Share

Kepergian Yang Tak Terduga

Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini?"

Pikiranku tak karuan. Aku semakin keheranan. Aku berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Apa? Ivi—" (terlintas di pikiranku bahwa kemarin aku bertemu Ivi). "Anak itu lagi. Bagaimana cara agar aku bisa membalas kebaikannya?" Aku langsung membayar jasa warung internet dan print out–nya. "Terimakasih."

Kulangkahkan kakiku langsung bergegas ke rumah Ivi.

"Pak, Pak," panggilku menghentikan angkutan umum.

Rumah Ivi disalahsatu perumahan bergengsi. Jaraknya tak terlalu jauh dengan posisiku saat ini. "Bagaimana caraku mengungkapkannya? Apa aku harus sujud? Kukembalikan pastinya Ia tak akan menerima. Handphone yang Ivi berikan keluaran terbaru yang saat ini hanya orang-orang bergengsi yang memilikinya." Hatiku terus menggerutu.

"Kiri ... kiri," ucapku. Aku sudah sampai di perumahannya. Aku langsung membayar ongkosnya. "Terimakasih."

Perumahan itu di jaga ketat oleh satpam di pos. Untungnya, aku mengenali salah satu satpam itu, Pak Danu.

"Nak Sukma ... saya tidak pernah melihat selama ini. Ke mana saja? Mahu ke rumah temannya ya? Saya turut berduka cita ya," ucapnya. Yang kala itu, langsung mengejutkanku.

"Memangnya siapa yang telah berpulang, Pak?" Pikirku, mungkin Pak Danu salah dalam berucap. "Teman saya Ivi Pak. Ah ... Pak Danu, membuat saya terkejut saja." Aku sedikit tertawa mendengarnya.

Raut wajah Pak Danu seketika berubah. Pak Danu langsung menundukkan pandangannya. "Saya rasa ... Nak Sukma harus segera menemui Nak Ivi."

"Memangnya apa yang sudah terjadi Pak?" tanyaku. Aku menatap Pak Danu. "Apa sesuatu buruk telah terjadi?" Lututku tiba-tiba saja lemas. Sesekali masih kusergah pemikiranku yang buruk mengenai Ivi. "Ivi kecelakaan? Atau ... kucing Ivi meninggal?"

"Mari saya antarkan ...." Pak Danu langsung menyalakan sepeda motornya. "Silakan naik, Nak."

Jaraknya lumayan jauh. Di perjalanan menuju rumahnya. Pikiranku bertanya-tanya mengenai keadaan Ivi.

"Memangnya apa yang terjadi, Pak Danu?" tanyaku lagi. Suaraku sedikit bergetar. Tubuhku di selimuti ketakutan dan kepanikan.

Pak Danu tak menjawab.

Dari kejauhan, karangan bunga tertata rapi di luar. Kusipitkan kedua mataku. Kubaca dengan teliti. "Turut berdukacita atas wafatnya Ivi Drestiandra Fheeta."

Lagi-lagi kusergah. "Tidak mungkin ...."

Kubaca lagi satu persatu karangan bunga yang lain. Masih menuliskan nama yang sama.

Rasanya, petir telah menyambar jiwaku. Pikiran dan hatiku bergelut, berkecamuk. "Pak ... ini bukan Ivi sahabat saya kan Pak? Ivi masih bersama saya tadi malam." Kugelengkan kepalaku. Kusergah lagi, dan lagi. "Nggak mungkin."

Kuhentikan paksa motor Pak Danu. Aku berlari menuju rumah Ivi. Peti mati telah diangkat ke mobil ambulans.

"Ivi!" teriakku. Tangisku histeris. "Tidak Pak ... izinkan saya untuk melihat mendiang Ivi sekali saja." Kurendahkan diriku. Bermohon-mohon di bawah kaki pembawa peti.

Aku menjadi pusat tontonan. Tatapan orang-orang menatapku. Tidak peduli akan hal itu, tangisku semakin pecah.

Seseorang menarikku dengan kasar. Sontak membuatku terkejut.

"Kau hanya membawa keributan saja!" Satu tamparan melayang di pipiku. "Memangnya tak cukup kau membuat hidup anakku menderita? Kau pikir Ivi kulahirkan hanya untuk membantu hidupmu yang miskin itu?" murka Ibu Ivi, Diana. "Hidupmu hina sekali. Moralmu sama hancurnya. Memalukan."

Rasa sakitnya menggebu-gebu. Tapi tak kuperdulikan hal itu. "Tidak, aku tak pernah berniat seperti itu." Kurendahkan lagi diriku. Kupegang kedua kaki Bu Diana seraya memohon. "Sekali saja. Aku ingin melihat Ivi terakhir kali."

"Pergi!" Tanganku Ia hempaskan. "Aku tak akan pernah sudi untuk kau melihat mendiang anakku apalagi memegangnya."

Kulihat sekelilingku. Orang-orang berbisik mengenaiku. Beberapa dari mereka menatapku murka. Sedikit dari mereka yang menatapku iba.

Kutahan tangisku. Aku beranjak berdiri. Kulangkahkan kakiku pergi. Sesekali aku menyusut air mata yang terus menetes.

Rasanya aku pulang membawa luka yang berlipat. Rasa malu, sakit, dan kehilangan orang yang kusayangi dalam hidupku.

Aku semakin menjauh dari rumah Ivi. Kulangkahkan kakiku pergi seorang diri. Suara motor dari belakang menghampiriku.

"Nak Sukma."

Tentunya aku menoleh. Suaranya tak asing. Dan aku mengenali suaranya.

"Pak Danu ...." Ku-susut air mataku. Kusapa dengan senyuman. "Benar Pak Danu ... Ia Ivi sahabatku." Suaraku bergetar dan menciut.

Aku tak kuasa menatap Pak Danu saat itu.

"Roda itu berputar. Walaupun jalannya penuh lika-liku, ikutilah dengan baik."

Kutatap Pak Danu. Ia sedang menatapku dengan sendu.

"Naiklah, Nak. Saya antarkan pulang."

"Tapi saya tak pernah berniat seperti itu Pak Danu." Tangisku seketika pecah. Kutundukkan wajahku. "Ivi satu-satunya sahabat dekat saya Pak. Mana mungkin saya memanfaatkannya."

"Naiklah ...." Pak Danu mengucapkannya dengan lembut. Ia menatap ke atas langit. "Sudah terlihat mendung. Nanti Nak Sukma kehujanan."

****

"Melihat Nak Sukma. Saya teringat anak saya di kampung." Pak Danu memberiku teh hangat panas di warung kopi tepi jalan.

Aku tersenyum. Masih tersisa isakan tangis. "Terimakasih Pak Danu."

Pak Danu mengerutkan bibirnya. "Jangan diambil hati ya Nak atas perkataan orang-orang berada."

Aku menatap Pak Danu.

"Terkadang hidup tak adil tapi itulah takdir." Pak Danu menyeruput kopinya. "Tapi tenang saja, hidup ini belum berakhir ... kita lihat saja, bagian mana yang menjadi keberuntungan untuk kita. Jalanilah dengan baik. Jangan keluar dari jalan."

Perlahan kuteguk teh hangat. Terasa hangat mengalir di dalam kerongkongan.

"Mereka yang sombong, mungkin mereka yang baru saja merasakan pencapaian yang menurutnya besar. Mereka yang jahat, tak akan lepas bahwa Ia juga jahat terhadap dirinya sendiri. Mereka yang merendahkan, mereka yang juga pernah direndahkan."

Lagi-lagi kutatap Pak Danu saat itu. Mengingatkanku pada Papa.

"Semuanya tentang perjalanan dan pembelajaran. Mereka juga lagi belajar, toh? Kalo pun dia tahu bahwa perlakuannya salah ... dia tak akan pernah melakukan itu." Pak Danu menyeruput kopinya lagi.

Perkataan Pak Danu ada benarnya. Hatiku sedikit terobati dengan beberapa nasehat yang Pak Danu ucapkan.

"Yang harus Nak Sukma lakukan sekarang ...." Pak Danu lagi-lagi menguatkan. "Fokus akan hidupmu. Selesaikan semuanya yang telah kau pilih. Kalau hal buruk terjadi lagi, teruslah berjalan. Hiraukan penghalangmu itu. Sembuhlah tanpa beralasan bahwa kau sakit."

****

"Di sini saja Pak ... rumah saya juga tak jauh dari gang itu." Aku turun dari motor Pak Danu. "Sekali lagi, terimakasih banyak ya Pak. Pak Danu mari mampir rumah saya dahulu."

Pak Danu tersenyum. "Saya harus bekerja lagi ... mungkin lain kali saja ya. Ingat ya. Hiduplah dengan baik, Nak Sukma."

Kubalas dengan senyuman. "Saya akan berusaha dan terus berusaha. Saya harap Pak Danu selalu sehat dan bahagia selalu."

Kulihat motor Pak Danu yang semakin menjauh. "Tadi malam ... baru saja aku melihat mobil Ivi." Lagi-lagi hatiku tersentuh. "Kenapa kau cepat sekali pergi! Maafkan aku Ivi." Air mata yang menetes lagi-lagi kumengelapnya. Kulangkahkan kakiku pergi menuju rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status