Share

Setumpuk uang

Ivi hanya terdiam. Ia memasukkan laptopnya ke dalam tas. Senyuman terukir dari wajahnya. "Nih." Ivi menggenggam flashdisk dan buku-ku. Ia mengembalikannya. "Selesaikan kuliahmu dengan baik. Tinggal kau berikan pada dosen pembimbing."

"Hah?" Aku mengambil flashdisk dalam genggamannya. "Apa yang kau maksud? Kau menyelesaikan tugas skripsiku?"

"Tidak juga ... aku hanya membereskannya sedikit sesuai yang ada pada buku-mu itu." Ivi menarik tanganku. "Ayo ... bukankah kau mahu bertemu dengan Bayu temanmu? Akan kuantar."

Aku terdiam. Masih dengan tatapan tak percaya menatap Ivi.

****

Kurasa Ivi hari ini sangat antusias sekali. Sangat aneh. Ivi tidak seperti biasanya. Sepanjang jalan aku hanya terdiam memikirkannya.

"Lampu merah ini, kan?" tanya Ivi. "Heh!"

"Hah?" Ia membangunkan lamunanku.

"Kau memikirkan apa?" tanya Ivi. Ia sudah memarkirkan mobilnya.

"Tunggu ...." Aku menahan Ivi yang sedang melepas sabuk pengamannya. "Apa ada sesuatu yang buruk terjadi di hidupmu, Ivi?" tanyaku. Menatap matanya dengan dalam. "Kurasa hari ini kau berbeda. Apa yang terjadi? Apa seseorang telah mengancam hidupmu?" tanyaku, khawatir.

Ivi tersenyum. "Sama sekali tidak, Sukma. Perasaanku hanya ingin menghabiskan waktu lebih banyak denganmu." Lagi-lagi Ivi meyakinkan. "Anggap saja healing. Mungkin selama ini aku tak memikirkan kebahagiaanku sendiri. Aku terlalu obsesi akan pencapaianku. Apa salahnya?"

Aku mengangguk percaya. "Baiklah ... aku selalu berharap kebahagiaanmu. Jika itu mahu-mu. Ikuti aku kemana pun itu. Berjalanlah dengan bebas."

Aku keluar dari mobil bersama Ivi. Menyebrang menuju band—anak jalanan itu. Bayu menatap ke arahku. Ia melambai. "Sukma," panggilnya.

"Hai," sapaku.

"Kau akan melanjutkannya? Atau kau akan mengambil upahmu?" tanya Bayu.

"Sepertinya sudah larut malam ... aku akan mengambil upahku saja. Kalau aku besok ke sini lagi ... kau memperbolehkannya tidak?" tanyaku.

"Mana mungkin aku menolaknya ... hari tadi tak seperti biasanya. Orang-orang ramai, apalagi ketika kau bernyanyi." Bayu menatap ke arah Ivi. "Siapa dia? Apa dia akan ikut bernyanyi juga?"

"Oh tidak dia—" (ucapku dipotong Ivi).

"Bagaimana jika kunyanyikan beberapa lagu?" kata Ivi, menawarkan.

Kucubit sedikit pinggangnya. "Tidak ... bagaimana jika Ibumu tahu?" bisikku.

"Apa salahnya?" Tatapan Ivi beralih menatap Bayu. "Bagaimana? Kau tak perlu membayarku. Aku akan sukarela menyumbangkan suaraku. Tak perlu khawatir, aku pernah memenangkan kontes bernyanyi beberapa bulan yang lalu. Bagaimana?" kekeh Ivi.

Bayu mengangguk. "Aku tak mempermasalahkan itu ... aku hanya merasa tidak enak."

"Tapi kau memperbolehkannya, kan?"

"Tidak ... maaf Bayu, tapi kurasa hari ini kita harus pulang. Ku-usahakan esok aku akan kembali ke sini."

"Tidak Bayu ... ayo! Kita mulai sekarang," sergah Ivi. "Jika kau ingin pulang ... pulanglah."

Bayu menatapku. Kuberikan kode padanya untuk tak menerima Ivi.

"Maaf ... kurasa kini sudah larut malam, Ivi."

"Bagaimana jika kubeli semuanya? Aku akan mengadakan kontes seorang diri sekarang." Ivi mendelik ke arahku. "Jika kalian tak ingin menemaniku ... pulanglah. Akan kunikmati kesendirianku ini."

****

Tak ada cara lain. Akhirnya kutemani Ivi dalam bernyanyi. Ya ... malam itu lagi-lagi ramai. Orang-orang yang berkendara pun, banyak dari mereka menoleh ke arah kami.

Orang-orang berdatangan memberikan tip pada kotak kardus yang telah kami sediakan.

Ivi terlihat begitu ceria. Tak biasanya aku melihat Ia sebahagia itu. Beberapa lagu telah kami bawakan. Hingga hari semakin larut. Waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam.

"Ivi ... hari sudah semakin malam. Kita sudahi. Mari kita pulang."

Ivi mengangguk seraya tersenyum. "Terimakasih Sukma. Aku akan mengantarmu pulang."

Bayu menoleh ke arahku. Ia tahu bahwa aku dan Ivi akan pulang. "Tunggu ...." Ia mengeluarkan beberapa uang pecahan dalam dompetnya. "Sudah kuhitung dengan teliti ... ditambah malam ini. Kuberikan bonus juga untukmu, Sukma." Uang itu Bayu berikan padaku.

"Dan Ivi ... kutahu bahwa uang ini tidak seberapa. Tapi, terimalah ... agar aku merasa damai dan tak merasa berhutang."

Terlihat seperti anak nakal. Ia bertatto juga berpakaian sangat maruk. Tetapi Bayu tak seburuk itu.

"Tidak usah ... aku hanya ingin bersenang-senang. Lagi pula, aku merasa senang mereka mendengarkan aku bernyanyi."

"Ah tidak ... terima saja. Sesudah kau terima, terserah akan kau apakan." Bayu memberikan uang itu dengan paksa. "Pulanglah ... tak baik wanita pulang malam." Ia memberikan sepotong kertas dalam sakunya. "Hubungi aku jika sesuatu yang buruk terjadi. Pulanglah ...."

****

Mobil Ivi terparkir depan gang rumahku.

"Kurasa lebih baik kau menginap saja di rumahku,"ucapku.

"Kenapa? Kau pikir aku tak berani pulang sendiri?"

"Bukan begitu ... kau pemberani, kau hebat. Hanya saja, hari ini aku merasa begitu khawatir padamu."

"Bukankah selama ini aku selalu sendirian? Lebih baik seorang diri daripada dicampakkan oleh kekasih."

"Mulai ...." Aku tertawa. Teringat masa lalunya yang kelam. "Jangan salah memilih orang lagi."

"Tidak ... kupastikan kemarin adalah hal terakhir. Aku akan mencari kebahagiaanku."

"Baguslah. Cari secepatnya. Sendirian itu menyakitkan."

"Kau! ... carilah pasangan. Kau hanya memikirkan orang lain saja. Hidupmu kan juga perlu kebahagiaan dan perhatian." Ivi memberikan satu amplop cokelat padaku. Saat itu sedikit tak terlihat karena gelap.

"Ini apa?"

"Terima saja ...."

Aku langsung menyadarinya. "Tidak." Aku sangat terkejut. Setumpuk uang. Ya ... Ivi memberikan itu.

"Sungguh! Aku tak akan pernah menganggapmu teman lagi. Terimalah, kumohon. Aku tak bisa membantumu banyak. Tapi kumohon, aku takut kalau aku tidak bisa bersamamu lagi."

Aku menepuk tangannya. "Memangnya kau akan ke mana? Bukankah kalau kau ada di sana aku pun ada di sana? Kalau kau ada di sini, aku pun ada di sini? Kita seperti kembar siam yang selalu bersama walau jiwa raga kita berbeda."

Raut wajah Ivi cemberut, membuat hatiku juga ter-iris. "We never know ... bagaimana kalau esok atau seterusnya aku tak bertemu denganmu lagi?" ucap Ivi.

"Lagi pula, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi."

"Tapi kau hanya akan bisa berusaha semampumu. Bagaimana jika semesta memang menakdirkan kita tak lama lagi, Sukma? Maka dari itu, izinkan aku memberikan jejak-ku di hidupmu."

Pikiranku berkelahi. 'Ada apa dengan Ivi?'.

"Sudah ... pulanglah. Ibumu menunggumu. Istirahatkan tubuhmu. Uang itu akan meringankan bebanmu 2 bulan kedepan." Ivi menatapku dalam. Ia tiba-tiba saja memelukku.

Kubalas dengan pelukan hangat. "Kau hanya lelah dengan hidupmu kan, Ivi? Sesuatu yang buruk tak akan terjadi kan? Kurasa aku ingin lebih lama denganmu." Perasaanku tak karuan.

Terdengar dehaman Ivi tersenyum. Pelukannya semakin erat. "Ayolah ... ini hanya suasana hatiku saja. Aku merasa lelah dengan semuanya. Aku hanya teringat perjuanganku untuk hidup. Kemoterapi, kontrol setiap bulannya, aku terlalu fokus mengejar karir. Dan ... aku rasa aku menyesali semuanya. Aku tak membiarkan hidupku sedikit lebih bebas."

Kupegang kedua pundaknya seraya menguatkan. "Maka dari itu ... kau harus berjanji." Kutatap kedua matanya. "Kau harus hidup lebih lama. Kau harus menikmati semuanya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status