Beranda / Romansa / Dokter Tampan Itu, Suamiku! / Kepergian Yang Tak Terduga

Share

Kepergian Yang Tak Terduga

Penulis: Peony's
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini?"

Pikiranku tak karuan. Aku semakin keheranan. Aku berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Apa? Ivi—" (terlintas di pikiranku bahwa kemarin aku bertemu Ivi). "Anak itu lagi. Bagaimana cara agar aku bisa membalas kebaikannya?" Aku langsung membayar jasa warung internet dan print out–nya. "Terimakasih."

Kulangkahkan kakiku langsung bergegas ke rumah Ivi.

"Pak, Pak," panggilku menghentikan angkutan umum.

Rumah Ivi disalahsatu perumahan bergengsi. Jaraknya tak terlalu jauh dengan posisiku saat ini. "Bagaimana caraku mengungkapkannya? Apa aku harus sujud? Kukembalikan pastinya Ia tak akan menerima. Handphone yang Ivi berikan keluaran terbaru yang saat ini hanya orang-orang bergengsi yang memilikinya." Hatiku terus menggerutu.

"Kiri ... kiri," ucapku. Aku sudah sampai di perumahannya. Aku langsung membayar ongkosnya. "Terimakasih."

Perumahan itu di jaga ketat oleh satpam di pos. Untungnya, aku mengenali salah satu satpam itu, Pak Danu.

"Nak Sukma ... saya tidak pernah melihat selama ini. Ke mana saja? Mahu ke rumah temannya ya? Saya turut berduka cita ya," ucapnya. Yang kala itu, langsung mengejutkanku.

"Memangnya siapa yang telah berpulang, Pak?" Pikirku, mungkin Pak Danu salah dalam berucap. "Teman saya Ivi Pak. Ah ... Pak Danu, membuat saya terkejut saja." Aku sedikit tertawa mendengarnya.

Raut wajah Pak Danu seketika berubah. Pak Danu langsung menundukkan pandangannya. "Saya rasa ... Nak Sukma harus segera menemui Nak Ivi."

"Memangnya apa yang sudah terjadi Pak?" tanyaku. Aku menatap Pak Danu. "Apa sesuatu buruk telah terjadi?" Lututku tiba-tiba saja lemas. Sesekali masih kusergah pemikiranku yang buruk mengenai Ivi. "Ivi kecelakaan? Atau ... kucing Ivi meninggal?"

"Mari saya antarkan ...." Pak Danu langsung menyalakan sepeda motornya. "Silakan naik, Nak."

Jaraknya lumayan jauh. Di perjalanan menuju rumahnya. Pikiranku bertanya-tanya mengenai keadaan Ivi.

"Memangnya apa yang terjadi, Pak Danu?" tanyaku lagi. Suaraku sedikit bergetar. Tubuhku di selimuti ketakutan dan kepanikan.

Pak Danu tak menjawab.

Dari kejauhan, karangan bunga tertata rapi di luar. Kusipitkan kedua mataku. Kubaca dengan teliti. "Turut berdukacita atas wafatnya Ivi Drestiandra Fheeta."

Lagi-lagi kusergah. "Tidak mungkin ...."

Kubaca lagi satu persatu karangan bunga yang lain. Masih menuliskan nama yang sama.

Rasanya, petir telah menyambar jiwaku. Pikiran dan hatiku bergelut, berkecamuk. "Pak ... ini bukan Ivi sahabat saya kan Pak? Ivi masih bersama saya tadi malam." Kugelengkan kepalaku. Kusergah lagi, dan lagi. "Nggak mungkin."

Kuhentikan paksa motor Pak Danu. Aku berlari menuju rumah Ivi. Peti mati telah diangkat ke mobil ambulans.

"Ivi!" teriakku. Tangisku histeris. "Tidak Pak ... izinkan saya untuk melihat mendiang Ivi sekali saja." Kurendahkan diriku. Bermohon-mohon di bawah kaki pembawa peti.

