Share

Flexing

Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak Bu ... Sukma sepertinya tak menerima."

"Kau tahu apa? Selama ini kau tak memiliki pengalaman mengenai hal ini ... kau terus berkuliah dan berkuliah. Sudahlah, hargai Om Edwin. Jaga sikapmu." Ibu keluar dari kamarku. Ia menyambut kembali Om Edwin yang sudah kembali duduk di sofa ruang tamu.

"Aneh ... baru saja mengenal orang baru. Bisa-bisanya Ibu langsung mempercayainya." Saat itu hatiku sungguh kesal. Kumendelik seraya mendengarkan canda tawa Ibu dengan Om Edwin.

****

"Anakku, kau mahu ke mana?" tanya Ibu. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan pakaian yang rapi.

"Ke kampus." Kukerutkan keningku, terlintas kuberpikir bahwa Ibu tidak seperti biasanya. Sesekali kumenatap Om Edwin. Ia sedang menatap ke arahku seraya tersenyum lembut.

"Ya sudah hati-hatilah, hari ini Ibu belum memasak jadi beli saja diluar ya," ucap Ibu.

"Ya ... Sukma pergi dulu," pamitku seraya mencium tangan Ibu.

"Pamit sama Om Edwin juga dong sayang," kata Ibu saat aku hendak melangkahkan kakiku.

Kuraih tangan yang sudah Ia sodorkan padaku. "Ya ... Sukma pergi dulu."

Om Edwin menatap jam tangannya. "Sepertinya saya harus pergi ke kantor sekarang ... Sukma, bagaimana kalau ikut bersama Om saja?" ajaknya.

"Em ... aku harus pergi ke perpustakaan dulu di tempat yang berbeda, sepertinya akan membuat Om Edwin terlambat, terimakasih tawarannya." Aku menolaknya dengan halus.

"Ah ...." Ibu menyergah seraya tersenyum. "Sukma memang memiliki kepribadian seperti itu. Agar lebih aman, lebih baik Sukma ikut saja dengan Om Edwin, ya kan mas?"

'mas?' Membuatku sedikit kegelian. "sepertinya Ibu sedang difase jatuh cinta lagi." Kusergah langsung pemikiranku. "Tidak, terimakasih tawarannya. Tetapi aku harus pergi ke rumah temanku dan—"

"Tidak masalah, saya akan mengantarkannya." Om Edwin memotong perkataanku yang belum selesai itu.

"Dan Sukma harus pergi ke perpustakaan terlebih dahulu. Kurasa Sukma membutuhkan waktu yang banyak jadi ... terimakasih atas tawarannya, Sukma pergi sendiri saja." Aku tersenyum. Meski jujur saja aku merasa terbebani dengan paksaan itu.

"Ayo ... tidak apa-apa, tidak usah sungkan." Senyum Om Edwin terlihat tulus. "Saya akan melewati jalan pintas, agar cepat sampai. Kebetulan karena sudah terbiasa, jadi hapal."

Kutolak lagi dengan halus. "Mungkin lain waktu saja, Sukma harus pergi sekarang."

****

"Saya sering sekali terlambat menemui klien, gara-gara di jalan ini sering sekali terjadi kemacetan. Mahu menuju jalan pintas?" tanya Om Edwin.

"Tidak usah ... Sukma turun di pertigaan lampu merah depan saja."

"Loh kok, kenapa?"

"Ya ... Sukma harus bertemu dengan teman-teman Sukma."

"Kan macet ... saya sering sekali bertemu dengan anak-anak punk di jalanan. Mereka itu terlalu bebas. Kasihan, saya selalu memberi uang, ya itung-itung untuk mereka makan satu bulan."

Reflek kumendengarnya seraya terkejut. Kukerutkan keningku secara perlahan. "Tidak dapat dipungkiri, mereka memiliki hati yang baik dan selalu rendah hati," sahutku.

"Rendah hati tak akan membawa pundi-pundi uang. Bukankah mereka sudah rendahan?" ceplos Om Edwin.

Aku yang saat itu sedang menatap kaca disampingku, langsung menoleh ke arah Om Edwin. "Maksudnya?"

"Ya ... kau tahu sendiri. Mereka tidak memiliki kualitas pendidikan yang tinggi. Tentunya hidup mereka hanya di jalanan, masa depannya yang suram dan sangat berantakan."

Aku sudah muak mendengar ucapannya yang begitu tinggi. Kusergah dengan senyuman. "Ijazah hanya selembar kertas ya?"

Seketika Ia terdiam seraya bertanya-tanya. "Tentunya ... bukankah semua orang juga tahu akan hal itu?" Diikuti tawanya yang mendecih.

"Tidak menjamin, bukan?" Kutatap Ia dengan tajam.

"Ya ... tetapi ayolah, zaman sekarang tidak melanjutkan pendidikan? Itu sangat menyakitkan."

"Semua orang berbeda termasuk rezeki dan jalan hidupnya." Kuhela napasku dengan panjang. "Terkadang Sukma begitu salut pada mereka yang berjuang di posisi itu ... tidak memaksakan akan gengsinya. Mereka tetap menerima setiap cacian dari orang yang memiliki otak kosong."

****

"Terimakasih atas tawarannya," ucapku. Aku langsung menyebrang menemui teman band-ku.

"Haii!" sapaku. "Bagaimana kabarmu?"

"Baik ... bagaimana kabarmu? kau sendirian?" tanya Bayu. Ia melakukan tos kepadaku ala tongkrongannya.

"Ya ... semua baik-baik saja dan aku datang ke sini sendirian."

Bayu mengajakku untuk duduk di bangku panjang tak jauh dari tempat itu.

"Mengapa matamu terlihat sembab? Apa ada

hal buruk telah terjadi?" tanya Bayu.

"Tidak ... aku hanya sedikit kecapekan."

"Aku harap semuanya baik-baik saja. Bagaimana? Kau akan melanjutkan bernyanyi di band-ku itu?"

"Ya ... aku akan melanjutkannya."

"Baiklah ... berkatmu dan temanmu kemarin, Via—"

"Ivi ...." Aku membenarkannya.

"Ya ... ajak dia kembali. Agar pendapatan kita juga semakin bertambah ...." Raut wajah Bayu terlihat sumringah.

"Sepertinya hanya aku yang bisa melakukannya."

"Mengapa? Apa temanmu malu?" tanya Bayu.

"Tidak ... dia tidak malu. Bahkan itu adalah hal yang paling ingin Ia lakukan." Sesekali kutundukkan kepalaku.

"Kenapa? Apa sesuatu hal buruk telah menimpamu?"

"Ivi telah meninggal." Kuangkat kepalaku menatap Bayu yang saat itu sedang menatapku polos. Sontak raut wajahnya berubah seketika.

"Apa yang telah terjadi?" Raut wajahnya terlihat kebingungan dan terkejut. "Bukankah semuanya baik-baik saja? Kulihat kemarin saat Ia bernyanyi tampak damai dan ceria. Bagaimana bisa?" Bayu terus bertanya-tanya.

"Ya ... semuanya sudah waktunya. Entah, aku tidak tahu apa yang telah terjadi."

Bayu mengerutkan keningnya. "Bukankah kau dengan Ivi adalah sahabat? Mengapa kau tidak mengetahuinya?"

"Orang tuanya tidak memperbolehkan aku untuk bertemu dengannya lagi, termasuk pada hari terakhirnya." Kukerutkan bibirku agar tak cemberut.

"Hal itu hal yang tidak lazim. Orang-orang akan melakukan hal yang bertolakbelakang dengan kesedihannya selama ini. Kau sudah mengetahui lokasi pemakannya?"

"Sepertinya Ia akan dikuburkan di kota asalnya."

"Turut berduka cita atas apapun yang telah terjadi. Ayolah ... tetap semangat, orang-orang akan pergi termasuk meninggalkan dunia yang fana ini."

"Ya ... hari ini aku sedang belajar untuk menerima. Terimakasih atas motivasi yang kau katakan pagi ini."

"Oh ya ... kau tidak pergi ke kampus?" tanya Bayu.

"Aku pergi setengah satu pagi. Kuputuskan untuk mengambil aktivitas lain, jadi aku mampir ke sini."

"Memangnya kau tidak malu? Apalagi, tentunya banyak sekali siswa-siswi di universitas berlalu lalang daerah sini," tanya Bayu.

"Aku sudah tak memikirkan itu. Mereka semua bisa menyapa dan mencela. Dan itu sifat alamiah, kau akan selalu bertemu dengan orang-orang seperti itu. Apa yang bisa kita lakukan hari ini, lakukan saja ...."

"Kita akan mulai bernyanyi di menit tiga puluh ... sebentar lagi. Sebetulnya genre lagumu apa?"

"Em ... aku suka semuanya ... lagu apapun yang damai masuk ke dalam telingaku, aku akan mendengarkan itu sampai bosan ... hingga tidak ada lagu favorit, tidak ada genre, semuanya mengalir begitu saja."

"lihatlah ... semuanya menatap ke arah kita," ucap Bayu seraya tersenyum.

"Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status