Share

Hal Besar

"Tidak usah kepedean ... mereka melihat hanya karena punya mata," sergahku.

"Tuh ... lihatlah." Bayu menunjuk pada kendaraan yang berhenti karena lampu merah. "Kurasa mereka melihat ke arah kita karena kau cantik. Lihat saja ... mereka dengan sengaja menghentikan kendaraannya."

Aku langsung mengelak seraya reflek mendecih. "Kau ini ... ya gurauanmu berhasil membuatku sedikit terobati." Aku tak kuasa menahan tawaku.

"Raut wajahmu memerah, kau salah tingkah atas ucapku ya, kan?" ceplos Bayu.

Tanganku menepuk pundaknya.

"Ck! Aw!" Ia mengelus-elus pundaknya. "Tubuhmu kecil tetapi tenagamu besar."

"Berlebihan ... aku hanya mencolekmu sedikit."

Bayu tertawa mendengar perkataanku. "Mencolek, memangnya aku sambal."

"Sudahlah ... mari kita mulai." Kudongkakkan kepalaku ke atas langit. "Cuacanya cerah ... sebentar lagi pasti akan terasa semakin panas."

"Ke mana?"

Pertanyaan Bayu berhasil mengalihkan perhatianku. "Ke mana? Tak habis pikir ... kita mulai bernyanyi."

"Oh ...." Ia hanya menatapku dengan sikap tengilnya.

Kukerutkan keningku. "Tak habis pikir ... raut wajahmu terlihat monoton dan serius ternyata tengil juga. Cepatlah ... kalau kuhitung sampai sepuluh kau tidak berdiri aku mendapatkan upah lima kali lipat dari biasanya. "

"Boleh saja ... asalkan ...."

"Asalkan?"

"Kau harus menjadi pacarku yang ke lima," ceplos Bayu. Ia terlihat serius namun Ia juga terlihat bercanda.

"Boleh aku bertanya? Apakah ini semua lelucon? Wajahmu tidak mencerminkan gurauanmu ... aku ingin tertawa tetapi aku sedikit takut. Bisakah kau tersenyum sedikit saja?"

"Tidak ... lupakanlah, aku memang tidak cocok menjadi orang yang humoris. Lupakanlah, mari kita mulai aktivitas hari ini." Bayu berjalan menuju teman-temannya. Ia meninggalkanku begitu saja.

"Suasana hatinya begitu cepat berubah-ubah. Apa dia transgender? Mood swing sekali, seperti wanita. Dilihat dari perawakannya harusnya Ia memiliki sifat yang 'Lakik' sekali ya."

Bayu menoleh. "Kau sedang memperhatikanku ya? Kau begitu sangat menyukaiku?"

Kusergah langsung pemikiran buruk tentang Bayu. "Jelek sekali pemikiranmu. Siapa yang suka, aku hanya bertanya-tanya mengenaimu saja." Aku melanjutkan langkah kakiku, kini aku dengannya sejajar.

"Kan ... sampai-sampai kau memikirkanku."

Aku berusaha untuk tidak bereaksi. "Ya ... aku berpikir bahwa kau seorang transgender—"

"WTF??? Kenapa kau berpikir seperti itu."

"Karena suasana hatimu mudah sekali berubah, kebanyak seorang wanita mengalami hal seperti itu , kau tahu?" Langkahku kupercepat.

****

Ya ... lagi-lagi aku menjadi pusat tatapan orang-orang. Beberapa dari mereka ikut menyumbang. Matahari sudah semakin terik.

"Panas ya?" tanya Bayu. Tetapi tak jelas karena soundnya melebihi suara Bayu saat itu.

"Hah?"

"Panas ... panas." Ia memberikan kode bahwa katanya aku kepanasan.

"Ya ... sedikit," ucapku. Terlihat raut wajahku yang sudah mulai memerah.

Tiba-tiba saja Bayu memberikan topinya padaku. "Tenang ... baru saja kuberikan pada loundry. Bersih."

Kubalas dengan senyuman, seraya melanjutkan nyanyianku saat itu.

****

"Nah ... pendapat kita sekarang lebih banyak. Padahal baru sampai pukul dua," ucap teman Bayu, Vildan.

Saat itu, kita semua menepi dibawah pohon rindang untuk meneduh.

"Bukankah kau akan pergi ke kampus? Sekarang sudah pukul dua ... dan kau sudah terlambat," ujar Bayu.

"Tidak ... sebetulnya aku hanya sedang mencari buku dibeberapa perpustakaan, termasuk di perpustakaan kampusku mungkin ada ... itu bisa dilakukan kapan saja," balasku.

"Dari banyaknya pekerjaan ... mengapa kau ingin menjadi pengamen jalanan," tanya Vildan.

