"Mi, hari ini masak apa?" tanya Mas Yanto, membuka tudung saji di atas meja. Padahal terlihat secara jelas ada sayur bening, ikan goreng, dan sambal tomat di sana.
"Sayur bening, ikan lele goreng, sama sambal tomat, Bi. Tapi jangan lupa, Ikan lelenya sisain buat anak-anak. Mereka sedang ngaji di musala. Belum pada makan. Paling sebentar lagi mereka pulang." Aku mengingatkan.
"Hemmm."
Mas Yanto mulai menyantap makanannya. Duduk sambil menekuk satu kaki ke atas kursi, sementara kaki satunya lagi dibiarkan menyangga di bawah lantai semen.
Lama lelaki itu tidak bersuara, aku pun melongo dari balik punggungnya.
Astaghfirullaahal ‘aziim. Lele goreng yang tadi berjumlah tujuh ekor itu kini tersisa dua ekor saja.
“Ikan gorengnya tinggal segitu, Bi?”
“He-emm.”
Lelaki berjenggot tipis itu menyendokkan nasi ke piring. Entah sudah ke berapa kali. Seperti orang yang tidak makan selama setahun.
"Sudah dong Bi. Sisain napa buat anak-anak," dengkusku melihat Lelaki itu hendak mengambil ikan lele goreng lagi.
Padahal sudah kuwanti-wanti, tetap saja tidak digubrisnya.
"Lihat ini nasiku masih banyak, Mi." Mas Yanto menunjukkan piring berisi gundukan nasi.
"Kan Abi bisa pakai sayur bening sama sambal."
"Eggak bisa, Mi. Kurang rasanya kalau enggak ada ikan."
"Lah, terus anak-anakku nanti makan apa, Bi?"
"Kasih aja sayur. Sambal juga masih ada. Akbar dan Faisal kan suka banget Mi sama sambal."
Aku pun melongo dibuatnya. Ternyata kesederhanaan anak-anakku dijadikan kesempatan lelaki itu untuk berbuat seenaknya.
Tanpa banyak kata-kata lagi kuambil piring berisi ikan lele goreng dan menyimpannya ke suatu tempat.
Aku juga tadi yang salah. Sudah tahu punya suami seperti itu, masih suka lupa memisahkan lauk untuk anak-anak.
“Kok enggak dihabiskan nasinya, Bi?”Kulihat gundukan nasi itu belum disentuhnya.
“Umi ambil sih lauknya. Abi jadi enggak selera makan lagi.”
Alamat aku yang menghabiskan nasinya. Sayang kalau sebanyak itu harus dibuang. Mubazir. Beras juga sedang mahal.
"Assalamu'alaikum!" Anak-anakku serentak mengucapkan salam dari luar.
"Wa'alaikumussalam," jawabku.
Sementara, tak kudengar jawaban salam keluar dari mulut Mas Yanto. Lelaki itu sudah berpindah tempat dan sibuk dengan ponsel pintarnya."Ohim lapar, Mak." Putra bungsuku merintih sambil memegangi perutnya.
Ketiga abangnya lebih dulu menyimpan peralatan mengaji di kamar, membawa serta peci dan kitab milik si bungsu."Sini, Nak. Tadi umi masak ikan lele kesukaan Ohim." Aku mengeluarkan ikan lele goreng yang tadi sempat kusembunyikan dari Mas Yanto.
Rohim mengambil tempat duduk persis di sebelah kursiku. Tidak lama kemudian ketiga abangnya datang melingkari meja makan.
Kuambil piring keramik dan mengisinya dengan nasi. Tidak lupa mengguyurkan kuah sayur bening di atasnya, karena putraku satu itu tidak suka makan sayurnya.
“Ikannya satu ekor bagi dua, ya,” ujarku sambil membagikan potongan ikan ke piring mereka.
“Akbar enggak usah, Mak. Kasihkan Dek Ohim aja,” kata si sulung.
“Ya sudah. Ini buat Ohim. Jangan lupa bilang makasih sama abang karena mau berbagi ikan.” Sengaja kutinggikan suara buat menyindir Mas Yanto.
Berhasil. Lelaki itu sempat melirik sebentar lalu kembali sibuk dengan ponselnya.
“Makasih, Bang,” ucap Rohim.
“Sama-sama,” jawab Akbar lirih.
“Ikannya enak, ya Mak,” kata Rohim dengan mulut penuh makanan.
Aku senang melihat anak-anak makan lahap, meskipun dengan lauk seadanya.
Kebersamaan seperti inilah yang kuinginkan. Bisa melihat senyum keempat putraku. Saling bercanda dan tawa bersama.
Semenjak aku bercerai dengan Mas Budi, aku harus bekerja keras untuk menghidupi keluargaku. Mengambil alih tugas bapak mereka yang tidak mau memberikan nafkah pasca perceraian itu.
Sampai akhirnya aku menikah dengan Mas Yanto yang tidak memiliki pekerjaan tetap, tetapi setidaknya dia bisa membantuku mengurus anak-anak saat aku sibuk bekerja.
Aku sering mengingatkan keempat putraku untuk memanggilku umi, biar selaras dengan panggilan abi untuk Mas Yanto. Akan tetapi, mereka seperti enggan mengubahnya. Mungkin sudah nyaman dengan panggilan seperti itu.
Selesai membereskan sisa makanan anak-anak, aku menghampiri Mas Yanto yang masih duduk santai di kursi panjang. Kini posisinya tidur tengkurap dengan wajah menghadap ke layar ponsel. Pelan-pelan aku mendekat. Mengintip dari balik punggungnya, karena penasaran dengan apa yang dilakukannya.
“Iya Sayang Iya. Besok kita makan di resto yang sedang viral itu.” Suara Mas Yanto terdengar lirih, tetapi bisa ditangkap olehku.
“Abi bicara sama siapa?”
Lelaki itu bangkit dan langsung menyembunyikan ponselnya di balik punggung. Dia tampak terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba itu.
“Eng-nggak kok, Mi. Abi enggak video call sama siapa-siapa.”
Video call? Jadi tadi itu dia sedang video call? Dengan panggilan sayang pula? Sama siapa?
“Video call siapa, Bi?” tanyaku berharap Mas Yanto bisa berkata jujur.“Bukan siapa-siapa, Mi.” Ia terlihat salah tingkah.“Terus kenapa HP-nya disembunyikan di belakang?” Aku menatap tajam manik matanya yang hitam.“Oh ... ini.” Mas Yanto mengeluarkan ponselnya. “Mati, Mi. Habis baterai. Hehehe.” Bohong! Pasti sengaja di-nonaktifkannya, biar tidak ketahuan. Jelas-jelas tadi layarnya hidup, dan kudengar Mas Yanto memanggil sayang dengan lawan bicaranya. Baiklah. Kalau memang Mas Yanto tidak mau mengaku, biar aku cari tahu sendiri.Lihat saja Mas Yanto, kalau sampai ketahuan berbohong, kamu akan tahu sendiri akibatnya. “Mi, itu ... kuota abi habis," ucapnya kemudian, sambil meringis."Bukannya tiga hari yang lalu baru diisi?" "Nggak tahu nih, Mi. Padahal cuma buat nonton ceramah di you tube. Kadang juga dipinjam Ohim buat nonton Upin-Ipin."Sekarang, malah Rohim yang dijadikan alasan. Kukeluarkan dompet dari dalam tas selempang. Membukanya lebar-lebar untuk mengeluarkan beberapa l