Aku menjadi pusat tontonan. Tatapan orang-orang menatapku. Tidak peduli akan hal itu, tangisku semakin pecah.

Seseorang menarikku dengan kasar. Sontak membuatku terkejut.

"Kau hanya membawa keributan saja!" Satu tamparan melayang di pipiku. "Memangnya tak cukup kau membuat hidup anakku menderita? Kau pikir Ivi kulahirkan hanya untuk membantu hidupmu yang miskin itu?" murka Ibu Ivi, Diana. "Hidupmu hina sekali. Moralmu sama hancurnya. Memalukan."

Rasa sakitnya menggebu-gebu. Tapi tak kuperdulikan hal itu. "Tidak, aku tak pernah berniat seperti itu." Kurendahkan lagi diriku. Kupegang kedua kaki Bu Diana seraya memohon. "Sekali saja. Aku ingin melihat Ivi terakhir kali."

"Pergi!" Tanganku Ia hempaskan. "Aku tak akan pernah sudi untuk kau melihat mendiang anakku apalagi memegangnya."

Kulihat sekelilingku. Orang-orang berbisik mengenaiku. Beberapa dari mereka menatapku murka. Sedikit dari mereka yang menatapku iba.

Kutahan tangisku. Aku beranjak berdiri. Kulangkahkan kakiku pergi. Sesekali aku menyusut air mata yang terus menetes.

Rasanya aku pulang membawa luka yang berlipat. Rasa malu, sakit, dan kehilangan orang yang kusayangi dalam hidupku.

Aku semakin menjauh dari rumah Ivi. Kulangkahkan kakiku pergi seorang diri. Suara motor dari belakang menghampiriku.

"Nak Sukma."

Tentunya aku menoleh. Suaranya tak asing. Dan aku mengenali suaranya.

"Pak Danu ...." Ku-susut air mataku. Kusapa dengan senyuman. "Benar Pak Danu ... Ia Ivi sahabatku." Suaraku bergetar dan menciut.

Aku tak kuasa menatap Pak Danu saat itu.

"Roda itu berputar. Walaupun jalannya penuh lika-liku, ikutilah dengan baik."

Kutatap Pak Danu. Ia sedang menatapku dengan sendu.

"Naiklah, Nak. Saya antarkan pulang."

"Tapi saya tak pernah berniat seperti itu Pak Danu." Tangisku seketika pecah. Kutundukkan wajahku. "Ivi satu-satunya sahabat dekat saya Pak. Mana mungkin saya memanfaatkannya."

"Naiklah ...." Pak Danu mengucapkannya dengan lembut. Ia menatap ke atas langit. "Sudah terlihat mendung. Nanti Nak Sukma kehujanan."

****

"Melihat Nak Sukma. Saya teringat anak saya di kampung." Pak Danu memberiku teh hangat panas di warung kopi tepi jalan.

Aku tersenyum. Masih tersisa isakan tangis. "Terimakasih Pak Danu."

Pak Danu mengerutkan bibirnya. "Jangan diambil hati ya Nak atas perkataan orang-orang berada."

Aku menatap Pak Danu.

"Terkadang hidup tak adil tapi itulah takdir." Pak Danu menyeruput kopinya. "Tapi tenang saja, hidup ini belum berakhir ... kita lihat saja, bagian mana yang menjadi keberuntungan untuk kita. Jalanilah dengan baik. Jangan keluar dari jalan."

Perlahan kuteguk teh hangat. Terasa hangat mengalir di dalam kerongkongan.

"Mereka yang sombong, mungkin mereka yang baru saja merasakan pencapaian yang menurutnya besar. Mereka yang jahat, tak akan lepas bahwa Ia juga jahat terhadap dirinya sendiri. Mereka yang merendahkan, mereka yang juga pernah direndahkan."

Lagi-lagi kutatap Pak Danu saat itu. Mengingatkanku pada Papa.