"Iya ... padahal kau sedang menempuh pendidikan ... yang notebene-nya orang-orang yang berkuliah kedudukannya tinggi, sudah pasti kau pasti akan merasa malu kalau melakukan hal ini. Masih banyak pekerjaan lain yang membutuhkanmu dengan gaji setimpal. Pergunakanlah dengan baik," sahut teman Bayu yang lain.

Kubalas tanggapan orang-orang dengan senyuman. "Karena aku membutuhkannya. Ada beberapa hal yang harus kubayar."

"Salah ... sangat disayangkan kalau kau hanya sekadar mencari uang. Itu akan menghabiskan waktumu. Uangmu akan tetap habis. Dan kau tak akan mendapatkan apa-apa selain lelahnya," tutur Bayu.

"Ayolah ... menurutku itu hal yang omong kosong. Ada beberapa orang yang mengucapkan itu. Tetapi berpikirlah dengan logis, bahwa semuanya memang membutuhkan uang," timpal Gilang.

"Tak dapat dipungkiri bahwa hidup seperti itu akan berputar terus seperti roda bukan? Uang yang kau cari habis, lalu kau bekerja lagi ... seperti lingkaran yang terus berputar ditempat yang sama," balas Bayu. "Mungkin kau membutuhkan uang, tetapi kau hanya akan mendapatkan gajimu saja, tidak menambah apapun. Uangmu tidak akan menambah dan kau tetap stuck berada di tempat yang sama."

"Hiduplah dengan mengalir ... jalani saja, toh ... kalau kau sudah menemukan jalannya, baru kau bisa memilih. Jangan gegabah," ucap Vildan.

"Ya betul ... tetapi dunia ini penuh gebrakan. Hal apapun bisa terjadi kapan saja, bagaimana kalau ketika itu diri tak dapat menerimanya? Lagi-lagi kau telah melewatkan hal yang besar, bukan?" sergah Bayu.

"Itu terlalu pesimis, umurmu mumpung masih sangat muda, Sukma. Kejarlah hal yang besar," ucap Vildan. Ia menatapku penuh harap.

"Apa teman-teman sebayamu dikampus, bisa membeli pengalamanmu mengamen dijalanan? Bahkan memulainya pun mereka 'tidak mahu', mereka tidak akan bisa membeli pengalamanmu dengan berapapun uang yang mereka punya," ucap Bayu. "Tugasmu hanya mengubah mindsetmu agar lebih baik saja ... yang kau lakukan sudah benar, jangan mendengarkan omongan orang yang tak mengerti mengenai hidupmu, mereka saja tak tahu arah. Hiduplah dengan perlahan."

"Tetapi ... kalau aku punya uang, aku akan memilih jalan yang lebih simpel dan mudah didapatkan ... kerja pintar itu bagus," timpal Vildan lagi.

"Ya ... betul, kerja pintar memang sangat memberuntungkan. Tetapi itu semua memiliki makna yang berbeda bila kau merasakannya langsung. Kau tidak pernah bisa menebak-nebak jalan hidup setiap manusia ... itu sudah jadi rahasia Tuhan. Yang kau latih saat ini ... berarti untuk hal besar yang sudah disiapkan-Nya untukku." Bayu dan Gilang terus berdebat.

"Maaf ... masih kusergah, kau berkuliah saja membutuhkan pengorbanan waktu dan uang bukan? Semua itu akan mempermudah segalanya," ucap Gilang.

"Seberapa banyak uangmu, kau tidak akan pernah bisa membeli ketenangan. Memangnya Tuhan menciptakanmu hanya untuk bekerja lalu mati? Bukankah seekor kuda juga bisa melakukan hal itu?" tanya Bayu. "Yang jelas ... ini bukan perihal gaji. Ada sesuatu itu hal yang paling besar dan lebih besar."

"Contohnya?"

"Ketenangan. Kau akan menemukannya ketika kau sudah berdamai dengan dirimu sendiri. Itu sulit, sangatlah sulit. Kau tidak akan mudah mendapatkannya, itu semua harus kau cari."

Mendengar perkataan Bayu, jujur ... aku sangat terpukau. Style-nya terlihat amburadul dan maruk. Tetapi, wawasannya sangat luas. Ia terlihat sangat mempesona saat mengatakan hal itu.

"Tidak, Sukma. Sekarang percayalah! Dengarkan nasehatku ini ... gengsi membuatmu hancur. Jalanmu sudah benar. Minimal, kelak kalau kau tak mempunyai tujuan, menderitalah hingga semuanya kembali normal walaupun tak sepulih dulu. Ya ... pegang saja kata-kataku ini. Semua manusia akan berada pada titik terendah." Bayu menasehatiku dengan tulus.

"Ya ... terimakasih, akan kupegang semua kata-katamu itu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status