Dewasa 21+ Pada awalnya, Kamal memang hanya sekedar iba dengan kesulitan Ica;sang Kakak Ipar yang selalu kesulitan setiap hari dengan perut besarnya. Suaminya Alex jarang di rumah, membiarkan Ica larut dalam kesedihan dan kesepian. Namun, tanpa disadari oleh Kamal, rasa iba berubah menjadi cinta dan ingin melindungi Ica dengan sepenuh hatinya. Bolehkah ia membiarkan perasaan yang salah ini terus tumbuh?
Lihat lebih banyakBu, sebenarnya Mas Alex itu kerjanya apa sih? Masa udah dua minggu kita di sini, belum ketemu orangnya. Saya aja gak kenal mukanya, kalau gak lihat di foto pernikahan di depan." Kamal bertanya pada ibunya yang sedang memasak di dapur.
"Gak tahu Ibu juga. Waktu itu, cuma ditelepon suruh menemin istrinya di sini. Dah, kita gak usah ikut campur. Kamu gak berangkat cari kerja?"
Uek!
Uek!"Ya Allah, kasihan ya. Masih mual-mual aja Neng Ica." Bu Rani; ibu dari Kamal berjalan dengan tergopoh, menghampiri Ica di kamar mandi belakang.
"Buatin Teh, Mal!" teriak Bu Rani pada Kamal. Lelaki itu pun menurut, dengan sigap membuatkan teh untuk kakak iparnya yang masih saja mual dan muntah, padahal kehamilannya memasuki usia tujuh bulan.
Kamal berjalan ke arah ruang tengah, lalu meletakkan secangkir teh di atas meja. Kakak iparnya itu memejam mata, sambil menikmati pijatan dari Bu Rani, di leher belakangnya. Ada air bening di sudut matanya, dan itu membuat Kamal menjadi iba.
Wanita yang sedang hamil, setahunya selalu dekat dengan suami, atau pun kalau sedang berjauhan, pasti selalu video call atau teleponan. Karena pasti butuh perhatian lebih dan ingin dimanja. Walaupun ia belum menikah, pacar juga belum pernah punya, tetapi ia tahu hal itu dari teman-temannya yang sudah menikah dan baru memiliki anak.
Sepanjang tinggal di perumahan mewah milik Alex;abang beda ibu. Ia tak pernah melihat sang kakak ipar berbicara mesra di telepon. Kalau pun ada berbincang di telepon, pasti dengan orang tua atau teman-temannya. Sungguh ia penasaran, di mana Mas Alex.
Wanita berbadan dua itu keluar dari kamar dengan wajah ceria seperti biasa. Kamal dan ibunya tahu bahwa Ica tidak baik-baik saja karena suaminya yang tidak tahu di mana rimbanya.
"Cantik sekali pagi ini Neng Ica. Apakah ini tanda-tanda mau menyambut suami pulang?"sapa Bu Rani sambil tersenyum hangat.
"Tidak, Bu, Mas Alex belum ada kabar. Terakhir katanya mau keluar kota." Ica menyahut tanpa semangat.
"Oh, ya udah kalau gitu, tidak usah kuliah hari ini ya, Ica. Nanti, kalau mual, muntah di kampus gimana?" ujar Bu Rani pada Ica yang masih saja meneteskan air mata.
"Siang ini ada ujian, Bu. Gak papa, Ica kuliah saja. Nanti siang juga hilang mualnya," jawab Ica dengan menyunggingkan senyum tipis.
"Terima kasih ya, Bu. Ica udah dipijitin. Kalau gak ada Ibu dan Kamal, Ica pasti kesepian," suara wanita muda itu terdengar bergetar.
Tak mudah menjalankan pernikahan tanpa restu orang tua. Annisa, atau biasa dipanggil Ica menikah dengan Alex. Lelaki dewasa berusia tiga puluh enam tahun, sedangkan Ica baru tiga bulan ke depan berusia dua puluh tahun, dan sedang duduk di bangku kuliah semester tiga. Masih sangat muda dan pastinya sedang manja-manjanya dengan suami.
Sedari SMA, Ica memang nampak lebih tertarik dengan pria dewasa yang puluhan tahun beda usia darinya. Entahlah kenapa bisa seperti itu? Padahal ia juga tak kekurangan figur seorang ayah di dalam rumah.
Alex sudah memiliki anak di luar pernikahan, dan hal itu yang membuat keluarga Ica tidak menyetujui pernikahan Ica dengan Alex. Sekarang, saat Ica dinyatakan hamil, tiba-tiba saja Alex pergi keluar kota hampir setiap bulan dengan alasan pekerjaan.
"Udah siap, Kak? Ayo, saya antar!" ajak Kamal pada kakak iparnya yang lagi-lagi melamun di teras.
"Maaf ya, Mal. Jadi merepotkan kamu." Susah payah Ica bangun dari duduknya, lalu berjalan mendekat pada Kamal yang sudah siap dengan motornya.
"Pake helemnya." Kamal mengulurkan helem pada Ica. Wanita hamil itu menurut, lalu naik ke boncengan motor Kamal.
"Baca doanya!" kata Kamal lagi pada Ica.
"Gue gak tahu doa naik kendaraan," jawab Ica dengan polosnya.
"Tahunya doa apa?" tanya Kamal lagi dengan wajah serius.
"Doa mau makan dan doa mau tidur," jawab Ica lagi dengan wajah polos. Tentu saja Kamal tergelak, dan Ica pun akhirnya ikut tergelak mendengar suara tawa Kamal yang begitu renyah.
Sebelum benar-benar meninggalkan pekarangan rumah, Kamal terlebih dahulu mengajarkan Ica doa naik kendaraan. Wanita itu pun menurut, lalu mengikuti ucapan doa yang diajarkan Kamal.
Bu Rani yang memperhatikan dari teras rumah, tentulah ikut melengkungkan garis bibir. Baru kali ini, ia bisa melihat tawa Ica yang begitu lebar. Wajah wanita hamil itu berubah menjadi sangat merah saat tertawa.
"Berangkat ya, Bu. Assalamualaykum," pamit Ica sambil melambaikan tangan pada Bu Rani.
Motor dikendarai Kamal dengan kecepatan sedang, cenderung pelan. Ia benar-benar canggung membawa wanita hamil besar seperti ini.
"Mal, ini motor ada mesinnya gak sih? Jalannya kok kayak gerobak!"
"Ha ha ha ...." Kamal tergelak. Ia tahu maksud ucapan dari Ica adalah, agar membawa motor lebih cepat.
"Pegangan, Kak," kata Kamal.
"Gak mau ah, bau badan kamu gak enak," tolak Ica mentah-mentah dengan alasan mengesalkan sekaligus menggemaskan. Kamal hanya bisa menyeringai, lalu kembali fokus pada kemudinya.
Angin bertiup sedikit kencang, padahal sudah pukul dua belas siang dan matahari juga bersinar cukup terik. Kamal sibuk memperhatikan jalan, Ica sibuk merindui suaminya yang sepekan ini tak berkirim kabar sama sekali.
Sebuah mobil yang sangat ia kenal, sedang berhenti di lampu merah dalam posisi paling depan. Itu bukannya mobil suaminya?
"Mal, ikuti mobil merah di depan ya."
"Merah BMW itu, Kak?"
"Iya."
Lampu hijau menyala, mobil berbelok ke kanan dan sesuai perintah Ica, Kamal mengikuti kemana mobil itu bergerak. Hingga sampai di sebuah lobi apartemen. Ica semakin berdebar, saat lelaki yang sangat ia rindukan keluar dari mobil mewah, dengan seorang wanita cantik. Keduanya bergandengan tangan dengan sangat mesra.
Kamal pun ikut tercengang dengan pemandangan di seberangnya. Lelaki itu adalah Alex; abangnya. Namun, siapa wanita seksi yang abangnya gandeng itu?
"Kak, itu ...."
"Itu suami saya," suara Ica bergetar.
"Ssstt ... aaah ... sakit!" Ica memegang perutnya yang tiba-tiba saja kaku dan sangat sakit.
"Ica, kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Bu Miranti saat anak perempuannya yang sudah berada di meja makan, pukul setengah tujuh pagi, dan masih memakai kaus santai. Bu Miranti semakin keheranan, saat mendapati koper berukuran sedang, tergeletak manis di samping anaknya. "Ca, Mama tanya, mau ke mana? Mau keluar kota? Ke mana?" cecar Bu Miranti tak sabar. Wanita paruh baya itu menarik kursi makan, persis di samping Ica."Annisa!" "Eh, iya Mama Sayang. Ica mau ke Amerika," jawabnya santai sambil terus mengunyah mi goreng buatan bibik. Mata Bu Miranti membulat sempurna."Amerika? Mau ngapain? Kerja? Kok dadakan?" cecar Bu Miranti dengan sangat kaget. Amerika? Dia saja belum pernah ke sana. "Mau cari jodoh, Ma. Boleh'kan?" senyum Ica melebar. Bu Miranti tak mampu menjawab jika itu alasannya, karena dia sendiri memang menginginkan anak perempuannya segera menikah."Memangnya Made in Indonesia sudah tidak ada?" Ica tergelak mendengar pertanyaan dari mamanya. Wanita itu menggeleng kuat, lal
Selamat membaca.Kamal tidak tahu harus bicara apa pada Ali;kakak dari Ica. Lelaki itu terus saja bercerita tentang kisah adiknya, yang selama beberapa tahun ini gonta-ganti dijodohkan dengan lelaki pilihan mama dan papanya, tetapi tak kunjung ada yang cocok.Berkali-kali wanita itu mencoba, tetapi tak juga menemuka pria yang bisa membuatnya berdebar sekaligus tertawa. Rata-rata, lelaki yang dijodohkan dengannya karena memandang status kedokteran yang dimiliki sang papa dan juga gelar hukum yang dimiliki Ica. Tak pernah ada lelaki yang benar-benar menerima Ica apa adanya, sejak ia menyandang status janda.Ada yang orang tuanya tidak setuju. Ada yang lelakinya yang gak asik. Ada juga lelaki yang matre, dan masih banyak tipe lelaki lainnya yang tak berhasil mendekati Ica. Betapa pun orang tua mengusahakannya, tetapi tetap saja Ica menjomblo di usia 26 enam menjelang dua puluh tujuh tahun.Kamal merasa sedih mendengar nasib yang dialami oleh Ica. Bagaimanapun sebenarnya wanita itu adalah
4 Tahun Kemudian.Los Angeles adalah kota terpadat di negara bagian California, dan kota kedua terpadat di Amerika Serikat setelah New York City, dan terletak di Calofornia selatan. Kota ini merupakan titik utama wilayah statistik metropolitan Los Angeles-Long Beach-Santa Ana, dan wilayah Los Angeles raya.Dijuluki City of Angels, Los Angeles adalah pusat dunia bisnis, perdagangan internasional, hiburan, budaya, media, mode, ilmu pengetahuan, olah raga, teknonologi dan pendidikan terdepan.Silicon Valley merupakan kawasan yang dipenuhi kantor perusahaan yang bergerak di bidang internet, digital, dan sejenisnya. Artherton terbilang sangat dekat dari kantor pusat Facebook.Jangan heran kalau kawasan Artherton menjadi wilayah favorit para petinggi Apple, Yahoo, Google, Hewlett-Packard, dan lainnya. Mereka tak perlu berkendara jauh untuk mencapai kantor. Untuk itulah Artherton menjadi kawasan dengan kode pos termahal di Amerika Serikat.Satu hal yang paling mengejutkan seorang Kamal di aw
Kamal, Bu Rani, dan Om Herman sudah berada di dalam mal. Mereka tengah memilih cincin cantik untuk diberikan pada Ica sore ini. Banyak pilihan cantik-cantik hingga membingungkan Kamal dan ibunya. Om Herman sampai menggeleng-gelengkan kepala memperhatikan Kamal dan ibunya yang kebingungan memilih aneka cincin."Semua bagus, Yang," puji Bu Rani menatap takjub etalase berisi emas."Pilih cincin juga buat Ibu," ucap Om Herman lagi sambil merangkul pundak calon istrinya. Kamal hanya bisa memutar bola mata malasnya melihat kedekatan sang ibu dengan lelaki tua yang bernama Herman. Canda-tawa dari sepasang calon pengantin uzur membuat dirinya jengah. Kamal memilih menjauh, sambil melihat-lihat etalase yang lain."Om, kalau melamar itu harus bawa cincin emangnya?" tanya Kamal pada Om Herman. Semua yang ada di sana termasuk tiga orang pelayan toko ikut menertawakan pertanyaan Kamal."Iya, Mal. Namanya juga melamar wanita, ya kudu bawa cincin. Masa bawa kentut doang," sahut Om Herman sambil terg
Kamal sadar dari pingsan, setelah dioleskan minyak kayu putih di hidungnya oleh Bu Rani. Beberapa kali mengerjapkan mata, mencoba untuk memulihkan kesadaran sepenuhnya. Samar Kamal melihat wajah khawatir sang ibu dan seorang pria yang baru saja mengatakan hal yang paling mengerikan dalam hidupnya. Dia saja belum ada yang mau. Padahal gagah, tampan, soleh, dan baik. Namun, kenapa yang lebih dahulu laris adalah para lelaki dan wanita berbau tanah?Sekali lagi Kamal menoleh pada ibu dan adik almarhum ayahnya. Lalu dengan sedikit merasakan nyeri di kepalanya, Kamal mencoba duduk. "Bu, anaknya pingsan jangan cuma dilihatin aja. Bagi minum, Bu," rengek Kamal dengan leher yang terasa begitu kering."Eh, iya. Gue ampe lupa, Mal. Habisnya, itu gue daritadi merhatiin hidung lu, agak kotor, Mal. Dibersihinlah!" ujar Bu Rani sambil berjalan menuju dapur. Kamal hanya bisa menyeringai sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sesaat kemudian, ia menoleh pada lelaki yang bernama Herman. Lalu deng
Kamal mengendarai motornya pelan masuk ke gang demi gang untuk menjajakan produk panci milik CV tempat ia bekerja saat ini. Penat, lelah, dan pegal pipi karena terus saja berbicara saat melakukan promosi sama sekali tidak membuatnya patah semangat atau mengeluh.Ditolak, sering. Diabaikan apalagi. Namun ia tetap berusaha. Tak pantas rasanya mengeluh, saat kita masih melihat ada orang yang berada di pinggir jalan dalam keadaan fisik tidak sempurna, sedangkan kita masih kuat dengan keadaan tubuh sempurna untuk mencari rejeki.Berangkat pagi pulang petang demi mendapatkan upah lima puluh ribu per hari dari kantor. Jika panci ada yang laku terjual, maka ia akan mendapatkan bonus seratus ribu per panci yang laku. Untuk gaji bulanan masih sangat kecil. Hanya satu juta saja, maka dari itu ia harus berusaha agar panci yang ia jajakan ada yang membeli.Seperti siang ini. Belum ada sama sekali kumpulan ibu-ibu yang membeli pancinya. Setiap sudut gang tikus dan masuk ke jalan buntu sudah ia lak
Sungguh sial, Kamal tak bisa membuka ikatan simpul mati di kedua pahanya. Dengan susah payah dan penuh penderitaan, Kamal menggotong ibunya bak karung beras sambil melompat.BughBughBughSuara hentakan kaki Kamal yang menjejak tanah berumput di samping tembok rumah Alex, disertai bunyi benturan wajah Bu Rani pada punggung Kamal terdengar sangat nyaring. Lelaki itu semakin ketakutan, saat pintu rumah Alex yang sepertinya akan segera terbuka.Secepat kilat Kamal menaruh begitu saja ibunya yang pingsan menyamping, seperti posisi karung beras. Untunglah motor yang dipinjam Kamal adalah motor matic, sehingga ia tak perlu mengangkang untuk naik ke atas motor."Wey! Siapa itu?!"BreemBreemKamal menekan gas dengan kecepatan penuh. Sungguh ia merasa berdosa dengan tubuh sang ibu yang terombang-ambing di jok belakang. Hampir saja ia ketahuan oleh Alex jika tidak segera pergi dari sana.Setelah merasa cukup jauh dari rumah kakaknya, Kamal memutuskan untuk berhenti di sebuah masjid di dalam k
"Gimana sih kamu punya darah, Sayang? Bulan lalu darah rendah, bulan ini darah tinggi, bulan kemarin lagi, kurang darah. Gimana mau operasi kalau darah kamu galau gitu?" Alex masih duduk di kursi tunggu apotek rumah sakit. Di sampingnya ada Susan yang berwajah masam karena gagal lagi untuk operasi. Ia pun sebenarnya ingin sekali kutil tyrex ini segera dioperasi, namun apalah daya. Kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk melakukan operasi, walau hanya operasi kecil."Aku juga gak mau begini, Mas," sahutnya sambil menunduk. "Seandainya bisa aku sendiri yang cabut, pasti akan aku cabut, Mas," lanjut Susan lagi dengan suara bergetar menahan tangis."Sayang, itu kutil, bukan rumput. Gimana nyabutnya? Udah deh, nanti jadi penyakit yang lain!" Alex menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil melipat tangan di dada, sedangkan Susan masih saja cemberut.Tak lama kemudian, nomor antrean resep milik Susan muncul di layar khusus farmasi, Alex bangun dari duduknya, lalu berjalan untuk
Puluhan orang, bahkan ratusan orang berbaris rapi di sepanjang Gang Mawar, mereka diminta oleh Pak RT untuk mengambil uang takziah yang sudah terlanjur mereka berikan pada Bu Rani. Satu per satu berbaris antre mengambil uangnya kembali, dengan sarat jujur. Berapa yang mereka letakkan di baskom, itulah yang mereka minta kembali pada Bu Rani.Wajah wanita paruh baya itu masam, karena total uang takziah yang dikembalikan, lebih dari yang ia terima. Bahkan ia terpaksa mengambil beberapa lembar lagi uang merah dari amplop pemberian Alex, untuk dikembalikan pada warga. Kamal yang bertanggung jawab atas ini semua, memiliki tugas untuk menukar uang merah sebanyak lima ratus ribu, menjadi uang pecahan sepuluh ribu dan lima ribu.Jika sudah seperti ini, siapa yang mau disalahkan? Kamal yang terlalu cerdas, atau ibunya yang belum cerdas? Tenda yang telah dipasangkan pun kini sudah dibuka kembali, beberapa petugas malah meminta upah lelah karena telah memasang serta membongkar tenda dengan percum
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen