"Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?"
Ivi menghela napas dengan panjang. "Ck! Bagaimana caranya agar aku bisa memberitahumu. Kepalamu sungguh batu, ingin sesekali kumemecahkannya." Aku tertawa mendengarnya. "Tidak Ivi ... aku hanya tidak ingin merepotkanmu." "Ya ... karena kau tak menganggapku seseorang yang penting. Kau memang tengil." Ivi masih terus menggerutu. "Apa karena masalah Ibuku saat itu? Ayolah ... Ibuku memang emosional, tetapi percayalah ... dia tak bermaksud begitu." "Oh ayolah ... bahkan aku sudah lupa masalah itu. Dan tentunya aku mengerti. Aku hanya sedang menikmati usahaku saja." "Maafkan Ibuku ya?" Ivi memelas. Memegang punggung tanganku. "Mungkin saat itu Ibuku sedang memiliki banyak masalah." Kusergah langsung pembicaraan itu. "Ck! Ayolah ... bukan itu. Sepertinya kau yang tak menganggap aku orang terdekatmu." Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas. Masih banyak perkejaan yang harus kulakukan. "Mahu kemana?" tanya Ivi saat melihatku berdiri dari kursi. "Pulang ...." "Kenapa?" Aku mengerutkan dahiku. "Kenapa?" Aku melihat sekeliling. Sudah terlihat sepi. "Lalu kau akan melakukan apa? Membereskan ruangan ini?" "Aku mahu ikut." "Tumben ... hari ini kau tak memiliki jadwal?" tanyaku. "Kau tunggu di rumahku saja." "Tidak. Aku ikut denganmu saja." Aku menatap Ivi heran. "Kau kenapa? Ada masalah? Atau ... ada hal yang ingin diceritakan padaku?" Ivi menundukkan pandangannya. "Akhir-akhir ini ... aku seperti diawasi. Aku takut, Sukma." "Memangnya ... kau melakukan apa? Seseorang telah mengancam-mu?" tanyaku. Aku langsung melihat sekeliling ruangan. "Apa ruangan ini disadap?" bisikku. "Tidak Ivi ... perasaanku tiba-tiba takut saja." "Kau melewatkan sarapan? Kau sudah meminum obat? Apa penyakitmu kambuh? Asam lambungmu kambuh?" Aku tercengang mengingat sesuatu. "Kanker itu ... datang lagi?" Reflek Ivi memukul punggungku dengan keras. "Sialan! Aku sudah sehat sepenuhnya!" Amarahnya membuat aku percaya bahwa Ivi sudah baik-baik saja. "Oke ... aku percaya. Lalu kau kenapa?" "Aku hanya merasa tubuhku begitu ringan dan seperti diperhatikan seseorang. Perasaanku juga tak karuan." **** "Terimakasih ... kau pulang saja." Aku sudah sampai di kafe tempatku bekerja paruh waktu. "Kau mengusirku? Anggap saja aku pelanggan. Bisa-bisanya. Hari ini aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu." "Kau membutuhkan istirahat Ivi. Sana pulang saja!" ketusku. "Aku hanya ingin bersantai menikmati kopi. Memangnya tidak boleh?" tanya Ivi. Ia keluar dari mobilnya. "Ayo ... beri aku beberapa kopi yang enak di kafe ini." Kucegah langkahnya. "Tidak bisa. Kau pikir aku akan memberikanmu kopi? Lambungmu bagaimana? Jangan bodoh." "Oh ayolah ... aku sudah sehat, Sukma." "Tidak." "Lagi pula, kau akan mendapatkan targetmu jika banyak pembeli kan? Ya ... aku membeli itu semua." "Aku tidak membutuhkan itu ...." **** "Aku rasa kopi alpukat ini lebih cocok lagi jika memakai cream cheese." Ivi menyeruput dan mencicipinya. "Kurang." Ivi mencicipi lagi minuman