"Ca, lu belum makan. Nanti malah sakit. Makan dulu ya. Dua puluh suap juga gak papa," ujar Kamal berusaha menghibur kakak iparnya yang masih saja memejamkan mata, tetapi tidak tidur.
"Ca, kuping lu dengarkan?" tanya Kamal lagi. Namun Ica bergeming. Wanita itu enggan membuka matanya. Walau napasnya masih teratur, tetapi bola mata di dalam sana nampak bergerak gelisah. Kamal tahu, Ica tidak tidur, hanya melamun, atau menyesali diri.
Satu hari sudah Ica berada di rumah sakit. Ruangannya sudah dipindah, karena ia tidak memiliki bayi. Kemarin, pasien yang di rawat di sebelahnya baru saja melahirkan bayi kembar. Suara tangisan bayi membuat Ica semakin frustasi dan minta pindah kamar.
Alex belum juga datang. Kamal sampai lelah menghubungi kakaknya. Namun, operatorlah yang menjawab panggilannya.
"Ca, lu kalau gak mau makan, gue tinggal nih!" ancam Kamal dengan suara terdengar serius. Wanita itu membuka mata, lalu menoleh pada Kamal dengan pandangan sayu.
"Pergi aja, Mal. Gue gak papa. Emang udah gak ada yang peduli sama gue," ujar Ica lirih dengan air mata membasahi pipinya. Kamal menjadi serba salah. Lelaki itu hanya bisa menghela napas kasar, sembari melemparkan bokongnya di kursi.
Benar-benar pusing menghadapi wanita. Untuk itulah ia lebih memilih jomlo. Selain memang tak laku, ia khawatir wanita yang jalan bersamanya malah tersiksa.
Suara langkah kaki mendekat. Jauh di dalam lubuk hatinya, Ica berharap suaminya yang datang. Walau ia sakit hati dan sangat kecewa pada suaminya, tetapi ia akan memaafkan, jika suaminya itu meminta maaf.
"Neng," suara Bu Rani menggeser gorden bilik perawatan Ica.
"Eh, Bu. Terima masih sudah datang," ucap Ica dengan suara bergetar. Bukan suaminya yang datang, tetapi ibu tiri dari suaminya.
Kamal mencium punggung tangan Bu Rani, lalu memberikan kursi yang ia duduki pada ibunya. Wanita paruh baya itu memandang Ica dengan begitu sedih. Ia tak tahu harus berkata apa. Karena pasti saat ini Ica sedang merasakan kesedihan yang amat dalam.
"Ibu buatkan kolak pisang. Kamu maukan?" tawar Bu Rani sambil mengeluarkan kotak bekal di dalam totte bag yang ia pakai.
"Ica gak mau makan, Bu," jawabnya lirih sambil menggelengkan kepala. Bu Rani menghela napas, lalu mengambil tangan menantunya. Dipijatnya lembut jari-jemari lentik itu hingga Ica merasakan sedikit rileks pada tubuhnya. Wanita itu memejamkan mata menikmati pijatan Bu Rani.
"Bu, kolak buat Kamal ada gak?" tanya Kamal sambil memyeringai. Karena jujur, ia pun mulai merasa lapar.
"Gak ada. Ibu lupa kalau ada kamu di rumah sakit," jawab Bu Rani sambil tergelak.
"Ya Allah, teganya Bu. Jadi, buat Kamal gak ada nih?" tanya Kamal sembari memeriksa isi totte bag yang dibawa ibunya.
"Gak ada. Orang ibu cuma bawain sempak kamu doang, yang sekarang dipake udah basahkan? Dah, ganti sana. Nanti jamuran repot! Mending jamurnya bisa dimasak! Kalau pun bisa dimasak, pasti yang makan, mati di tempat," oceh Bu Rani panjang lebar.
"Hhep ... heep ... ha ha ha ...." Ica tergelak, sambil menahan sakit akibat jahitan cesar di perutnya.
Kamal dan Bu Rani menoleh pada Ica yang terbahak. Saraf tegang di wajahnya mulai mengendur saat tawa itu begitu lepas menggema di kamar perawatan kelas satu.
"Ibu lucu ih!" kata Ica masih terus tertawa.
