Share

Pelanggan Terbaik

"Kau sahabatku, bahkan lebih dari itu ... kau terbaik dari segala yang terbaik dan kau sudah lebih dari cukup membantuku ... sekarang biarkan aku untuk berjalan sendiri, okeee?"

Ivi menghela napas dengan panjang. "Ck! Bagaimana caranya agar aku bisa memberitahumu. Kepalamu sungguh batu, ingin sesekali kumemecahkannya."

Aku tertawa mendengarnya. "Tidak Ivi ... aku hanya tidak ingin merepotkanmu."

"Ya ... karena kau tak menganggapku seseorang yang penting. Kau memang tengil." Ivi masih terus menggerutu. "Apa karena masalah Ibuku saat itu? Ayolah ... Ibuku memang emosional, tetapi percayalah ... dia tak bermaksud begitu."

"Oh ayolah ... bahkan aku sudah lupa masalah itu. Dan tentunya aku mengerti. Aku hanya sedang menikmati usahaku saja."

"Maafkan Ibuku ya?" Ivi memelas. Memegang punggung tanganku. "Mungkin saat itu Ibuku sedang memiliki banyak masalah."

Kusergah langsung pembicaraan itu. "Ck! Ayolah ... bukan itu. Sepertinya kau yang tak menganggap aku orang terdekatmu."

Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas. Masih banyak perkejaan yang harus kulakukan.

"Mahu kemana?" tanya Ivi saat melihatku berdiri dari kursi.

"Pulang ...."

"Kenapa?"

Aku mengerutkan dahiku. "Kenapa?" Aku melihat sekeliling. Sudah terlihat sepi. "Lalu kau akan melakukan apa? Membereskan ruangan ini?"

"Aku mahu ikut."

"Tumben ... hari ini kau tak memiliki jadwal?" tanyaku. "Kau tunggu di rumahku saja."

"Tidak. Aku ikut denganmu saja."

Aku menatap Ivi heran. "Kau kenapa? Ada masalah? Atau ... ada hal yang ingin diceritakan padaku?"

Ivi menundukkan pandangannya. "Akhir-akhir ini ... aku seperti diawasi. Aku takut, Sukma."

"Memangnya ... kau melakukan apa? Seseorang telah mengancam-mu?" tanyaku. Aku langsung melihat sekeliling ruangan. "Apa ruangan ini disadap?" bisikku.

"Tidak Ivi ... perasaanku tiba-tiba takut saja."

"Kau melewatkan sarapan? Kau sudah meminum obat? Apa penyakitmu kambuh? Asam lambungmu kambuh?" Aku tercengang mengingat sesuatu. "Kanker itu ... datang lagi?"

Reflek Ivi memukul punggungku dengan keras. "Sialan! Aku sudah sehat sepenuhnya!"

Amarahnya membuat aku percaya bahwa Ivi sudah baik-baik saja.

"Oke ... aku percaya. Lalu kau kenapa?"

"Aku hanya merasa tubuhku begitu ringan dan seperti diperhatikan seseorang. Perasaanku juga tak karuan."

****

"Terimakasih ... kau pulang saja." Aku sudah sampai di kafe tempatku bekerja paruh waktu.

"Kau mengusirku? Anggap saja aku pelanggan. Bisa-bisanya. Hari ini aku ingin menghabiskan waktuku bersamamu."

"Kau membutuhkan istirahat Ivi. Sana pulang saja!" ketusku.

"Aku hanya ingin bersantai menikmati kopi. Memangnya tidak boleh?" tanya Ivi. Ia keluar dari mobilnya. "Ayo ... beri aku beberapa kopi yang enak di kafe ini."

Kucegah langkahnya. "Tidak bisa. Kau pikir aku akan memberikanmu kopi? Lambungmu bagaimana? Jangan bodoh."

"Oh ayolah ... aku sudah sehat, Sukma."

"Tidak."

"Lagi pula, kau akan mendapatkan targetmu jika banyak pembeli kan? Ya ... aku membeli itu semua."

"Aku tidak membutuhkan itu ...."

****

"Aku rasa kopi alpukat ini lebih cocok lagi jika memakai cream cheese." Ivi menyeruput dan mencicipinya. "Kurang."

Ivi mencicipi lagi minuman lain. Ia mengecapnya. "Seperti pistachio. Dari mana ide ini berasal?"

"Ivi ... hentikan!" Kurebut gelas dalam genggamannya. "Kau tidak boleh meminum kopi. Lambungmu sudah kronis. Kau ini kenapa?"

"Siapa bilang Sukma? Kemarin Dokter telah memberitahuku bahwa aku bebas memakan dan meminum apa pun itu tanpa pantangan. Biarkan saja ... kau seorang dokter?"

"Buktinya mana? Kau hanya berbohong supaya aku mendapatkan bonus dalam pekerjaanku, kan?" ketusku. "Ayolah ... aku akan membencimu jika kau melakukan ini untukku."

