Dokter Tampan Itu, Suamiku!

Dokter Tampan Itu, Suamiku!

By:  Peony's   Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
8Chapters
45views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Sukma Anetha, seorang wanita yang berjuang keras untuk membiayai keluarganya dan kuliah hingga meraih gelar perawat. Ia bekerja sebagai asisten dokter di rumah sakit Vradhitama dan menjalin hubungan dekat dengan dokter Leo Abrisam, anak pemilik rumah sakit. Leo masih berhubungan dengan mantan kekasihnya, Elmira, demi kepentingan bisnis keluarga. Ketika Sukma mengalami krisis dan mencoba bunuh diri, Leo semakin dekat dengannya dan berusaha melawan keinginan keluarganya untuk menikah dengan Elmira. Meskipun Sukma memendam rasa pada Leo, ia menolak mengakui perasaan tersebut. Leo dan Sukma akhirnya memulai hidup baru setelah Leo kehilangan pekerjaannya di Vradhitama dan mereka pindah ke rumah sakit Xavior, di mana Leo menarik perhatian pemiliknya, Zena. Permasalahan rumah tangga mereka memuncak, menyebabkan Sukma mempertimbangkan perceraian. Bagaimana kehidupan mereka? Akankah mereka akan bersama selamanya?

View More
Dokter Tampan Itu, Suamiku! Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
8 Chapters

Band jalanan

Kicauan burung terdengar lagi. Rasanya, baru tadi malam aku pulang dari pekerjaan paruh waktu."Punya anak gadis tak ada gunanya! Ibu hanya memiliki dua tangan. Setidaknya bantu menyapu halaman!" Ibuku Sekar, sudah menggerutu. "Jika saja aku telah tiada, baru kau akan mengerti."Sontak aku melihat jam. Masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku bergegas membereskan kamar. Lalu, membasuh diri.****Kuambil sapu itu dalam genggaman Ibuku. "Biar Sukma saja.""Sudah kubilang ... hentikan kuliahmu itu. Bantu Ibumu untuk bekerja. Kau hanya membuang-buang uang saja!" Ibu melemparkan sapu itu. "Kita ini orang miskin Sukma. Kau seharusnya berpikir! Buang sudah semua mimpimu!" Sejak kepergian Bapak, Ibu jadi emosional. Ia tak pernah menghargai hasil kerja kerasku. Aku bekerja paruh waktu, membiayai semuanya.Perlahan kutarik napas dan membuangnya. Aku mengambil sapu itu. Membersihkan beberapa debu yang belum tersapu.Ibuku melemparkan beberapa barang-barang yang berserakan. "Selama ini aku hanya m
Read more

Pelanggan Terbaik

"Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?"Ivi menghela napas dengan panjang. "Ck! Bagaimana caranya agar aku bisa memberitahumu. Kepalamu sungguh batu, ingin sesekali kumemecahkannya."Aku tertawa mendengarnya. "Tidak Ivi ... aku hanya tidak ingin merepotkanmu.""Ya ... karena kau tak menganggapku seseorang yang penting. Kau memang tengil." Ivi masih terus menggerutu. "Apa karena masalah Ibuku saat itu? Ayolah ... Ibuku memang emosional, tetapi percayalah ... dia tak bermaksud begitu.""Oh ayolah ... bahkan aku sudah lupa masalah itu. Dan tentunya aku mengerti. Aku hanya sedang menikmati usahaku saja.""Maafkan Ibuku ya?" Ivi memelas. Memegang punggung tanganku. "Mungkin saat itu Ibuku sedang memiliki banyak masalah."Kusergah langsung pembicaraan itu. "Ck! Ayolah ... bukan itu. Sepertinya kau yang tak menganggap aku orang terdekatmu."Waktu sudah men
Read more

Setumpuk uang

Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu dengan baik. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing.""Hah?" Aku mengambil flashdisk dalam genggamannya. "Apa yang kau maksud? Kau menyelesaikan tugas skripsiku?""Tidak juga ... aku hanya membereskannya sedikit sesuai yang ada pada buku-mu itu." Ivi menarik tanganku. "Ayo ... bukankah kau mahu bertemu dengan Bayu temanmu? Akan kuantar."Aku terdiam. Masih dengan tatapan tak percaya menatap Ivi.****Kurasa Ivi hari ini sangat antusias sekali. Sangat aneh. Ivi tidak seperti biasanya. Sepanjang jalan aku hanya terdiam memikirkannya."Lampu merah ini, kan?" tanya Ivi. "Heh!""Hah?" Ia membangunkan lamunanku."Kau memikirkan apa?" tanya Ivi. Ia sudah memarkirkan mobilnya."Tunggu ...." Aku menahan Ivi yang sedang melepas sabuk pengamannya. "Apa ada sesuatu yang buruk terjadi di hidupmu, Ivi?" tanyaku. Menatap m
Read more

Rindu Akan Perubahan Itu

Kupegang kedua pundaknya seraya menguatkan. "Maka dari itu ... kau harus berjanji." Kutatap kedua matanya. "Kau harus hidup lebih lama. Kau harus menikmati semuanya." Ivi hanya mengangguk. Suasana malam itu penuh haru. "Pulanglah ... ingat! Kau memang harus berbakti pada Ibumu. Tapi sisihkan uang ini untukmu. Gunakanlah uang ini untuk kebebasan hidupmu. Dan sudah kusisihkan itu. Jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu." Ivi membuka kunci pintu mobilnya. "Pulanglah ...."Perasaanku tak karuan. "Lebih baik kau menginap di rumahku. Hari ini saja. Esok pagi baru kau pulang."Ivi menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi ke supermarket."Kubuka pintu mobilnya. Kututup dengan perlahan.Ivi membuka kaca mobilnya. "Sampai jumpa kembali, Sukma. Aku akan sangat merindukanmu."Kupantau mobilnya hingga menjauh dari pandanganku."Aneh." Aku berjalan menuju rumah. Melewati gang kecil. "Apa hal buruk akan terjadi padanya?" Beberapakali hal buruk terlintas di kepalaku. Lagi-lagi kusergah. "Ah tidak .
Read more