"Dari kemarin diam saja. Giliran dengar sempak berjamur langsung ngakak! Duh, wanita!" Kamal mencebik. Kakinya melangkah lebar masuk ke dalam kamar mandi, mengganti sempak basah yang baunya, ah ... tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Ica menetralkan napas dan juga menghapus air matanya yang datang di sudut mata. Wanita itu menarik tangan Bu Rani yang masih terus memijatnya, lalu membawanya ke bibir, untuk menciumnya dengan takzim.
"Terima kasih sudah menghibur Ica ya, Bu. Untung ada Kamal dan Ibu, kalau nggak, Ica pasti kesepian."
"Iya, sama-sama." Bu Rani mengusap lengan Ica, sambil melengkungkan garis bibirnya.
"Makan ya? Biar ada tenaga buat gebukin Alex," bisik Bu Rani diikuti seringainya.
"Dosa gak, Bu? Kalau Ica kasih racun tikus aja?"
"Ha ha ha ...." kali ini Bu Rani yang tergelak, hingga menetes air matanya.
"Jangan, Ca. Gak boleh. Bagaimanapun kita berumah tangga, cobalah untuk bersabar dan rajin mendoakan suami kita agar berubah."
"Iya, Bu. Ica akan sabar," sahut Ica sambil mencium kembali punggung tangan Bu Rani.
Sementara itu, Alex tengah berada di apartemennya bersama seorang wanita yang kini sedang berada di dalam kamar mandi. Wanita itu adalah teman semasa SMP-nya. Mereka bertemu kembali, setelah belasan tahun tak berjumpa.
Ada kisah cinta yang tak usai di masa itu, hingga keduanya merajut kembali kasih di masa kini. Alex melonggarkan kemejanya dengan membuka kancing kemeja yang paling atas. Lengan panjang kemeja dilipat hingga siku. Pandangannya beralih pada sepasang kebaya dan kain batik yang tergeletak manis di ranjang apartemen.
Ya, Alex baru saja melakukan pernikahan siri dengan wanita yang bernama Susan. Wanita dewasa yang seumuran dengannya, tetapi masih bergaransi orisinil, alias masih perawan. Alex tak mampu menutupi kekagumannya pada Susan, karena berhasil memperhatahankan kegadisan hingga usia tiga puluh enam tahun.
Suara keran air dimatikan. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka.
"Mas, tolong ambilkan handuk. Saya lupa," ujar Susan dengan suara manja.
Inilah enaknya, kalau punya istri pembaca setia w*****d. Selalu saja ada adegan yang dicontoh dari sana, salah satunya lupa membawa handuk. Alex bersorak dalam hati.
"Sudah halal ini, Yank. Gak usah pakai handuk saja keluarnya. Gak papa kok. Suami kamu ini akan memperhatikan dengan senang hati," jawab Alex dengan dada berdebar. Sungguh beruntung dirinya menjadi pria yang beberapa kali membobol gawang keperawanan.
"Gak boleh kesal loh ya. Susan malu," ujar wanita itu lagi dari dalam kamar mandi.
"Kok kesal. Dah, mau keluar sendiri atau Mas jemput?" tantang Alex.
Akhirnya Susan yang berwajah cantik dan berkulit putih mulus itu keluar dari kamar mandi, tanpa menutupi tubuhnya. Ia menunduk malu di hadapan suaminya, saat berjalan miring hendak mengambil handuk bersih di dalam lemari.
"Yank, tunggu! Itu apa di paha kamu?" tunjuk Alex dengan sedikit kaget.
"Mmm ... ini Mas. Mmm ... ini." Susan gugup. Ia tak sanggup mengangkat wajahnya untuk melihat suaminya.
Alex yang penasaran, akhirnya bangun dari atas ranjang, lalu berjalan mendekat pada Susan.
"Ya Allah, ini daging apa? Kamu bisulan?" tanya Alex memandang kaget daging sebesar telur tumbuh di paha istri sirinya.
"Ini kutil, Mas."
"Hah? Apa?! Kutil?!
