"Toloong! Toloong!" teriak Kamal saat mendapati Ica tergeletak pingsan di atas pangkuannya. Kamal tak tahu harus berbuat apa dan bagaiamana, sehingga ia terus saja berteriak minta tolong.
"Pak, tolooong saudara saya, Pak," ujar Kamal ketakutan saat mendapati seorang lelaki setengah baya berseragam, yang menghentikan motornya di dekat Kamal berada saat ini.
"Ini kenapa Dek istrinya?"
"Ini kakak saya ,Pak. Katanya sakit perut, tiba-tiba pingsan." Entah dari mana keberanian Kamal, tetapi telapak tangannya terus saja mengusap pipi Ica sedikit kasar, agar wanita itu segera sadar.
"Ayo, kita bawa saja ke rumah sakit." Pria berseragam kepolisian itu memberhentikan sebuah mobil sedan yang tengah melintas. Ica dibawa ke rumah sakit bersama Kamal, sedangkan motor Ica, ia titipkan di sebuah warung makan. Entahlah, ia percaya saja, karena saat ini nyawa Ica dan bayinya lebih penting.
Sesampainya di ruang IGD rumah sakit, dokter yang tengah berjaga menanyakan kronologi kejadian yang dialami Ica. Kamal menceritakan, tetapi tidak semua. Tidak mungkin ia sampaikan bahwa Ica pingsan saat mendapati suaminya masuk ke dalam apartemen bersama seorang wanita.
"Mal," lirih Ica melihat Kamal yang berdiri mematung di dekatnya. Kamal menoleh, lalu memberikan senyum tipisnya pada Ica.
"Gue di mana?"
"Di rumah sakit."
"Kenapa dibawa ke sini? Gue gak papa kok," suara Ica bergetar menahan tangis.
"Heran sama wanita, selalu bilang baik-baik saja. Padahal mereka sedang tidak baik-baik saja. Dah, yang penting gue udah bawa ke tempat yang bener. Daripada gue tinggalin di jalan, hayoo?" ucapan Kamal begitu menyentil dirinya.
Dia memang sedang tidak baik-baik saja. Malah bisa dikatakan, saat ini adalah masalah terburuk dalam hidupnya. Perawat datang, lalu memberikan Ica infusan penambah darah yang aman untuk wanita hamil.
Tekanan darah Ica rendah juga badannya sedikit hangat, dan untuk memastikan kondisi bayi dalam kandungannya, brangkar Ica didorong masuk ke dalam ruang praktek Dokter Kandungan yang sedang ada jadwal hari ini.
Kamal membalikkan tubuh, saat perawat menaikkan baju kaus lebar yang dipakai Ica. Bukan mahram dan bisa berakibat fatal bagi dirinya nanti.
"Mas, sini lihat bayinya!" pinta dokter wanita itu pada Kamal yang masih membalikkan tubuh.
"Gak boleh, Dok. Saya bukan suaminya."
"Oh, maaf."
Dokter kembali fokus memeriksa Ica dan Kamal masih dalam posisi yang sama. Begitu terdengar suara Ica yang sudah dirapikan pakaiannya, Kamal baru berbalik menoleh pada Ica yang raut wajahnya muram.
"Kondisi kandungannya baik ya. Posisi bayi juga sudah ada di bawah, tapi yang saya heran, kenapa sudah ada pembukaan satu ya? Padahal Mbak baru masuk tujuh bulan dan ini kehamilan pertama. Jadi, saya harapkan Mbak bedrest selama sepekan ya. Minggu depan kontrol lagi ke sini."
"Baik, Dok," jawab Ica lemah.
"Ajak suaminya kalau bisa."
"I-iya."
"Mas, saudaranya ini tidak boleh cape dan turun dari ranjang ya. Semua harus dilakukan di tempat tidur."
"Hah? Pipis sama BAB juga di kasur, Dok?" tanya Kamal yang sedikit kebingungan.
"Pipi bisa pakai pispot, kalau BAB sebaiknya digendong ke kamar mandi."
"Siapa yang gendong?" tanya Kamal lagi dengan polosnya.