“Tega, Antum membohongi saya.”Aku masuk ke kamar untuk mengambil ponsel yang tertinggal. Marah dan kecewa bercampur menjadi satu memenuhi ruangan di hati. Aku tidak boleh menitikkan air mata, apalagi untuk lelaki seperti Mas Yanto.Awas saja kamu Mas. Suatu saat nanti, aku pasti akan membalas kebohonganmu selama ini. Mengaku duda mati, nyatanya masih ada bini. Dan tadi itu ... diam-diam dia mengirim uang untuk istri pertamanya memakai uang hasil keringatku?Jangan-jangan uang yang sering diminta untuk dikirimkan pada ibunya, malah dia kirimkan ke rekening istrinya?~A.M~“Mi, abi minta maaf. Abi akui, kalau abi memang salah. Tapi, abi mohon umi maafin abi.” Mas Yanto tiba-tiba berlutut di hadapanku.Halah, paling cuma akal-akalan Mas Yanto saja, biar aku merasa iba, hingga dengan mudah memaafkannya.“Apa istri Antum tahu tentang pernikahan ini?”Aku sudah kehilangan kepercayaan padanya, sehingga kuputuskan untuk menggunakan panggilan seperti saat pertama kalinya kami kenal di Medsos
Akhirnya yang kutakutkan pun terjadi. Aku keluar kamar sambil mencari-cari cara, agar bungsuku bisa melepas Mas Yanto sebagaimana ia melepas kepergian ayahnya dulu.“Ohim,” panggilku.Rohim menarik lengan Yanto dengan tatapan memohon. Tentu kesempatan tersebut digunakan lelaki pembohong itu untuk menarik simpati padaku.“Ohim, sini Sayang,” bujukku.“Mamak, kenapa Mamak biarin abi pergi? Kalau abi pergi, nanti Ohim jadi ngga punya bapak lagi.” Bocah itu terisak tanpa melepaskan tangan ayah sambungnya.Sebegitu inginnyakah kamu memiliki sosok bapak, Nak? Maafkan ibumu ini yang belum bisa menghadirkan bapak yang baik untukmu.“Abi perginya sebentar aja kok. Besok juga sudah pulang. Ya kan Mi?” Mas Yanto menoleh ke arahku.“Beneran, ya.” Ohim sepertinya mulai terpengaruh dengan omongan lelaki pembohong itu.“Nanti abi ajak Ohim jalan-jalan ke taman bermain lagi. Tapi, sekarang abi pergi dulu ya.”Anehnya Rohim langsung menurut, mau melepaskan tangan Mas Yanto.Berani-beraninya lelaki itu
“Maaf, Mbak Susan ini siapanya suami saya ya?” tanya wanita berpakaian daster itu setelah sesi perkenalan.Usianya di bawahku. Akan tetapi, wajahnya terlihat tidak dirawat. Banyak bopeng bekas jerawat di kedua pipinya. Bahkan, daster yang dikenakannya robek di bagian ujung bawahnya. Entah kenapa Mas Yanto tega mengkhianati pernikahan mereka. Padahal, kalau dilihat dari anaknya, sepertinya usia pernikahan mereka masih seumur jagung. “Saya….”“Assalamu’alaikum.”Obrolan pun terpotong oleh suara salam dari arah luar.“Wa'alaikumsalam.” Aku dan wanita yang tadi mengaku bernama Ranti, serentak menjawab.“Yang, ada tamu. Katanya sih temanmu,” ucap Ranti membuatku tertarik untuk menoleh.Mas Yanto. Dia sudah pulang. Lelaki itu seperti salah tingkah di depan istri pertamanya. Takutkah dia kalau kubongkar kebohongannya pada Ranti?“Kevin ikut bapak dulu ya. Ibu mau ambil minum buat tamu.” Ranti menaruh bocah bernama Kevin itu di pangkuan suaminya. Akan tetapi, Kevin lebih memilih turun ke l
“Assalamu’alaikum, afwan kalau ana mengganggu.” Satu pesan masuk lewat aplikasi Messenger.Nama akunnya sangat familiar. Sering wara-wiri di kolom komentar status Facebook-ku.“Wa’alaikumussalam. Ngga kok Akh. Kebetulan saya sedang istirahat,” balasku dengan gaya bahasa menyeimbanginya. Bisa dibilang, aku suka membaca artikel berisi kajian Islam, dan sering menyimak isi komentarnya yang acap kali menggunakan bahasa Arab. Jadi, sedikit tahu dasar-dasarnya.“Selamat istirahat, Ukh. Semoga anti bisa bertemu dengan jodoh anti.”Aku tersenyum membacanya. Aku tahu kalau yang dia sedang menyinggung isi statusku yang beberapa menit lalu kuposting di beranda Facebook. Di sana kutuliskan tentang curahan hati putraku, Rohim yang menginginkan hadirnya sosok ayah.Kembali kuketikan balasan ....“Aamiin. Makasih, Akhi.”Aku tersenyum sendiri. Ternyata masih ada orang yang peduli padaku, meskipun hanya di dunia maya. Sejatinya media sosial itu tempat yang sering kumanfaatkan untuk lahan promosi p
