Share

Rindu Akan Perubahan Itu

Kupegang kedua pundaknya seraya menguatkan. "Maka dari itu ... kau harus berjanji." Kutatap kedua matanya. "Kau harus hidup lebih lama. Kau harus menikmati semuanya."

Ivi hanya mengangguk. Suasana malam itu penuh haru. "Pulanglah ... ingat! Kau memang harus berbakti pada Ibumu. Tapi sisihkan uang ini untukmu. Gunakanlah uang ini untuk kebebasan hidupmu. Dan sudah kusisihkan itu. Jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu." Ivi membuka kunci pintu mobilnya. "Pulanglah ...."

Perasaanku tak karuan. "Lebih baik kau menginap di rumahku. Hari ini saja. Esok pagi baru kau pulang."

Ivi menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi ke supermarket."

Kubuka pintu mobilnya. Kututup dengan perlahan.

Ivi membuka kaca mobilnya. "Sampai jumpa kembali, Sukma. Aku akan sangat merindukanmu."

Kupantau mobilnya hingga menjauh dari pandanganku.

"Aneh." Aku berjalan menuju rumah. Melewati gang kecil. "Apa hal buruk akan terjadi padanya?" Beberapakali hal buruk terlintas di kepalaku. Lagi-lagi kusergah. "Ah tidak ... sepertinya Ivi butuh waktu untuk mengeluh. Hidupnya terlalu keras. Dan semua itu hal wajar. Aku harap dia akan selalu bahagia."

Lampu-lampu menyala terang. Terlihat hanya rumahku yang gelap. Kuberjalan menuju rumah. Aku sudah memiliki firasat bahwa Ibu pasti memarahiku habis-habisan.

Kuketuk perlahan pintu rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu malam.

Perasaanku sudah tidak karuan. Kugenggam setumpuk uang dalam amplop cokelat itu. "Mungkin aku hanya akan mengambil tiga ratus ribu untuk simpanan kedepannya." Kumasukkan ke dalam saku. Perintah Ivi telah kuturuti. "Terimakasih Ivi. Aku tak tahu harus membalas kebaikanmu seperti apa. Semoga semua harapanmu selama ini secepatnya segera terkabul."

Kuketuk pintu lagi. Kali ini dengan keras Ibu membuka kuncinya. Sinar dari cahaya lilin yang dibawa Ibu sedikit membantu. Tatapan tajam dan murka menatap ke arahku.

Ibu mengeluarkan tasku. "Pergilah ... anak sialan! Kau hanya menyusahkan Ibu." Napas Ibu mulai terengah-engah. jiwanya diselimuti rasa emosi yang tak dapat Ia tahan. "Sudah kubilang ... untuk mencari uang saja kenapa kau begitu keras dan batu, Sukma!" Ia menendang tasku. "Pergilah ... jangan kau anggap aku adalah Ibumu."

Tentunya aku tak menerima. Air mataku mulai berderai. "Tidak Ibu ... kumohon! Aku sudah membawa uangnya. Maafkan aku." Kubersujud dalam kakinya. Aku terus memohon-mohon. "Ini semua kesalahanku ... dan aku tak akan lagi menyusahkanmu. Semuanya hampir selesai."

Lagi-lagi Ibu mendorongku. "Dan beraninya kau masih melanjutkan kuliahmu itu? Ada apa denganmu Sukma? Kau memang anak biadab!" Kakinya menendangku. "Pergilah ... urus saja hidupmu sendiri. Mahu kau akan menjadi pelacur pun, aku sudah tak peduli. Pulang jikalau kau sudah membawa banyak uang."

Kutunjukkan langsung amplop cokelat dalam genggaman seraya menangis. "Sukma udah bawa uang banyak! Tolong jangan buang Sukma, Ibu!"

Tatapannya berbinar. Ibuku langsung merebut amplop dalam genggamanku. "Masuk! Bereskan kembali dengan rapi semua bajumu." Ibu tak menolehku. Tatapannya masih tertuju pada amplop itu seraya tersenyum.

****

"Sekarang tidurlah ... esok kau akan terbangun dengan lampu yang tak padam dan sarapan yang enak. Jikalau kau tidak membuat Ibu marah, semuanya akan baik-baik saja." Terdengar suara Ibu dari luar kamar.

Aku hanya terdiam seraya memasukkan pakaian dalam lemari. Masih tersisa sengguk tangis. Kubuat planning untuk hari esok.

"Aku harus pergi ke warnet dan menyelesaikan tugas skripsiku. Dan ... aku harus pergi berkerja lagi." Kugebuk kasur menggunakan sapu lidi. "Hari esok akan lebih baik Sukma. Teruslah berjalan." Setiap harinya, aku selalu menguatkan diriku.

