Ambar ingin bercerai dengan suaminya. Ia pikir dengan berpisah ia akan bebas dan kembali berbahagia. Ia juga ingin mempermudah keinginan suaminya untuk bisa kembali bersama wanita idamannya. Namun entah kenapa kata-kata cerainya ditolak mentah-mentah oleh Sandy sang suami. Keesokan harinya ia hampir mengalami percobaan pembunuhan. Pelakunya mengatakan kalau suaminyalah dalang semuanya. Setega itukah suaminya? Ia juga difitnah. Seseorang menyebarkan foto dirinya tidur bersama dengan pria dan kemudian viral di dunia maya. Belum cukup sampai di situ suatu kejutan muncul ketika ia akan membalas dendam pada suaminya. Akankah Ambar bisa membalas dendam dan membersihkan namanya? Apakah benar suaminya adalah pelaku semuanya? cover by bookcover
View MoreAda banayak harapan di mata Kemuning saat Ambar ada dalam pelukannya. "Ambar, aku lihat rumah tanggamu dengan Sandy tidak berlangsung baik-baik saja. Yang menculikmu dulu itu memang bukan suamimu, tapi aku tahu ada yang menginginkan dirimu celaka. Aku tak tahu yang terbaik untukmu. Aku ingin tahu apa yang akan kamu rencanakan? Apa kau serius ingin bercerai dengan Sandy?" tanya Kemuning tatkala mereka saling melepaskan diri dan kembali duduk. "Aku ingin bercerai dengan Sandy dan memulai hidupku sendiri, ibu," jawab Ambar singkat. Sungguh ia merasa enggan menceritakan masalah rumah tangganya pada ibunya yang baru saja dekat dengannya. "Aku tak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tanggamu. Menikah dengan orang kaya ternyata juga tak menjamin semuanya. Aku hanya ingin menawarkan padamu sebuah pekerjaan. Kalau kau bersedia, kau bisa bekerja di perusahaan kosmetik MaryGold. Kebetulan aku punya teman di sana," tawar Kemuning berharap Ambar akan bisa segera move -on dari masalah ru
"Jangan menyebut Rosemala lagi. Mari kita fokus dengan pernikahan kita. Hentikanlah permainan ini. Mari kita bersikap lebih dewasa," seru Sandy berbisik di telinga Ambar. Ambar sedikit merinding. Sandy dengan cepat mengambil kesempatan untuk segera menciumnya. Buru-buru ia menjauhkan tubuhnya dari Sandy. "Tidak lagi Sandy," sentak Ambar waspada. tak boleh ia terpedaya lagi oleh bujuk rayu pria itu. Bayangan betapa mesranya Sandy saat memberikan kalung berlian itu pada Rosemala membuat hatinya perih. "Mengapa?" tanya Sandy kembali mendekat. Kali ini ia berhasil memagut leher jenjang Ambar. Ambar langsung tersengat. Sentuhan Sandy sulit untuk ditolak. "Please Sandy," rintih Ambar memberontak dalam pelukan Sandy yang kian erat. Otaknya mulai berkabut ketika Sandy kembali memciumnya dengan penuh sinar gairah. Tidak ketika ia sudah membulatkan tekad untuk berpisah. Ia harus segera pindah kalau tidak maka selamanya ia akan terjebak dalam hubungan menyakitkan tanpa akhir."Awc!" pekik Sa
"Sudah berapa tahun berlalu, sejak terakhir kali Kemuning datang untuk mengambilmu," seru Nenek dengan tatapan menerawang. Ambar tak bisa berkata-kata. Nama ibunya selalu membuatnya sesak. Ada keinginan untuk dekat dengannya, ada juga keinginan untuk membencinya. "Nenek sudah tua. Kamu juga jauh lebih dewasa sekarang. Saatnya menyerahkan semua keputusan padamu Mbar. Maafkan nenek, selama ini yang terlalu mengekangmu dan banyak memberimu larangan," ucap neneknya dengan tangan membelai lembut rambut