"Semuanya tentang perjalanan dan pembelajaran. Mereka juga lagi belajar, toh? Kalo pun dia tahu bahwa perlakuannya salah ... dia tak akan pernah melakukan itu." Pak Danu menyeruput kopinya lagi.

Perkataan Pak Danu ada benarnya. Hatiku sedikit terobati dengan beberapa nasehat yang Pak Danu ucapkan.

"Yang harus Nak Sukma lakukan sekarang ...." Pak Danu lagi-lagi menguatkan. "Fokus akan hidupmu. Selesaikan semuanya yang telah kau pilih. Kalau hal buruk terjadi lagi, teruslah berjalan. Hiraukan penghalangmu itu. Sembuhlah tanpa beralasan bahwa kau sakit."

****

"Di sini saja Pak ... rumah saya juga tak jauh dari gang itu." Aku turun dari motor Pak Danu. "Sekali lagi, terimakasih banyak ya Pak. Pak Danu mari mampir rumah saya dahulu."

Pak Danu tersenyum. "Saya harus bekerja lagi ... mungkin lain kali saja ya. Ingat ya. Hiduplah dengan baik, Nak Sukma."

Kubalas dengan senyuman. "Saya akan berusaha dan terus berusaha. Saya harap Pak Danu selalu sehat dan bahagia selalu."

Kulihat motor Pak Danu yang semakin menjauh. "Tadi malam ... baru saja aku melihat mobil Ivi." Lagi-lagi hatiku tersentuh. "Kenapa kau cepat sekali pergi! Maafkan aku Ivi." Air mata yang menetes lagi-lagi kumengelapnya. Kulangkahkan kakiku pergi menuju rumah.

Bab terkait

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Pertemuan Ibu dengan orang asing itu

    Aku membuka pintu. Pintunya terkunci.Kulihat bawah pot bunga. Kuncinya masih berada di sana."Ibu ke mana?" tanyaku. Pikirku mungkin Ibu membeli keperluan lain.Aku langsung berjalan menuju kamar. Kubaringkan tubuh dalam kasurku yang empuk.Kutarik napas panjang, perlahan membuangnya. Menatap jam yang kian detik Ia terus berjalan. Kini di ruangan hanya ada suara detik jam saja.Kurenungi semuanya. Termasuk kepergian Ivi. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tangisku.Isakan tangisku semakin kencang. "Sebenarnya kau kenapa Ivi? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?" Rasa rindu pada Ivi terus membludak. Rasanya ingin sekali memeluknya.Aku teringat handphone yang diberikannya. Kuambil tasku. Kubuka resletingnya secara perlahan. Hatiku semakin sesak. Deraian air mata semakin kencang.Handphone yang dahulu Ia beli denganku. Ternyata Ia akan memberikannya padaku.flashback ...."Sukma ... coba pilih untukku, menurutmu handphone keluaran terbaru ini, bagus warna apa?" tanya Ivi, seraya mengg

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Flexing

    Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak Bu ... Sukma sepertinya tak menerima.""Kau tahu apa? Selama ini kau tak memiliki pengalaman mengenai hal ini ... kau terus berkuliah dan berkuliah. Sudahlah, hargai Om Edwin. Jaga sikapmu." Ibu keluar dari kamarku. Ia menyambut kembali Om Edwin yang sudah kembali duduk di sofa ruang tamu."Aneh ... baru saja mengenal orang baru. Bisa-bisanya Ibu langsung mempercayainya." Saat itu hatiku sungguh kesal. Kumendelik seraya mendengarkan canda tawa Ibu dengan Om Edwin. ****"Anakku, kau mahu ke mana?" tanya Ibu. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan pakaian yang rapi."Ke kampus." Kukerutkan keningku, terlintas kuberpikir bahwa Ibu tidak seperti biasanya. Sesekali kumenatap Om Edwin. Ia sedang menatap ke arahku seraya tersenyum lembut."Ya sudah hati-hatilah, hari ini Ibu belum memasak jadi beli saja diluar ya," ucap Ibu."Ya ... Sukma pergi dulu," pamitku seraya mencium tangan Ibu. "Pamit sama Om Edwin juga dong sayang," kata Ibu saat aku hend