Kepergian Yang Tak Terduga

Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini?"Pikiranku tak karuan. Aku semakin keheranan. Aku berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Apa? Ivi—" (terlintas di pikiranku bahwa kemarin aku bertemu Ivi). "Anak itu lagi. Bagaimana cara agar aku bisa membalas kebaikannya?" Aku langsung membayar jasa warung internet dan print out–nya. "Terimakasih."Kulangkahkan kakiku langsung bergegas ke rumah Ivi. "Pak, Pak," panggilku menghentikan angkutan umum. Rumah Ivi disalahsatu perumahan bergengsi. Jaraknya tak terlalu jauh dengan posisiku saat ini. "Bagaimana caraku mengungkapkannya? Apa aku harus sujud? Kukembalikan pastinya Ia tak akan menerima. Handphone yang Ivi berikan keluaran terbaru yang saat ini hanya orang-orang bergengsi yang memilikinya." Hatiku terus menggerutu."Kiri ... kiri," ucapku. Aku sudah sampai di perumahannya. Aku langsung membayar ongkosnya. "Terimakasih."Perumahan itu di jaga ketat o
Read more

Pertemuan Ibu dengan orang asing itu

Aku membuka pintu. Pintunya terkunci.Kulihat bawah pot bunga. Kuncinya masih berada di sana."Ibu ke mana?" tanyaku. Pikirku mungkin Ibu membeli keperluan lain.Aku langsung berjalan menuju kamar. Kubaringkan tubuh dalam kasurku yang empuk.Kutarik napas panjang, perlahan membuangnya. Menatap jam yang kian detik Ia terus berjalan. Kini di ruangan hanya ada suara detik jam saja.Kurenungi semuanya. Termasuk kepergian Ivi. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tangisku.Isakan tangisku semakin kencang. "Sebenarnya kau kenapa Ivi? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?" Rasa rindu pada Ivi terus membludak. Rasanya ingin sekali memeluknya.Aku teringat handphone yang diberikannya. Kuambil tasku. Kubuka resletingnya secara perlahan. Hatiku semakin sesak. Deraian air mata semakin kencang.Handphone yang dahulu Ia beli denganku. Ternyata Ia akan memberikannya padaku.flashback ...."Sukma ... coba pilih untukku, menurutmu handphone keluaran terbaru ini, bagus warna apa?" tanya Ivi, seraya mengg
Read more

Flexing

Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak Bu ... Sukma sepertinya tak menerima.""Kau tahu apa? Selama ini kau tak memiliki pengalaman mengenai hal ini ... kau terus berkuliah dan berkuliah. Sudahlah, hargai Om Edwin. Jaga sikapmu." Ibu keluar dari kamarku. Ia menyambut kembali Om Edwin yang sudah kembali duduk di sofa ruang tamu."Aneh ... baru saja mengenal orang baru. Bisa-bisanya Ibu langsung mempercayainya." Saat itu hatiku sungguh kesal. Kumendelik seraya mendengarkan canda tawa Ibu dengan Om Edwin. ****"Anakku, kau mahu ke mana?" tanya Ibu. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan pakaian yang rapi."Ke kampus." Kukerutkan keningku, terlintas kuberpikir bahwa Ibu tidak seperti biasanya. Sesekali kumenatap Om Edwin. Ia sedang menatap ke arahku seraya tersenyum lembut."Ya sudah hati-hatilah, hari ini Ibu belum memasak jadi beli saja diluar ya," ucap Ibu."Ya ... Sukma pergi dulu," pamitku seraya mencium tangan Ibu. "Pamit sama Om Edwin juga dong sayang," kata Ibu saat aku hend
Read more

Hal Besar

"Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku."Tuh ... lihatlah." Bayu menunjuk pada kendaraan yang berhenti karena lampu merah. "Kurasa mereka melihat ke arah kita karena kau cantik. Lihat saja ... mereka dengan sengaja menghentikan kendaraannya."Aku langsung mengelak seraya reflek mendecih. "Kau ini ... ya gurauanmu berhasil membuatku sedikit terobati." Aku tak kuasa menahan tawaku."Raut wajahmu memerah, kau salah tingkah atas ucapku ya, kan?" ceplos Bayu.Tanganku menepuk pundaknya."Ck! Aw!" Ia mengelus-elus pundaknya. "Tubuhmu kecil tetapi tenagamu besar.""Berlebihan ... aku hanya mencolekmu sedikit."Bayu tertawa mendengar perkataanku. "Mencolek, memangnya aku sambal.""Sudahlah ... mari kita mulai." Kudongkakkan kepalaku ke atas langit. "Cuacanya cerah ... sebentar lagi pasti akan terasa semakin panas.""Ke mana?"Pertanyaan Bayu berhasil mengalihkan perhatianku. "Ke mana? Tak habis pikir ... kita mulai bernyanyi.""Oh ...." Ia hanya menatapku d
Read more
DMCA.com Protection Status