Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak Bu ... Sukma sepertinya tak menerima."
"Kau tahu apa? Selama ini kau tak memiliki pengalaman mengenai hal ini ... kau terus berkuliah dan berkuliah. Sudahlah, hargai Om Edwin. Jaga sikapmu." Ibu keluar dari kamarku. Ia menyambut kembali Om Edwin yang sudah kembali duduk di sofa ruang tamu. "Aneh ... baru saja mengenal orang baru. Bisa-bisanya Ibu langsung mempercayainya." Saat itu hatiku sungguh kesal. Kumendelik seraya mendengarkan canda tawa Ibu dengan Om Edwin. **** "Anakku, kau mahu ke mana?" tanya Ibu. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan pakaian yang rapi. "Ke kampus." Kukerutkan keningku, terlintas kuberpikir bahwa Ibu tidak seperti biasanya. Sesekali kumenatap Om Edwin. Ia sedang menatap ke arahku seraya tersenyum lembut. "Ya sudah hati-hatilah, hari ini Ibu belum memasak jadi beli saja diluar ya," ucap Ibu. "Ya ... Sukma pergi dulu," pamitku seraya mencium tangan Ibu. "Pamit sama Om Edwin juga dong sayang," kata Ibu saat aku hendak melangkahkan kakiku. Kuraih tangan yang sudah Ia sodorkan padaku. "Ya ... Sukma pergi dulu." Om Edwin menatap jam tangannya. "Sepertinya saya harus pergi ke kantor sekarang ... Sukma, bagaimana kalau ikut bersama Om saja?" ajaknya. "Em ... aku harus pergi ke perpustakaan dulu di tempat yang berbeda, sepertinya akan membuat Om Edwin terlambat, terimakasih tawarannya." Aku menolaknya dengan halus. "Ah ...." Ibu menyergah seraya tersenyum. "Sukma memang memiliki kepribadian seperti itu. Agar lebih aman, lebih baik Sukma ikut saja dengan Om Edwin, ya kan mas?" 'mas?' Membuatku sedikit kegelian. "sepertinya Ibu sedang difase jatuh cinta lagi." Kusergah langsung pemikiranku. "Tidak, terimakasih tawarannya. Tetapi aku harus pergi ke rumah temanku dan—" "Tidak masalah, saya akan mengantarkannya." Om Edwin memotong perkataanku yang belum selesai itu. "Dan Sukma harus pergi ke perpustakaan terlebih dahulu. Kurasa Sukma membutuhkan waktu yang banyak jadi ... terimakasih atas tawarannya, Sukma pergi sendiri saja." Aku tersenyum. Meski jujur saja aku merasa terbebani dengan paksaan itu. "Ayo ... tidak apa-apa, tidak usah sungkan." Senyum Om Edwin terlihat tulus. "Saya akan melewati jalan pintas, agar cepat sampai. Kebetulan karena sudah terbiasa, jadi hapal." Kutolak lagi dengan halus. "Mungkin lain waktu saja, Sukma harus pergi sekarang." **** "Saya sering sekali terlambat menemui klien, gara-gara di jalan ini sering sekali terjadi kemacetan. Mahu menuju jalan pintas?" tanya Om Edwin. "Tidak usah ... Sukma turun di pertigaan lampu merah depan saja." "Loh kok, kenapa?" "Ya ... Sukma harus bertemu dengan teman-teman Sukma." "Kan macet ... saya sering sekali bertemu dengan anak-anak punk di jalanan. Mereka itu terlalu bebas. Kasihan, saya selalu memberi uang, ya itung-itung untuk mereka makan satu bulan." Reflek kumendengarnya seraya terkejut. Kukerutkan keningku secara perlahan. "Tidak dapat dipungkiri, mereka memiliki hati yang baik dan selalu rendah hati," sahutku. "Rendah hati tak akan membawa pundi-pundi uang. Bukankah mereka sudah rendahan?" ceplos Om Edwin. Aku yang saat itu sedang menatap kaca disampingku, langsung menoleh ke arah Om Edwin. "Maksudnya?" "Ya ... kau tahu sendiri. Mereka tidak memiliki kualitas pendidikan yang tinggi. Tentunya hidup mereka hanya di jalanan, masa depannya yang suram dan sangat berantakan." Aku sudah muak mendengar ucapannya yang begitu tinggi. Kusergah dengan senyuman. "Ijazah hanya selembar kertas ya?" Seketika Ia terdiam seraya bertanya-tanya. "Tentunya ... bukankah semua orang juga tahu akan hal itu?" Diikuti tawanya yang mendecih. "Tidak menjamin, bukan?" Kutatap Ia dengan tajam. "Ya ... tetapi ayolah, zaman sekarang tidak melanjutkan pendidikan? Itu sangat menyakitkan." "Semua orang berbeda termasuk rezeki dan jalan hidupnya." Kuhela napasku dengan panjang. "Terkadang Sukma begitu salut pada mereka yang berjuang di posisi itu ... tidak memaksakan akan gengsinya. Mereka tetap menerima setiap cacian dari orang yang memiliki otak kosong." **** "Terimakasih atas tawarannya," ucapku. Aku langsung menyebrang menemui teman band-ku. "Haii!" sapaku. "Bagaimana kabarmu?" "Baik ... bagaimana kabarmu? kau sendirian?" tanya Bayu. Ia melakukan tos kepadaku ala tongkrongannya. "Ya ... semua baik-baik saja dan aku datang ke sini sendirian." Bayu mengajakku untuk duduk di bangku panjang tak jauh dari tempat itu. "Mengapa matamu terlihat sembab? Apa ada hal buruk telah terjadi?" tanya Bayu. "Tidak ... aku hanya sedikit kecapekan." "Aku harap semuanya baik-baik saja. Bagaimana? Kau akan melanjutkan bernyanyi di band-ku itu?" "Ya ... aku akan melanjutkannya." "Baiklah ... berkatmu dan temanmu kemarin, Via—" "Ivi ...." Aku membenarkannya. "Ya ... ajak dia kembali. Agar pendapatan kita juga semakin bertambah ...." Raut wajah Bayu terlihat sumringah. "Sepertinya hanya aku yang bisa melakukannya." "Mengapa? Apa temanmu malu?" tanya Bayu. "Tidak ... dia tidak malu. Bahkan itu adalah hal yang paling ingin Ia lakukan." Sesekali kutundukkan kepalaku. "Kenapa? Apa sesuatu hal buruk telah menimpamu?" "Ivi telah meninggal." Kuangkat kepalaku menatap Bayu yang saat itu sedang menatapku polos. Sontak raut wajahnya berubah seketika. "Apa yang telah terjadi?" Raut wajahnya terlihat kebingungan dan terkejut. "Bukankah semuanya baik-baik saja? Kulihat kemarin saat Ia bernyanyi tampak damai dan ceria. Bagaimana bisa?" Bayu terus bertanya-tanya. "Ya ... semuanya sudah waktunya. Entah, aku tidak tahu apa yang telah terjadi." Bayu mengerutkan keningnya. "Bukankah kau dengan Ivi adalah sahabat? Mengapa kau tidak mengetahuinya?" "Orang tuanya tidak memperbolehkan aku untuk bertemu dengannya lagi, termasuk pada hari terakhirnya." Kukerutkan bibirku agar tak cemberut. "Hal itu hal yang tidak lazim. Orang-orang akan melakukan hal yang bertolakbelakang dengan kesedihannya selama ini. Kau sudah mengetahui lokasi pemakannya?" "Sepertinya Ia akan dikuburkan di kota asalnya." "Turut berduka cita atas apapun yang telah terjadi. Ayolah ... tetap semangat, orang-orang akan pergi termasuk meninggalkan dunia yang fana ini." "Ya ... hari ini aku sedang belajar untuk menerima. Terimakasih atas motivasi yang kau katakan pagi ini." "Oh ya ... kau tidak pergi ke kampus?" tanya Bayu. "Aku pergi setengah satu pagi. Kuputuskan untuk mengambil aktivitas lain, jadi aku mampir ke sini." "Memangnya kau tidak malu? Apalagi, tentunya banyak sekali siswa-siswi di universitas berlalu lalang daerah sini," tanya Bayu. "Aku sudah tak memikirkan itu. Mereka semua bisa menyapa dan mencela. Dan itu sifat alamiah, kau akan selalu bertemu dengan orang-orang seperti itu. Apa yang bisa kita lakukan hari ini, lakukan saja ...." "Kita akan mulai bernyanyi di menit tiga puluh ... sebentar lagi. Sebetulnya genre lagumu apa?" "Em ... aku suka semuanya ... lagu apapun yang damai masuk ke dalam telingaku, aku akan mendengarkan itu sampai bosan ... hingga tidak ada lagu favorit, tidak ada genre, semuanya mengalir begitu saja." "lihatlah ... semuanya menatap ke arah kita," ucap Bayu seraya tersenyum. "Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku."Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku."Tuh ... lihatlah." Bayu menunjuk pada kendaraan yang berhenti karena lampu merah. "Kurasa mereka melihat ke arah kita karena kau cantik. Lihat saja ... mereka dengan sengaja menghentikan kendaraannya."Aku langsung mengelak seraya reflek mendecih. "Kau ini ... ya gurauanmu berhasil membuatku sedikit terobati." Aku tak kuasa menahan tawaku."Raut wajahmu memerah, kau salah tingkah atas ucapku ya, kan?" ceplos Bayu.Tanganku menepuk pundaknya."Ck! Aw!" Ia mengelus-elus pundaknya. "Tubuhmu kecil tetapi tenagamu besar.""Berlebihan ... aku hanya mencolekmu sedikit."Bayu tertawa mendengar perkataanku. "Mencolek, memangnya aku sambal.""Sudahlah ... mari kita mulai." Kudongkakkan kepalaku ke atas langit. "Cuacanya cerah ... sebentar lagi pasti akan terasa semakin panas.""Ke mana?"Pertanyaan Bayu berhasil mengalihkan perhatianku. "Ke mana? Tak habis pikir ... kita mulai bernyanyi.""Oh ...." Ia hanya menatapku d
Kicauan burung terdengar lagi. Rasanya, baru tadi malam aku pulang dari pekerjaan paruh waktu."Punya anak gadis tak ada gunanya! Ibu hanya memiliki dua tangan. Setidaknya bantu menyapu halaman!" Ibuku Sekar, sudah menggerutu. "Jika saja aku telah tiada, baru kau akan mengerti."Sontak aku melihat jam. Masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku bergegas membereskan kamar. Lalu, membasuh diri.****Kuambil sapu itu dalam genggaman Ibuku. "Biar Sukma saja.""Sudah kubilang ... hentikan kuliahmu itu. Bantu Ibumu untuk bekerja. Kau hanya membuang-buang uang saja!" Ibu melemparkan sapu itu. "Kita ini orang miskin Sukma. Kau seharusnya berpikir! Buang sudah semua mimpimu!" Sejak kepergian Bapak, Ibu jadi emosional. Ia tak pernah menghargai hasil kerja kerasku. Aku bekerja paruh waktu, membiayai semuanya.Perlahan kutarik napas dan membuangnya. Aku mengambil sapu itu. Membersihkan beberapa debu yang belum tersapu.Ibuku melemparkan beberapa barang-barang yang berserakan. "Selama ini aku hanya m
"Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?"Ivi menghela napas dengan panjang. "Ck! Bagaimana caranya agar aku bisa memberitahumu. Kepalamu sungguh batu, ingin sesekali kumemecahkannya."Aku tertawa mendengarnya. "Tidak Ivi ... aku hanya tidak ingin merepotkanmu.""Ya ... karena kau tak menganggapku seseorang yang penting. Kau memang tengil." Ivi masih terus menggerutu. "Apa karena masalah Ibuku saat itu? Ayolah ... Ibuku memang emosional, tetapi percayalah ... dia tak bermaksud begitu.""Oh ayolah ... bahkan aku sudah lupa masalah itu. Dan tentunya aku mengerti. Aku hanya sedang menikmati usahaku saja.""Maafkan Ibuku ya?" Ivi memelas. Memegang punggung tanganku. "Mungkin saat itu Ibuku sedang memiliki banyak masalah."Kusergah langsung pembicaraan itu. "Ck! Ayolah ... bukan itu. Sepertinya kau yang tak menganggap aku orang terdekatmu."Waktu sudah men
Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu dengan baik. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing.""Hah?" Aku mengambil flashdisk dalam genggamannya. "Apa yang kau maksud? Kau menyelesaikan tugas skripsiku?""Tidak juga ... aku hanya membereskannya sedikit sesuai yang ada pada buku-mu itu." Ivi menarik tanganku. "Ayo ... bukankah kau mahu bertemu dengan Bayu temanmu? Akan kuantar."Aku terdiam. Masih dengan tatapan tak percaya menatap Ivi.****Kurasa Ivi hari ini sangat antusias sekali. Sangat aneh. Ivi tidak seperti biasanya. Sepanjang jalan aku hanya terdiam memikirkannya."Lampu merah ini, kan?" tanya Ivi. "Heh!""Hah?" Ia membangunkan lamunanku."Kau memikirkan apa?" tanya Ivi. Ia sudah memarkirkan mobilnya."Tunggu ...." Aku menahan Ivi yang sedang melepas sabuk pengamannya. "Apa ada sesuatu yang buruk terjadi di hidupmu, Ivi?" tanyaku. Menatap m
Kupegang kedua pundaknya seraya menguatkan. "Maka dari itu ... kau harus berjanji." Kutatap kedua matanya. "Kau harus hidup lebih lama. Kau harus menikmati semuanya." Ivi hanya mengangguk. Suasana malam itu penuh haru. "Pulanglah ... ingat! Kau memang harus berbakti pada Ibumu. Tapi sisihkan uang ini untukmu. Gunakanlah uang ini untuk kebebasan hidupmu. Dan sudah kusisihkan itu. Jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu." Ivi membuka kunci pintu mobilnya. "Pulanglah ...."Perasaanku tak karuan. "Lebih baik kau menginap di rumahku. Hari ini saja. Esok pagi baru kau pulang."Ivi menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi ke supermarket."Kubuka pintu mobilnya. Kututup dengan perlahan.Ivi membuka kaca mobilnya. "Sampai jumpa kembali, Sukma. Aku akan sangat merindukanmu."Kupantau mobilnya hingga menjauh dari pandanganku."Aneh." Aku berjalan menuju rumah. Melewati gang kecil. "Apa hal buruk akan terjadi padanya?" Beberapakali hal buruk terlintas di kepalaku. Lagi-lagi kusergah. "Ah tidak .
Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini?"Pikiranku tak karuan. Aku semakin keheranan. Aku berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Apa? Ivi—" (terlintas di pikiranku bahwa kemarin aku bertemu Ivi). "Anak itu lagi. Bagaimana cara agar aku bisa membalas kebaikannya?" Aku langsung membayar jasa warung internet dan print out–nya. "Terimakasih."Kulangkahkan kakiku langsung bergegas ke rumah Ivi. "Pak, Pak," panggilku menghentikan angkutan umum. Rumah Ivi disalahsatu perumahan bergengsi. Jaraknya tak terlalu jauh dengan posisiku saat ini. "Bagaimana caraku mengungkapkannya? Apa aku harus sujud? Kukembalikan pastinya Ia tak akan menerima. Handphone yang Ivi berikan keluaran terbaru yang saat ini hanya orang-orang bergengsi yang memilikinya." Hatiku terus menggerutu."Kiri ... kiri," ucapku. Aku sudah sampai di perumahannya. Aku langsung membayar ongkosnya. "Terimakasih."Perumahan itu di jaga ketat o
Aku membuka pintu. Pintunya terkunci.Kulihat bawah pot bunga. Kuncinya masih berada di sana."Ibu ke mana?" tanyaku. Pikirku mungkin Ibu membeli keperluan lain.Aku langsung berjalan menuju kamar. Kubaringkan tubuh dalam kasurku yang empuk.Kutarik napas panjang, perlahan membuangnya. Menatap jam yang kian detik Ia terus berjalan. Kini di ruangan hanya ada suara detik jam saja.Kurenungi semuanya. Termasuk kepergian Ivi. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tangisku.Isakan tangisku semakin kencang. "Sebenarnya kau kenapa Ivi? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?" Rasa rindu pada Ivi terus membludak. Rasanya ingin sekali memeluknya.Aku teringat handphone yang diberikannya. Kuambil tasku. Kubuka resletingnya secara perlahan. Hatiku semakin sesak. Deraian air mata semakin kencang.Handphone yang dahulu Ia beli denganku. Ternyata Ia akan memberikannya padaku.flashback ...."Sukma ... coba pilih untukku, menurutmu handphone keluaran terbaru ini, bagus warna apa?" tanya Ivi, seraya mengg
"Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku."Tuh ... lihatlah." Bayu menunjuk pada kendaraan yang berhenti karena lampu merah. "Kurasa mereka melihat ke arah kita karena kau cantik. Lihat saja ... mereka dengan sengaja menghentikan kendaraannya."Aku langsung mengelak seraya reflek mendecih. "Kau ini ... ya gurauanmu berhasil membuatku sedikit terobati." Aku tak kuasa menahan tawaku."Raut wajahmu memerah, kau salah tingkah atas ucapku ya, kan?" ceplos Bayu.Tanganku menepuk pundaknya."Ck! Aw!" Ia mengelus-elus pundaknya. "Tubuhmu kecil tetapi tenagamu besar.""Berlebihan ... aku hanya mencolekmu sedikit."Bayu tertawa mendengar perkataanku. "Mencolek, memangnya aku sambal.""Sudahlah ... mari kita mulai." Kudongkakkan kepalaku ke atas langit. "Cuacanya cerah ... sebentar lagi pasti akan terasa semakin panas.""Ke mana?"Pertanyaan Bayu berhasil mengalihkan perhatianku. "Ke mana? Tak habis pikir ... kita mulai bernyanyi.""Oh ...." Ia hanya menatapku d
Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak Bu ... Sukma sepertinya tak menerima.""Kau tahu apa? Selama ini kau tak memiliki pengalaman mengenai hal ini ... kau terus berkuliah dan berkuliah. Sudahlah, hargai Om Edwin. Jaga sikapmu." Ibu keluar dari kamarku. Ia menyambut kembali Om Edwin yang sudah kembali duduk di sofa ruang tamu."Aneh ... baru saja mengenal orang baru. Bisa-bisanya Ibu langsung mempercayainya." Saat itu hatiku sungguh kesal. Kumendelik seraya mendengarkan canda tawa Ibu dengan Om Edwin. ****"Anakku, kau mahu ke mana?" tanya Ibu. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan pakaian yang rapi."Ke kampus." Kukerutkan keningku, terlintas kuberpikir bahwa Ibu tidak seperti biasanya. Sesekali kumenatap Om Edwin. Ia sedang menatap ke arahku seraya tersenyum lembut."Ya sudah hati-hatilah, hari ini Ibu belum memasak jadi beli saja diluar ya," ucap Ibu."Ya ... Sukma pergi dulu," pamitku seraya mencium tangan Ibu. "Pamit sama Om Edwin juga dong sayang," kata Ibu saat aku hend
Aku membuka pintu. Pintunya terkunci.Kulihat bawah pot bunga. Kuncinya masih berada di sana."Ibu ke mana?" tanyaku. Pikirku mungkin Ibu membeli keperluan lain.Aku langsung berjalan menuju kamar. Kubaringkan tubuh dalam kasurku yang empuk.Kutarik napas panjang, perlahan membuangnya. Menatap jam yang kian detik Ia terus berjalan. Kini di ruangan hanya ada suara detik jam saja.Kurenungi semuanya. Termasuk kepergian Ivi. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tangisku.Isakan tangisku semakin kencang. "Sebenarnya kau kenapa Ivi? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?" Rasa rindu pada Ivi terus membludak. Rasanya ingin sekali memeluknya.Aku teringat handphone yang diberikannya. Kuambil tasku. Kubuka resletingnya secara perlahan. Hatiku semakin sesak. Deraian air mata semakin kencang.Handphone yang dahulu Ia beli denganku. Ternyata Ia akan memberikannya padaku.flashback ...."Sukma ... coba pilih untukku, menurutmu handphone keluaran terbaru ini, bagus warna apa?" tanya Ivi, seraya mengg
Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini?"Pikiranku tak karuan. Aku semakin keheranan. Aku berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Apa? Ivi—" (terlintas di pikiranku bahwa kemarin aku bertemu Ivi). "Anak itu lagi. Bagaimana cara agar aku bisa membalas kebaikannya?" Aku langsung membayar jasa warung internet dan print out–nya. "Terimakasih."Kulangkahkan kakiku langsung bergegas ke rumah Ivi. "Pak, Pak," panggilku menghentikan angkutan umum. Rumah Ivi disalahsatu perumahan bergengsi. Jaraknya tak terlalu jauh dengan posisiku saat ini. "Bagaimana caraku mengungkapkannya? Apa aku harus sujud? Kukembalikan pastinya Ia tak akan menerima. Handphone yang Ivi berikan keluaran terbaru yang saat ini hanya orang-orang bergengsi yang memilikinya." Hatiku terus menggerutu."Kiri ... kiri," ucapku. Aku sudah sampai di perumahannya. Aku langsung membayar ongkosnya. "Terimakasih."Perumahan itu di jaga ketat o
Kupegang kedua pundaknya seraya menguatkan. "Maka dari itu ... kau harus berjanji." Kutatap kedua matanya. "Kau harus hidup lebih lama. Kau harus menikmati semuanya." Ivi hanya mengangguk. Suasana malam itu penuh haru. "Pulanglah ... ingat! Kau memang harus berbakti pada Ibumu. Tapi sisihkan uang ini untukmu. Gunakanlah uang ini untuk kebebasan hidupmu. Dan sudah kusisihkan itu. Jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu." Ivi membuka kunci pintu mobilnya. "Pulanglah ...."Perasaanku tak karuan. "Lebih baik kau menginap di rumahku. Hari ini saja. Esok pagi baru kau pulang."Ivi menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi ke supermarket."Kubuka pintu mobilnya. Kututup dengan perlahan.Ivi membuka kaca mobilnya. "Sampai jumpa kembali, Sukma. Aku akan sangat merindukanmu."Kupantau mobilnya hingga menjauh dari pandanganku."Aneh." Aku berjalan menuju rumah. Melewati gang kecil. "Apa hal buruk akan terjadi padanya?" Beberapakali hal buruk terlintas di kepalaku. Lagi-lagi kusergah. "Ah tidak .
Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu dengan baik. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing.""Hah?" Aku mengambil flashdisk dalam genggamannya. "Apa yang kau maksud? Kau menyelesaikan tugas skripsiku?""Tidak juga ... aku hanya membereskannya sedikit sesuai yang ada pada buku-mu itu." Ivi menarik tanganku. "Ayo ... bukankah kau mahu bertemu dengan Bayu temanmu? Akan kuantar."Aku terdiam. Masih dengan tatapan tak percaya menatap Ivi.****Kurasa Ivi hari ini sangat antusias sekali. Sangat aneh. Ivi tidak seperti biasanya. Sepanjang jalan aku hanya terdiam memikirkannya."Lampu merah ini, kan?" tanya Ivi. "Heh!""Hah?" Ia membangunkan lamunanku."Kau memikirkan apa?" tanya Ivi. Ia sudah memarkirkan mobilnya."Tunggu ...." Aku menahan Ivi yang sedang melepas sabuk pengamannya. "Apa ada sesuatu yang buruk terjadi di hidupmu, Ivi?" tanyaku. Menatap m
"Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?"Ivi menghela napas dengan panjang. "Ck! Bagaimana caranya agar aku bisa memberitahumu. Kepalamu sungguh batu, ingin sesekali kumemecahkannya."Aku tertawa mendengarnya. "Tidak Ivi ... aku hanya tidak ingin merepotkanmu.""Ya ... karena kau tak menganggapku seseorang yang penting. Kau memang tengil." Ivi masih terus menggerutu. "Apa karena masalah Ibuku saat itu? Ayolah ... Ibuku memang emosional, tetapi percayalah ... dia tak bermaksud begitu.""Oh ayolah ... bahkan aku sudah lupa masalah itu. Dan tentunya aku mengerti. Aku hanya sedang menikmati usahaku saja.""Maafkan Ibuku ya?" Ivi memelas. Memegang punggung tanganku. "Mungkin saat itu Ibuku sedang memiliki banyak masalah."Kusergah langsung pembicaraan itu. "Ck! Ayolah ... bukan itu. Sepertinya kau yang tak menganggap aku orang terdekatmu."Waktu sudah men
Kicauan burung terdengar lagi. Rasanya, baru tadi malam aku pulang dari pekerjaan paruh waktu."Punya anak gadis tak ada gunanya! Ibu hanya memiliki dua tangan. Setidaknya bantu menyapu halaman!" Ibuku Sekar, sudah menggerutu. "Jika saja aku telah tiada, baru kau akan mengerti."Sontak aku melihat jam. Masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku bergegas membereskan kamar. Lalu, membasuh diri.****Kuambil sapu itu dalam genggaman Ibuku. "Biar Sukma saja.""Sudah kubilang ... hentikan kuliahmu itu. Bantu Ibumu untuk bekerja. Kau hanya membuang-buang uang saja!" Ibu melemparkan sapu itu. "Kita ini orang miskin Sukma. Kau seharusnya berpikir! Buang sudah semua mimpimu!" Sejak kepergian Bapak, Ibu jadi emosional. Ia tak pernah menghargai hasil kerja kerasku. Aku bekerja paruh waktu, membiayai semuanya.Perlahan kutarik napas dan membuangnya. Aku mengambil sapu itu. Membersihkan beberapa debu yang belum tersapu.Ibuku melemparkan beberapa barang-barang yang berserakan. "Selama ini aku hanya m