Ivi tertawa terbahak-bahak. "Kau ini kenapa? Aku hanya merindukan kopi-kopiku yang telah lama tak kucicip."

"Ya ... bagaimana mungkin Dokter bisa mengatakan itu."

Ivi mengeluarkan chatnya. Room chat Ivi bersama dr. Clara. Kudekati layar handphone-nya seraya membaca dengan jelas.

"Lihat? ...." Ivi dengan lagak sombongnya. "Bahkan kau tak ikut bahagia setelah aku diperbolehkan untuk memakan dan meminum tanpa pantangan lagi. Aku kecewa." Ivi memasukkan handphone-nya ke dalam tas.

Aku menghela napas dengan panjang. "Iya ... maafkan aku. Kini aku percaya. Yasudah ... habiskan sesukamu. Habiskan semua rasa rindumu pada hal-hal yang sudah lama tak kau cicipi."

Perlahan terukir senyuman manis di wajah Ivi. Wajahnya sedikit bercahaya. Tak familiar. "Aku rasa aku lebih suka madu lemon ini."

Ivi memilih madu lemon dari sekian kopi yang Ia beli.

"Kenapa kau tak membeli madu lemon saja? Dua belas kopi dan satu madu lemon ... aku tak bisa menebak pola pikirmu."

"Penasaran ...." Ivi mengaduk-aduk madu yang menggumpal di bawahnya. "Kau bekerja paruh waktu di sini sampai jam berapa?"

"Pukul jam dua belas sampai." Aku menghitung jam di dinding. "Jam delapan malam."

"Lalu pulang?"

"Skripsiku masih harus direvisi."

"Dari awal?"

"Tidak ... hanya sedikit kesalahan. Dan kesalahan skripsiku sudah kutulis dalam buku. Tinggal menyalin saja."

"Agendamu sesudah itu? Pulang?"

"Hari ini aku harus menemui temanku, Bayu."

"Bayu? Siapa dia?"

"Teman jalanan yang tadi aku temui. Upahku belum diambil."

"Mana flashdisk skripsimu." Ivi menyodorkan tangannya. Ia mengeluarkan laptop pada tasnya.

"Mahu apa?"

"Aku ingin melihatnya ... kau memang pelit."

Aku memberikan flashdisk dari tasku. "Jangan aneh-aneh Ivi."

"Bukunya?"

"Untuk apa?"

"Aku ingin melihat saja ... lagian aku tak akan mencontek. Aku sudah selesai kok."

"Lagakmu sombong sekali." Aku mengeluarkan buku dalam tasku. "Nih."

Tak lama pelanggan lain datang.

"Sepertinya sudah mulai ramai ... aku bekerja ya Ivi. Flashdisk itu simpan baik-baik atau tidak kau akan kubakar."

Ivi tertawa puas. "Kugantikan dengan flashdisk baru tanpa isi."

"Kukosongkan semua ijazahmu."

"Iya ... aku mengalah. Ya sudah sana. Layani pelangganmu dengan sepenuh hati." Via mengatakan hal itu karena pelangganku saat itu pria.

"Ck! Kau ini."

****

"Hah? Kau belum pulang Ivi?" tanyaku. Aku sangat terkejut melihat Ivi masih duduk di tempat yang sama.

"Aku sibuk." Tatapannya masih menatap layar laptop. "Sana ... layani pelanggan. Aku sudah tak membutuhkanmu." Ivi tersenyum.

"Ck! Kau ini ... kau sedang mengerjakan apa?"

"Membantu saudara perempuanku. Tugas kampusnya banyak sekali. Kau lanjut saja mengerjakan aktivitasmu." Ivi tak melirikku sedikit pun.

"Ya sudah ... jika kau pulang, datangi aku di kasir. Dan ... kemudikan mobilmu dengan rasa kemanusiaan. Satu hal, jika sesuatu terjadi padamu ... langsung hubungi aku."

Jari jemarinya terdiam. Tak lagi Ia mengetik. Ivi menatapku. "Iya ... iya, iya. Iya sahabat pertama dan terakhirku."

"Sahabat terakhir? Terakhir? Kau menganggapku apa?"

Ivi tertawa. "Iya sahabat terbaikku. Sana."

Tatapanku masih menatap Ivi. "Aneh." Aku kembali dengan apron di tubuh. Kulihat satu persatu meja. Semuanya sudah rapi.

Pelanggan berdatangan lagi satu persatu. Ya ... pelanggan hari ini tak seperti biasanya. Cukup ramai. Hingga terkadang aku melupakan bahwa Ivi ada di kafe.

****

Shift berganti. Waktu menunjukkan pukul delapan malam.

"Ivi? Kau? Kau belum pulang?" tanyaku. Kukerutkan keningku seraya menggerutu. "Kau sedang apa? Kau butuh istirahat Ivi. Ayo pulang! Aku antarkan kau pulang."

Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status