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Hal Besar

    "Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku."Tuh ... lihatlah." Bayu menunjuk pada kendaraan yang berhenti karena lampu merah. "Kurasa mereka melihat ke arah kita karena kau cantik. Lihat saja ... mereka dengan sengaja menghentikan kendaraannya."Aku langsung mengelak seraya reflek mendecih. "Kau ini ... ya gurauanmu berhasil membuatku sedikit terobati." Aku tak kuasa menahan tawaku."Raut wajahmu memerah, kau salah tingkah atas ucapku ya, kan?" ceplos Bayu.Tanganku menepuk pundaknya."Ck! Aw!" Ia mengelus-elus pundaknya. "Tubuhmu kecil tetapi tenagamu besar.""Berlebihan ... aku hanya mencolekmu sedikit."Bayu tertawa mendengar perkataanku. "Mencolek, memangnya aku sambal.""Sudahlah ... mari kita mulai." Kudongkakkan kepalaku ke atas langit. "Cuacanya cerah ... sebentar lagi pasti akan terasa semakin panas.""Ke mana?"Pertanyaan Bayu berhasil mengalihkan perhatianku. "Ke mana? Tak habis pikir ... kita mulai bernyanyi.""Oh ...." Ia hanya menatapku d

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Band jalanan

    Kicauan burung terdengar lagi. Rasanya, baru tadi malam aku pulang dari pekerjaan paruh waktu."Punya anak gadis tak ada gunanya! Ibu hanya memiliki dua tangan. Setidaknya bantu menyapu halaman!" Ibuku Sekar, sudah menggerutu. "Jika saja aku telah tiada, baru kau akan mengerti."Sontak aku melihat jam. Masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku bergegas membereskan kamar. Lalu, membasuh diri.****Kuambil sapu itu dalam genggaman Ibuku. "Biar Sukma saja.""Sudah kubilang ... hentikan kuliahmu itu. Bantu Ibumu untuk bekerja. Kau hanya membuang-buang uang saja!" Ibu melemparkan sapu itu. "Kita ini orang miskin Sukma. Kau seharusnya berpikir! Buang sudah semua mimpimu!" Sejak kepergian Bapak, Ibu jadi emosional. Ia tak pernah menghargai hasil kerja kerasku. Aku bekerja paruh waktu, membiayai semuanya.Perlahan kutarik napas dan membuangnya. Aku mengambil sapu itu. Membersihkan beberapa debu yang belum tersapu.Ibuku melemparkan beberapa barang-barang yang berserakan. "Selama ini aku hanya m

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Pelanggan Terbaik

    "Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?"Ivi menghela napas dengan panjang. "Ck! Bagaimana caranya agar aku bisa memberitahumu. Kepalamu sungguh batu, ingin sesekali kumemecahkannya."Aku tertawa mendengarnya. "Tidak Ivi ... aku hanya tidak ingin merepotkanmu.""Ya ... karena kau tak menganggapku seseorang yang penting. Kau memang tengil." Ivi masih terus menggerutu. "Apa karena masalah Ibuku saat itu? Ayolah ... Ibuku memang emosional, tetapi percayalah ... dia tak bermaksud begitu.""Oh ayolah ... bahkan aku sudah lupa masalah itu. Dan tentunya aku mengerti. Aku hanya sedang menikmati usahaku saja.""Maafkan Ibuku ya?" Ivi memelas. Memegang punggung tanganku. "Mungkin saat itu Ibuku sedang memiliki banyak masalah."Kusergah langsung pembicaraan itu. "Ck! Ayolah ... bukan itu. Sepertinya kau yang tak menganggap aku orang terdekatmu."Waktu sudah men

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Setumpuk uang

    Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu dengan baik. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing.""Hah?" Aku mengambil flashdisk dalam genggamannya. "Apa yang kau maksud? Kau menyelesaikan tugas skripsiku?""Tidak juga ... aku hanya membereskannya sedikit sesuai yang ada pada buku-mu itu." Ivi menarik tanganku. "Ayo ... bukankah kau mahu bertemu dengan Bayu temanmu? Akan kuantar."Aku terdiam. Masih dengan tatapan tak percaya menatap Ivi.****Kurasa Ivi hari ini sangat antusias sekali. Sangat aneh. Ivi tidak seperti biasanya. Sepanjang jalan aku hanya terdiam memikirkannya."Lampu merah ini, kan?" tanya Ivi. "Heh!""Hah?" Ia membangunkan lamunanku."Kau memikirkan apa?" tanya Ivi. Ia sudah memarkirkan mobilnya."Tunggu ...." Aku menahan Ivi yang sedang melepas sabuk pengamannya. "Apa ada sesuatu yang buruk terjadi di hidupmu, Ivi?" tanyaku. Menatap m

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Rindu Akan Perubahan Itu

    Kupegang kedua pundaknya seraya menguatkan. "Maka dari itu ... kau harus berjanji." Kutatap kedua matanya. "Kau harus hidup lebih lama. Kau harus menikmati semuanya." Ivi hanya mengangguk. Suasana malam itu penuh haru. "Pulanglah ... ingat! Kau memang harus berbakti pada Ibumu. Tapi sisihkan uang ini untukmu. Gunakanlah uang ini untuk kebebasan hidupmu. Dan sudah kusisihkan itu. Jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu." Ivi membuka kunci pintu mobilnya. "Pulanglah ...."Perasaanku tak karuan. "Lebih baik kau menginap di rumahku. Hari ini saja. Esok pagi baru kau pulang."Ivi menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi ke supermarket."Kubuka pintu mobilnya. Kututup dengan perlahan.Ivi membuka kaca mobilnya. "Sampai jumpa kembali, Sukma. Aku akan sangat merindukanmu."Kupantau mobilnya hingga menjauh dari pandanganku."Aneh." Aku berjalan menuju rumah. Melewati gang kecil. "Apa hal buruk akan terjadi padanya?" Beberapakali hal buruk terlintas di kepalaku. Lagi-lagi kusergah. "Ah tidak .

Bab terbaru

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Hal Besar

    "Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku."Tuh ... lihatlah." Bayu menunjuk pada kendaraan yang berhenti karena lampu merah. "Kurasa mereka melihat ke arah kita karena kau cantik. Lihat saja ... mereka dengan sengaja menghentikan kendaraannya."Aku langsung mengelak seraya reflek mendecih. "Kau ini ... ya gurauanmu berhasil membuatku sedikit terobati." Aku tak kuasa menahan tawaku."Raut wajahmu memerah, kau salah tingkah atas ucapku ya, kan?" ceplos Bayu.Tanganku menepuk pundaknya."Ck! Aw!" Ia mengelus-elus pundaknya. "Tubuhmu kecil tetapi tenagamu besar.""Berlebihan ... aku hanya mencolekmu sedikit."Bayu tertawa mendengar perkataanku. "Mencolek, memangnya aku sambal.""Sudahlah ... mari kita mulai." Kudongkakkan kepalaku ke atas langit. "Cuacanya cerah ... sebentar lagi pasti akan terasa semakin panas.""Ke mana?"Pertanyaan Bayu berhasil mengalihkan perhatianku. "Ke mana? Tak habis pikir ... kita mulai bernyanyi.""Oh ...." Ia hanya menatapku d