Kalau kuingat keadaan Ranti yang kacau tadi, rasanya sungguh memprihatinkan. Miris. Mempunyai suami yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Tugas rumah tangga dan mengurus anak-anak dibebankan pada dia sendiri. Sepertinya psikisnya pun mulai terganggu.Masa bodoh sama rumah tangga mereka. Toh, aku pun pernah di posisi Ranti, pasca bercerai dengan suami pertamaku. Buat apa aku harus memikirkan orang yang bahkan suaminya sendiri tidak memedulikannya.*“Agak dipercepat dikit, Pak. Anak saya sedang demam di rumah membutuhkan saya,” ucapku pada sopir Go Car yang kupesan lewat sebuah aplikasi online.“Baik, Bu.” Lelaki paruh baya itu sekilas melihat ke arahku lewat kaca di atas dasbornya.Baru saja kusandarkan tubuh lelah ini di sandaran kursi mobil, ponselku berdenting beberapa kali. Setelah dilihat, ternyata dari lelaki pembohong itu.“Gara-gara umi, Ranti jadi marah besar sama Abi. Tahu ngga Mi, Ranti sampai nekat pulang ke rumah orang tuanya membawa anak-anak.”Entah, aku harus tertawa at
“Abi. Abi.” Ke sekian kalinya Rohim mengigau, dan anehnya lelaki itu yang dicari-carinya.“Ya Allah… panasnya naik lagi Mbok. Kita bawa ke rumah sakit aja kali ya.”“Ya udah simbok mau ke rumah Mitro dulu, minta tolong dia buat antar kita ke rumah sakit.”Saya menanggapi Mbok Darmi dengan anggukan.Wanita paruh baya itu pun pergi tergesa-gesa.“Akbar!” panggilku pada si sulung.Anak-anak sengaja tidak kuperbolehkan melihat keadaan adiknya yang kini berada di kamarku. Boleh, tapi satu per satu. Kalau bersamaan, nanti adiknya akan terganggu istirahatnya.Tidak lama kemudian, sosok yang kupanggil pun datang.“Nak, tolong gantikan air ini. Isi dengan air hangat buat mengompres Dek Ohim.” Kuberikan baskom berisi air bekas mengompres tadi.“Pakai air termos ya Mak?”“Iya. Tambahi keran udara, biar nggak terlalu panas airnya. Dan handuknya itu, tolong dibilas pakai keran air ya Nak. Mau mamak pakai buat ngompres lagi.”“Baik, Mak.” Akbar meninggalkan kamar.Setelahnya terdengar bunyi ketukan
“Mbak Ria,” tegur Faisal.Bu RT tergelak dan semakin menggoda adik lelakinya itu.“Lagian, kamu sih. Mbak pikir kamu pulang sudah bawa calon adik ipar buat mbak. Tapi, ternyata ....” Majikanku itu menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.“Mbak, aku kan udah sering bilang sama Mbak lewat telepon, kalau aku itu nggak mungkin menikah dengan orang sana.”“Ya kan bisa juga dengan WNI yang sedang menempuh pendidikan di sana. Ya, nggak San?”Aku hanya tersenyum sebentar menanggapi obrolan kakak-beradik yang melepas rasa rindu dengan gurauan itu. Tidak mengambil hati atas perkataan Bu RT tadi, karena kutahu pasti itu pun bagian dari candaan mereka berdua.“Kecuali kalau kamu memang masih berharap dengan Susan,” imbuh Wanita berkaca mata itu, kembali tergelak.“Mbak, ingat kita ini sedang mengantar anak yang lagi sakit.” Faisal menegur.“Astaghfirullah. Maafkan aku ya San.” Bu RT menoleh ke belakang.“Iya Bu. Nggak apa-apa.”Aku dan Faisal pernah tumbuh bersama sebagai teman dek
“Mbok, titip anak anak-anak ya.” Ke sekian kalinya aku merepotkan Mbok Darmi.Kali ini kepergianku untuk urusan yang sangat penting. Menemui Paman Kiswo dan ustadz yang menikahkan aku dengan Mas Yanto.“Kamu sudah yakin, San sama keputusanmu?”“Insya Allah yakin Mbok. Tidak ada alasan lain yang membuat Susan ragu lagi.”“Ya sudah. Hati-hati di jalan.”“Iya Mbok.”Aku meninggalkan rumah dengan hati mantap, agar masa depanku dengan anak-anak lebih baik lagi.Ampuni hama-Mu ini ya Allah jika lagi-lagi memilih perceraian sebagai jalan keluar dari masalah. Karena hamba tidak sanggup jika terus menerus dibohongi. Lebih baik capek fisik, daripada lelah hati.**Tiba di rumah Paman Kiswo, disambut istri paman yang biasa kusapa Bi Asih. Bi Asih sudah seperti ibuku sendiri. Tidak pernah membedakan antara aku dengan anak-anak beliau.“Bibi sedih ikut kalau nasib rumah tanggamu, San,” ucap Bi Asih dengan mata berkaca-kaca. “Bibi masih ingat dulu waktu awal awal pernikahan bibi dengan pamanmu, ibu
Tidurku pulas sekali. Kalau saja tidak dibangunkan Akbar karena harus salat Magrib, mungkin aku masih keenakan tidur. Bahkan, Asar pun sudah terlewati. Aku pun beristigfar berkali-kali.“Kayaknya Ranti kecepekan banget ya. Sampe tidurnya lama gitu,” ucap simbok yang terdengar seperti sebuah nyinyiran. Masa bodoh. Lagi pula kedatanganku ke sini juga karena terpaksa. Dan satu lagi yang membuatku tambah kesal, panggilan ngawur wanita tua itu.“Susan, Mbok.” Mas Yanto meralat.“Oh, iya Susan. Maaf, simbok keingetnya sama Ranti terus.” Simbok terkekeh.Mereka pikir aku akan cemburu sama Ranti? Mereka salah besar. Malah rasaku pada Mas Yanto sudah menguap begitu saja saat kebohongannya itu sudah terungkap.“Kalau simbok kangen sama Ranti, kenapa dia nggak disuruh ke sini saja, bantu-bantu di dapur,” cetusku, lalu memasukkan makanan ke mulut. Tidak peduli siapa yang masak. Aku di sini sebagai tamu, karena Mas Yanto yang membawaku, jadi untuk apa aku ikut sibuk membantu mereka.“Yan, kenapa
Mas Yanto benar-benar mengibarkan bendera perang. Bisa-bisanya dia berani menjejakkan kakinya di rumahku. “Langsung saja, mau apa lagi Antum datang ke rumah ini?” Masih kuredam amarahku, mengingat ada anak-anak di rumah. Memang seharusnya tempat kami beradu bukanlah di rumah. Langsung saja di ring, biar kutinju sampai babak belur muka yang tidak tahu malu itu. “Umi lupa ya? Umi kan sudah janji mau ikut silaturahmi ke rumah simbok di kampung, kalau abi bersedia menjenguk Ohim di rumah sakit kemarin. Nah, abi kan sudah penuhi tuh permintaan Umi. Sekarang giliran Umi.” Ke rumah orang tua Mas Yanto? Kalau tidak penuhi, nanti aku dicap ingkar janji. Akan tetapi, apa yang harus kulakukan di sana, sementara mengenal mereka saja belum pernah? Lagi pula, aku sama Mas Yanto kan sebentar lagi mau cerai. Seharusnya tidak perlu lagi menjaga hubungan baik dengan keluarga besarnya. “Mi,” ucap Yanto, seolah menyadari kalau aku tengah melamun. “Iya aku mengerti.” Alhamdulillah. Kalau gitu, kita