*****

Malam itu juga, Alex membawa Susan ke rumah sakit untuk melakukan operasi pengangkatan kutil sebesar telur ayam negeri. Lelaki itu begitu jengah dengan tampilan daging melambai di paha istri keduanya. Sehingga ia memutuskan untuk segera mengoperasinya.Pantas saja Susan tidak pernah mengenakan celana jeans. Wanita itu selalu memakai rok tutu yang kembang, untuk menutupi benjolan di pahanya."Mas marah ya?" tanya Susan takut-takut. Wanita itu tak berani menatap wajah suaminya yang nampak garang."Harusnya hal seperti ini jangan ditutupi. Sebelum menikah jadi bisa dioperasi terlebih dahulu. Gak repot kayak sekarang," jawab Alex dengan suara datar.Lelaki itu harus melemparkan jauh hasrat yang sudah naik ke ubun-ubun, saat melihat kutil istri mudanya. Bayangkan betapa kecewa dan kagetnya ia. Namun, ini bagian dari konsekuensi. Dia sudah terlanjur mencintai Susan. Lalu bagaimana dengan Annisa? Alex meremas rambutnya kasar. Ia benar-benar bingung."Maaf, Mas." Hanya itu yang dapat dikataka
Pagi hari, di luar cuaca kembali gerimis. Padahal hari ini, Kamal ada panggilan interview di sebuah kantor ekspedisi yang cukup ternama. Acara wawancara memang jam sembilan, tetapi ia tak mungkin terlambatkan? Jika ingin naik taksi online, sangat sayang dengan uangnya. Jika naik ojek online maka dia kebasahan. Mau naik naik sepeda juga pasti kebasahan. Terus sekarang bagaimana?Kamal menoleh pada pintu kamar kakak iparnya yang masih saja tertutup. Padahal sudah pukul enam tiga puluh pagi, harusnya wanita itu sudah bangun dan sedang menonton upin dan ipin di ruang tengah."Sarapan dulu sebelum berangkat, Mal," ucap Bu Rani membuyarkan lamunan Kamal. Lelaki itu tersenyum, lalu mengekori ibunya berjalan ke ruang makan."Bu, Ica belum keluar kamar juga?" tanya Kamal sambil menyendokkan nasi ke dalam piringnya."Masih santai-santai kali. Namanya juga baru sembuh," sahut Bu Rani yang ikut menarik kursi makan persis di depan Kamal."Kamal takut Teh Ica khilaf Bu.""Maksudnya?" kening Bu Rani
Plak!"Alex, hentikan! Istrimu baru kehilangan bayinya, tetapi sudah Kau kasari lagi. Suami macam apa Kau?!" Kemarahan Bu Rani memuncak, saat melihat Ica kembali ditampar di ruang makan. Di depan mata kepalanya sendiri.Alex begitu kasar. Sangat mirip dengan almarhum suaminya. Persis, tak ada bedanya sama sekali. Untuk itu, ia tak sanggup lama untuk menjadi istri kedua;papa Alex.Braak!"Ya Allah, Ibu. Teh Ica!" Kamal datang tepat waktu. Mata lelaki itu terbelalak, saat mendapati Ica tengah duduk di lantai dengan pipi sangat merah."Ada apa ini, Mas?" Kamal memandang Alex dengan tak suka."Bukan urusanmu dan ibumu! Cepat kalian angkat kaki dari sini!" Alex menekan suaranya."Jangan, Mas. Kalau gak ada ibu dan Kamal, saya sepi," ujar Ica dengan derai air mata. Tangannya memegang kuat celana panjang yang tengah dikenakan suaminya. Wanita itu memohon dengan iba, belas kasihan suaminya."Oh, jadi kamu mau ikut mereka? Hm? Pergi sana, kalau kamu mau pergi! Tapi ingat, kamu takkan pernah me
Ica telah sadar dari pingsannya. Namun, ia memilih tetap menutup mata. Rasa sakit jahitan bekas cesar yang kembali menganga, membuatnya tak cukup bertenaga untuk mengeluarkan kata-kata. Kesedihan jelas terlihat di raut wajah putih pucat miliknya. Kamal dan Bu Rani hanya bisa memandang Ica dengan iba. Ruang perawatan kelas tiga, terpaksa mereka berikan pada Ica. Itu pun dari hasil menjual kalung peninggalan suami Bu Rani, yang merupakan ayah Alex juga."Ca, makan ya, Nak?" ujar Bu Rani sangat pelan. Suaranya pun bergetar menahan sedih. Tak ada sahutan yang keluar dari bibir kakak iparnya Kamal itu. Membuka matanya pun enggan.Bu Rani meletakkan piring kembali di atas meja samping brangkar. Ia berdiri dari duduknya, lalu menarik tangan Kamal untuk keluar dari sana."Ada apa, Bu?" tanya Kamal keheranan."Kamu pulang ke rumah Alex. Cari ponsel Ica dan juga bawa beberapa helai bajunya. Sekalian baju kita juga. Kita udah diusir Alex. Jangan sampai, lelaki itu kembali ke rumah dan mengambil
Kamal berjalan masuk ke lorong perawatan Ica. Dari kejauhan, ia melihat ibunya sedang termenung melihat pemandangan di luar gedung rumah sakit. Semakin lebar langkahnya mendekat pada wanita paruh baya itu."Bu, kok di luar?" tanya Kamal heran. Kepalanya sedikit menyembul dari balik pintu ruang perawatan yang tidak tertutup rapat."Ada orang tua Ica," jawab Bu Rani setengah berbisik. Punggung tangan yang mulai keriput itu menarik Kamal sedikit menjauh dari kamar."Ada apa, Bu?" tanya Kamal semakin terheran."Nanya mulu! Nih, dengerin. Kita harus jujur sama keluarga Ica, soal Alex yang menyiksanya lahir dan batin," ujar Bu Rani semangat."Setuju!" jawab Kamal mantap."Kita gak boleh takut sama Alex karena memang perbuatan Alex itu tak bisa ditolerir sama sekali.""Setuju!" jawab Kamal lagi."Guru bahasa indonesia lu waktu SD siapa sih, Mal? Kosa kata lu irit amat. Setuju-setuju terus dari tadi," omel Bu Rani dengan bibir mencebik.Kamal hanya bisa menggaruk rambutnya yang tak gatal. Sem
Kamal sudah berada di alamat yang diberikan oleh satpam Imron. Sebuah kontrakan tiga petakan tidak terlalu kecil. Ruangan tengahnya juga sedikit lega dengan dapur dan kamar mandi cukup terawat. Hanya ruang depan saja tak terlalu besar. Cukuplah untuk ditinggali olehnya dan juga ibunya."Gak kurang lagi, Bu?" tanya Bu Rani pada ibu asisten pemilik kontrakan. Si ibu bertubuh tambun itu hanya tersenyum, lalu menggeleng tipis."Dikit, Bu. Masa gak bisa goyang dikit sih," tambah Bu Rani lagi. Wanita paruh baya itu terus merayu agar harga kontrakan bulanan itu sedikit dikurangi."Kata siapa saya gak bisa goyang?" suara si ibu tampak sewot. Kamal hanya bisa menyeringai sambil menggelengkan kepalanya."Maksud ibu saya, harga kontrakannya gak bisa didiskon gitu, Bu?" terang Kamal yang kini sudah ikut duduk di samping ibunya."Bisa sih dikurangin, tapi gak pake kamar mandi. Mau?""Kalau gak ada kamar mandi, saya mau jongkok di mana, Bu? Masa di teras, ha ha ha ...." gelak-tawa Bu Rani begitu me
Kamal sudah berada di rumah sakit tempat Ica dirawat. Sengaja ia tidak lewat lobi IGD, karena dikhawatirkan bersitegang lagi dengan Imron. Kamal memilih lewat pintu samping, tempat biasa taksi menurunkan penumpangnya. Dengan jantung berdebar tak karuan, Kamal masuk ke dalam rumah sakit, tetapi tidak langsung naik ke lantai dua. Ruang perawatan kelas tiga, tempat Ica dirawat waktu itu. Kamal memilih masuk kamar mandi, karena perutnya mendadak mulas."Eh, ketemu di sini," sapa Imron yang baru saja keluar dari bilik toilet. Kamal terlonjak kaget, lalu menyeringai tipis pada Imron."Jodoh kita ya, Mal. Nama kamu Kamal'kan?" tanya satpam Imron."Iya, Bang. Terima kasih udah diberitahu kontrakan. Alhamdulillah dari semalam saya sudah tempati.""Oh, sukur deh. Semoga betah ya. Nih, gue kasih tahu. Empat tahun lalu, rumah kontrakan itu ditempati oleh Anwar. Bujang tua yang akhirnya menikahi janda kaya. Nah, setahun lalu, itu kontrakan yang tinggali teman saya juga. Beh, janda kaya lagi dapat