lain. Ia mengecapnya. "Seperti pistachio. Dari mana ide ini berasal?" "Ivi ... hentikan!" Kurebut gelas dalam genggamannya. "Kau tidak boleh meminum kopi. Lambungmu sudah kronis. Kau ini kenapa?" "Siapa bilang Sukma? Kemarin Dokter telah memberitahuku bahwa aku bebas memakan dan meminum apa pun itu tanpa pantangan. Biarkan saja ... kau seorang dokter?" "Buktinya mana? Kau hanya berbohong supaya aku mendapatkan bonus dalam pekerjaanku, kan?" ketusku. "Ayolah ... aku akan membencimu jika kau melakukan ini untukku." Ivi tertawa terbahak-bahak. "Kau ini kenapa? Aku hanya merindukan kopi-kopiku yang telah lama tak kucicip." "Ya ... bagaimana mungkin Dokter bisa mengatakan itu." Ivi mengeluarkan chatnya. Room chat Ivi bersama dr. Clara. Kudekati layar handphone-nya seraya membaca dengan jelas. "Lihat? ...." Ivi dengan lagak sombongnya. "Bahkan kau tak ikut bahagia setelah aku diperbolehkan untuk memakan dan meminum tanpa pantangan lagi. Aku kecewa." Ivi memasukkan handphone-nya ke dalam tas. Aku menghela napas dengan panjang. "Iya ... maafkan aku. Kini aku percaya. Yasudah ... habiskan sesukamu. Habiskan semua rasa rindumu pada hal-hal yang sudah lama tak kau cicipi." Perlahan terukir senyuman manis di wajah Ivi. Wajahnya sedikit bercahaya. Tak familiar. "Aku rasa aku lebih suka madu lemon ini." Ivi memilih madu lemon dari sekian kopi yang Ia beli. "Kenapa kau tak membeli madu lemon saja? Dua belas kopi dan satu madu lemon ... aku tak bisa menebak pola pikirmu." "Penasaran ...." Ivi mengaduk-aduk madu yang menggumpal di bawahnya. "Kau bekerja paruh waktu di sini sampai jam berapa?" "Pukul jam dua belas sampai." Aku menghitung jam di dinding. "Jam delapan malam." "Lalu pulang?" "Skripsiku masih harus direvisi." "Dari awal?" "Tidak ... hanya sedikit kesalahan. Dan kesalahan skripsiku sudah kutulis dalam buku. Tinggal menyalin saja." "Agendamu sesudah itu? Pulang?" "Hari ini aku harus menemui temanku, Bayu." "Bayu? Siapa dia?" "Teman jalanan yang tadi aku temui. Upahku belum diambil." "Mana flashdisk skripsimu." Ivi menyodorkan tangannya. Ia mengeluarkan laptop pada tasnya. "Mahu apa?" "Aku ingin melihatnya ... kau memang pelit." Aku memberikan flashdisk dari tasku. "Jangan aneh-aneh Ivi." "Bukunya?" "Untuk apa?" "Aku ingin melihat saja ... lagian aku tak akan mencontek. Aku sudah selesai kok." "Lagakmu sombong sekali." Aku mengeluarkan buku dalam tasku. "Nih." Tak lama pelanggan lain datang. "Sepertinya sudah mulai ramai ... aku bekerja ya Ivi. Flashdisk itu simpan baik-baik atau tidak kau akan kubakar." Ivi tertawa puas. "Kugantikan dengan flashdisk baru tanpa isi." "Kukosongkan semua ijazahmu." "Iya ... aku mengalah. Ya sudah sana. Layani pelangganmu dengan sepenuh hati." Via mengatakan hal itu karena pelangganku saat itu pria. "Ck! Kau ini." **** "Hah? Kau belum pulang Ivi?" tanyaku. Aku sangat terkejut melihat Ivi masih duduk di tempat yang sama. "Aku sibuk." Tatapannya masih menatap layar laptop. "Sana ... layani pelanggan. Aku sudah tak membutuhkanmu." Ivi tersenyum. "Ck! Kau