Share

Pertemuan Ibu dengan orang asing itu

Aku membuka pintu. Pintunya terkunci.

Kulihat bawah pot bunga. Kuncinya masih berada di sana.

"Ibu ke mana?" tanyaku. Pikirku mungkin Ibu membeli keperluan lain.

Aku langsung berjalan menuju kamar. Kubaringkan tubuh dalam kasurku yang empuk.

Kutarik napas panjang, perlahan membuangnya. Menatap jam yang kian detik Ia terus berjalan. Kini di ruangan hanya ada suara detik jam saja.

Kurenungi semuanya. Termasuk kepergian Ivi. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tangisku.

Isakan tangisku semakin kencang. "Sebenarnya kau kenapa Ivi? Kenapa kau meninggalkanku begitu saja?"

Rasa rindu pada Ivi terus membludak. Rasanya ingin sekali memeluknya.

Aku teringat handphone yang diberikannya. Kuambil tasku. Kubuka resletingnya secara perlahan. Hatiku semakin sesak. Deraian air mata semakin kencang.

Handphone yang dahulu Ia beli denganku. Ternyata Ia akan memberikannya padaku.

flashback ....

"Sukma ... coba pilih untukku, menurutmu handphone keluaran terbaru ini, bagus warna apa?" tanya Ivi, seraya menggenggam sampel handphone di store. "Warna hijau toska ini, kau menyukainya tidak?"

Saat itu aku berpikir cukup lama. "Aku tak menyukainya. Menurutku ... warna pink soft ini lebih bagus atau warna lilac yang kau genggam sebelah kirimu."

Ivi mendelik. "Ayolah ... kau harus pilih satu warna. Lagi pula, mana mungkin aku membeli dua. Menurutmu yang paling bagus. Karena jujur saja ... seleraku jelek. Jadi, kutanyakan padamu. Karena, selama ini kau lumayan pintar dalam mencocokkan outfit."

"Hemm ... yasudah, kupilihkan untukmu warna ... memangnya kau tak menyukai warna netral?" tanyaku lagi.

"Memangnya warna netral bagus?"

"Tentunya ... aku menyukai warna netral."

"Yasudah ... pilihkan untukku."

"Warna putih ... aku menyukainya."

"Hidupmu tak berwarna." Ivi menatap aneh. Ia langsung mendatangi pegawainya. Bertanya beberapa hal mengenai handphone itu. Lalu membelinya.

Aku masih teringat jelas memori itu. Satu bulan yang lalu. Ivi mengajakku ke pusat perbelanjaan. Handphone yang pernah Ivi genggam, kini berada dalam genggamanku.

Hatiku sangat remuk. Lagi-lagi aku tak kuasa menahan tangisku. Kubuka handphone itu dari box-nya.

Selembar kertas terjatuh dari dalam box.

Seraya mengambil selembar kertas itu, ku-susut air mata di pipi.

Isinya. "Pakailah handphone ini dengan baik. Khususnya gunakan untuk mengabariku dan beri aku kabar. Cepatlah cari pasangan, agar hidupmu tak kesepian."

Dibagian bawah surat itu berisikan. "Dari Ivi, anak gadis manja yang selalu merindukanmu. Hiduplah dengan baik, Sukma. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan, tertawalah."

Tak kuasa lagi kumembacanya. Kugenggam erat surat itu. Kugenggam erat handphone itu. Kuletakkan dalam hatiku.

"Kau kenapa Ivi? Kenapa kau tak memberitahuku tentang semua kesedihanmu? Kau tak menganggapku sahabatmu kan Ivi? Kau bahkan tak bertanya kabarku ketika aku kehilanganmu ... bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu lalu tertawa dengan bahagia," ucapku seraya menangis tersedu-sedu.

****

Kubuka pintu. Ibu berada di kursi sofa dengan satu temannya, seorang pria.

"Sukma ...." Ibu memanggilku. "Kenalkan teman Ibu, Om Edwin."

Aku bersalaman dengannya.

"Ini anak semata wayang saya ...." Tatapan Ibu menatapku. "Om Edwin ini, tadi bertemu Ibu di mall city."

Tersirat di pikiranku. 'Ibu pergi ke mall? Kapan? Kok nggak bilang?'.

"Tadi dia membantu Ibu karena asma Ibu kambuh tadi. Ibu lupa bawa obat."

Aku hanya membalasnya dengan anggukan. "Yasudah ... Sukma mahu ke belakang dulu," pamitku. Seraya berjalan pikiranku terus bertanya-tanya mengenai Om Edwin itu. "Kok bisa?"

Badanku sudah lengket. Tadi aku tertidur pulas. Mataku juga terlihat sembab karena sebelumnya aku menangis.

