajah kesal. “Dimas! Kamu di sini aja dari tadi? Udah dapat kerja belum?” suaranya tajam, menusuk telinga Dimas yang sudah cukup lelah.Dimas menghela napas pelan, mencoba menahan diri. “Belum, Bu. Aku udah coba cari, tapi belum ada panggilan.”“Alasannya itu terus! Kamu mau jadi pengangguran sampai kapan?” nada Bu Siti semakin meninggi. “Ibu ini baru keluar dari rumah sakit, tapi kamu malah santai nggak jelas di rumah!”Dimas menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah dan rasa malu. “Aku nggak santai, Bu. Aku keliling seharian tadi nyari kerja. Tapi di mana-mana susah. Kala
“Bu!” Dyah menatap ibunya dengan pandangan tak percaya. “Ibu dengar nggak sih apa yang barusan Ibu katakan? Aruna sama sekali nggak minta dihormati atau disanjung, Bu. Dia cuma mau membantu kita! Kenapa Ibu selalu melihat dia dengan kebencian?”Bu Siti menggeleng, wajahnya mengeras. “Karena aku tahu siapa Aruna, Dyah. Dia itu sombong! Dulu dia sok jual mahal sama Dimas, dan sekarang aku yakin dia cuma mau pamer kalau dia lebih berhasil dari kita.”“Ya Allah, Bu...” Dyah menutup wajah dengan tangannya, berusaha menahan kekesalan yang semakin memuncak. “Sampai kapan Ibu mau kayak gini? Sampai kapan Ibu mau terjebak dengan kebencian yang nggak ada gunanya?”"kamu kenapa sih Dyah? Kenapa kamu justru membela si Aruna itu?" Tanya Bu Siti."Ya mau membela siapa lagi? Mayang? Bu, dia sudah tidak perduli dengan keluarga kita. Buat apa? Bahkan dia juga sudah membuang Dimas."Bu Siti mendengus pelan, matanya menatap lurus ke depan. “Pokoknya Ibu nggak mau berterima kasih sama Aruna. Kalau perlu,
Andra menatap Aruna dengan pandangan tajam, namun tidak ada kemarahan di sana. Hanya sedikit kekecewaan yang tersirat di matanya. Aruna yang sejak tadi duduk di tepi ranjang, menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa. Ia takut jika Andra berpikiran yang tidak-tidak tentang keputusannya membantu Dimas.“Aku tahu,” akhirnya Andra bersuara, suaranya datar namun tegas. “Aku tahu kamu bantu Dimas.”Aruna menelan ludah, sedikit salah tingkah. “Mas, aku cuma...”“Berapa yang kamu kasih ke dia?” potong Andra sebelum Aruna sempat menyelesaikan kalimatnya.Aruna terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, “Sepuluh juta.”Andra terdiam sesaat, menghela napas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, bukan karena Aruna memberi uang kepada Dimas, tapi lebih kepada nominal yang cukup besar.“Sepuluh juta?” ulangnya, menatap Aruna dengan sedikit tidak percaya. “Aruna, kalau kamu memang mau bantu, kenapa nggak sekalian?”Aruna mengernyit. “Maksud Mas?”Andra bangkit dari duduk
Dimas duduk gelisah di ruang tamu rumah Aruna. Tangannya menggenggam erat lututnya, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tidak menyangka harus kembali ke rumah ini dalam kondisi seperti ini. Dulu, ia meninggalkan Aruna tanpa ragu, dan kini, ia kembali sebagai seorang peminta-minta.Pak Wito, ayah Aruna, duduk di hadapannya dengan wajah keras. Sorot matanya tajam, penuh amarah yang ia tahan. Ia melipat kedua tangannya di dada, menunggu penjelasan dari Dimas."Jadi, kau datang ke sini untuk meminjam uang?" suara Pak Wito rendah, namun penuh tekanan.Dimas menelan ludah. "Pak Wito, saya benar-benar dalam kesulitan. Ibu saya sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Saya butuh biaya untuk membayar pengobatannya."Pak Wito menghela napas, lalu menggeleng. "Kau tahu, Dimas? Aku sudah mendengar banyak tentang kehidupanmu sekarang. Kau meninggalkan Aruna, menikahi perempuan lain, lalu hidup dalam kemiskinan. Dan sekarang, kau kembali ke sini dengan tangan kosong, meminta bantuan?"Dimas m
Dimas duduk di ruang tamu rumah ibunya dengan wajah letih. Sudah beberapa hari ia tinggal di sini sejak Mayang mengusirnya. Di depannya, Bu Siti duduk dengan tangan bersedekap, ekspresinya penuh kekecewaan."Ibu, sudahlah. Kita nggak akan menang lawan Bu Lina," Dimas berkata dengan suara datar.Bu Siti melotot. "Maksudmu apa? Kamu mau menyerah begitu saja? Mayang itu istrimu, Dimas! Kamu nggak boleh membiarkan dia semena-mena seperti ini!"Dimas mengusap wajahnya dengan frustasi. "Aku sudah capek, Bu. Bu Lina memang keras kepala. Dia nggak akan membiarkan Mayang kembali ke aku. Lagipula, aku nggak bisa terus-terusan begini. Aku harus mulai membangun hidupku sendiri."Bu Siti mengerutkan dahi. "Kamu mau ngapain?"Dimas menarik napas dalam. "Aku mau mulai dari awal. Seperti dulu, aku bakal jadi guru lagi."Bu Siti langsung menepuk pahanya dengan keras. "Guru?! Kamu mau jadi guru honorer lagi? Kamu pikir itu cukup? Kamu pikir dengan gaji receh itu kamu bisa hidup enak?"Dimas terdiam. Ia
