Share

Dokter Tampan Itu, Suamiku!
Dokter Tampan Itu, Suamiku!
Penulis: Peony's

Band jalanan

Kicauan burung terdengar lagi. Rasanya, baru tadi malam aku pulang dari pekerjaan paruh waktu.

"Punya anak gadis tak ada gunanya! Ibu hanya memiliki dua tangan. Setidaknya bantu menyapu halaman!" Ibuku Sekar, sudah menggerutu. "Jika saja aku telah tiada, baru kau akan mengerti."

Sontak aku melihat jam. Masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku bergegas membereskan kamar. Lalu, membasuh diri.

****

Kuambil sapu itu dalam genggaman Ibuku. "Biar Sukma saja."

"Sudah kubilang ... hentikan kuliahmu itu. Bantu Ibumu untuk bekerja. Kau hanya membuang-buang uang saja!" Ibu melemparkan sapu itu. "Kita ini orang miskin Sukma. Kau seharusnya berpikir! Buang sudah semua mimpimu!"

Sejak kepergian Bapak, Ibu jadi emosional. Ia tak pernah menghargai hasil kerja kerasku. Aku bekerja paruh waktu, membiayai semuanya.

Perlahan kutarik napas dan membuangnya. Aku mengambil sapu itu. Membersihkan beberapa debu yang belum tersapu.

Ibuku melemparkan beberapa barang-barang yang berserakan. "Selama ini aku hanya memungut sampah! Sampah hidup dan sampah mati, keduanya tak ada gunanya!"

Sesekali hatiku menggerutu. Lagi-lagi kujejalkan. Tak sekali dua kali hal ini terjadi. Ketahuilah, aku sudah mengatur semuanya dengan baik.

"Ah! Sudah!" Ibu mengambil sapu dalam genggamanku. "Kau cari uang saja. Sana! Melihatmu hanya membuat Ibu pusing!"

Ya ... hari ini aku harus pergi ke kampus untuk mengikuti seminar. Masih ada waktu empat jam untukku mencari sampingan lagi.

Aku kembali ke kamar. Menyiapkan beberapa barang-barang.

****

"Mau ke mana?" ketus Ibuku. "Kau dengar?!" Suara token rumahku berbunyi. "Bikin pusing! Kau seharusnya berpikir Sukma!"

"Aku akan cari uang." Aku pergi. Tak lagi kudengar suara Ibuku saat itu. Aku tidak ingin memperpanjang semuanya. Sesekali ingin kuberontak tetapi mungkin jadi Ibu lebih capek.

"Sukma! Jika kau tak membawa uang sepeser pun, tak akan kubiarkan kau masuk ke dalam rumah!" teriak Ibu. Membuat semua tetanggaku menatapku.

Kuhiraukan itu semua. Tak mungkin jika aku harus berhenti kuliah. Sekarang sudah semester tujuh. KKN telah kulewati. Kini hanya tinggal menyelesaikan skripsiku.

****

Aku berjalan seorang diri di keramaian Kota. Suara klakson mobil dan motor saling beradu. Kutanyakan beberapa penjual keliling agar kubisa bekerja dengan mereka saat itu juga. Namun lagi-lagi mereka menolak-ku.

Tak sampai sana. Kulihat penjual koran keliling. Mungkin hasilnya bisa dibagi dua jika kuberhasil menjual banyak, pikirku begitu.

"Pak ... aku sedang membutuhkan perkejaan. Bolehkah aku membantu menjual koran ini?" tanyaku.

Penjual koran itu menatapku dengan tatapan iba. "Maaf Nak ... semuanya pun jika terjual, tak akan cukup membeli beras. Mungkin ... kau bisa mencari pekerjaan lain yang lebih besar keuntungannya."

Aku menundukkan pandanganku. Membuang napasku secara perlahan. "Yasudah, tidak apa-apa. Terimakasih Pak." Kuberi senyumanku, lalu melanjutkan langkahku kembali.

Matahari semakin naik. Rasanya, ingin kuberistirahat. Sesekali terlintas di pikiranku mengenai Ibu, bahwa Ia sedang mengharapkanku.

Di pemberhentian lampu merah, kumelihat ada band jalanan yang sedang bernyanyi. Aku langsung bergegas ke sana.

Mereka bertato. Pergaulannya terlihat bebas. Perlahan kujejalkan niatku. Rasanya, aku takut mendekati mereka. Di sisi lain, pikiranku mendorongku.

"Ah~ tidak!" batinku. Aku hanya menatap mereka. Ya, dari dekat.

Satu lagu telah selesai mereka nyanyikan. Melihat mereka seperti tak ada masalah yang menimpa. Canda tawanya mengalir begitu saja.

