Kicauan burung terdengar lagi. Rasanya, baru tadi malam aku pulang dari pekerjaan paruh waktu.
"Punya anak gadis tak ada gunanya! Ibu hanya memiliki dua tangan. Setidaknya bantu menyapu halaman!" Ibuku Sekar, sudah menggerutu. "Jika saja aku telah tiada, baru kau akan mengerti." Sontak aku melihat jam. Masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku bergegas membereskan kamar. Lalu, membasuh diri. **** Kuambil sapu itu dalam genggaman Ibuku. "Biar Sukma saja." "Sudah kubilang ... hentikan kuliahmu itu. Bantu Ibumu untuk bekerja. Kau hanya membuang-buang uang saja!" Ibu melemparkan sapu itu. "Kita ini orang miskin Sukma. Kau seharusnya berpikir! Buang sudah semua mimpimu!" Sejak kepergian Bapak, Ibu jadi emosional. Ia tak pernah menghargai hasil kerja kerasku. Aku bekerja paruh waktu, membiayai semuanya. Perlahan kutarik napas dan membuangnya. Aku mengambil sapu itu. Membersihkan beberapa debu yang belum tersapu. Ibuku melemparkan beberapa barang-barang yang berserakan. "Selama ini aku hanya memungut sampah! Sampah hidup dan sampah mati, keduanya tak ada gunanya!" Sesekali hatiku menggerutu. Lagi-lagi kujejalkan. Tak sekali dua kali hal ini terjadi. Ketahuilah, aku sudah mengatur semuanya dengan baik. "Ah! Sudah!" Ibu mengambil sapu dalam genggamanku. "Kau cari uang saja. Sana! Melihatmu hanya membuat Ibu pusing!" Ya ... hari ini aku harus pergi ke kampus untuk mengikuti seminar. Masih ada waktu empat jam untukku mencari sampingan lagi. Aku kembali ke kamar. Menyiapkan beberapa barang-barang. **** "Mau ke mana?" ketus Ibuku. "Kau dengar?!" Suara token rumahku berbunyi. "Bikin pusing! Kau seharusnya berpikir Sukma!" "Aku akan cari uang." Aku pergi. Tak lagi kudengar suara Ibuku saat itu. Aku tidak ingin memperpanjang semuanya. Sesekali ingin kuberontak tetapi mungkin jadi Ibu lebih capek. "Sukma! Jika kau tak membawa uang sepeser pun, tak akan kubiarkan kau masuk ke dalam rumah!" teriak Ibu. Membuat semua tetanggaku menatapku. Kuhiraukan itu semua. Tak mungkin jika aku harus berhenti kuliah. Sekarang sudah semester tujuh. KKN telah kulewati. Kini hanya tinggal menyelesaikan skripsiku. **** Aku berjalan seorang diri di keramaian Kota. Suara klakson mobil dan motor saling beradu. Kutanyakan beberapa penjual keliling agar kubisa bekerja dengan mereka saat itu juga. Namun lagi-lagi mereka menolak-ku. Tak sampai sana. Kulihat penjual koran keliling. Mungkin hasilnya bisa dibagi dua jika kuberhasil menjual banyak, pikirku begitu. "Pak ... aku sedang membutuhkan perkejaan. Bolehkah aku membantu menjual koran ini?" tanyaku. Penjual koran itu menatapku dengan tatapan iba. "Maaf Nak ... semuanya pun jika terjual, tak akan cukup membeli beras. Mungkin ... kau bisa mencari pekerjaan lain yang lebih besar keuntungannya." Aku menundukkan pandanganku. Membuang napasku secara perlahan. "Yasudah, tidak apa-apa. Terimakasih Pak." Kuberi senyumanku, lalu melanjutkan langkahku kembali. Matahari semakin naik. Rasanya, ingin kuberistirahat. Sesekali terlintas di pikiranku mengenai Ibu, bahwa Ia sedang mengharapkanku. Di pemberhentian lampu merah, kumelihat ada band jalanan yang sedang bernyanyi. Aku langsung bergegas ke sana. Mereka bertato. Pergaulannya terlihat bebas. Perlahan kujejalkan niatku. Rasanya, aku takut mendekati mereka. Di sisi lain, pikiranku mendorongku. "Ah~ tidak!" batinku. Aku hanya menatap mereka. Ya, dari dekat. Satu lagu telah selesai mereka nyanyikan. Melihat mereka seperti tak ada masalah yang menimpa. Canda tawanya mengalir begitu saja. "Aduh ... bagaimana ini? Bagaimana jika mereka tak suka aku berada di sini? Apa aku pergi saja?" Pikiranku bertanya-tanya. "Lebih baik ... aku menyelesaikan skripsiku di warnet." Seseorang dari mereka menatapku. Ia memberikan kode pada teman-temannya bahwa aku ada di sana. Aku tersadar. Kini mereka menatapku. "Ada perlu apa?" Salah satu dari mereka berjalan ke arahku. "Ada yang perlu kami bantu?" "Em ... anu ...." Aku terlihat gugup. Mulutku tak mahu berbicara. Ia tertawa. "Santai saja ... kau tak akan kuterkam. Jadi ... ada apa?" Aku tak mampu menatapnya. "Aku butuh pekerjaan. Mungkin suaraku akan membantu meramaikan band-mu, bagaimana?" Perlahan kulirik lagi pria itu. "Jika memang tidak bisa ... tidak apa-apa. Terimakasih." Saat itu aku melangkahkan kakiku hendak pergi. "Tunggu ... kau mahu kemana? Aku belum menjawabnya." Sesekali kumenatapnya, Ia sedang menatapku heran. "Boleh saja ... tetapi, upahnya tak sebanding. Kasihan, nanti suaramu serak." Mataku mulai berbinar. "Tidak apa-apa. Itu sudah lebih dari cukup. Terimakasih!" **** Lampu merah mulai terhenti. Kubulatkan tekadku untuk berani tampil depan mereka. Diiringi gitar yang dipetik. Semuanya berjalan lancar. Tatapan orang-orang menatap ke arahku. Aku tetap berfokus pada lagu yang sedang kubawakan. Lagu berjudul Dear God karya Avenged Sevenvold, lagu kesukaanku. Orang-orang mulai ramai berdatangan memberikan tip. Aku merasa semakin semangat. Hingga aku lupa bahwa aku harus pergi ke kampus untuk mengikuti kelas. "Oh ya ... siapa namamu?" tanyaku pada pria itu. "Kenapa?" tanyanya. Suaraku tidak terdengar lantaran suara kencang dari klakson kendaraan. "Siapa namamu?" tanyaku lagi. Kali ini dengan keras. "Bayu ... kau mahu kemana?" tanya Bayu. "Aku harus pergi ke kampus sekarang." Bayu mengangguk paham. "Oh iya ... temui aku di sini lagi, ya. Pergilah ... hati-hati." Aku berlari menuju kampus. Untungnya, jaraknya tak jauh. **** "Kau dari mana? Kau tahu video yang telah beredar?" tanya sahabatku, Ivi. Ia bertanya dengan wajah panik. "Tidak ... memangnya kenapa?" tanyaku. Ku dekatkan pandanganku pada layar handphone Ivi. "Ini kau kan?" Seseorang merekam video pada saat aku bernyanyi di lampu merah tadi. "Lalu? Apa salahnya?" tanyaku, sembari mengerutkan dahi. "Lagi pula, ini bukanlah hal yang negatif, bukan?" "Kau benar juga ... sebelum kau datang, tadi video ini ramai. Kau tahu anak-anak kampus ini bukan?" "Ya ... tak mengapa. Mereka hanya belum mengerti. Jadi tetaplah pada pandanganmu Ivi." Aku masukkan buku note-ku pada tas. "Kau masih ada kelas lagi?" "Tidak ... bagaimana dengan kau?" "Aku sudah selesai ... sekarang aku harus bekerja lagi. Kau akan tetap di sini?" "Tidak. Aku ingin ikut denganmu saja." Lagi-lagi Ivi menatapku dengan tatapan Iba. "Aku akan membantumu bekerja." "Ck! Tidak Ivi. Kau fokus saja untuk hidupmu." Aku berusaha meyakinkannya. "Semester terakhir ... kita punya jalan masing-masing, begitu pun kau. Tidak usah mencemaskan aku, aku senang dengan hidupku seperti ini." "Bekerjalah bersama ayahku, Sukma. Lagi pula itu tak masalah." Aku tersenyum. Kupegang punggung tangan Ivi. "Ayahmu juga perlu pekerja yang selaras dan handal. Tak sepadan denganku. Aku hanya ingin mengasah diriku saja agar menjadi orang yang hebat." Ivi mengelak dengan jawabanku. "Oh ayolah Sukma ... hidup tak seperti itu. Kau membutuhkan uang untuk semuanya. Dan aku tak menerima jika kau kesulitan. Aku di sini kan juga sahabatmu, apa kau tak menganggap itu?" "Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?""Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?"Ivi menghela napas dengan panjang. "Ck! Bagaimana caranya agar aku bisa memberitahumu. Kepalamu sungguh batu, ingin sesekali kumemecahkannya."Aku tertawa mendengarnya. "Tidak Ivi ... aku hanya tidak ingin merepotkanmu.""Ya ... karena kau tak menganggapku seseorang yang penting. Kau memang tengil." Ivi masih terus menggerutu. "Apa karena masalah Ibuku saat itu? Ayolah ... Ibuku memang emosional, tetapi percayalah ... dia tak bermaksud begitu.""Oh ayolah ... bahkan aku sudah lupa masalah itu. Dan tentunya aku mengerti. Aku hanya sedang menikmati usahaku saja.""Maafkan Ibuku ya?" Ivi memelas. Memegang punggung tanganku. "Mungkin saat itu Ibuku sedang memiliki banyak masalah."Kusergah langsung pembicaraan itu. "Ck! Ayolah ... bukan itu. Sepertinya kau yang tak menganggap aku orang terdekatmu."Waktu sudah men
Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu dengan baik. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing.""Hah?" Aku mengambil flashdisk dalam genggamannya. "Apa yang kau maksud? Kau menyelesaikan tugas skripsiku?""Tidak juga ... aku hanya membereskannya sedikit sesuai yang ada pada buku-mu itu." Ivi menarik tanganku. "Ayo ... bukankah kau mahu bertemu dengan Bayu temanmu? Akan kuantar."Aku terdiam. Masih dengan tatapan tak percaya menatap Ivi.****Kurasa Ivi hari ini sangat antusias sekali. Sangat aneh. Ivi tidak seperti biasanya. Sepanjang jalan aku hanya terdiam memikirkannya."Lampu merah ini, kan?" tanya Ivi. "Heh!""Hah?" Ia membangunkan lamunanku."Kau memikirkan apa?" tanya Ivi. Ia sudah memarkirkan mobilnya."Tunggu ...." Aku menahan Ivi yang sedang melepas sabuk pengamannya. "Apa ada sesuatu yang buruk terjadi di hidupmu, Ivi?" tanyaku. Menatap m
Kupegang kedua pundaknya seraya menguatkan. "Maka dari itu ... kau harus berjanji." Kutatap kedua matanya. "Kau harus hidup lebih lama. Kau harus menikmati semuanya." Ivi hanya mengangguk. Suasana malam itu penuh haru. "Pulanglah ... ingat! Kau memang harus berbakti pada Ibumu. Tapi sisihkan uang ini untukmu. Gunakanlah uang ini untuk kebebasan hidupmu. Dan sudah kusisihkan itu. Jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu." Ivi membuka kunci pintu mobilnya. "Pulanglah ...."Perasaanku tak karuan. "Lebih baik kau menginap di rumahku. Hari ini saja. Esok pagi baru kau pulang."Ivi menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi ke supermarket."Kubuka pintu mobilnya. Kututup dengan perlahan.Ivi membuka kaca mobilnya. "Sampai jumpa kembali, Sukma. Aku akan sangat merindukanmu."Kupantau mobilnya hingga menjauh dari pandanganku."Aneh." Aku berjalan menuju rumah. Melewati gang kecil. "Apa hal buruk akan terjadi padanya?" Beberapakali hal buruk terlintas di kepalaku. Lagi-lagi kusergah. "Ah tidak .
Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini?"Pikiranku tak karuan. Aku semakin keheranan. Aku berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Apa? Ivi—" (terlintas di pikiranku bahwa kemarin aku bertemu Ivi). "Anak itu lagi. Bagaimana cara agar aku bisa membalas kebaikannya?" Aku langsung membayar jasa warung internet dan print out–nya. "Terimakasih."Kulangkahkan kakiku langsung bergegas ke rumah Ivi. "Pak, Pak," panggilku menghentikan angkutan umum. Rumah Ivi disalahsatu perumahan bergengsi. Jaraknya tak terlalu jauh dengan posisiku saat ini. "Bagaimana caraku mengungkapkannya? Apa aku harus sujud? Kukembalikan pastinya Ia tak akan menerima. Handphone yang Ivi berikan keluaran terbaru yang saat ini hanya orang-orang bergengsi yang memilikinya." Hatiku terus menggerutu."Kiri ... kiri," ucapku. Aku sudah sampai di perumahannya. Aku langsung membayar ongkosnya. "Terimakasih."Perumahan itu di jaga ketat o
Aku membuka pintu. Pintunya terkunci.Kulihat bawah pot bunga. Kuncinya masih berada di sana."Ibu ke mana?" tanyaku. Pikirku mungkin Ibu membeli keperluan lain.Aku langsung berjalan menuju kamar. Kubaringkan tubuh dalam kasurku yang empuk.Kutarik napas panjang, perlahan membuangnya. Menatap jam yang kian detik Ia terus berjalan. Kini di ruangan hanya ada suara detik jam saja.Kurenungi semuanya. Termasuk kepergian Ivi. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tangisku.Isakan tangisku semakin kencang. "Sebenarnya kau kenapa Ivi? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?" Rasa rindu pada Ivi terus membludak. Rasanya ingin sekali memeluknya.Aku teringat handphone yang diberikannya. Kuambil tasku. Kubuka resletingnya secara perlahan. Hatiku semakin sesak. Deraian air mata semakin kencang.Handphone yang dahulu Ia beli denganku. Ternyata Ia akan memberikannya padaku.flashback ...."Sukma ... coba pilih untukku, menurutmu handphone keluaran terbaru ini, bagus warna apa?" tanya Ivi, seraya mengg
Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak Bu ... Sukma sepertinya tak menerima.""Kau tahu apa? Selama ini kau tak memiliki pengalaman mengenai hal ini ... kau terus berkuliah dan berkuliah. Sudahlah, hargai Om Edwin. Jaga sikapmu." Ibu keluar dari kamarku. Ia menyambut kembali Om Edwin yang sudah kembali duduk di sofa ruang tamu."Aneh ... baru saja mengenal orang baru. Bisa-bisanya Ibu langsung mempercayainya." Saat itu hatiku sungguh kesal. Kumendelik seraya mendengarkan canda tawa Ibu dengan Om Edwin. ****"Anakku, kau mahu ke mana?" tanya Ibu. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan pakaian yang rapi."Ke kampus." Kukerutkan keningku, terlintas kuberpikir bahwa Ibu tidak seperti biasanya. Sesekali kumenatap Om Edwin. Ia sedang menatap ke arahku seraya tersenyum lembut."Ya sudah hati-hatilah, hari ini Ibu belum memasak jadi beli saja diluar ya," ucap Ibu."Ya ... Sukma pergi dulu," pamitku seraya mencium tangan Ibu. "Pamit sama Om Edwin juga dong sayang," kata Ibu saat aku hend
"Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku."Tuh ... lihatlah." Bayu menunjuk pada kendaraan yang berhenti karena lampu merah. "Kurasa mereka melihat ke arah kita karena kau cantik. Lihat saja ... mereka dengan sengaja menghentikan kendaraannya."Aku langsung mengelak seraya reflek mendecih. "Kau ini ... ya gurauanmu berhasil membuatku sedikit terobati." Aku tak kuasa menahan tawaku."Raut wajahmu memerah, kau salah tingkah atas ucapku ya, kan?" ceplos Bayu.Tanganku menepuk pundaknya."Ck! Aw!" Ia mengelus-elus pundaknya. "Tubuhmu kecil tetapi tenagamu besar.""Berlebihan ... aku hanya mencolekmu sedikit."Bayu tertawa mendengar perkataanku. "Mencolek, memangnya aku sambal.""Sudahlah ... mari kita mulai." Kudongkakkan kepalaku ke atas langit. "Cuacanya cerah ... sebentar lagi pasti akan terasa semakin panas.""Ke mana?"Pertanyaan Bayu berhasil mengalihkan perhatianku. "Ke mana? Tak habis pikir ... kita mulai bernyanyi.""Oh ...." Ia hanya menatapku d
"Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku."Tuh ... lihatlah." Bayu menunjuk pada kendaraan yang berhenti karena lampu merah. "Kurasa mereka melihat ke arah kita karena kau cantik. Lihat saja ... mereka dengan sengaja menghentikan kendaraannya."Aku langsung mengelak seraya reflek mendecih. "Kau ini ... ya gurauanmu berhasil membuatku sedikit terobati." Aku tak kuasa menahan tawaku."Raut wajahmu memerah, kau salah tingkah atas ucapku ya, kan?" ceplos Bayu.Tanganku menepuk pundaknya."Ck! Aw!" Ia mengelus-elus pundaknya. "Tubuhmu kecil tetapi tenagamu besar.""Berlebihan ... aku hanya mencolekmu sedikit."Bayu tertawa mendengar perkataanku. "Mencolek, memangnya aku sambal.""Sudahlah ... mari kita mulai." Kudongkakkan kepalaku ke atas langit. "Cuacanya cerah ... sebentar lagi pasti akan terasa semakin panas.""Ke mana?"Pertanyaan Bayu berhasil mengalihkan perhatianku. "Ke mana? Tak habis pikir ... kita mulai bernyanyi.""Oh ...." Ia hanya menatapku d
Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak Bu ... Sukma sepertinya tak menerima.""Kau tahu apa? Selama ini kau tak memiliki pengalaman mengenai hal ini ... kau terus berkuliah dan berkuliah. Sudahlah, hargai Om Edwin. Jaga sikapmu." Ibu keluar dari kamarku. Ia menyambut kembali Om Edwin yang sudah kembali duduk di sofa ruang tamu."Aneh ... baru saja mengenal orang baru. Bisa-bisanya Ibu langsung mempercayainya." Saat itu hatiku sungguh kesal. Kumendelik seraya mendengarkan canda tawa Ibu dengan Om Edwin. ****"Anakku, kau mahu ke mana?" tanya Ibu. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan pakaian yang rapi."Ke kampus." Kukerutkan keningku, terlintas kuberpikir bahwa Ibu tidak seperti biasanya. Sesekali kumenatap Om Edwin. Ia sedang menatap ke arahku seraya tersenyum lembut."Ya sudah hati-hatilah, hari ini Ibu belum memasak jadi beli saja diluar ya," ucap Ibu."Ya ... Sukma pergi dulu," pamitku seraya mencium tangan Ibu. "Pamit sama Om Edwin juga dong sayang," kata Ibu saat aku hend
Aku membuka pintu. Pintunya terkunci.Kulihat bawah pot bunga. Kuncinya masih berada di sana."Ibu ke mana?" tanyaku. Pikirku mungkin Ibu membeli keperluan lain.Aku langsung berjalan menuju kamar. Kubaringkan tubuh dalam kasurku yang empuk.Kutarik napas panjang, perlahan membuangnya. Menatap jam yang kian detik Ia terus berjalan. Kini di ruangan hanya ada suara detik jam saja.Kurenungi semuanya. Termasuk kepergian Ivi. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tangisku.Isakan tangisku semakin kencang. "Sebenarnya kau kenapa Ivi? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?" Rasa rindu pada Ivi terus membludak. Rasanya ingin sekali memeluknya.Aku teringat handphone yang diberikannya. Kuambil tasku. Kubuka resletingnya secara perlahan. Hatiku semakin sesak. Deraian air mata semakin kencang.Handphone yang dahulu Ia beli denganku. Ternyata Ia akan memberikannya padaku.flashback ...."Sukma ... coba pilih untukku, menurutmu handphone keluaran terbaru ini, bagus warna apa?" tanya Ivi, seraya mengg
Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini?"Pikiranku tak karuan. Aku semakin keheranan. Aku berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Apa? Ivi—" (terlintas di pikiranku bahwa kemarin aku bertemu Ivi). "Anak itu lagi. Bagaimana cara agar aku bisa membalas kebaikannya?" Aku langsung membayar jasa warung internet dan print out–nya. "Terimakasih."Kulangkahkan kakiku langsung bergegas ke rumah Ivi. "Pak, Pak," panggilku menghentikan angkutan umum. Rumah Ivi disalahsatu perumahan bergengsi. Jaraknya tak terlalu jauh dengan posisiku saat ini. "Bagaimana caraku mengungkapkannya? Apa aku harus sujud? Kukembalikan pastinya Ia tak akan menerima. Handphone yang Ivi berikan keluaran terbaru yang saat ini hanya orang-orang bergengsi yang memilikinya." Hatiku terus menggerutu."Kiri ... kiri," ucapku. Aku sudah sampai di perumahannya. Aku langsung membayar ongkosnya. "Terimakasih."Perumahan itu di jaga ketat o
Kupegang kedua pundaknya seraya menguatkan. "Maka dari itu ... kau harus berjanji." Kutatap kedua matanya. "Kau harus hidup lebih lama. Kau harus menikmati semuanya." Ivi hanya mengangguk. Suasana malam itu penuh haru. "Pulanglah ... ingat! Kau memang harus berbakti pada Ibumu. Tapi sisihkan uang ini untukmu. Gunakanlah uang ini untuk kebebasan hidupmu. Dan sudah kusisihkan itu. Jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu." Ivi membuka kunci pintu mobilnya. "Pulanglah ...."Perasaanku tak karuan. "Lebih baik kau menginap di rumahku. Hari ini saja. Esok pagi baru kau pulang."Ivi menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi ke supermarket."Kubuka pintu mobilnya. Kututup dengan perlahan.Ivi membuka kaca mobilnya. "Sampai jumpa kembali, Sukma. Aku akan sangat merindukanmu."Kupantau mobilnya hingga menjauh dari pandanganku."Aneh." Aku berjalan menuju rumah. Melewati gang kecil. "Apa hal buruk akan terjadi padanya?" Beberapakali hal buruk terlintas di kepalaku. Lagi-lagi kusergah. "Ah tidak .
Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu dengan baik. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing.""Hah?" Aku mengambil flashdisk dalam genggamannya. "Apa yang kau maksud? Kau menyelesaikan tugas skripsiku?""Tidak juga ... aku hanya membereskannya sedikit sesuai yang ada pada buku-mu itu." Ivi menarik tanganku. "Ayo ... bukankah kau mahu bertemu dengan Bayu temanmu? Akan kuantar."Aku terdiam. Masih dengan tatapan tak percaya menatap Ivi.****Kurasa Ivi hari ini sangat antusias sekali. Sangat aneh. Ivi tidak seperti biasanya. Sepanjang jalan aku hanya terdiam memikirkannya."Lampu merah ini, kan?" tanya Ivi. "Heh!""Hah?" Ia membangunkan lamunanku."Kau memikirkan apa?" tanya Ivi. Ia sudah memarkirkan mobilnya."Tunggu ...." Aku menahan Ivi yang sedang melepas sabuk pengamannya. "Apa ada sesuatu yang buruk terjadi di hidupmu, Ivi?" tanyaku. Menatap m
"Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?"Ivi menghela napas dengan panjang. "Ck! Bagaimana caranya agar aku bisa memberitahumu. Kepalamu sungguh batu, ingin sesekali kumemecahkannya."Aku tertawa mendengarnya. "Tidak Ivi ... aku hanya tidak ingin merepotkanmu.""Ya ... karena kau tak menganggapku seseorang yang penting. Kau memang tengil." Ivi masih terus menggerutu. "Apa karena masalah Ibuku saat itu? Ayolah ... Ibuku memang emosional, tetapi percayalah ... dia tak bermaksud begitu.""Oh ayolah ... bahkan aku sudah lupa masalah itu. Dan tentunya aku mengerti. Aku hanya sedang menikmati usahaku saja.""Maafkan Ibuku ya?" Ivi memelas. Memegang punggung tanganku. "Mungkin saat itu Ibuku sedang memiliki banyak masalah."Kusergah langsung pembicaraan itu. "Ck! Ayolah ... bukan itu. Sepertinya kau yang tak menganggap aku orang terdekatmu."Waktu sudah men
Kicauan burung terdengar lagi. Rasanya, baru tadi malam aku pulang dari pekerjaan paruh waktu."Punya anak gadis tak ada gunanya! Ibu hanya memiliki dua tangan. Setidaknya bantu menyapu halaman!" Ibuku Sekar, sudah menggerutu. "Jika saja aku telah tiada, baru kau akan mengerti."Sontak aku melihat jam. Masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku bergegas membereskan kamar. Lalu, membasuh diri.****Kuambil sapu itu dalam genggaman Ibuku. "Biar Sukma saja.""Sudah kubilang ... hentikan kuliahmu itu. Bantu Ibumu untuk bekerja. Kau hanya membuang-buang uang saja!" Ibu melemparkan sapu itu. "Kita ini orang miskin Sukma. Kau seharusnya berpikir! Buang sudah semua mimpimu!" Sejak kepergian Bapak, Ibu jadi emosional. Ia tak pernah menghargai hasil kerja kerasku. Aku bekerja paruh waktu, membiayai semuanya.Perlahan kutarik napas dan membuangnya. Aku mengambil sapu itu. Membersihkan beberapa debu yang belum tersapu.Ibuku melemparkan beberapa barang-barang yang berserakan. "Selama ini aku hanya m