“Ya Allah Cal, hati-hati kalau nyetir.”Untung mobil Faisal tidak sampai memukul pejalan kaki.“Kamu nggak apa-apa, San?” Faisal tampak rugi keadaanku.“Aku ngga papa kok. Justru yang kukhawatirkan itu kamu.”Lelaki itu malah nyengir. Entah apa yang ada di pikirannya?Mobil kembali melaju, dan kali ini Faisal tampak fokus mengemudikannya. Sampai akhirnya belok dan berhenti di halaman Masjid. Kami berdua turun untuk menunaikan kewajiban sebagai orang muslim.*Saya tidak menyangka kalau sore ini ada kejutan besar. Calon pembeli tanah yang kukukunjungi tidak lain dan bukan orang yang sudah lama kukenal. Temanku sendiri. Faisal. Dia membeli untuk membangun cabang butik yang akan dia kelola sendiri.“Kamu pasti sengaja mau ngerjai aku kan Cal?”Lelaki itu sejak tadi tidak henti-hentinya tertawa.“Maaf, saya hanya ingin tahu reaksi kamu aja. Lagi pula, sebenarnya ini tuh idenya mbakku. Kalau kamu mau protes, protes aja sama dia.”Ide Bu RT?“Mana berani aku protes sama majikanku sendiri. Y
“Tenangkan dirimu dulu, San. Ohim biar simbok yang jagain,” ujar Mbok Darmi.Saya sedang di warung Mbok Darmi. Menceritakan kejadian di rumah sakit yang mirip drama ikan buntal tadi. “Apa mungkin Rohim sudah diguna-guna Mas Yanto ya Mbok?” cetusku, tidak terima putraku terobsesi dengan lelaki pembohong itu.“Kamu ada-ada aja, San. Ohim itu Cuma butuh figur seorang ayah. Menurut simbok, kalau kamu mau Ohim lupa sama Yanto, ya kamu tinggal bawa aja pengganti Yanto.”“Maksud simbok?”“Ya kamu mencari suami baru buat gantiin Yanto.”Mataku membulat mendengar ide ngawur Mbok Darmi.“Ya Allah Mbok. Sebenarnya setelah apa yang menimpa rumah tangga Susan, Susan jadi tidak kepikiran mau menikah lagi. Susan masih trauma.”Mbok Darmi mengusap punggungku dengan lembut, hingga kurasakan kenyamanan di sana.“Yang sabar ya San. Insya Allah akan ada pelangi demi hujan badai.”“Ya Allah… simbok ternyata gaul juga ya. Bisa tahu kata-kata gitu.”“Oh… jangan salah. Gini-gini simbok hobi baca juga loh S
Ya Allah, ujian apa lagi yang akan Kau berikan pada hamba-Mu ini? Putra bungsuku terlihat sangat lahap menyantap makanan dari tangan Mas Yanto. Entah, pelet apa yang lelaki pembohong itu berikan pada putraku, sehingga ia seperti tidak bisa jauh-jauh darinya. “Sudah Bi. Ohim sudah kenyang.” “Sekali lagi deh. Habis itu Ohim minum obat ya.” Bocah itu pun menurut. Membuka mulutnya lebar-lebar saat suapan itu kembali masuk. “Ohim pinter banget ya. Sekarang minum obatnya.” Mas Yanto membuka bungkusan berisi obat yang tadi sempat kuberikan padanya. Satu per satu obat itu diberikan pada bungsuku, hingga menandaskan segelas air putih. “Tuh Mi. Dek Ohim pinter kan,” kata Mas Yanto mencoba menarik simpatiku. Sayangnya aku sudah tidak tertarik lagi. “Ohim istirahat ya, biar cepat sembuh,” imbuhnya merebahkan Rohim. “Abi jangan pergi ya,” pinta Bocah itu. Seakan takut ditinggalkan Mas Yanto lagi. “Nggak. Abi bakal di sini nemenin Ohim sampai Ohim sembuh, terus bisa pulang.” “Beneran ya B