Bengong aja! Jalan sana, udah jam delapan ini," tegur Bu Rani saat melihat anaknya yang masih saja melamun di teras kontrakan."Ica, Bu," gumam Kamal sedih."Ica sudah aman bersama orang tuanya. Dah, lu ikhlaskan ya. Kalau jodoh gak akan ke mana. Lu anak ibu yang paling baik hatinya. Gak tegaan sama orang. Rajin solat, gak pernah bantah, dan gak pernah ngambil barang yang bukan miliknya," puji Bu Rani sambil tersenyum hangat."Itu yang di dapur barang Alex semua, Bu. Bukan punya kita," jawab Kamal dalam hati sambil tergelak."Ibu yakin, lu juga pasti dapat yang terbaik. Mungkin sekarang, belum masanya lu berumah tangga. Beli sempak aja lu tiga tahun sekali. Masa iya anak orang mau lu beliin sempak tiga tahun sekali," sambung Bu Rani lagi sambil menyeringai."Lah, istri Kamal gak perlu pake sempak, Bu. Biar ...."Pletak!Pletak!"Mulut lu yang kudu dijejelin sempak, KAMAAL! Pergi gak lu?!" Lelaki itu tergelak melihat ibunya yang marah sampai sandal melayang di kepalanya. Kamal melambai
"Ica, kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Bu Miranti saat anak perempuannya yang sudah berada di meja makan, pukul setengah tujuh pagi, dan masih memakai kaus santai. Bu Miranti semakin keheranan, saat mendapati koper berukuran sedang, tergeletak manis di samping anaknya. "Ca, Mama tanya, mau ke mana? Mau keluar kota? Ke mana?" cecar Bu Miranti tak sabar. Wanita paruh baya itu menarik kursi makan, persis di samping Ica."Annisa!" "Eh, iya Mama Sayang. Ica mau ke Amerika," jawabnya santai sambil terus mengunyah mi goreng buatan bibik. Mata Bu Miranti membulat sempurna."Amerika? Mau ngapain? Kerja? Kok dadakan?" cecar Bu Miranti dengan sangat kaget. Amerika? Dia saja belum pernah ke sana. "Mau cari jodoh, Ma. Boleh'kan?" senyum Ica melebar. Bu Miranti tak mampu menjawab jika itu alasannya, karena dia sendiri memang menginginkan anak perempuannya segera menikah."Memangnya Made in Indonesia sudah tidak ada?" Ica tergelak mendengar pertanyaan dari mamanya. Wanita itu menggeleng kuat, lal
Selamat membaca.Kamal tidak tahu harus bicara apa pada Ali;kakak dari Ica. Lelaki itu terus saja bercerita tentang kisah adiknya, yang selama beberapa tahun ini gonta-ganti dijodohkan dengan lelaki pilihan mama dan papanya, tetapi tak kunjung ada yang cocok.Berkali-kali wanita itu mencoba, tetapi tak juga menemuka pria yang bisa membuatnya berdebar sekaligus tertawa. Rata-rata, lelaki yang dijodohkan dengannya karena memandang status kedokteran yang dimiliki sang papa dan juga gelar hukum yang dimiliki Ica. Tak pernah ada lelaki yang benar-benar menerima Ica apa adanya, sejak ia menyandang status janda.Ada yang orang tuanya tidak setuju. Ada yang lelakinya yang gak asik. Ada juga lelaki yang matre, dan masih banyak tipe lelaki lainnya yang tak berhasil mendekati Ica. Betapa pun orang tua mengusahakannya, tetapi tetap saja Ica menjomblo di usia 26 enam menjelang dua puluh tujuh tahun.Kamal merasa sedih mendengar nasib yang dialami oleh Ica. Bagaimanapun sebenarnya wanita itu adalah