"Aduh ... bagaimana ini? Bagaimana jika mereka tak suka aku berada di sini? Apa aku pergi saja?" Pikiranku bertanya-tanya. "Lebih baik ... aku menyelesaikan skripsiku di warnet."

Seseorang dari mereka menatapku. Ia memberikan kode pada teman-temannya bahwa aku ada di sana.

Aku tersadar. Kini mereka menatapku.

"Ada perlu apa?" Salah satu dari mereka berjalan ke arahku. "Ada yang perlu kami bantu?"

"Em ... anu ...." Aku terlihat gugup. Mulutku tak mahu berbicara.

Ia tertawa. "Santai saja ... kau tak akan kuterkam. Jadi ... ada apa?"

Aku tak mampu menatapnya. "Aku butuh pekerjaan. Mungkin suaraku akan membantu meramaikan band-mu, bagaimana?" Perlahan kulirik lagi pria itu. "Jika memang tidak bisa ... tidak apa-apa. Terimakasih." Saat itu aku melangkahkan kakiku hendak pergi.

"Tunggu ... kau mahu kemana? Aku belum menjawabnya."

Sesekali kumenatapnya, Ia sedang menatapku heran.

"Boleh saja ... tetapi, upahnya tak sebanding. Kasihan, nanti suaramu serak."

Mataku mulai berbinar. "Tidak apa-apa. Itu sudah lebih dari cukup. Terimakasih!"

****

Lampu merah mulai terhenti. Kubulatkan tekadku untuk berani tampil depan mereka.

Diiringi gitar yang dipetik. Semuanya berjalan lancar. Tatapan orang-orang menatap ke arahku. Aku tetap berfokus pada lagu yang sedang kubawakan. Lagu berjudul Dear God karya Avenged Sevenvold, lagu kesukaanku.

Orang-orang mulai ramai berdatangan memberikan tip. Aku merasa semakin semangat. Hingga aku lupa bahwa aku harus pergi ke kampus untuk mengikuti kelas.

"Oh ya ... siapa namamu?" tanyaku pada pria itu.

"Kenapa?" tanyanya. Suaraku tidak terdengar lantaran suara kencang dari klakson kendaraan.

"Siapa namamu?" tanyaku lagi. Kali ini dengan keras.

"Bayu ... kau mahu kemana?" tanya Bayu.

"Aku harus pergi ke kampus sekarang."

Bayu mengangguk paham. "Oh iya ... temui aku di sini lagi, ya. Pergilah ... hati-hati."

Aku berlari menuju kampus. Untungnya, jaraknya tak jauh.

****

"Kau dari mana? Kau tahu video yang telah beredar?" tanya sahabatku, Ivi. Ia bertanya dengan wajah panik.

"Tidak ... memangnya kenapa?" tanyaku. Ku dekatkan pandanganku pada layar handphone Ivi.

"Ini kau kan?"

Seseorang merekam video pada saat aku bernyanyi di lampu merah tadi.

"Lalu? Apa salahnya?" tanyaku, sembari mengerutkan dahi. "Lagi pula, ini bukanlah hal yang negatif, bukan?"

"Kau benar juga ... sebelum kau datang, tadi video ini ramai. Kau tahu anak-anak kampus ini bukan?"

"Ya ... tak mengapa. Mereka hanya belum mengerti. Jadi tetaplah pada pandanganmu Ivi." Aku masukkan buku note-ku pada tas. "Kau masih ada kelas lagi?"

"Tidak ... bagaimana dengan kau?"

"Aku sudah selesai ... sekarang aku harus bekerja lagi. Kau akan tetap di sini?"

"Tidak. Aku ingin ikut denganmu saja." Lagi-lagi Ivi menatapku dengan tatapan Iba. "Aku akan membantumu bekerja."

"Ck! Tidak Ivi. Kau fokus saja untuk hidupmu." Aku berusaha meyakinkannya. "Semester terakhir ... kita punya jalan masing-masing, begitu pun kau. Tidak usah mencemaskan aku, aku senang dengan hidupku seperti ini."

"Bekerjalah bersama ayahku, Sukma. Lagi pula itu tak masalah."

Aku tersenyum. Kupegang punggung tangan Ivi. "Ayahmu juga perlu pekerja yang selaras dan handal. Tak sepadan denganku. Aku hanya ingin mengasah diriku saja agar menjadi orang yang hebat."

Ivi mengelak dengan jawabanku. "Oh ayolah Sukma ... hidup tak seperti itu. Kau membutuhkan uang untuk semuanya. Dan aku tak menerima jika kau kesulitan. Aku di sini kan juga sahabatmu, apa kau tak menganggap itu?"

"Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status