****

Aku terbangun. Kulihat jam menunjukkan pukul enam pagi. Biasanya Ibu sudah mengomel. Tetapi, hari ini tak ada aktivitas terdengar.

Kutekadkan diri untuk membereskan rumah. Sebelum Ibuku membangunkanku dengan perasaan yang murka.

"A-aw!" Kepalaku terasa pusing saat bangun dari tidurku. Pandanganku seketika gelap.

Kutenangkan diri, karena hal itu sudah menjadi rutinitasku tiap pagi.

Semuanya sudah terlihat membaik. Kulanjutkan niat awalku. Membersihkan diri sebelum mengawali hari, lalu membereskan tempat tidurku.

Kubuka pintu kamarku. Perlahan kumengintip. Di luar tidak ada tanda-tanda Ibu sedang beraktivitas.

'Ibu ke mana?' terlintas di pemikiranku.

Kulanjutkan aktivitasku. Kurasa hari semakin membaik. Suasana hatiku tak seperti biasanya. Hatiku sedikit lebih plong ....

Sapu sudah dalam genggamanku. Kusapu semua debu. Ku-pel semua lantai agar tampak bersih. Kubereskan barang-barang yang berserakan. Piring-piring sudah kubersihkan dan kini tampak rapi dalam rak.

"Huhh ... beres juga." Kulihat jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Matahari mulai bersinar. "Kurasa aku melupakan sesuatu." Kulihat kantung cucian baju. "Tidak ada ... apa Ibu sudah mencucinya?" Aku berjalan menuju jemuran baju. "Tidak ada juga ... kemana semua baju-baju kotor?" tanyaku.

Ibu terlihat sedang berjalan menuju rumah. Raut wajahnya terlihat sumringah. "Kemana semua baju kotor, Bu?" tanyaku. Perlahan senyum terukir di wajahku. "Ibu terlihat bahagia sekali hari ini ... ada apa?"

"Ah tidak ... ayo masuk. Kau sudah sarapan pagi ini?" tanya Ibu.

Sungguh, mataku berbinar. Sudah lama Ibu tak bertanya mengenai hal itu.

"Belum Ibu ... aku menunggu Ibu pulang." Hatiku bergetar. Aku merindukan Ibuku yang dulu. Dan ... Ibuku kembali hari ini.

"Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu. Makanlah ... Ibu rasa kau lelah." Ibu berjalan menuju dapur.

"Di mana pakaian-pakaian kotor? Apa Ibu mencucinya?" tanyaku. Langkahku mendekati Ibu.

"Ibu berikan pada laundry. Nanti kau ambilkan ya."

"Baik Ibu." Kurasa mungkin Ibu kelelahan. Tersirat di pikiranku, aku ingin cepat-cepat menyelesaikan kuliahku dan mencari pekerjaan yang bagus.

"Sudah lama kan kau tak merasakan masakan Ibu." Ibu memberikan nasi dalam piringku. Memberikan daging ayam kecap. "Satu tak akan cukup. Ibu berikan kau tiga."

"Terlalu banyak Bu. Tak akan habis."

"Habiskanlah ... badanmu terlihat kurus sekali." Ibu menyimpan bakul di meja. "Ibu pergi dulu."

"Ibu mau ke mana?"

"Pergi menemui teman Ibu. Kalau kau akan pergi ke luar, kuncilah pintu. Taruh kunci itu di bawah pot bunga."

"Baik. Hati-hati." Aku melahap masakan Ibu. Rasanya enak sekali. Sudah bertahun-tahun aku tak menyantap ini. Tiap suapannya kurasakan dan kuresapi. "Aku akan berterimakasih lagi pada Ivi. Dia seperti malaikat. Hatinya lembut juga baik." Seketika aku memikirkan Ivi. "Dia sekarang sedang melakukan apa ya?"

Kuhabiskan sarapanku dengan cepat. Hari ini aku harus pergi ke warung internet untuk menyelesaikan tugas skripsiku dan mengabari Ivi tentang keadaanku.

****

Tepat di akhir penghujung membuat skripsi. Lembar persembahan kuketik dua nama yang sangat melekat dalam diri, Ibu dan Ivi. Seketika hatiku begitu tersentuh. Tak percaya aku dapat melewati keadaan-keadaan suram dan menyakitkan itu.

Aku meminta skripsiku di print—untuk kukumpulkan dalam bentuk fisik.

Kumasukkan lembaran-lembaran skripsiku dalam tas. Masih tas yang sama yang kubawa kemarin bertemu dengan Ivi. Rasanya, hati ini begitu gembira.

Sesuatu kutemukan di dalam tas. Tentunya aku bertanya-tanya mengenai hal itu.

Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini ke dalam tasku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status