Kubersihkan tubuhku. Membersihkan sela-sela kuku. Membersihkan rambutku dari debu. Membersihkan air mata bekas di pipiku. Rasanya sakit itu mengganjal lagi di hati.

Kubasahi mataku dengan air. Tetapi air mata selalu membasahinya lagi. Seraya bercermin menatap diri bernama Sukma. Menatap bagaimana bisa aku menjalani hari jika semuanya berantakan.

Kuguyur seluruh tubuhku. Tak adapun air yang tak membasahi. Membersihkan sela-sela tubuhku dari kotoran dan busa.

Ku-susut tetesan air yang ada di tubuhku. Memakai baju dan celana yang sudah kubawa. Aku mengeringkan rambutku seraya keluar dari kamar mandi.

Ceklek ....

Aku terkejut saat Om Edwin sudah berada di depan pintu.

"Eh!" Seraya kukerutkan keningku.

Om Edwin langsung mengelak. "Ma-maaf ... saya tidak bermaksud apa-apa. Saya izin pinjam kamar mandi. Ingin buang air kecil." Tatapannya menatap dalam kearahku.

Sesekali kumenatapnya. "Silakan. Tunggu apa lagi?" Aku langsung pergi meninggalkannya. Sesekali melirik Om Edwin lagi.

"Aneh." Hatiku berbeda. Hatiku mengatakan tidak.

****

"Ibu? Tumben ada di kamar ... kenapa?" tanyaku, seraya mengeringkan rambut.

Ibu tersenyum. Ia mengintip ke arah luar dan menutup pintunya lagi. "Sini ...." Ibu menyuruhku duduk di kasur di sampingnya.

"Kenapa Bu?" tanyaku lagi.

"Menurutmu ...." Ibu tersenyum genit. "Kau menerima Om Edwin tidak kalau ...."

"Kalau?"

"Kalau Ibu dekat dengannya."

Aku tercengang. Aku tidak menjawabnya langsung. Otakku seketika terhenti.

"Hah?"

"Iya ... bagaimana?" Ibuku masih tersenyum seraya menggulung-gulung kecil bajunya.

"Tapi Ibu kan baru mengenalinya. Kita tidak tahu seluk-beluknya. Kedua ... Om Edwin juga sudah memiliki isteri atau bahkan masih pacar, kan?" tanyaku. Karena kulihat usianya jauh berbeda dengan Ibu.

"Usia Om Edwin 34 tahun."

"Berbeda jauh dengan Ibu, Bu." Jujur saja, aku sangat ingin menolaknya. "Sekarang jujur saja ... Ibu bertemu dengannya di mana? Tadi Ibu bilang di mal city. Apa Ibu pergi ke sana? Dengan siapa?" tanyaku.

Ibu menunjukkan cincin di jari manisnya. Senyumnya sungguh menghangatkan. "Ibu membeli ini ... tidak apa-apa, kan?"

Sebetulnya tidak. Namun aku tak bisa mengatakan itu. "Jika Ibu senang ... itu bukan masalah." Teringat lagi percakapan sebelumnya. "Lalu, bertemu dengannya di mana?"

"Dia lupa tak membawa uang cash saat pembayaran."

"Pembayaran apa, Bu? Apa Ibu membayarkannya?" tanyaku, terkejut.

"Dia membeli kalung ... katanya untuk Ibunya. Ya ... Ibu teringat denganmu, jadi Ibu meminjamkannya uang."

"Apa dia sudah mengembalikannya? Berapa totalnya?" tanyaku.

Ibu berpikir cukup lama seraya berdehem. "Dia hanya membeli satu. Dia pasti mengembalikannya."

Pertanyaanku masih belum Ibu jawab.

"Berapa?" kakiku sudah berkeringat.

"Sekitar sepuluh juta. Dia pasti akan membayarnya." Ibu memegang punggung tanganku. "Tenang sayang ... Ibu percaya dia orangnya baik. Dia orangnya sayang sama keluarganya loh ... dengar-dengar cerita hidupnya, Om Edwin baru saja ditinggal menikah. Kasihan kan?"

"Tapi kan Ibu ... orang-orang bisa berbohong."

"Kalo berbohong ... Ia tak akan menampakan diri sekarang di rumah ini. Apa dia tidak takut dan tidak malu jika hal itu terjadi? Coba kamu lihat wajahnya ... dia sebetulnya butuh kasih sayang dan butuh pendamping. Katanya dia ingin lebih serius."

Pernyataan Ibu membuatku tercengang lagi. "Secepat itu? Serius dengan siapa Bu?"

"Dengan Ibu ... katanya hatinya tak bisa berbohong kalau melihat Ibu seperti melihat Ibunya sendiri. Hati Ibu tersentuh. Ini namanya takdir."

Kugelengkan kepalaku dengan cepat. "Tidak Bu ... Sukma sepertinya tak menerima."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status