Kupegang kedua pundaknya seraya menguatkan. "Maka dari itu ... kau harus berjanji." Kutatap kedua matanya. "Kau harus hidup lebih lama. Kau harus menikmati semuanya."
Ivi hanya mengangguk. Suasana malam itu penuh haru. "Pulanglah ... ingat! Kau memang harus berbakti pada Ibumu. Tapi sisihkan uang ini untukmu. Gunakanlah uang ini untuk kebebasan hidupmu. Dan sudah kusisihkan itu. Jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu." Ivi membuka kunci pintu mobilnya. "Pulanglah ...." Perasaanku tak karuan. "Lebih baik kau menginap di rumahku. Hari ini saja. Esok pagi baru kau pulang." Ivi menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi ke supermarket." Kubuka pintu mobilnya. Kututup dengan perlahan. Ivi membuka kaca mobilnya. "Sampai jumpa kembali, Sukma. Aku akan sangat merindukanmu." Kupantau mobilnya hingga menjauh dari pandanganku. "Aneh." Aku berjalan menuju rumah. Melewati gang kecil. "Apa hal buruk akan terjadi padanya?" Beberapakali hal buruk terlintas di kepalaku. Lagi-lagi kusergah. "Ah tidak ... sepertinya Ivi butuh waktu untuk mengeluh. Hidupnya terlalu keras. Dan semua itu hal wajar. Aku harap dia akan selalu bahagia." Lampu-lampu menyala terang. Terlihat hanya rumahku yang gelap. Kuberjalan menuju rumah. Aku sudah memiliki firasat bahwa Ibu pasti memarahiku habis-habisan. Kuketuk perlahan pintu rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu malam. Perasaanku sudah tidak karuan. Kugenggam setumpuk uang dalam amplop cokelat itu. "Mungkin aku hanya akan mengambil tiga ratus ribu untuk simpanan kedepannya." Kumasukkan ke dalam saku. Perintah Ivi telah kuturuti. "Terimakasih Ivi. Aku tak tahu harus membalas kebaikanmu seperti apa. Semoga semua harapanmu selama ini secepatnya segera terkabul." Kuketuk pintu lagi. Kali ini dengan keras Ibu membuka kuncinya. Sinar dari cahaya lilin yang dibawa Ibu sedikit membantu. Tatapan tajam dan murka menatap ke arahku. Ibu mengeluarkan tasku. "Pergilah ... anak sialan! Kau hanya menyusahkan Ibu." Napas Ibu mulai terengah-engah. jiwanya diselimuti rasa emosi yang tak dapat Ia tahan. "Sudah kubilang ... untuk mencari uang saja kenapa kau begitu keras dan batu, Sukma!" Ia menendang tasku. "Pergilah ... jangan kau anggap aku adalah Ibumu." Tentunya aku tak menerima. Air mataku mulai berderai. "Tidak Ibu ... kumohon! Aku sudah membawa uangnya. Maafkan aku." Kubersujud dalam kakinya. Aku terus memohon-mohon. "Ini semua kesalahanku ... dan aku tak akan lagi menyusahkanmu. Semuanya hampir selesai." Lagi-lagi Ibu mendorongku. "Dan beraninya kau masih melanjutkan kuliahmu itu? Ada apa denganmu Sukma? Kau memang anak biadab!" Kakinya menendangku. "Pergilah ... urus saja hidupmu sendiri. Mahu kau akan menjadi pelacur pun, aku sudah tak peduli. Pulang jikalau kau sudah membawa banyak uang." Kutunjukkan langsung amplop cokelat dalam genggaman seraya menangis. "Sukma udah bawa uang banyak! Tolong jangan buang Sukma, Ibu!" Tatapannya berbinar. Ibuku langsung merebut amplop dalam genggamanku. "Masuk! Bereskan kembali dengan rapi semua bajumu." Ibu tak menolehku. Tatapannya masih tertuju pada amplop itu seraya tersenyum. **** "Sekarang tidurlah ... esok kau akan terbangun dengan lampu yang tak padam dan sarapan yang enak. Jikalau kau tidak membuat Ibu marah, semuanya akan baik-baik saja." Terdengar suara Ibu dari luar kamar. Aku hanya terdiam seraya memasukkan pakaian dalam lemari. Masih tersisa sengguk tangis. Kubuat planning untuk hari esok. "Aku harus pergi ke warnet dan menyelesaikan tugas skripsiku. Dan ... aku harus pergi berkerja lagi." Kugebuk kasur menggunakan sapu lidi. "Hari esok akan lebih baik Sukma. Teruslah berjalan." Setiap harinya, aku selalu menguatkan diriku. **** Aku terbangun. Kulihat jam menunjukkan pukul enam pagi. Biasanya Ibu sudah mengomel. Tetapi, hari ini tak ada aktivitas terdengar. Kutekadkan diri untuk membereskan rumah. Sebelum Ibuku membangunkanku dengan perasaan yang murka. "A-aw!" Kepalaku terasa pusing saat bangun dari tidurku. Pandanganku seketika gelap. Kutenangkan diri, karena hal itu sudah menjadi rutinitasku tiap pagi. Semuanya sudah terlihat membaik. Kulanjutkan niat awalku. Membersihkan diri sebelum mengawali hari, lalu membereskan tempat tidurku. Kubuka pintu kamarku. Perlahan kumengintip. Di luar tidak ada tanda-tanda Ibu sedang beraktivitas. 