Dimas terduduk di ruang tengah rumah ibunya, wajahnya tampak kusut. Sudah tiga hari ia tinggal di sini sejak diusir Mayang. Hatinya masih dipenuhi amarah dan gengsi yang terluka.Bu Siti berjalan keluar dari dapur sambil membawa segelas teh manis, lalu meletakkannya di meja di depan Dimas. Namun, tatapan matanya penuh selidik."Sudah tiga hari kamu di sini. Kamu nggak pulang ke rumah?"Dimas menghela napas panjang. Ia meneguk tehnya tanpa menjawab.Bu Siti duduk di sebelahnya, menatapnya lekat-lekat. "Dimas, kamu ada masalah apa sama Mayang?"Dimas mendengus. "Masalah besar, Bu."Bu Siti menyipitkan mata. "Jangan bilang kamu berantem lagi. Kamu itu laki-laki, Dimas. Istri itu harus kamu kendalikan, bukan malah kamu yang diusir dari rumah!"Dimas menoleh dengan ekspresi kesal. "Iya, Bu! Aku diusir! Mayang sudah nggak mau sama aku lagi!"Bu Siti terbelalak. "Apa?!"Dimas bersandar ke sofa dengan wajah penuh kekecewaan. "Dia bilang dia nggak bisa hidup sama laki-laki yang nggak bertanggu
Mayang duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah lantai. Suara ibunya masih terngiang di kepalanya, terus-menerus mengusik pikirannya."Ayo ikut Ibu. Kamu masih punya masa depan, Mayang. Jangan buang hidupmu untuk laki-laki yang tidak punya modal."Ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya dengan berat. Ia tahu ibunya tidak salah. Sejak awal menikah, Dimas memang tidak pernah benar-benar berjuang untuknya. Bahkan saat mereka masih hidup berkecukupan berkat usaha ayahnya, Dimas lebih banyak bergantung daripada berusaha. Sekarang, setelah semua hancur, ia bahkan lebih banyak mengeluh daripada mencari solusi.Namun, di sisi lain, Mayang merasa tidak punya pilihan lain. Sejak dulu, ia sudah terbiasa berpikir bahwa tidak ada laki-laki lain yang akan menginginkannya selain Dimas. Wajahnya biasa saja—tidak secantik perempuan-perempuan lain di luar sana. Bahkan sejak kecil, ia selalu merasa kurang menarik dibandingkan teman-temannya.Jika ia meninggalkan Dimas sekarang, apakah
Rumah itu kini terasa hampa. Sejak kepergian Pak Subrata, seolah-olah seluruh kehangatan yang dulu menyelimuti keluarga mereka ikut pergi bersamanya. Mayang duduk di sudut ruang tamu, menatap kosong ke arah lantai. Matanya sembab, namun air matanya seakan sudah habis.Orang-orang masih berdatangan untuk menyampaikan belasungkawa. Namun, bagi Mayang, semuanya hanya suara yang sayup-sayup masuk ke telinganya tanpa benar-benar ia pahami. Sejak hari kematian ayahnya, ia menjadi seperti orang linglung. Ia masih bernapas, masih bergerak, tapi jiwanya seperti tertinggal di hari di mana ayahnya pergi.Bu Lina mencoba menguatkan Mayang, tapi semua orang bisa melihat betapa rapuhnya ia sekarang. Wajahnya yang dulu selalu tegas kini dipenuhi garis-garis kesedihan yang semakin dalam. Berulang kali ia memanggil nama Mayang, namun putrinya hanya menoleh sebentar, lalu kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.Dimas berdiri di sudut ruangan, merasa serba salah. Sejak hari itu, Mayang hampir tidak be
Bu Lina berdiri di ambang pintu ruang tamu dengan tatapan tajam. Wajahnya tegas, dan sorot matanya penuh dengan kekecewaan. Mayang menoleh ke arah ibunya, sedikit terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Sementara itu, Dimas tampak pucat, tidak menyangka bahwa mertuanya akan muncul di saat pertengkaran sedang memuncak."Bu?" Mayang bersuara lirih.Bu Lina berjalan mendekat dengan langkah mantap, tangannya terlipat di dada. "Laki-laki seperti ini masih kamu pertahankan, Mayang?" tanyanya lagi, suaranya dingin namun penuh ketegasan.Dimas berusaha menenangkan dirinya, lalu berkata dengan nada terpaksa, "Bu Lina, ini urusan saya dan Mayang. Ibu nggak perlu ikut campur."Namun, Bu Lina tidak bergeming. Ia menatap Dimas dengan pandangan penuh penilaian. "Ikut campur? Kamu kira aku bisa diam saja melihat anak perempuanku diperlakukan seperti mesin ATM? Mayang itu bukan sapi perah kamu, Dimas! Dia bukan sumber uang untuk membiayai hidup ibumu di kampung. Dia adalah istrimu!"Dimas menge