ini ... kau sedang mengerjakan apa?" "Membantu saudara perempuanku. Tugas kampusnya banyak sekali. Kau lanjut saja mengerjakan aktivitasmu." Ivi tak melirikku sedikit pun. "Ya sudah ... jika kau pulang, datangi aku di kasir. Dan ... kemudikan mobilmu dengan rasa kemanusiaan. Satu hal, jika sesuatu terjadi padamu ... langsung hubungi aku." Jari jemarinya terdiam. Tak lagi Ia mengetik. Ivi menatapku. "Iya ... iya, iya. Iya sahabat pertama dan terakhirku." "Sahabat terakhir? Terakhir? Kau menganggapku apa?" Ivi tertawa. "Iya sahabat terbaikku. Sana." Tatapanku masih menatap Ivi. "Aneh." Aku kembali dengan apron di tubuh. Kulihat satu persatu meja. Semuanya sudah rapi. Pelanggan berdatangan lagi satu persatu. Ya ... pelanggan hari ini tak seperti biasanya. Cukup ramai. Hingga terkadang aku melupakan bahwa Ivi ada di kafe. **** Shift berganti. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. "Ivi? Kau? Kau belum pulang?" tanyaku. Kukerutkan keningku seraya menggerutu. "Kau sedang apa? Kau butuh istirahat Ivi. Ayo pulang! Aku antarkan kau pulang." Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing."Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu dengan baik. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing.""Hah?" Aku mengambil flashdisk dalam genggamannya. "Apa yang kau maksud? Kau menyelesaikan tugas skripsiku?""Tidak juga ... aku hanya membereskannya sedikit sesuai yang ada pada buku-mu itu." Ivi menarik tanganku. "Ayo ... bukankah kau mahu bertemu dengan Bayu temanmu? Akan kuantar."Aku terdiam. Masih dengan tatapan tak percaya menatap Ivi.****Kurasa Ivi hari ini sangat antusias sekali. Sangat aneh. Ivi tidak seperti biasanya. Sepanjang jalan aku hanya terdiam memikirkannya."Lampu merah ini, kan?" tanya Ivi. "Heh!""Hah?" Ia membangunkan lamunanku."Kau memikirkan apa?" tanya Ivi. Ia sudah memarkirkan mobilnya."Tunggu ...." Aku menahan Ivi yang sedang melepas sabuk pengamannya. "Apa ada sesuatu yang buruk terjadi di hidupmu, Ivi?" tanyaku. Menatap m
Kupegang kedua pundaknya seraya menguatkan. "Maka dari itu ... kau harus berjanji." Kutatap kedua matanya. "Kau harus hidup lebih lama. Kau harus menikmati semuanya." Ivi hanya mengangguk. Suasana malam itu penuh haru. "Pulanglah ... ingat! Kau memang harus berbakti pada Ibumu. Tapi sisihkan uang ini untukmu. Gunakanlah uang ini untuk kebebasan hidupmu. Dan sudah kusisihkan itu. Jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu." Ivi membuka kunci pintu mobilnya. "Pulanglah ...."Perasaanku tak karuan. "Lebih baik kau menginap di rumahku. Hari ini saja. Esok pagi baru kau pulang."Ivi menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi ke supermarket."Kubuka pintu mobilnya. Kututup dengan perlahan.Ivi membuka kaca mobilnya. "Sampai jumpa kembali, Sukma. Aku akan sangat merindukanmu."Kupantau mobilnya hingga menjauh dari pandanganku."Aneh." Aku berjalan menuju rumah. Melewati gang kecil. "Apa hal buruk akan terjadi padanya?" Beberapakali hal buruk terlintas di kepalaku. Lagi-lagi kusergah. "Ah tidak .
Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini?"Pikiranku tak karuan. Aku semakin keheranan. Aku berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Apa? Ivi—" (terlintas di pikiranku bahwa kemarin aku bertemu Ivi). "Anak itu lagi. Bagaimana cara agar aku bisa membalas kebaikannya?" Aku langsung membayar jasa warung internet dan print out–nya. "Terimakasih."Kulangkahkan kakiku langsung bergegas ke rumah Ivi. "Pak, Pak," panggilku menghentikan angkutan umum. Rumah Ivi disalahsatu perumahan bergengsi. Jaraknya tak terlalu jauh dengan posisiku saat ini. "Bagaimana caraku mengungkapkannya? Apa aku harus sujud? Kukembalikan pastinya Ia tak akan menerima. Handphone yang Ivi berikan keluaran terbaru yang saat ini hanya orang-orang bergengsi yang memilikinya." Hatiku terus menggerutu."Kiri ... kiri," ucapku. Aku sudah sampai di perumahannya. Aku langsung membayar ongkosnya. "Terimakasih."Perumahan itu di jaga ketat o
Aku membuka pintu. Pintunya terkunci.Kulihat bawah pot bunga. Kuncinya masih berada di sana."Ibu ke mana?" tanyaku. Pikirku mungkin Ibu membeli keperluan lain.Aku langsung berjalan menuju kamar. Kubaringkan tubuh dalam kasurku yang empuk.Kutarik napas panjang, perlahan membuangnya. Menatap jam yang kian detik Ia terus berjalan. Kini di ruangan hanya ada suara detik jam saja.Kurenungi semuanya. Termasuk kepergian Ivi. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tangisku.Isakan tangisku semakin kencang. "Sebenarnya kau kenapa Ivi? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?" Rasa rindu pada Ivi terus membludak. Rasanya ingin sekali memeluknya.Aku teringat handphone yang diberikannya. Kuambil tasku. Kubuka resletingnya secara perlahan. Hatiku semakin sesak. Deraian air mata semakin kencang.Handphone yang dahulu Ia beli denganku. Ternyata Ia akan memberikannya padaku.flashback ...."Sukma ... coba pilih untukku, menurutmu handphone keluaran terbaru ini, bagus warna apa?" tanya Ivi, seraya mengg
Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak Bu ... Sukma sepertinya tak menerima.""Kau tahu apa? Selama ini kau tak memiliki pengalaman mengenai hal ini ... kau terus berkuliah dan berkuliah. Sudahlah, hargai Om Edwin. Jaga sikapmu." Ibu keluar dari kamarku. Ia menyambut kembali Om Edwin yang sudah kembali duduk di sofa ruang tamu."Aneh ... baru saja mengenal orang baru. Bisa-bisanya Ibu langsung mempercayainya." Saat itu hatiku sungguh kesal. Kumendelik seraya mendengarkan canda tawa Ibu dengan Om Edwin. ****"Anakku, kau mahu ke mana?" tanya Ibu. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan pakaian yang rapi."Ke kampus." Kukerutkan keningku, terlintas kuberpikir bahwa Ibu tidak seperti biasanya. Sesekali kumenatap Om Edwin. Ia sedang menatap ke arahku seraya tersenyum lembut."Ya sudah hati-hatilah, hari ini Ibu belum memasak jadi beli saja diluar ya," ucap Ibu."Ya ... Sukma pergi dulu," pamitku seraya mencium tangan Ibu. "Pamit sama Om Edwin juga dong sayang," kata Ibu saat aku hend
"Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku."Tuh ... lihatlah." Bayu menunjuk pada kendaraan yang berhenti karena lampu merah. "Kurasa mereka melihat ke arah kita karena kau cantik. Lihat saja ... mereka dengan sengaja menghentikan kendaraannya."Aku langsung mengelak seraya reflek mendecih. "Kau ini ... ya gurauanmu berhasil membuatku sedikit terobati." Aku tak kuasa menahan tawaku."Raut wajahmu memerah, kau salah tingkah atas ucapku ya, kan?" ceplos Bayu.Tanganku menepuk pundaknya."Ck! Aw!" Ia mengelus-elus pundaknya. "Tubuhmu kecil tetapi tenagamu besar.""Berlebihan ... aku hanya mencolekmu sedikit."Bayu tertawa mendengar perkataanku. "Mencolek, memangnya aku sambal.""Sudahlah ... mari kita mulai." Kudongkakkan kepalaku ke atas langit. "Cuacanya cerah ... sebentar lagi pasti akan terasa semakin panas.""Ke mana?"Pertanyaan Bayu berhasil mengalihkan perhatianku. "Ke mana? Tak habis pikir ... kita mulai bernyanyi.""Oh ...." Ia hanya menatapku d
Kicauan burung terdengar lagi. Rasanya, baru tadi malam aku pulang dari pekerjaan paruh waktu."Punya anak gadis tak ada gunanya! Ibu hanya memiliki dua tangan. Setidaknya bantu menyapu halaman!" Ibuku Sekar, sudah menggerutu. "Jika saja aku telah tiada, baru kau akan mengerti."Sontak aku melihat jam. Masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku bergegas membereskan kamar. Lalu, membasuh diri.****Kuambil sapu itu dalam genggaman Ibuku. "Biar Sukma saja.""Sudah kubilang ... hentikan kuliahmu itu. Bantu Ibumu untuk bekerja. Kau hanya membuang-buang uang saja!" Ibu melemparkan sapu itu. "Kita ini orang miskin Sukma. Kau seharusnya berpikir! Buang sudah semua mimpimu!" Sejak kepergian Bapak, Ibu jadi emosional. Ia tak pernah menghargai hasil kerja kerasku. Aku bekerja paruh waktu, membiayai semuanya.Perlahan kutarik napas dan membuangnya. Aku mengambil sapu itu. Membersihkan beberapa debu yang belum tersapu.Ibuku melemparkan beberapa barang-barang yang berserakan. "Selama ini aku hanya m
"Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku."Tuh ... lihatlah." Bayu menunjuk pada kendaraan yang berhenti karena lampu merah. "Kurasa mereka melihat ke arah kita karena kau cantik. Lihat saja ... mereka dengan sengaja menghentikan kendaraannya."Aku langsung mengelak seraya reflek mendecih. "Kau ini ... ya gurauanmu berhasil membuatku sedikit terobati." Aku tak kuasa menahan tawaku."Raut wajahmu memerah, kau salah tingkah atas ucapku ya, kan?" ceplos Bayu.Tanganku menepuk pundaknya."Ck! Aw!" Ia mengelus-elus pundaknya. "Tubuhmu kecil tetapi tenagamu besar.""Berlebihan ... aku hanya mencolekmu sedikit."Bayu tertawa mendengar perkataanku. "Mencolek, memangnya aku sambal.""Sudahlah ... mari kita mulai." Kudongkakkan kepalaku ke atas langit. "Cuacanya cerah ... sebentar lagi pasti akan terasa semakin panas.""Ke mana?"Pertanyaan Bayu berhasil mengalihkan perhatianku. "Ke mana? Tak habis pikir ... kita mulai bernyanyi.""Oh ...." Ia hanya menatapku d
Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak Bu ... Sukma sepertinya tak menerima.""Kau tahu apa? Selama ini kau tak memiliki pengalaman mengenai hal ini ... kau terus berkuliah dan berkuliah. Sudahlah, hargai Om Edwin. Jaga sikapmu." Ibu keluar dari kamarku. Ia menyambut kembali Om Edwin yang sudah kembali duduk di sofa ruang tamu."Aneh ... baru saja mengenal orang baru. Bisa-bisanya Ibu langsung mempercayainya." Saat itu hatiku sungguh kesal. Kumendelik seraya mendengarkan canda tawa Ibu dengan Om Edwin. ****"Anakku, kau mahu ke mana?" tanya Ibu. Ketika aku membuka pintu kamarku dengan pakaian yang rapi."Ke kampus." Kukerutkan keningku, terlintas kuberpikir bahwa Ibu tidak seperti biasanya. Sesekali kumenatap Om Edwin. Ia sedang menatap ke arahku seraya tersenyum lembut."Ya sudah hati-hatilah, hari ini Ibu belum memasak jadi beli saja diluar ya," ucap Ibu."Ya ... Sukma pergi dulu," pamitku seraya mencium tangan Ibu. "Pamit sama Om Edwin juga dong sayang," kata Ibu saat aku hend
Aku membuka pintu. Pintunya terkunci.Kulihat bawah pot bunga. Kuncinya masih berada di sana."Ibu ke mana?" tanyaku. Pikirku mungkin Ibu membeli keperluan lain.Aku langsung berjalan menuju kamar. Kubaringkan tubuh dalam kasurku yang empuk.Kutarik napas panjang, perlahan membuangnya. Menatap jam yang kian detik Ia terus berjalan. Kini di ruangan hanya ada suara detik jam saja.Kurenungi semuanya. Termasuk kepergian Ivi. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tangisku.Isakan tangisku semakin kencang. "Sebenarnya kau kenapa Ivi? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?" Rasa rindu pada Ivi terus membludak. Rasanya ingin sekali memeluknya.Aku teringat handphone yang diberikannya. Kuambil tasku. Kubuka resletingnya secara perlahan. Hatiku semakin sesak. Deraian air mata semakin kencang.Handphone yang dahulu Ia beli denganku. Ternyata Ia akan memberikannya padaku.flashback ...."Sukma ... coba pilih untukku, menurutmu handphone keluaran terbaru ini, bagus warna apa?" tanya Ivi, seraya mengg
Kulihat box kotak di dalamnya. "Ini apa?" Kupegang dan kulihat. Box itu berisi handphone. "Hah? Apa aku tak sengaja memasukkan box ini?"Pikiranku tak karuan. Aku semakin keheranan. Aku berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Apa? Ivi—" (terlintas di pikiranku bahwa kemarin aku bertemu Ivi). "Anak itu lagi. Bagaimana cara agar aku bisa membalas kebaikannya?" Aku langsung membayar jasa warung internet dan print out–nya. "Terimakasih."Kulangkahkan kakiku langsung bergegas ke rumah Ivi. "Pak, Pak," panggilku menghentikan angkutan umum. Rumah Ivi disalahsatu perumahan bergengsi. Jaraknya tak terlalu jauh dengan posisiku saat ini. "Bagaimana caraku mengungkapkannya? Apa aku harus sujud? Kukembalikan pastinya Ia tak akan menerima. Handphone yang Ivi berikan keluaran terbaru yang saat ini hanya orang-orang bergengsi yang memilikinya." Hatiku terus menggerutu."Kiri ... kiri," ucapku. Aku sudah sampai di perumahannya. Aku langsung membayar ongkosnya. "Terimakasih."Perumahan itu di jaga ketat o
Kupegang kedua pundaknya seraya menguatkan. "Maka dari itu ... kau harus berjanji." Kutatap kedua matanya. "Kau harus hidup lebih lama. Kau harus menikmati semuanya." Ivi hanya mengangguk. Suasana malam itu penuh haru. "Pulanglah ... ingat! Kau memang harus berbakti pada Ibumu. Tapi sisihkan uang ini untukmu. Gunakanlah uang ini untuk kebebasan hidupmu. Dan sudah kusisihkan itu. Jika tidak, aku tidak akan memaafkanmu." Ivi membuka kunci pintu mobilnya. "Pulanglah ...."Perasaanku tak karuan. "Lebih baik kau menginap di rumahku. Hari ini saja. Esok pagi baru kau pulang."Ivi menggelengkan kepalanya. "Aku harus pergi ke supermarket."Kubuka pintu mobilnya. Kututup dengan perlahan.Ivi membuka kaca mobilnya. "Sampai jumpa kembali, Sukma. Aku akan sangat merindukanmu."Kupantau mobilnya hingga menjauh dari pandanganku."Aneh." Aku berjalan menuju rumah. Melewati gang kecil. "Apa hal buruk akan terjadi padanya?" Beberapakali hal buruk terlintas di kepalaku. Lagi-lagi kusergah. "Ah tidak .
Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu dengan baik. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing.""Hah?" Aku mengambil flashdisk dalam genggamannya. "Apa yang kau maksud? Kau menyelesaikan tugas skripsiku?""Tidak juga ... aku hanya membereskannya sedikit sesuai yang ada pada buku-mu itu." Ivi menarik tanganku. "Ayo ... bukankah kau mahu bertemu dengan Bayu temanmu? Akan kuantar."Aku terdiam. Masih dengan tatapan tak percaya menatap Ivi.****Kurasa Ivi hari ini sangat antusias sekali. Sangat aneh. Ivi tidak seperti biasanya. Sepanjang jalan aku hanya terdiam memikirkannya."Lampu merah ini, kan?" tanya Ivi. "Heh!""Hah?" Ia membangunkan lamunanku."Kau memikirkan apa?" tanya Ivi. Ia sudah memarkirkan mobilnya."Tunggu ...." Aku menahan Ivi yang sedang melepas sabuk pengamannya. "Apa ada sesuatu yang buruk terjadi di hidupmu, Ivi?" tanyaku. Menatap m
"Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?"Ivi menghela napas dengan panjang. "Ck! Bagaimana caranya agar aku bisa memberitahumu. Kepalamu sungguh batu, ingin sesekali kumemecahkannya."Aku tertawa mendengarnya. "Tidak Ivi ... aku hanya tidak ingin merepotkanmu.""Ya ... karena kau tak menganggapku seseorang yang penting. Kau memang tengil." Ivi masih terus menggerutu. "Apa karena masalah Ibuku saat itu? Ayolah ... Ibuku memang emosional, tetapi percayalah ... dia tak bermaksud begitu.""Oh ayolah ... bahkan aku sudah lupa masalah itu. Dan tentunya aku mengerti. Aku hanya sedang menikmati usahaku saja.""Maafkan Ibuku ya?" Ivi memelas. Memegang punggung tanganku. "Mungkin saat itu Ibuku sedang memiliki banyak masalah."Kusergah langsung pembicaraan itu. "Ck! Ayolah ... bukan itu. Sepertinya kau yang tak menganggap aku orang terdekatmu."Waktu sudah men
Kicauan burung terdengar lagi. Rasanya, baru tadi malam aku pulang dari pekerjaan paruh waktu."Punya anak gadis tak ada gunanya! Ibu hanya memiliki dua tangan. Setidaknya bantu menyapu halaman!" Ibuku Sekar, sudah menggerutu. "Jika saja aku telah tiada, baru kau akan mengerti."Sontak aku melihat jam. Masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku bergegas membereskan kamar. Lalu, membasuh diri.****Kuambil sapu itu dalam genggaman Ibuku. "Biar Sukma saja.""Sudah kubilang ... hentikan kuliahmu itu. Bantu Ibumu untuk bekerja. Kau hanya membuang-buang uang saja!" Ibu melemparkan sapu itu. "Kita ini orang miskin Sukma. Kau seharusnya berpikir! Buang sudah semua mimpimu!" Sejak kepergian Bapak, Ibu jadi emosional. Ia tak pernah menghargai hasil kerja kerasku. Aku bekerja paruh waktu, membiayai semuanya.Perlahan kutarik napas dan membuangnya. Aku mengambil sapu itu. Membersihkan beberapa debu yang belum tersapu.Ibuku melemparkan beberapa barang-barang yang berserakan. "Selama ini aku hanya m