“Mbak Ria,” tegur Faisal.Bu RT tergelak dan semakin menggoda adik lelakinya itu.“Lagian, kamu sih. Mbak pikir kamu pulang sudah bawa calon adik ipar buat mbak. Tapi, ternyata ....” Majikanku itu menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.“Mbak, aku kan udah sering bilang sama Mbak lewat telepon, kalau aku itu nggak mungkin menikah dengan orang sana.”“Ya kan bisa juga dengan WNI yang sedang menempuh pendidikan di sana. Ya, nggak San?”Aku hanya tersenyum sebentar menanggapi obrolan kakak-beradik yang melepas rasa rindu dengan gurauan itu. Tidak mengambil hati atas perkataan Bu RT tadi, karena kutahu pasti itu pun bagian dari candaan mereka berdua.“Kecuali kalau kamu memang masih berharap dengan Susan,” imbuh Wanita berkaca mata itu, kembali tergelak.“Mbak, ingat kita ini sedang mengantar anak yang lagi sakit.” Faisal menegur.“Astaghfirullah. Maafkan aku ya San.” Bu RT menoleh ke belakang.“Iya Bu. Nggak apa-apa.”Aku dan Faisal pernah tumbuh bersama sebagai teman dek
“Abi. Abi.” Ke sekian kalinya Rohim mengigau, dan anehnya lelaki itu yang dicari-carinya.“Ya Allah… panasnya naik lagi Mbok. Kita bawa ke rumah sakit aja kali ya.”“Ya udah simbok mau ke rumah Mitro dulu, minta tolong dia buat antar kita ke rumah sakit.”Saya menanggapi Mbok Darmi dengan anggukan.Wanita paruh baya itu pun pergi tergesa-gesa.“Akbar!” panggilku pada si sulung.Anak-anak sengaja tidak kuperbolehkan melihat keadaan adiknya yang kini berada di kamarku. Boleh, tapi satu per satu. Kalau bersamaan, nanti adiknya akan terganggu istirahatnya.Tidak lama kemudian, sosok yang kupanggil pun datang.“Nak, tolong gantikan air ini. Isi dengan air hangat buat mengompres Dek Ohim.” Kuberikan baskom berisi air bekas mengompres tadi.“Pakai air termos ya Mak?”“Iya. Tambahi keran udara, biar nggak terlalu panas airnya. Dan handuknya itu, tolong dibilas pakai keran air ya Nak. Mau mamak pakai buat ngompres lagi.”“Baik, Mak.” Akbar meninggalkan kamar.Setelahnya terdengar bunyi ketukan
Kalau kuingat keadaan Ranti yang kacau tadi, rasanya sungguh memprihatinkan. Miris. Mempunyai suami yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Tugas rumah tangga dan mengurus anak-anak dibebankan pada dia sendiri. Sepertinya psikisnya pun mulai terganggu.Masa bodoh sama rumah tangga mereka. Toh, aku pun pernah di posisi Ranti, pasca bercerai dengan suami pertamaku. Buat apa aku harus memikirkan orang yang bahkan suaminya sendiri tidak memedulikannya.*“Agak dipercepat dikit, Pak. Anak saya sedang demam di rumah membutuhkan saya,” ucapku pada sopir Go Car yang kupesan lewat sebuah aplikasi online.“Baik, Bu.” Lelaki paruh baya itu sekilas melihat ke arahku lewat kaca di atas dasbornya.Baru saja kusandarkan tubuh lelah ini di sandaran kursi mobil, ponselku berdenting beberapa kali. Setelah dilihat, ternyata dari lelaki pembohong itu.“Gara-gara umi, Ranti jadi marah besar sama Abi. Tahu ngga Mi, Ranti sampai nekat pulang ke rumah orang tuanya membawa anak-anak.”Entah, aku harus tertawa at