"Ya, suaminya Mas. Masa suami tetangga." Dokter tergelak mendengar pertanyaan Kamal. Ica pun ikut mengulum senyum, lalu kembali diam dengan berjuta rasa sakit di hatinya.
Kamal sudah mengantar kembali Ica sampai di rumah dengan naik taksi online. Sedangkan Kamal, kembali ke warung-tempat ia menitipkan motor milik Ica. Bu Rani sempat kaget dengan keadaan Ica yang begitu lemah, bahkan harus dipapah Kamal masuk ke dalam kamar. Bukannya tadi Ica pamit kuliah, kenapa sudah kembali? Walau Kamal tadi sempat mengatakan bahwa Ica pingsan sebelum sampai kampus, tetapi anaknya itu tidak bilang karena apa.
Bu Rani membawakan bubur kacang hijau dan segelas teh hangat untuk untuk Ica. Ia duduk di samping ia yang berbaring memunggunginya sambil menangis.
"Neng, ada apa? Pulang-pulang kok sedih?"
"Gak papa, Bu," jawab Ica sambil berbalik menatap Bu Rani yang mengulas senyum keibuan. Ah, sungguh ia merindukan sang mama. Ia tidak cukup berani bertandang ke rumah orang tuanya, karena memang pernikahannya ini ditentang. Ia juga sudah berjanji, tidak akan menceritakan apa pun kesulitan yang ia alami dalam berumah tangga bersama Alex, kepada orang tuanya.
"Ya sudah kalau tidak mau cerita, tapi tadi kata Kamal, kamu pingsan di jalan, terus disuruh bedrest. Benar begitu?" Ica mengangguk, lalu meraih mangkuk bubur kacang hijau yang ada di tangan Bu Rani.
"Ibu, terima kasih ya."
"Ya sudah, Ibu kembali ke dapur ya." Lagi-lagi Ica tak bersuara, ia hanya mengangguk pelan.
Ica memandang mangkuk bubur dengan mata berkabut. Makanan ini harus ia makan sampai habis. Kasihan bayinya jika sampai kekurangan gizi karena punya ibu yang selalu bersedih dan tak berselera makan di saat seperti ini. Suaminya selingkuh? Di saat dia hamil besar seperti ini. Ica tergelak dengan air mata yang masih terus merembes di pipinya.
"Bertahanlah, Sayang. Ada Bunda bersama kamu, ada nenek Rani, dan Om Kamal yang bersama kita," gumamnya sambil mengusap perutnya yang membuncit.
Mangkuk ia letakkan sebentar di atas meja kecil yang berada di samping ranjang besarnya. Kemudian, ia mengeluarkan ponsel yang ada di dalam tas. Ia geser layar ponsel, maksud hati ingin mengecek apakah ada pesan masuk dari suaminya. Namun sungguh sayang, tak ada pesan dari siapa pun.
Ica berinisiatif memencet nomor suaminya dengan dada berdebar, karena panggilannya tersambung. Padahal sepekan ini, hanya operatorlah yang menjawab panggilannya. Beberapa kali mencoba tak juga diangkat, Ica tak putus semangat. Ia mencoba hingga mangkuk bubur yang tadi hangat, berubah menjadi dingin.
Bahunya bergetar, isakannya semakin dalam, saat sang pemilik nomor tak juga menganggkat panggilannyannya. Ica mencoba untuk yang terakhir kali.
Hallo, apa sih, orang lagi sibuk diteleponin?! Nanti saja! Ribet amat jadi istri!
Tut
TutMulutnya masih lagi terbuka hendak memanggil nama suaminya, tetapi sebuah kalimat bentakan yang ia dapat membuat nafasnya kini begitu sesak. Air mata yang tadi saja belum kering, kini sudah menganak sungai kembali
Kamu sibuk apa, Pa? Sibuk selingkuh?