'Ibu ke mana?' terlintas di pemikiranku. Kulanjutkan aktivitasku. Kurasa hari semakin membaik. Suasana hatiku tak seperti biasanya. Hatiku sedikit lebih plong .... Sapu sudah dalam genggamanku. Kusapu semua debu. Ku-pel semua lantai agar tampak bersih. Kubereskan barang-barang yang berserakan. Piring-piring sudah kubersihkan dan kini tampak rapi dalam rak. "Huhh ... beres juga." Kulihat jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Matahari mulai bersinar. "Kurasa aku melupakan sesuatu." Kulihat kantung cucian baju. "Tidak ada ... apa Ibu sudah mencucinya?" Aku berjalan menuju jemuran baju. "Tidak ada juga ... kemana semua baju-baju kotor?" tanyaku. Ibu terlihat sedang berjalan menuju rumah. Raut wajahnya terlihat sumringah. "Kemana semua baju kotor, Bu?" tanyaku. Perlahan senyum terukir di wajahku. "Ibu terlihat bahagia sekali hari ini ... ada apa?" "Ah tidak ... ayo masuk. Kau sudah sarapan pagi ini?" tanya Ibu. Sungguh, mataku berbinar. Sudah lama Ibu tak bertanya mengenai hal itu. "Belum Ibu ... aku menunggu Ibu pulang." Hatiku bergetar. Aku merindukan Ibuku yang dulu. Dan ... Ibuku kembali hari ini. "Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu. Makanlah ... Ibu rasa kau lelah." Ibu berjalan menuju dapur. "Di mana pakaian-pakaian kotor? Apa Ibu mencucinya?" tanyaku. Langkahku mendekati Ibu. "Ibu berikan pada laundry. Nanti kau ambilkan ya." "Baik Ibu." Kurasa mungkin Ibu kelelahan. Tersirat di pikiranku, aku ingin cepat-cepat menyelesaikan kuliahku dan mencari pekerjaan yang bagus. "Sudah lama kan kau tak merasakan masakan Ibu." Ibu memberikan nasi dalam piringku. Memberikan daging ayam kecap. "Satu tak akan cukup. Ibu berikan kau tiga." "Terlalu banyak Bu. Tak akan habis." "Habiskanlah ... badanmu terlihat kurus sekali." Ibu menyimpan bakul di meja. "Ibu pergi dulu." "Ibu mau ke mana?" "Pergi menemui teman Ibu. Kalau kau akan pergi ke luar, kuncilah pintu. Taruh kunci itu di bawah pot bunga." "Baik. Hati-hati." Aku melahap masakan Ibu. Rasanya enak sekali. Sudah bertahun-tahun aku tak menyantap ini. Tiap suapannya kurasakan dan kuresapi. "Aku akan berterimakasih lagi pada Ivi. Dia seperti malaikat. Hatinya lembut juga baik." Seketika aku memikirkan Ivi. "Dia sekarang sedang melakukan apa ya?" Kuhabiskan sarapanku dengan cepat. Hari ini aku harus pergi ke warung internet untuk menyelesaikan tugas skripsiku dan mengabari Ivi tentang keadaanku. **** Tepat di akhir penghujung membuat skripsi. Lembar persembahan kuketik dua nama yang sangat melekat dalam diri, Ibu dan Ivi. Seketika hatiku begitu tersentuh. Tak percaya aku dapat melewati keadaan-keadaan suram dan menyakitkan itu. Aku meminta skripsiku di print—untuk kukumpulkan dalam bentuk fisik. Kumasukkan lembaran-lembaran skripsiku dalam tas. Masih tas yang sama yang kubawa kemarin bertemu dengan Ivi. Rasanya, hati ini begitu gembira. Sesuatu kutemukan di dalam tas. Tentunya aku bertanya-tanya mengenai hal itu. Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini ke dalam tasku?"Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini?"Pikiranku tak karuan. Aku semakin keheranan. Aku berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Apa? Ivi—" (terlintas di pikiranku bahwa kemarin aku bertemu Ivi). "Anak itu lagi. Bagaimana cara agar aku bisa membalas kebaikannya?" Aku langsung membayar jasa warung internet dan print out–nya. "Terimakasih."Kulangkahkan kakiku langsung bergegas ke rumah Ivi. "Pak, Pak," panggilku menghentikan angkutan umum. Rumah Ivi disalahsatu perumahan bergengsi. Jaraknya tak terlalu jauh dengan posisiku saat ini. "Bagaimana caraku mengungkapkannya? Apa aku harus sujud? Kukembalikan pastinya Ia tak akan menerima. Handphone yang Ivi berikan keluaran terbaru yang saat ini hanya orang-orang bergengsi yang memilikinya." Hatiku terus menggerutu."Kiri ... kiri," ucapku. Aku sudah sampai di perumahannya. Aku langsung membayar ongkosnya. "Terimakasih."Perumahan itu di jaga ketat o
Aku membuka pintu. Pintunya terkunci.Kulihat bawah pot bunga. Kuncinya masih berada di sana."Ibu ke mana?" tanyaku. Pikirku mungkin Ibu membeli keperluan lain.Aku langsung berjalan menuju kamar. Kubaringkan tubuh dalam kasurku yang empuk.Kutarik napas panjang, perlahan membuangnya. Menatap jam yang kian detik Ia terus berjalan. Kini di ruangan hanya ada suara detik jam saja.Kurenungi semuanya. Termasuk kepergian Ivi. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tangisku.Isakan tangisku semakin kencang. "Sebenarnya kau kenapa Ivi? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?" Rasa rindu pada Ivi terus membludak. Rasanya ingin sekali memeluknya.Aku teringat handphone yang diberikannya. Kuambil tasku. Kubuka resletingnya secara perlahan. Hatiku semakin sesak. Deraian air mata semakin kencang.Handphone yang dahulu Ia beli denganku. Ternyata Ia akan memberikannya padaku.flashback ...."Sukma ... coba pilih untukku, menurutmu handphone keluaran terbaru ini, bagus warna apa?" tanya Ivi, seraya mengg
Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak Bu ... Sukma sepertinya tak menerima.""Kau tahu apa? Selama ini kau tak memiliki pengalaman mengenai hal ini ... kau terus berkuliah dan berkuliah. Sudahlah, hargai Om Edwin. Jaga sikapmu." Ibu keluar dari kamarku. Ia menyambut kembali Om Edwin yang sudah kembali duduk di sofa ruang tamu."Aneh ... baru saja mengenal orang baru. Bisa-bisanya Ibu langsung mempercayainya." Saat itu hatiku sungguh kesal. Kumendelik seraya mendengarkan canda tawa Ibu dengan Om Edwin. ****"Anakku, kau mahu ke mana?" tanya Ibu. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan pakaian yang rapi."Ke kampus." Kukerutkan keningku, terlintas kuberpikir bahwa Ibu tidak seperti biasanya. Sesekali kumenatap Om Edwin. Ia sedang menatap ke arahku seraya tersenyum lembut."Ya sudah hati-hatilah, hari ini Ibu belum memasak jadi beli saja diluar ya," ucap Ibu."Ya ... Sukma pergi dulu," pamitku seraya mencium tangan Ibu. "Pamit sama Om Edwin juga dong sayang," kata Ibu saat aku hend
"Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku."Tuh ... lihatlah." Bayu menunjuk pada kendaraan yang berhenti karena lampu merah. "Kurasa mereka melihat ke arah kita karena kau cantik. Lihat saja ... mereka dengan sengaja menghentikan kendaraannya."Aku langsung mengelak seraya reflek mendecih. "Kau ini ... ya gurauanmu berhasil membuatku sedikit terobati." Aku tak kuasa menahan tawaku."Raut wajahmu memerah, kau salah tingkah atas ucapku ya, kan?" ceplos Bayu.Tanganku menepuk pundaknya."Ck! Aw!" Ia mengelus-elus pundaknya. "Tubuhmu kecil tetapi tenagamu besar.""Berlebihan ... aku hanya mencolekmu sedikit."Bayu tertawa mendengar perkataanku. "Mencolek, memangnya aku sambal.""Sudahlah ... mari kita mulai." Kudongkakkan kepalaku ke atas langit. "Cuacanya cerah ... sebentar lagi pasti akan terasa semakin panas.""Ke mana?"Pertanyaan Bayu berhasil mengalihkan perhatianku. "Ke mana? Tak habis pikir ... kita mulai bernyanyi.""Oh ...." Ia hanya menatapku d
Kicauan burung terdengar lagi. Rasanya, baru tadi malam aku pulang dari pekerjaan paruh waktu."Punya anak gadis tak ada gunanya! Ibu hanya memiliki dua tangan. Setidaknya bantu menyapu halaman!" Ibuku Sekar, sudah menggerutu. "Jika saja aku telah tiada, baru kau akan mengerti."Sontak aku melihat jam. Masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku bergegas membereskan kamar. Lalu, membasuh diri.****Kuambil sapu itu dalam genggaman Ibuku. "Biar Sukma saja.""Sudah kubilang ... hentikan kuliahmu itu. Bantu Ibumu untuk bekerja. Kau hanya membuang-buang uang saja!" Ibu melemparkan sapu itu. "Kita ini orang miskin Sukma. Kau seharusnya berpikir! Buang sudah semua mimpimu!" Sejak kepergian Bapak, Ibu jadi emosional. Ia tak pernah menghargai hasil kerja kerasku. Aku bekerja paruh waktu, membiayai semuanya.Perlahan kutarik napas dan membuangnya. Aku mengambil sapu itu. Membersihkan beberapa debu yang belum tersapu.Ibuku melemparkan beberapa barang-barang yang berserakan. "Selama ini aku hanya m
"Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?"Ivi menghela napas dengan panjang. "Ck! Bagaimana caranya agar aku bisa memberitahumu. Kepalamu sungguh batu, ingin sesekali kumemecahkannya."Aku tertawa mendengarnya. "Tidak Ivi ... aku hanya tidak ingin merepotkanmu.""Ya ... karena kau tak menganggapku seseorang yang penting. Kau memang tengil." Ivi masih terus menggerutu. "Apa karena masalah Ibuku saat itu? Ayolah ... Ibuku memang emosional, tetapi percayalah ... dia tak bermaksud begitu.""Oh ayolah ... bahkan aku sudah lupa masalah itu. Dan tentunya aku mengerti. Aku hanya sedang menikmati usahaku saja.""Maafkan Ibuku ya?" Ivi memelas. Memegang punggung tanganku. "Mungkin saat itu Ibuku sedang memiliki banyak masalah."Kusergah langsung pembicaraan itu. "Ck! Ayolah ... bukan itu. Sepertinya kau yang tak menganggap aku orang terdekatmu."Waktu sudah men
Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu dengan baik. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing.""Hah?" Aku mengambil flashdisk dalam genggamannya. "Apa yang kau maksud? Kau menyelesaikan tugas skripsiku?""Tidak juga ... aku hanya membereskannya sedikit sesuai yang ada pada buku-mu itu." Ivi menarik tanganku. "Ayo ... bukankah kau mahu bertemu dengan Bayu temanmu? Akan kuantar."Aku terdiam. Masih dengan tatapan tak percaya menatap Ivi.****Kurasa Ivi hari ini sangat antusias sekali. Sangat aneh. Ivi tidak seperti biasanya. Sepanjang jalan aku hanya terdiam memikirkannya."Lampu merah ini, kan?" tanya Ivi. "Heh!""Hah?" Ia membangunkan lamunanku."Kau memikirkan apa?" tanya Ivi. Ia sudah memarkirkan mobilnya."Tunggu ...." Aku menahan Ivi yang sedang melepas sabuk pengamannya. "Apa ada sesuatu yang buruk terjadi di hidupmu, Ivi?" tanyaku. Menatap m
"Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku."Tuh ... lihatlah." Bayu menunjuk pada kendaraan yang berhenti karena lampu merah. "Kurasa mereka melihat ke arah kita karena kau cantik. Lihat saja ... mereka dengan sengaja menghentikan kendaraannya."Aku langsung mengelak seraya reflek mendecih. "Kau ini ... ya gurauanmu berhasil membuatku sedikit terobati." Aku tak kuasa menahan tawaku."Raut wajahmu memerah, kau salah tingkah atas ucapku ya, kan?" ceplos Bayu.Tanganku menepuk pundaknya."Ck! Aw!" Ia mengelus-elus pundaknya. "Tubuhmu kecil tetapi tenagamu besar.""Berlebihan ... aku hanya mencolekmu sedikit."Bayu tertawa mendengar perkataanku. "Mencolek, memangnya aku sambal.""Sudahlah ... mari kita mulai." Kudongkakkan kepalaku ke atas langit. "Cuacanya cerah ... sebentar lagi pasti akan terasa semakin panas.""Ke mana?"Pertanyaan Bayu berhasil mengalihkan perhatianku. "Ke mana? Tak habis pikir ... kita mulai bernyanyi.""Oh ...." Ia hanya menatapku d
Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak Bu ... Sukma sepertinya tak menerima.""Kau tahu apa? Selama ini kau tak memiliki pengalaman mengenai hal ini ... kau terus berkuliah dan berkuliah. Sudahlah, hargai Om Edwin. Jaga sikapmu." Ibu keluar dari kamarku. Ia menyambut kembali Om Edwin yang sudah kembali duduk di sofa ruang tamu."Aneh ... baru saja mengenal orang baru. Bisa-bisanya Ibu langsung mempercayainya." Saat itu hatiku sungguh kesal. Kumendelik seraya mendengarkan canda tawa Ibu dengan Om Edwin. ****"Anakku, kau mahu ke mana?" tanya Ibu. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan pakaian yang rapi."Ke kampus." Kukerutkan keningku, terlintas kuberpikir bahwa Ibu tidak seperti biasanya. Sesekali kumenatap Om Edwin. Ia sedang menatap ke arahku seraya tersenyum lembut."Ya sudah hati-hatilah, hari ini Ibu belum memasak jadi beli saja diluar ya," ucap Ibu."Ya ... Sukma pergi dulu," pamitku seraya mencium tangan Ibu. "Pamit sama Om Edwin juga dong sayang," kata Ibu saat aku hend
Aku membuka pintu. Pintunya terkunci.Kulihat bawah pot bunga. Kuncinya masih berada di sana."Ibu ke mana?" tanyaku. Pikirku mungkin Ibu membeli keperluan lain.Aku langsung berjalan menuju kamar. Kubaringkan tubuh dalam kasurku yang empuk.Kutarik napas panjang, perlahan membuangnya. Menatap jam yang kian detik Ia terus berjalan. Kini di ruangan hanya ada suara detik jam saja.Kurenungi semuanya. Termasuk kepergian Ivi. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tangisku.Isakan tangisku semakin kencang. "Sebenarnya kau kenapa Ivi? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?" Rasa rindu pada Ivi terus membludak. Rasanya ingin sekali memeluknya.Aku teringat handphone yang diberikannya. Kuambil tasku. Kubuka resletingnya secara perlahan. Hatiku semakin sesak. Deraian air mata semakin kencang.Handphone yang dahulu Ia beli denganku. Ternyata Ia akan memberikannya padaku.flashback ...."Sukma ... coba pilih untukku, menurutmu handphone keluaran terbaru ini, bagus warna apa?" tanya Ivi, seraya mengg
Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini?"Pikiranku tak karuan. Aku semakin keheranan. Aku berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Apa? Ivi—" (terlintas di pikiranku bahwa kemarin aku bertemu Ivi). "Anak itu lagi. Bagaimana cara agar aku bisa membalas kebaikannya?" Aku langsung membayar jasa warung internet dan print out–nya. "Terimakasih."Kulangkahkan kakiku langsung bergegas ke rumah Ivi. "Pak, Pak," panggilku menghentikan angkutan umum. Rumah Ivi disalahsatu perumahan bergengsi. Jaraknya tak terlalu jauh dengan posisiku saat ini. "Bagaimana caraku mengungkapkannya? Apa aku harus sujud? Kukembalikan pastinya Ia tak akan menerima. Handphone yang Ivi berikan keluaran terbaru yang saat ini hanya orang-orang bergengsi yang memilikinya." Hatiku terus menggerutu."Kiri ... kiri," ucapku. Aku sudah sampai di perumahannya. Aku langsung membayar ongkosnya. "Terimakasih."Perumahan itu di jaga ketat o
Kupegang kedua pundaknya seraya menguatkan. "Maka dari itu ... kau harus berjanji." Kutatap kedua matanya. "Kau harus hidup lebih lama. Kau harus menikmati semuanya." Ivi hanya mengangguk. Suasana malam itu penuh haru. "Pulanglah ... ingat! Kau memang harus berbakti pada Ibumu. Tapi sisihkan uang ini untukmu. Gunakanlah uang ini untuk kebebasan hidupmu. Dan sudah kusisihkan itu. Jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu." Ivi membuka kunci pintu mobilnya. "Pulanglah ...."Perasaanku tak karuan. "Lebih baik kau menginap di rumahku. Hari ini saja. Esok pagi baru kau pulang."Ivi menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi ke supermarket."Kubuka pintu mobilnya. Kututup dengan perlahan.Ivi membuka kaca mobilnya. "Sampai jumpa kembali, Sukma. Aku akan sangat merindukanmu."Kupantau mobilnya hingga menjauh dari pandanganku."Aneh." Aku berjalan menuju rumah. Melewati gang kecil. "Apa hal buruk akan terjadi padanya?" Beberapakali hal buruk terlintas di kepalaku. Lagi-lagi kusergah. "Ah tidak .
Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu dengan baik. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing.""Hah?" Aku mengambil flashdisk dalam genggamannya. "Apa yang kau maksud? Kau menyelesaikan tugas skripsiku?""Tidak juga ... aku hanya membereskannya sedikit sesuai yang ada pada buku-mu itu." Ivi menarik tanganku. "Ayo ... bukankah kau mahu bertemu dengan Bayu temanmu? Akan kuantar."Aku terdiam. Masih dengan tatapan tak percaya menatap Ivi.****Kurasa Ivi hari ini sangat antusias sekali. Sangat aneh. Ivi tidak seperti biasanya. Sepanjang jalan aku hanya terdiam memikirkannya."Lampu merah ini, kan?" tanya Ivi. "Heh!""Hah?" Ia membangunkan lamunanku."Kau memikirkan apa?" tanya Ivi. Ia sudah memarkirkan mobilnya."Tunggu ...." Aku menahan Ivi yang sedang melepas sabuk pengamannya. "Apa ada sesuatu yang buruk terjadi di hidupmu, Ivi?" tanyaku. Menatap m
"Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?"Ivi menghela napas dengan panjang. "Ck! Bagaimana caranya agar aku bisa memberitahumu. Kepalamu sungguh batu, ingin sesekali kumemecahkannya."Aku tertawa mendengarnya. "Tidak Ivi ... aku hanya tidak ingin merepotkanmu.""Ya ... karena kau tak menganggapku seseorang yang penting. Kau memang tengil." Ivi masih terus menggerutu. "Apa karena masalah Ibuku saat itu? Ayolah ... Ibuku memang emosional, tetapi percayalah ... dia tak bermaksud begitu.""Oh ayolah ... bahkan aku sudah lupa masalah itu. Dan tentunya aku mengerti. Aku hanya sedang menikmati usahaku saja.""Maafkan Ibuku ya?" Ivi memelas. Memegang punggung tanganku. "Mungkin saat itu Ibuku sedang memiliki banyak masalah."Kusergah langsung pembicaraan itu. "Ck! Ayolah ... bukan itu. Sepertinya kau yang tak menganggap aku orang terdekatmu."Waktu sudah men
Kicauan burung terdengar lagi. Rasanya, baru tadi malam aku pulang dari pekerjaan paruh waktu."Punya anak gadis tak ada gunanya! Ibu hanya memiliki dua tangan. Setidaknya bantu menyapu halaman!" Ibuku Sekar, sudah menggerutu. "Jika saja aku telah tiada, baru kau akan mengerti."Sontak aku melihat jam. Masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku bergegas membereskan kamar. Lalu, membasuh diri.****Kuambil sapu itu dalam genggaman Ibuku. "Biar Sukma saja.""Sudah kubilang ... hentikan kuliahmu itu. Bantu Ibumu untuk bekerja. Kau hanya membuang-buang uang saja!" Ibu melemparkan sapu itu. "Kita ini orang miskin Sukma. Kau seharusnya berpikir! Buang sudah semua mimpimu!" Sejak kepergian Bapak, Ibu jadi emosional. Ia tak pernah menghargai hasil kerja kerasku. Aku bekerja paruh waktu, membiayai semuanya.Perlahan kutarik napas dan membuangnya. Aku mengambil sapu itu. Membersihkan beberapa debu yang belum tersapu.Ibuku melemparkan beberapa barang-barang yang berserakan. "Selama ini aku hanya m