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Flexing

    Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak Bu ... Sukma sepertinya tak menerima.""Kau tahu apa? Selama ini kau tak memiliki pengalaman mengenai hal ini ... kau terus berkuliah dan berkuliah. Sudahlah, hargai Om Edwin. Jaga sikapmu." Ibu keluar dari kamarku. Ia menyambut kembali Om Edwin yang sudah kembali duduk di sofa ruang tamu."Aneh ... baru saja mengenal orang baru. Bisa-bisanya Ibu langsung mempercayainya." Saat itu hatiku sungguh kesal. Kumendelik seraya mendengarkan canda tawa Ibu dengan Om Edwin. ****"Anakku, kau mahu ke mana?" tanya Ibu. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan pakaian yang rapi."Ke kampus." Kukerutkan keningku, terlintas kuberpikir bahwa Ibu tidak seperti biasanya. Sesekali kumenatap Om Edwin. Ia sedang menatap ke arahku seraya tersenyum lembut."Ya sudah hati-hatilah, hari ini Ibu belum memasak jadi beli saja diluar ya," ucap Ibu."Ya ... Sukma pergi dulu," pamitku seraya mencium tangan Ibu. "Pamit sama Om Edwin juga dong sayang," kata Ibu saat aku hend

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Pertemuan Ibu dengan orang asing itu

    Aku membuka pintu. Pintunya terkunci.Kulihat bawah pot bunga. Kuncinya masih berada di sana."Ibu ke mana?" tanyaku. Pikirku mungkin Ibu membeli keperluan lain.Aku langsung berjalan menuju kamar. Kubaringkan tubuh dalam kasurku yang empuk.Kutarik napas panjang, perlahan membuangnya. Menatap jam yang kian detik Ia terus berjalan. Kini di ruangan hanya ada suara detik jam saja.Kurenungi semuanya. Termasuk kepergian Ivi. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tangisku.Isakan tangisku semakin kencang. "Sebenarnya kau kenapa Ivi? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?" Rasa rindu pada Ivi terus membludak. Rasanya ingin sekali memeluknya.Aku teringat handphone yang diberikannya. Kuambil tasku. Kubuka resletingnya secara perlahan. Hatiku semakin sesak. Deraian air mata semakin kencang.Handphone yang dahulu Ia beli denganku. Ternyata Ia akan memberikannya padaku.flashback ...."Sukma ... coba pilih untukku, menurutmu handphone keluaran terbaru ini, bagus warna apa?" tanya Ivi, seraya mengg

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Kepergian Yang Tak Terduga

    Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini?"Pikiranku tak karuan. Aku semakin keheranan. Aku berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Apa? Ivi—" (terlintas di pikiranku bahwa kemarin aku bertemu Ivi). "Anak itu lagi. Bagaimana cara agar aku bisa membalas kebaikannya?" Aku langsung membayar jasa warung internet dan print out–nya. "Terimakasih."Kulangkahkan kakiku langsung bergegas ke rumah Ivi. "Pak, Pak," panggilku menghentikan angkutan umum. Rumah Ivi disalahsatu perumahan bergengsi. Jaraknya tak terlalu jauh dengan posisiku saat ini. "Bagaimana caraku mengungkapkannya? Apa aku harus sujud? Kukembalikan pastinya Ia tak akan menerima. Handphone yang Ivi berikan keluaran terbaru yang saat ini hanya orang-orang bergengsi yang memilikinya." Hatiku terus menggerutu."Kiri ... kiri," ucapku. Aku sudah sampai di perumahannya. Aku langsung membayar ongkosnya. "Terimakasih."Perumahan itu di jaga ketat o

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Rindu Akan Perubahan Itu

    Kupegang kedua pundaknya seraya menguatkan. "Maka dari itu ... kau harus berjanji." Kutatap kedua matanya. "Kau harus hidup lebih lama. Kau harus menikmati semuanya." Ivi hanya mengangguk. Suasana malam itu penuh haru. "Pulanglah ... ingat! Kau memang harus berbakti pada Ibumu. Tapi sisihkan uang ini untukmu. Gunakanlah uang ini untuk kebebasan hidupmu. Dan sudah kusisihkan itu. Jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu." Ivi membuka kunci pintu mobilnya. "Pulanglah ...."Perasaanku tak karuan. "Lebih baik kau menginap di rumahku. Hari ini saja. Esok pagi baru kau pulang."Ivi menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi ke supermarket."Kubuka pintu mobilnya. Kututup dengan perlahan.Ivi membuka kaca mobilnya. "Sampai jumpa kembali, Sukma. Aku akan sangat merindukanmu."Kupantau mobilnya hingga menjauh dari pandanganku."Aneh." Aku berjalan menuju rumah. Melewati gang kecil. "Apa hal buruk akan terjadi padanya?" Beberapakali hal buruk terlintas di kepalaku. Lagi-lagi kusergah. "Ah tidak .

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Setumpuk uang

    Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu dengan baik. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing.""Hah?" Aku mengambil flashdisk dalam genggamannya. "Apa yang kau maksud? Kau menyelesaikan tugas skripsiku?""Tidak juga ... aku hanya membereskannya sedikit sesuai yang ada pada buku-mu itu." Ivi menarik tanganku. "Ayo ... bukankah kau mahu bertemu dengan Bayu temanmu? Akan kuantar."Aku terdiam. Masih dengan tatapan tak percaya menatap Ivi.****Kurasa Ivi hari ini sangat antusias sekali. Sangat aneh. Ivi tidak seperti biasanya. Sepanjang jalan aku hanya terdiam memikirkannya."Lampu merah ini, kan?" tanya Ivi. "Heh!""Hah?" Ia membangunkan lamunanku."Kau memikirkan apa?" tanya Ivi. Ia sudah memarkirkan mobilnya."Tunggu ...." Aku menahan Ivi yang sedang melepas sabuk pengamannya. "Apa ada sesuatu yang buruk terjadi di hidupmu, Ivi?" tanyaku. Menatap m

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Pelanggan Terbaik

    "Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?"Ivi menghela napas dengan panjang. "Ck! Bagaimana caranya agar aku bisa memberitahumu. Kepalamu sungguh batu, ingin sesekali kumemecahkannya."Aku tertawa mendengarnya. "Tidak Ivi ... aku hanya tidak ingin merepotkanmu.""Ya ... karena kau tak menganggapku seseorang yang penting. Kau memang tengil." Ivi masih terus menggerutu. "Apa karena masalah Ibuku saat itu? Ayolah ... Ibuku memang emosional, tetapi percayalah ... dia tak bermaksud begitu.""Oh ayolah ... bahkan aku sudah lupa masalah itu. Dan tentunya aku mengerti. Aku hanya sedang menikmati usahaku saja.""Maafkan Ibuku ya?" Ivi memelas. Memegang punggung tanganku. "Mungkin saat itu Ibuku sedang memiliki banyak masalah."Kusergah langsung pembicaraan itu. "Ck! Ayolah ... bukan itu. Sepertinya kau yang tak menganggap aku orang terdekatmu."Waktu sudah men

  • Dokter Tampan Itu, Suamiku!   Band jalanan

    Kicauan burung terdengar lagi. Rasanya, baru tadi malam aku pulang dari pekerjaan paruh waktu."Punya anak gadis tak ada gunanya! Ibu hanya memiliki dua tangan. Setidaknya bantu menyapu halaman!" Ibuku Sekar, sudah menggerutu. "Jika saja aku telah tiada, baru kau akan mengerti."Sontak aku melihat jam. Masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku bergegas membereskan kamar. Lalu, membasuh diri.****Kuambil sapu itu dalam genggaman Ibuku. "Biar Sukma saja.""Sudah kubilang ... hentikan kuliahmu itu. Bantu Ibumu untuk bekerja. Kau hanya membuang-buang uang saja!" Ibu melemparkan sapu itu. "Kita ini orang miskin Sukma. Kau seharusnya berpikir! Buang sudah semua mimpimu!" Sejak kepergian Bapak, Ibu jadi emosional. Ia tak pernah menghargai hasil kerja kerasku. Aku bekerja paruh waktu, membiayai semuanya.Perlahan kutarik napas dan membuangnya. Aku mengambil sapu itu. Membersihkan beberapa debu yang belum tersapu.Ibuku melemparkan beberapa barang-barang yang berserakan. "Selama ini aku hanya m

DMCA.com Protection Status