Ambar. "Nenek jangan berkata begitu," tukas Ambar seraya memeluk neneknya dengan haru. "Temui ibumu. Perbaiki hubungan kalian," ucap nenek tersenyum. Ambar mengangguk dengan penuh kelegaan. Kini tidak ada lagi yag membuatnya ragu untuk bertemu dengan ibunya. Ia akan menghadapi ibunya apapun yang terjadi.Terakhir kali ia bertemu ibunya, tatkala pemakamam ayahnya. Ayahnynya meninggal saat Ambar berusia 10 tahun. Ayahnya ditemukan mati karena minum minuman keras oplosan. Dari dulu ayahnya
Malam itu Ambar menunggui Sandy menginap di klinik. Sandy ingin malam ini hubungannya dengan Ambar bisa mengalami kemajuan. "Mbar tolong, aku kedinginan. Naikkan selimutku," ucap Sandy pura-pura menggigil kedinginan. Ambar kini tak bisa membedakan apakah Sandy hanya pura-pura atau memang kedinginan. Dengan enggan ia segera membenah selimut Sandy. "Mbar apa kau tak penasaran, kenapa aku mual terus?" tanya Sandy melhat Ambar yang begitu cuek. "Dokter sudah mengatakan kau hanya salah makan," kata Ambar tak bisa menebak jawaban lain. Ia kembali fokus pada ponselnya "Kau tahu apa kata dokter pribadiku?" tanya Sandy lagi menatap Ambar. "Tentu saja aku tak tahu." Ambar berusaha tak peduli "Mbar, apa kau hamil?" tanya Sandy. Ambar langsung sedikit terkejut. Darimana Sandy tahu kalau dia hamil? Mungkinkah rumah sakit tempatnya kemarin di rawat, bisa membocorkan informasi seorang pasien. "Memang kenapa kalau aku hamil?" tanya Ambar bertanya balik. Ia masih tak ingin kehamilannya diket
Ambar melihat Sandy memejamkan matanya di ranjang. Ia tak yakin Sandy benar-benar sakit."Minumlah, air oralit ini," ujarnya meletakkkan segelas campuran gula dan garam di meja samping ranjang. Sandy tak menyahut. Ia mencoba mengamati Sandy lebih dekat. Wajah pria itu tampak pucat dan bibirnya kelihatan kering. Ia memutuskan untuk mengguncang bahunya pelan. Ada kekhawatiran di hatinya, jangan-jangan suaminya itu pingsan."Sandy," serunya. Pria itu sama sekali tak bereaksi."Jangan bersandiwara," ujarnya sedikit panik. Nenek yang sejak tadi memerhatikan dari ambang pintu, kemudian masuk."Apa yang terjadi pada suamimu. Sejak datang kemari tampaknya sudah kurang sehat," kata Nenek kini meletakkan tangannya di dahi Sandy."Suhu tubuhnya sangat dingin.""Dia baik-baik saja Nek," sahutnya mencoba menghibur diri."Apa kalian bertengkar?" tanya Nenek menatapnya. Ia tak ingin menjawab."Nek aku sakit," ucap Sandy tiba-tiba, yang lebih mirip rengekan. Mata pria itu sedikit terbuka. Ambar langs
Sebenarmya Ambar tak berniat untuk pulang kampung. Ia tak ingin memnuat neneknya khawatir bila mengetahui keadaannya yang sekarang. Ia sedikit menyesal, kenapa ia tak mengumpulkan semua hasil karyanya dalam satu map praktis. Terakhir ia pulang kampung setahun yang lalu. Itu pun dengan diantar pak Karim. Nenek tahu kondisi pernikahannya Hanya saja ia memberikan kebebasan pada Ambar untuk meneruskan atau tidak. Neneknya cukup memahami setelah kematian Pak Murtopo tak ada yang menjamin kalau keluarga Sandy tidak akan menyia-nyiakan pernikhan cucunya.Setelah hampir setengah jam naik gojek, Ambar turun di halaman rumah neneknya. Neneknya kini tinggal bersama keluarga besar yang tinggal di sekita rumahnya. Kehidupan nenek tak pernah kesepian karena kehadiran para keponakan, dan sepupu Ambar. Tampak pintu rumah nenek terbuka lebar. Ambar pun segera berjalan masuk. Di rumah tua inilah ia melewatkan awal kehidupannya sa,mpai hampir 17 tahun. "Nenek!" panggilnya terus berjalan ke arah dalam