****
"Ya ampun, Ca. Suami pulang bukannya disambut senyuman. Malah tiduran di sini. Ada-ada saja kamu!" Alex melemparkan jaket dan juga tasnya ke atas ranjang, tepat di samping Ica yang sedang berbaring lemas."Maaf, Mas. Tapi aku di sini juga karena kamu," balas Ica dengan suara lemah."Sama siapa kamu di apartemen?" tanya Ica dengan suara pelan. Ia tak ingin mertua dan iparnya mendengar pertengkarannya."Bosku.""Jangan bohong, Mas. Aku tahu kamu selingkuh," balas Ica tak mau kalah. Alex mencibir dan menatap istrinya begitu tak suka dan menjijikkan."Trus, kalau aku selingkuh kamu mau apa? Huh? Mau apa?!""Aw ... sakit, Mas," rintih Ica saat Alex dengan sengaja menarik paksa salah satu jari kaki Ica hingga mengeluarkan bunyi 'krek'"Aku gak suka wanita manja gak jelas seperti kamu! Tahu itu?" Alex membuka baju dan juga celananya. Gagal mamadu kasih dengan pacarnya kemarin, yang tiba-tiba saja datang bulan, membuat miliknya harus benar-benar menahan sakit di bawah sana. Untuk itulah ia pu
Bau obat-obatan dan disinfektan sungguh menyengat. Ica membuka pelan matanya dan merasa sangat silau dengan cahaya lampu yang terlalu terang. Tangannya yang tertancap jarum infus naik perlahan mengusap kening yang terasa berat."Alhamdulillah, lu udah sadar," suara lelaki di di sampingnya terdengar lega. Ica menoleh dan mendapati adik iparnya tengah duduk di kursi samping brangkarnya."Aku di mana, Mal?" tanya Ica lirih."Di rumah sakit," jawab Kamal singkat. Jantungnya lebih cepat berdetak dari biasanya. Entahlah, seakan dirinya yang kini harus bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami Ica. Padahal ada suami yang masih sehat dan banyak uang. Hanya saja memang tampak tidak mempunyai otak dalam memperlakukan istrinya."Mal, di mana Mas Alex?" Ica masih belum sadar, jika saat ini perutnya sudah rata."Mmm ... pergi beli obat," jawab Kamal berbohong. Kakak satu ayahnya itu tadi mengatakan ada meeting yang tak bisa ditinggal."Memangnya di apotik rumah sakit tidak ada?" tanya wanita i
"Ca, lu belum makan. Nanti malah sakit. Makan dulu ya. Dua puluh suap juga gak papa," ujar Kamal berusaha menghibur kakak iparnya yang masih saja memejamkan mata, tetapi tidak tidur."Ca, kuping lu dengarkan?" tanya Kamal lagi. Namun Ica bergeming. Wanita itu enggan membuka matanya. Walau napasnya masih teratur, tetapi bola mata di dalam sana nampak bergerak gelisah. Kamal tahu, Ica tidak tidur, hanya melamun, atau menyesali diri.Satu hari sudah Ica berada di rumah sakit. Ruangannya sudah dipindah, karena ia tidak memiliki bayi. Kemarin, pasien yang di rawat di sebelahnya baru saja melahirkan bayi kembar. Suara tangisan bayi membuat Ica semakin frustasi dan minta pindah kamar.Alex belum juga datang. Kamal sampai lelah menghubungi kakaknya. Namun, operatorlah yang menjawab panggilannya."Ca, lu kalau gak mau makan, gue tinggal nih!" ancam Kamal dengan suara terdengar serius. Wanita itu membuka mata, lalu menoleh pada Kamal dengan pandangan sayu."Pergi aja, Mal. Gue gak papa. Emang u
Malam itu juga, Alex membawa Susan ke rumah sakit untuk melakukan operasi pengangkatan kutil sebesar telur ayam negeri. Lelaki itu begitu jengah dengan tampilan daging melambai di paha istri keduanya. Sehingga ia memutuskan untuk segera mengoperasinya.Pantas saja Susan tidak pernah mengenakan celana jeans. Wanita itu selalu memakai rok tutu yang kembang, untuk menutupi benjolan di pahanya."Mas marah ya?" tanya Susan takut-takut. Wanita itu tak berani menatap wajah suaminya yang nampak garang."Harusnya hal seperti ini jangan ditutupi. Sebelum menikah jadi bisa dioperasi terlebih dahulu. Gak repot kayak sekarang," jawab Alex dengan suara datar.Lelaki itu harus melemparkan jauh hasrat yang sudah naik ke ubun-ubun, saat melihat kutil istri mudanya. Bayangkan betapa kecewa dan kagetnya ia. Namun, ini bagian dari konsekuensi. Dia sudah terlanjur mencintai Susan. Lalu bagaimana dengan Annisa? Alex meremas rambutnya kasar. Ia benar-benar bingung."Maaf, Mas." Hanya itu yang dapat dikataka
Pagi hari, di luar cuaca kembali gerimis. Padahal hari ini, Kamal ada panggilan interview di sebuah kantor ekspedisi yang cukup ternama. Acara wawancara memang jam sembilan, tetapi ia tak mungkin terlambatkan? Jika ingin naik taksi online, sangat sayang dengan uangnya. Jika naik ojek online maka dia kebasahan. Mau naik naik sepeda juga pasti kebasahan. Terus sekarang bagaimana?Kamal menoleh pada pintu kamar kakak iparnya yang masih saja tertutup. Padahal sudah pukul enam tiga puluh pagi, harusnya wanita itu sudah bangun dan sedang menonton upin dan ipin di ruang tengah."Sarapan dulu sebelum berangkat, Mal," ucap Bu Rani membuyarkan lamunan Kamal. Lelaki itu tersenyum, lalu mengekori ibunya berjalan ke ruang makan."Bu, Ica belum keluar kamar juga?" tanya Kamal sambil menyendokkan nasi ke dalam piringnya."Masih santai-santai kali. Namanya juga baru sembuh," sahut Bu Rani yang ikut menarik kursi makan persis di depan Kamal."Kamal takut Teh Ica khilaf Bu.""Maksudnya?" kening Bu Rani
Plak!"Alex, hentikan! Istrimu baru kehilangan bayinya, tetapi sudah Kau kasari lagi. Suami macam apa Kau?!" Kemarahan Bu Rani memuncak, saat melihat Ica kembali ditampar di ruang makan. Di depan mata kepalanya sendiri.Alex begitu kasar. Sangat mirip dengan almarhum suaminya. Persis, tak ada bedanya sama sekali. Untuk itu, ia tak sanggup lama untuk menjadi istri kedua;papa Alex.Braak!"Ya Allah, Ibu. Teh Ica!" Kamal datang tepat waktu. Mata lelaki itu terbelalak, saat mendapati Ica tengah duduk di lantai dengan pipi sangat merah."Ada apa ini, Mas?" Kamal memandang Alex dengan tak suka."Bukan urusanmu dan ibumu! Cepat kalian angkat kaki dari sini!" Alex menekan suaranya."Jangan, Mas. Kalau gak ada ibu dan Kamal, saya sepi," ujar Ica dengan derai air mata. Tangannya memegang kuat celana panjang yang tengah dikenakan suaminya. Wanita itu memohon dengan iba, belas kasihan suaminya."Oh, jadi kamu mau ikut mereka? Hm? Pergi sana, kalau kamu mau pergi! Tapi ingat, kamu takkan pernah me
Ica telah sadar dari pingsannya. Namun, ia memilih tetap menutup mata. Rasa sakit jahitan bekas cesar yang kembali menganga, membuatnya tak cukup bertenaga untuk mengeluarkan kata-kata. Kesedihan jelas terlihat di raut wajah putih pucat miliknya. Kamal dan Bu Rani hanya bisa memandang Ica dengan iba. Ruang perawatan kelas tiga, terpaksa mereka berikan pada Ica. Itu pun dari hasil menjual kalung peninggalan suami Bu Rani, yang merupakan ayah Alex juga."Ca, makan ya, Nak?" ujar Bu Rani sangat pelan. Suaranya pun bergetar menahan sedih. Tak ada sahutan yang keluar dari bibir kakak iparnya Kamal itu. Membuka matanya pun enggan.Bu Rani meletakkan piring kembali di atas meja samping brangkar. Ia berdiri dari duduknya, lalu menarik tangan Kamal untuk keluar dari sana."Ada apa, Bu?" tanya Kamal keheranan."Kamu pulang ke rumah Alex. Cari ponsel Ica dan juga bawa beberapa helai bajunya. Sekalian baju kita juga. Kita udah diusir Alex. Jangan sampai, lelaki itu kembali ke rumah dan mengambil
Kamal berjalan masuk ke lorong perawatan Ica. Dari kejauhan, ia melihat ibunya sedang termenung melihat pemandangan di luar gedung rumah sakit. Semakin lebar langkahnya mendekat pada wanita paruh baya itu."Bu, kok di luar?" tanya Kamal heran. Kepalanya sedikit menyembul dari balik pintu ruang perawatan yang tidak tertutup rapat."Ada orang tua Ica," jawab Bu Rani setengah berbisik. Punggung tangan yang mulai keriput itu menarik Kamal sedikit menjauh dari kamar."Ada apa, Bu?" tanya Kamal semakin terheran."Nanya mulu! Nih, dengerin. Kita harus jujur sama keluarga Ica, soal Alex yang menyiksanya lahir dan batin," ujar Bu Rani semangat."Setuju!" jawab Kamal mantap."Kita gak boleh takut sama Alex karena memang perbuatan Alex itu tak bisa ditolerir sama sekali.""Setuju!" jawab Kamal lagi."Guru bahasa indonesia lu waktu SD siapa sih, Mal? Kosa kata lu irit amat. Setuju-setuju terus dari tadi," omel Bu Rani dengan bibir mencebik.Kamal hanya bisa menggaruk rambutnya yang tak gatal. Sem
"Ica, kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Bu Miranti saat anak perempuannya yang sudah berada di meja makan, pukul setengah tujuh pagi, dan masih memakai kaus santai. Bu Miranti semakin keheranan, saat mendapati koper berukuran sedang, tergeletak manis di samping anaknya. "Ca, Mama tanya, mau ke mana? Mau keluar kota? Ke mana?" cecar Bu Miranti tak sabar. Wanita paruh baya itu menarik kursi makan, persis di samping Ica."Annisa!" "Eh, iya Mama Sayang. Ica mau ke Amerika," jawabnya santai sambil terus mengunyah mi goreng buatan bibik. Mata Bu Miranti membulat sempurna."Amerika? Mau ngapain? Kerja? Kok dadakan?" cecar Bu Miranti dengan sangat kaget. Amerika? Dia saja belum pernah ke sana. "Mau cari jodoh, Ma. Boleh'kan?" senyum Ica melebar. Bu Miranti tak mampu menjawab jika itu alasannya, karena dia sendiri memang menginginkan anak perempuannya segera menikah."Memangnya Made in Indonesia sudah tidak ada?" Ica tergelak mendengar pertanyaan dari mamanya. Wanita itu menggeleng kuat, lal
Selamat membaca.Kamal tidak tahu harus bicara apa pada Ali;kakak dari Ica. Lelaki itu terus saja bercerita tentang kisah adiknya, yang selama beberapa tahun ini gonta-ganti dijodohkan dengan lelaki pilihan mama dan papanya, tetapi tak kunjung ada yang cocok.Berkali-kali wanita itu mencoba, tetapi tak juga menemuka pria yang bisa membuatnya berdebar sekaligus tertawa. Rata-rata, lelaki yang dijodohkan dengannya karena memandang status kedokteran yang dimiliki sang papa dan juga gelar hukum yang dimiliki Ica. Tak pernah ada lelaki yang benar-benar menerima Ica apa adanya, sejak ia menyandang status janda.Ada yang orang tuanya tidak setuju. Ada yang lelakinya yang gak asik. Ada juga lelaki yang matre, dan masih banyak tipe lelaki lainnya yang tak berhasil mendekati Ica. Betapa pun orang tua mengusahakannya, tetapi tetap saja Ica menjomblo di usia 26 enam menjelang dua puluh tujuh tahun.Kamal merasa sedih mendengar nasib yang dialami oleh Ica. Bagaimanapun sebenarnya wanita itu adalah
4 Tahun Kemudian.Los Angeles adalah kota terpadat di negara bagian California, dan kota kedua terpadat di Amerika Serikat setelah New York City, dan terletak di Calofornia selatan. Kota ini merupakan titik utama wilayah statistik metropolitan Los Angeles-Long Beach-Santa Ana, dan wilayah Los Angeles raya.Dijuluki City of Angels, Los Angeles adalah pusat dunia bisnis, perdagangan internasional, hiburan, budaya, media, mode, ilmu pengetahuan, olah raga, teknonologi dan pendidikan terdepan.Silicon Valley merupakan kawasan yang dipenuhi kantor perusahaan yang bergerak di bidang internet, digital, dan sejenisnya. Artherton terbilang sangat dekat dari kantor pusat Facebook.Jangan heran kalau kawasan Artherton menjadi wilayah favorit para petinggi Apple, Yahoo, Google, Hewlett-Packard, dan lainnya. Mereka tak perlu berkendara jauh untuk mencapai kantor. Untuk itulah Artherton menjadi kawasan dengan kode pos termahal di Amerika Serikat.Satu hal yang paling mengejutkan seorang Kamal di aw
Kamal, Bu Rani, dan Om Herman sudah berada di dalam mal. Mereka tengah memilih cincin cantik untuk diberikan pada Ica sore ini. Banyak pilihan cantik-cantik hingga membingungkan Kamal dan ibunya. Om Herman sampai menggeleng-gelengkan kepala memperhatikan Kamal dan ibunya yang kebingungan memilih aneka cincin."Semua bagus, Yang," puji Bu Rani menatap takjub etalase berisi emas."Pilih cincin juga buat Ibu," ucap Om Herman lagi sambil merangkul pundak calon istrinya. Kamal hanya bisa memutar bola mata malasnya melihat kedekatan sang ibu dengan lelaki tua yang bernama Herman. Canda-tawa dari sepasang calon pengantin uzur membuat dirinya jengah. Kamal memilih menjauh, sambil melihat-lihat etalase yang lain."Om, kalau melamar itu harus bawa cincin emangnya?" tanya Kamal pada Om Herman. Semua yang ada di sana termasuk tiga orang pelayan toko ikut menertawakan pertanyaan Kamal."Iya, Mal. Namanya juga melamar wanita, ya kudu bawa cincin. Masa bawa kentut doang," sahut Om Herman sambil terg
Kamal sadar dari pingsan, setelah dioleskan minyak kayu putih di hidungnya oleh Bu Rani. Beberapa kali mengerjapkan mata, mencoba untuk memulihkan kesadaran sepenuhnya. Samar Kamal melihat wajah khawatir sang ibu dan seorang pria yang baru saja mengatakan hal yang paling mengerikan dalam hidupnya. Dia saja belum ada yang mau. Padahal gagah, tampan, soleh, dan baik. Namun, kenapa yang lebih dahulu laris adalah para lelaki dan wanita berbau tanah?Sekali lagi Kamal menoleh pada ibu dan adik almarhum ayahnya. Lalu dengan sedikit merasakan nyeri di kepalanya, Kamal mencoba duduk. "Bu, anaknya pingsan jangan cuma dilihatin aja. Bagi minum, Bu," rengek Kamal dengan leher yang terasa begitu kering."Eh, iya. Gue ampe lupa, Mal. Habisnya, itu gue daritadi merhatiin hidung lu, agak kotor, Mal. Dibersihinlah!" ujar Bu Rani sambil berjalan menuju dapur. Kamal hanya bisa menyeringai sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sesaat kemudian, ia menoleh pada lelaki yang bernama Herman. Lalu deng
Kamal mengendarai motornya pelan masuk ke gang demi gang untuk menjajakan produk panci milik CV tempat ia bekerja saat ini. Penat, lelah, dan pegal pipi karena terus saja berbicara saat melakukan promosi sama sekali tidak membuatnya patah semangat atau mengeluh.Ditolak, sering. Diabaikan apalagi. Namun ia tetap berusaha. Tak pantas rasanya mengeluh, saat kita masih melihat ada orang yang berada di pinggir jalan dalam keadaan fisik tidak sempurna, sedangkan kita masih kuat dengan keadaan tubuh sempurna untuk mencari rejeki.Berangkat pagi pulang petang demi mendapatkan upah lima puluh ribu per hari dari kantor. Jika panci ada yang laku terjual, maka ia akan mendapatkan bonus seratus ribu per panci yang laku. Untuk gaji bulanan masih sangat kecil. Hanya satu juta saja, maka dari itu ia harus berusaha agar panci yang ia jajakan ada yang membeli.Seperti siang ini. Belum ada sama sekali kumpulan ibu-ibu yang membeli pancinya. Setiap sudut gang tikus dan masuk ke jalan buntu sudah ia lak
Sungguh sial, Kamal tak bisa membuka ikatan simpul mati di kedua pahanya. Dengan susah payah dan penuh penderitaan, Kamal menggotong ibunya bak karung beras sambil melompat.BughBughBughSuara hentakan kaki Kamal yang menjejak tanah berumput di samping tembok rumah Alex, disertai bunyi benturan wajah Bu Rani pada punggung Kamal terdengar sangat nyaring. Lelaki itu semakin ketakutan, saat pintu rumah Alex yang sepertinya akan segera terbuka.Secepat kilat Kamal menaruh begitu saja ibunya yang pingsan menyamping, seperti posisi karung beras. Untunglah motor yang dipinjam Kamal adalah motor matic, sehingga ia tak perlu mengangkang untuk naik ke atas motor."Wey! Siapa itu?!"BreemBreemKamal menekan gas dengan kecepatan penuh. Sungguh ia merasa berdosa dengan tubuh sang ibu yang terombang-ambing di jok belakang. Hampir saja ia ketahuan oleh Alex jika tidak segera pergi dari sana.Setelah merasa cukup jauh dari rumah kakaknya, Kamal memutuskan untuk berhenti di sebuah masjid di dalam k
"Gimana sih kamu punya darah, Sayang? Bulan lalu darah rendah, bulan ini darah tinggi, bulan kemarin lagi, kurang darah. Gimana mau operasi kalau darah kamu galau gitu?" Alex masih duduk di kursi tunggu apotek rumah sakit. Di sampingnya ada Susan yang berwajah masam karena gagal lagi untuk operasi. Ia pun sebenarnya ingin sekali kutil tyrex ini segera dioperasi, namun apalah daya. Kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk melakukan operasi, walau hanya operasi kecil."Aku juga gak mau begini, Mas," sahutnya sambil menunduk. "Seandainya bisa aku sendiri yang cabut, pasti akan aku cabut, Mas," lanjut Susan lagi dengan suara bergetar menahan tangis."Sayang, itu kutil, bukan rumput. Gimana nyabutnya? Udah deh, nanti jadi penyakit yang lain!" Alex menyandarkan punggungnya di sandaran kursi sambil melipat tangan di dada, sedangkan Susan masih saja cemberut.Tak lama kemudian, nomor antrean resep milik Susan muncul di layar khusus farmasi, Alex bangun dari duduknya, lalu berjalan untuk
Puluhan orang, bahkan ratusan orang berbaris rapi di sepanjang Gang Mawar, mereka diminta oleh Pak RT untuk mengambil uang takziah yang sudah terlanjur mereka berikan pada Bu Rani. Satu per satu berbaris antre mengambil uangnya kembali, dengan sarat jujur. Berapa yang mereka letakkan di baskom, itulah yang mereka minta kembali pada Bu Rani.Wajah wanita paruh baya itu masam, karena total uang takziah yang dikembalikan, lebih dari yang ia terima. Bahkan ia terpaksa mengambil beberapa lembar lagi uang merah dari amplop pemberian Alex, untuk dikembalikan pada warga. Kamal yang bertanggung jawab atas ini semua, memiliki tugas untuk menukar uang merah sebanyak lima ratus ribu, menjadi uang pecahan sepuluh ribu dan lima ribu.Jika sudah seperti ini, siapa yang mau disalahkan? Kamal yang terlalu cerdas, atau ibunya yang belum cerdas? Tenda yang telah dipasangkan pun kini sudah dibuka kembali, beberapa petugas malah meminta upah lelah karena telah memasang serta membongkar tenda dengan percum