4 Tahun Kemudian.Los Angeles adalah kota terpadat di negara bagian California, dan kota kedua terpadat di Amerika Serikat setelah New York City, dan terletak di Calofornia selatan. Kota ini merupakan titik utama wilayah statistik metropolitan Los Angeles-Long Beach-Santa Ana, dan wilayah Los Angeles raya.Dijuluki City of Angels, Los Angeles adalah pusat dunia bisnis, perdagangan internasional, hiburan, budaya, media, mode, ilmu pengetahuan, olah raga, teknonologi dan pendidikan terdepan.Silicon Valley merupakan kawasan yang dipenuhi kantor perusahaan yang bergerak di bidang internet, digital, dan sejenisnya. Artherton terbilang sangat dekat dari kantor pusat Facebook.Jangan heran kalau kawasan Artherton menjadi wilayah favorit para petinggi Apple, Yahoo, Google, Hewlett-Packard, dan lainnya. Mereka tak perlu berkendara jauh untuk mencapai kantor. Untuk itulah Artherton menjadi kawasan dengan kode pos termahal di Amerika Serikat.Satu hal yang paling mengejutkan seorang Kamal di aw
Kamal, Bu Rani, dan Om Herman sudah berada di dalam mal. Mereka tengah memilih cincin cantik untuk diberikan pada Ica sore ini. Banyak pilihan cantik-cantik hingga membingungkan Kamal dan ibunya. Om Herman sampai menggeleng-gelengkan kepala memperhatikan Kamal dan ibunya yang kebingungan memilih aneka cincin."Semua bagus, Yang," puji Bu Rani menatap takjub etalase berisi emas."Pilih cincin juga buat Ibu," ucap Om Herman lagi sambil merangkul pundak calon istrinya. Kamal hanya bisa memutar bola mata malasnya melihat kedekatan sang ibu dengan lelaki tua yang bernama Herman. Canda-tawa dari sepasang calon pengantin uzur membuat dirinya jengah. Kamal memilih menjauh, sambil melihat-lihat etalase yang lain."Om, kalau melamar itu harus bawa cincin emangnya?" tanya Kamal pada Om Herman. Semua yang ada di sana termasuk tiga orang pelayan toko ikut menertawakan pertanyaan Kamal."Iya, Mal. Namanya juga melamar wanita, ya kudu bawa cincin. Masa bawa kentut doang," sahut Om Herman sambil terg
Kamal sadar dari pingsan, setelah dioleskan minyak kayu putih di hidungnya oleh Bu Rani. Beberapa kali mengerjapkan mata, mencoba untuk memulihkan kesadaran sepenuhnya. Samar Kamal melihat wajah khawatir sang ibu dan seorang pria yang baru saja mengatakan hal yang paling mengerikan dalam hidupnya. Dia saja belum ada yang mau. Padahal gagah, tampan, soleh, dan baik. Namun, kenapa yang lebih dahulu laris adalah para lelaki dan wanita berbau tanah?Sekali lagi Kamal menoleh pada ibu dan adik almarhum ayahnya. Lalu dengan sedikit merasakan nyeri di kepalanya, Kamal mencoba duduk. "Bu, anaknya pingsan jangan cuma dilihatin aja. Bagi minum, Bu," rengek Kamal dengan leher yang terasa begitu kering."Eh, iya. Gue ampe lupa, Mal. Habisnya, itu gue daritadi merhatiin hidung lu, agak kotor, Mal. Dibersihinlah!" ujar Bu Rani sambil berjalan menuju dapur. Kamal hanya bisa menyeringai sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sesaat kemudian, ia menoleh pada lelaki yang bernama Herman. Lalu deng
Kamal mengendarai motornya pelan masuk ke gang demi gang untuk menjajakan produk panci milik CV tempat ia bekerja saat ini. Penat, lelah, dan pegal pipi karena terus saja berbicara saat melakukan promosi sama sekali tidak membuatnya patah semangat atau mengeluh.Ditolak, sering. Diabaikan apalagi. Namun ia tetap berusaha. Tak pantas rasanya mengeluh, saat kita masih melihat ada orang yang berada di pinggir jalan dalam keadaan fisik tidak sempurna, sedangkan kita masih kuat dengan keadaan tubuh sempurna untuk mencari rejeki.Berangkat pagi pulang petang demi mendapatkan upah lima puluh ribu per hari dari kantor. Jika panci ada yang laku terjual, maka ia akan mendapatkan bonus seratus ribu per panci yang laku. Untuk gaji bulanan masih sangat kecil. Hanya satu juta saja, maka dari itu ia harus berusaha agar panci yang ia jajakan ada yang membeli.Seperti siang ini. Belum ada sama sekali kumpulan ibu-ibu yang membeli pancinya. Setiap sudut gang tikus dan masuk ke jalan buntu sudah ia lak
Sungguh sial, Kamal tak bisa membuka ikatan simpul mati di kedua pahanya. Dengan susah payah dan penuh penderitaan, Kamal menggotong ibunya bak karung beras sambil melompat.BughBughBughSuara hentakan kaki Kamal yang menjejak tanah berumput di samping tembok rumah Alex, disertai bunyi benturan wajah Bu Rani pada punggung Kamal terdengar sangat nyaring. Lelaki itu semakin ketakutan, saat pintu rumah Alex yang sepertinya akan segera terbuka.Secepat kilat Kamal menaruh begitu saja ibunya yang pingsan menyamping, seperti posisi karung beras. Untunglah motor yang dipinjam Kamal adalah motor matic, sehingga ia tak perlu mengangkang untuk naik ke atas motor."Wey! Siapa itu?!"BreemBreemKamal menekan gas dengan kecepatan penuh. Sungguh ia merasa berdosa dengan tubuh sang ibu yang terombang-ambing di jok belakang. Hampir saja ia ketahuan oleh Alex jika tidak segera pergi dari sana.Setelah merasa cukup jauh dari rumah kakaknya, Kamal memutuskan untuk berhenti di sebuah masjid di dalam k
"Gimana sih kamu punya darah, Sayang? Bulan lalu darah rendah, bulan ini darah tinggi, bulan kemarin lagi, kurang darah. Gimana mau operasi kalau darah kamu galau gitu?" Alex masih duduk di kursi tunggu apotek rumah sakit. Di sampingnya ada Susan yang berwajah masam karena gagal lagi untuk operasi. Ia pun sebenarnya ingin sekali kutil tyrex ini segera dioperasi, namun apalah daya. Kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk melakukan operasi, walau hanya operasi kecil."Aku juga gak mau begini, Mas," sahutnya sambil menunduk. "Seandainya bisa aku sendiri yang cabut, pasti akan aku cabut, Mas," lanjut Susan lagi dengan suara bergetar menahan tangis."Sayang, itu kutil, bukan rumput. Gimana nyabutnya? Udah deh, nanti jadi penyakit yang lain!" Alex menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil melipat tangan di dada, sedangkan Susan masih saja cemberut.Tak lama kemudian, nomor antrean resep milik Susan muncul di layar khusus farmasi, Alex bangun dari duduknya, lalu berjalan untuk
Puluhan orang, bahkan ratusan orang berbaris rapi di sepanjang Gang Mawar, mereka diminta oleh Pak RT untuk mengambil uang takziah yang sudah terlanjur mereka berikan pada Bu Rani. Satu per satu berbaris antre mengambil uangnya kembali, dengan sarat jujur. Berapa yang mereka letakkan di baskom, itulah yang mereka minta kembali pada Bu Rani.Wajah wanita paruh baya itu masam, karena total uang takziah yang dikembalikan, lebih dari yang ia terima. Bahkan ia terpaksa mengambil beberapa lembar lagi uang merah dari amplop pemberian Alex, untuk dikembalikan pada warga. Kamal yang bertanggung jawab atas ini semua, memiliki tugas untuk menukar uang merah sebanyak lima ratus ribu, menjadi uang pecahan sepuluh ribu dan lima ribu.Jika sudah seperti ini, siapa yang mau disalahkan? Kamal yang terlalu cerdas, atau ibunya yang belum cerdas? Tenda yang telah dipasangkan pun kini sudah dibuka kembali, beberapa petugas malah meminta upah lelah karena telah memasang serta membongkar tenda dengan percum