Sandy ingin segera memastikan apakah benar Ambar hamil atau tidak. Ia segera menghubungi Tama asistennya."Tama segera pergi ke rumah sakit! Dapatkan informasi mengenai kondisi Ambar dan diagnosanya saat ia ada di rumah sakit tempo hari. Aku ingin cepat tahu hasilnya," perintah Sandy.Sandy kini mulai ingat tentang kondisi Ambar belakangan ini. Perdebatan dan pertengkaran mereka. Semuanya akan berbeda jikalau memang Ambar betulan hamil. Memikirkan Ambar, ia jadi tak sabar. Segera ia memeriksa CCTV yang ada di rumah. Sialnya Ambar kini sudah lumayan cerdas. Wanita itu tahu posisi mana yang bisa di sorot kamera CCTV. Jadi, ia tak bisa melihat gambaran jelas kegiatan Ambar di rumah. Yang bisa ia tangkap hanyalah Ambar keluar rumah sekita jam 9 siang. Tak puas karena tak bisa memantau Ambar, Sandy pun segera menekan nomor ponsel istrinya. Panggilannya tak ada respon. Ia mencoba lagi. Panggilannya di luar jangkauan. Pergi ke mana Ambar, sampai ia sangat sulit untuk menghubunginya. Ia pun
Dokter hanya mengerutkan dahinya penuh keheranan. Ia baru saja memeriksa kondisi Sandy.“Kenapa Dok?” tanya Sandy penasaran melihat reaksi dokter Murda.“Tak ada diagnosa yang pasti. Cek in terakhirmu semuanya normal,” kata dokter Murda masih berpikir.“Aku tak biasa dengan makanan luar. Kebetulan istriku berhalangan masak beberapa minggu ini. Jadi aku makan masakan luar. Apa itu mungkin bisa jadi penyebab Dok,” Sandy bangkit dari posisi berbaringnya setelah dokter selesai memeriksa tubuhnya. “Itu bisa saja terjadi. Namun biasanya itu akan disertai diare. Ini hanya mual dan muntah saja. Seperti gejala orang hamil. Apakah ini terjadi setiap pagi?” tanya dokter mulai menyimpulkan.“Kau benar. Aku tak pernah merasakan seperti ini, kalau aku makan makanan di luar. Paling aku akan muntah diikuti diare tapi itu hanya sebentar,” terang Sandy mulai ikut berpikir.“Apa istrimu hamil?” Dokter langsung ingin memastikan.Sandy sejenak bingung. Ia ingat beberapa minggu lalu saat ia memaksa Ambar
Pagi itu Sandy terbangun dengan rasa mual. Saat ia menggosok gigi beberapa kali ia nyaris muntah. Pasti ini gara-gara makanan luar. Ia harus membiasakannya. Ia pun kembali meminum pil anti mual sebelum berangkat kerja. Ia melihat pintu kamar Ambar tertutup. Pasti Ambar kondisinya masih belum pulih. Biarlah dia beristirahat dahulu. Ia segera menghubungi Tama asistennya saat dalam perjalanan ke kantor."Tama tolong pesankan aku masakan di katering khusus untuk sarapan di kantor. Kirimkan juga umtuk Ambar di rumah," perintah Sandy. Ia berharap kali ini katering tempat Tama membeli masakan akan cocok dengan perutnya. "Ya Pak. Apakah itu saja, tak ada yang lain," seru Tama."Oh iya apakah tadi malam apa yang aku suruh sudah beres?" tanya Sandy teringat tugas yang ia berikan tadi malam mengenai Panji."Pak seperti yang Pak Sandy inginkan. Pria bernama Panji itu tidak akan lagi bisa menjadi pengacara Nyonya Ambar. Pak Sunarto selaku kepala law firm telah memindahkannya untuk mengurusi kasus
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments