"Apa sekretarismu yang baru itu Rosemala?” tanya Ambar menatap Sandy memastikan.
Sandy yang tak ingin Ambar menyinggung soal Rosemala lagi langsung mengiyakan. Tumben istrinya itu peduli dengan urusannya di kantor. Menurutnya Ambar hanya tertarik dengan urusan domestik saja. Wajah Ambar memerah. Ia tak senang. Ia tahu Rosemala adalah cinta pertama suaminya. Kabarnya sebulan ini baru pulang dari pendidikannya di luar negeri. Kebetulan ia punya seorang teman yang bekerja di perusahaan suaminya. Temannya itu sering bercerita tentang gosip yang sedang beredar di perusahaan. “Apa tak ada kandidat lainnya? kenapa harus dia?” tukasnya menatap Sandy sendu. “Ya daripada repot interview banyak orang. Kebetulan Rosemala bersedia. Aku tahu kompetensinya. Jangan curiga macam-macam,” ucap Sandy cepat. Ia pikir alasannya itu masuk akal. “Buat apa aku cemburu. Kau masih mencintainya. Lantas aku mau apa? Kakek Murtopo juga sudah tak ada. Kau bebas sekarang mau kembali padanya,” seru Ambar mati-matian menahan perasaannya. “Maksudmu apa?” teriak Sandy mulai terpancing. “Kau boleh tak menganggapku, tapi bukan berarti aku mau suami resmiku menjalin hubungan dengan wanita lain. Jadi ceraikan aku!” ucap Ambar menentang mata elang Sandy. Mulut Sandy langsung terasa pahit. Cerai! kalimat apa ini? Ambar tak pernah mengeluh sama sekali dengan pernikahan mereka selama 3 tahun ini. Keberadaan Rosemala tak akan mengganggunya. “Katakan sekali lagi! hanya karena ini kau ingin cerai?” ujar Sandy maju mendekati Ambar. Tatapannya sedingin es. Ambar mundur sampai menabrak di dinding di belakangnya. Ia sedikit ragu. Tapi ia segera menguatkan dirinya. Saatnya ia pergi dari pernikahan palsu ini. “Kita cerai! Ada banyak alasan Sandy. Sudah cukup. Bagimu aku hanya perempuan pengganti. Cintamu telah kembali. Bahkan keluarga dan temanmu pun mendukung kalian. Bukankah kau juga sudah tak tahan untuk segera bersama dengan Rosemala,” tukas Ambar masih tak ingin mundur dengan keputusannya. Ia melihat api berkobar di mata elang pria itu. Rahangnya yang tegas dan wajahnya yang tampan terlihat mengeras. Ambar merasakan tangannya yang besar meraih tengkuknya dengan kuat. Ambar berjengit. “Jangan sok tahu. Aku yang memutuskannya. Bukan dirimu Ambar! Mau aku bersama Rosemala itu bukan urusanmu” bisiknya dengan sarkas. Ambar tahu suaminya sedang marah. Ia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tangan pria itu. "Aku juga berhak memutuskan. Ternyata apa yang aku lakukan selama ini tak ada artinya bagimu dan juga keluargamu,” ucapnya sambil meronta. “Kau mengajukan cerai? Ajukan kalau kau bisa!” ujar Sandy menggertakkan gigi. “Terserah! aku sudah lelah dengan semua sandiwara ini. Besok kita ke pengacara. Aku ingin kita bercerai tanpa ada insiden dan berjalan secara baik-baik,” ucap Ambar kini mulai menenangkan hatinya. Ia mengelus tangan Sandy agar pria itu mau melepaskannya. Bukannya mereda amarah Sandy kian tersulut. Matanya mulai menggelap. Dadanya bergemuruh mendengar Ambar yang masih ingin cerai. “Aku juga sudah lelah. Kau pikir aku punya pilihan saat kakek menyuruhku menikahimu dan meninggalkan Rosemala. Rosemala harus tersingkir keluar negeri hanya karena wanita sepertimu," ucap Sandy menekan tulang selangka Ambar. Dada Ambar terasa sesak. Sandy masih membela wanita itu. "Lantas apa yang kulakukan selama 3 tahun ini? Melayanimu bak raja. Menjadi apa yang menurut ibumu istri yang baik begitu? meninggalkan pekerjaan dan cita-citaku," ucap Ambar mengusap dadanya. "Itu masalahmu. Aku tak pernah memintanya. Perlu kau tahu aku selalu berharap kau tak pernah hadir di hidupku. Aku ingin kau lenyap dari mataku. Kau membuat hidupku berantakan,,” serunya kemudian langsung mencium Ambar dengan membabi buta. “Kau tak bisa lakukan ini Sandy!” teriak Ambar meronta ketika Sandy langsung menyergapnya dan membawanya ke tempat tidur. "Hentikan! tolong," ronta Ambar dalam kungkungan Sandy. Matanya mulai membasah. Sandy tak bisa mendengarkan apapun dalam situasi ini. "Kau menginginkan ini, bukan? Kau melakukan semuanya hanya agar aku menyentuhmu!" dengus Sandy makin ganas membuka akses tubuh Ambar. Beberapa menit kemudian Sandy telah mengejang nikmat di atas tubuh Ambar. Ambar tak menangis atau berontak lagi. Sandy bangkit sambil menyeringai. "Mau cerai? Paling juga akan jadi gelandangan," ujarnya seraya mengenakan bajunya. Ambar tak menyahut. Air matanya kian membanjir. Begitu Sandy keluar Ambar langsung terisak. Ia tak rela tubuhnya dijamah tanpa cinta. Ia merasa begitu rendah. Paginya di Villa Arum Dalu. Sandy bangun seperti biasa. Ia bergegas ke kamar mandi. Ada yang berbeda pagi ini. Tak ada air hangat di bak mandinya. Ia ingat istrinya. Paling juga ngambek. Ia pun segera mandi. Saat akan berganti baju ia juga tak menemukan setelan baju kerja yang selalu disiapkan Ambar seperti biasa. Sandy menahan kesal. Ia pun memilih setelannya sendiri. Belum cukup sampai disitu saat turun ke meja makan tak ada masakan rumahan untuk sarapan. "Ambar mana sarapanku?" teriaknya berjalan menuju kamar Ambar. Mereka memang selalu tidur terpisah selama ini. Alangkah terkejutnya ia melihat Ambar yang telah rapi tengah menutup kamarnya sambil memegang koper besar. "Kita akan bercerai. Aku tak akan membuatkanmu sarapan. Cari saja pembantu atau pesan saja," sahut Ambar menatap dingin Sandy. Ia bergegas menyeret kopernya untuk pergi. Hati Sandy mencelos. Selama 3 tahun pernikahan mereka, Ambar tak pernah seserius ini. Paling juga tak bertegur sapa, keluar beberapa jam lantas ia akan kembali dan melayani semua kebutuhan sauminya. "Pergi saja kalau bisa. Paling juga bakal kembali," ujar Sandy tersenyum mengejek. Dengan keadaan istrinya saat ini mana bisa ia hidup tanpa dirinya. Ambar tak punya keluarga yang akan dijadikannya singgah. Sahabat pun mana dia punya. Seingatnya istrinya itu cuma diam di dalam Villa. Tampak begitu menikmati pekerjaan rumah. Sandy membenahi dasinya dan menegakkan tubuh. Tak ada waktu untuk membujuk wanita itu. Ia akan pergi bekerja. Ia segera menghubungi asisten sekaligus sopirnya. "Awasi Nyonya pergi ke mana. Hubungi aku bila dia berani nekad," ujarnya langsung memutuskan panggilan. Ambar menyeret kopernya yang besar keluar dari Villa Arum Dalu. Jalanan sepi. Ini kawasan elit. Ia harus berjalan cukup jauh untuk sampai di jalan besar. Sebuah mobil mewah melintas cepat di sampingnya meriapkan rambut dan mengibarkan bajunya. Ia menggigil sesaat seraya menatap mobil yang menjauh. Itu mobil suaminya. Pria yang merenggut semua energinya selama 3 tahun ini. Tangannya mengepal penuh amarah. "Nyonya naiklah!" sapa pria yang ada di sebuah mobil yang tengah melaju pelan. Ambar menatap pria di belakang kemudi. Dia adalah sopir sekaligus asisten Sandy. Pak Karim. Ia malah mempercepat langkahnya. "Nyonya ini jauh. Anda tak pernah berjalan jauh," bujuk Pak Karim. Ia tahu wanita itu sedang ngambek. Mobil itu terus mengikuti Ambar. Pak Karim juga tak berhenti membujuknya. Pak Karim adalah pria tua yang telah mengabdi pada keluarga Sudiro puluhan tahun. Ia seorang yang menghargai orang lebih tua. Ambar tak mungkin terus mengabaikannya. Dasar Sandy! Teganya memanfaatkan pria tua macam pak Karim. "Baiklah Pak. Antarkan aku ke jalan besar saja. Aku akan bercerai dengan Sandy. Jadi setelah ini berhenti mengurusi dan mengawasiku. Kami pisah rumah selama proses perceraian," tukas Ambar yang akhirnya naik juga ke atas mobil. Sebenarnya cukup sering juga Ambar marah dan meninggalkan Villa. Tapi ia akan teringat neneknya dan pak Murtopo Sudiro kakek Sandy yang begitu baik. Pernikahannya terjadi karena kesepakatan dari mereka berdua. Mereka berdua punya hubungan persahabatan yang erat. "Turun di sini Pak," sahut Ambar begitu mereka sampai di jalan besar. Ambar mendengus. Ia menatap ke sekeliling. Sungguh sangat asing. Ia jarang keluar rumah. Ia berasal dari pelosok. Sejak menikah ia jarang keluar sendirian. Kecuali bersama Sita sahabatnya. Sementara itu di kantornya Sandy mendapatkan laporan dari pak Karim. "Nyonya mencari kos-kosan Pak," lapor pak Karim. "Biarkan saja," ujarnya dengan sudut bibir meremehkan. Hanya mampu cari kos, pikirnya. Pria itu tersenyum sambil terus menelaah dokumen. Ia tak perlu serius memikirkan istrinya itu. Ia selalu memenuhi semua kebutuhan istrinya tapi ia tak pernah memberinya uang berlebih. Ambar tidak akan mampu hidup mandiri.Ambar terpaksa menyewa kamar kos yang murah untuk sementara waktu. Ia merasa miris. Suaminya seorang CEO perusahaan besar dan ia tak punya tabungan yang banyak. Ia bebas berbelanja di toko grocery milik keluarga Sudiro begitupun kebutuhan lainnya. Ia juga memilik pakaian, tas dan juga sepatu mahal. Semuanya dipesan oleh Sandy khusus untuknya. Hanya saja ia tak pernah pegang uang banyak. Suaminya hanya memberinya uang sebesar gaji seorang IRT setiap bulan. Itupun sebagian ia kirimkan untuk neneknya di kampung. Setelah merapikan koper dan juga barang-barangnya di kamar kos, Ambar keluar. Siang itu ia akan bertemu Sita, sahabatnya yang bekerja di perusahaan suaminya. Mungkin ia bisa memberikan info soal pekerjaan. Mereka bertemu di sebuah pujasera. Kebetulan Sita sekalian makan siang disela jeda ia bekerja."Kau betulan keluar dari Villa Arum Dalu?" mata Sita melebar menatap Ambar."Memang aneh? Aku sudah tak kuat dengan perilakunya. Aku sudah menanyakan masalah Rosemala. Ia tak menyan
Ambar terpaksa kembali ke Villa Arum Dalu. Ia tak mau membongkar kopernya. Ia masih berharap bisa meninggalkan rumah mewah yang sudah ia tempati hampir 3 tahun itu. Ia kini hanya berbaring tidur-tiduran malas melakukan apapun. Ia hanya bermain game di ponselnya.Sandy melakukan aktivitasnya membersihkan diri setelah lelah bekerja seharian. Lagi-lagi ia tak mendapatkan air hangat dan juga baju ganti yang biasanya disiapkan Ambar. Hatinya kesal. Setelah memilih sendiri pakaian dan mengenakannya ia melangkah ke dapur dan berharap ada makan malam. Tak ada makanan apapun yang tersaji di sana. Ia pun bergegas pergi ke kamar Ambar. Ia melihat istrinya itu sudah ketiduran dengan ponsel ada di dekatnya. "Bangun Ambar! buatkan aku makan malam," ujar Sandy mengguncang tubuh Ambar. Ambar terbangun dengan gelagapan."Oh iya aku belum memasak hari ini," ujarnya masih belum terlalu sadar. Namun begitu melihat Sandy dengan jelas wajahnya langsung murung."Kita akan cerai. Belajarlah untuk memenuhi k
Ambar jadi tak bisa untuk melanjutkan tidur kembali. Ia pun kemudian mencari informasi tentang perceraian di mesin pencarian. Ia harus mempunyai alasan yang kuat agar gugatan cerai segera di terima. Akan mudah lagi jika pasangan juga kompak dan tidak mempersulit. Maka dalam tempo sebulan ia akan resmi bercerai. Pukul 4 dini hari ia beranikan diri untuk menghubungi salah satu pengacara di layanan hukum online. Dan yang keluar adalah nasehat agar ia berpikir ulang dan melakukan hal-hal manis yang mungkin bisa membuat pernikahannya bertahan. Misalnya saja peringatan hari pernikahan. Ya kebetulan hari ini adalah hari ulang tahun pernikahanya dengan Sandy yang 3 tahun. Ia sedikit ragu apa ia akan mengikuti saran pengacara itu atau tidak. Jadi ia menghubungi Sita. "Sit gimana menurutmu?" "Sifat seseorang itu tak akan berubah Mbar. Siapa yang bisa merubah sifat arogan Sandy. Bos muda pewaris Sudiro grup. Kecuali mungkin kau bisa jadi orang yang paling dicintainya. Orang yang dicintai ak
Angin malam dan rintik hujan menimpa wajah Ambar membuatnya segera sadar dari pingsannya. Entah berapa lama ia tak sadarkan diri. Ia melihat langit hitam. Tubuhnya terikat dan kini ia sedang berada di atas kapal boat yang sedang meluncur di tengah lautan. Ada dua orang yang tengah menyeretnya ke pinggir kapal. Ia langsung berteriak."Kalian siapa? mau dibawa kemana aku?""Cepat kita ceburkan dia. Dia sudah sadar lagi," kata seorang pria dengan wajah sangar pada temannya."Diam kau! kau akan segera jadi makanan hiu," ucap pria satunya mencekeram tubuh Ambar dengan kuat. Ambar meronta sekuat tenaga."Jangan lakukan! aku tak bisa berenang!" seru Ambar menjadi ketakutan."Apa urusan kamu. Tugas kami hanya melenyapkanmu tanpa bekas dan kami dapat bayaran," seringai salah satu pria."Siapa yang menyuruh kalian? aku salah apa?" ucap Ambar masih berusaha melepaskan diri."Kau ingi tahu? buat apa? tubuhmu akan dimakan hiu," tawa pria yang lainnya. Mereka berancang-ancang akan melemparkan tubuh
Ambar membuka matanya. Ia terbaring di sebuah klinik dengan kepala pusing dan dada terasa sesak. Ia mencoba bangun. Seorang wanita paruh baya tersenyum lembut padanya."Jangan banyak bergerak. Kau sudah sadar rupanya. Aku akan panggilkan perawat dulu," Wanita itu pun berjalan ke ruang medis. Tak berapa lama seorang dokter dan perawat datang.Dokter itu pun segera memeriksa Ambar. "Semuanya bertambah baik. Jangan banyak aktivitas dulu. Istirahat yang banyak," saran dokter itu tersenyum."Jadi aku boleh pulang?" seru Ambar tak ingin terlalu lama ada di klinik."Ya anda bisa berobat jalan," jawab dokter itu kemudian beranjak ke pasien yang lain. "Berhubung anda sudah sadar anda bisa memberitahu saya identitas dan alamat anda? Ibu ini membawa anda pingsan dan tak tahu kartu identitas anda," kata perawat siap menulis di papan klip yang ia bawa. Ambar pun memberikan identitas dan alamatnya."Nak Ambar bisa istirahat di rumah saya untuk sementara," tawar wanita paruh baya yang menolongny
Saat pulang Ambar memutuskan tak kembali ke Villa Arum Dalu. Bagaimana ia bisa kembali tinggal serumah dengan Sandy yang menginginkannya lenyap dari dunia? paling tidak ia harus memiliki rencana untuk menghadapi semuanya. Sita menawarkan tempatnya untuk Ambar bisa beristirahat dan memulihkan diri. "Apa? Ini tidak bisa dipercaya. Sandy menyuruh orang untuk melenyapkanmu? Tak masuk akal." Sita mengernyitkan dahinya begitu Ambar menceritakan semua yang telah menimpanya. Malam itu mereka sedang tidur-tiduran di sofa ruang tengah dengan TV menyala. "Dia pernah mengatakan kalau ia ingin aku tak pernah ada di dunia ini. Aku percaya Sandy bisa melakukannya," tukas Ambar dengan hati sakit. Ia harus menerima kemungkinan yang terburuk tentang Sandy. Dari dulu ia selalu mencoba berprasangka baik tapi ujungnya selalu kecewa. "Saat ini kemungkinan besar memang dia. tapi kau belum tahu tentang apa yang beredar di media sodial sejak kemarin kau menghilang diculik." Kini giliram Sita yang mulai me
Malam itu Sandy minum banyak. Rosemala sengaja tidak ikut minum. Ia kemudian membawa Sandy pulang ke Villa Arum Dalu. Pria itu setengah sadar dan masih bisa menjawab ketika ia bertanya kode pintu rumah. Seluruh rumah di Villa Arum Dalu telah memakai teknologi canggih. Semuanya bisa dikontrol lewat ponsel. Seluruh ruangan pun telah dilengkapi CCTV.Rosemala membawa Sandy ke kamarnya. Ia senang tak melihat barang milik Ambar di kamar Sandy. Ia pun segera melepas sepatu dan juga dasi Sandy. Pria itu terus menggumam dan menyebut nama Ambar. Hatinya sakit dan geram. Pikiran Sandy rupanya telah dipenuhi oleh wanita itu. Ia tak akan membiarkan itu terjadi. Ia akan memanfaatkan semua situasi untuk merebut Sandy. Sandy adalah miliknya. Selamanya begitu. Sekaranglah kesempatan itu. Saat Ambar telah difitnah dan kini menghilang entah ke mana. Rosemala segera ikut berbaring di samping Sandy dan mulai menggodanya.Pagi harinya Sandy terbangun dengan kepala yang sangat berat. Ia terkejut melihat
Sandy telah menggnati bajunya dengan pakaian rumah. Hari ini iamemutuskan untuk sekalian tak ke kantor. Biar Tama yang menghandle semuanya. Tubuhnya masih merasakan efek mabuk semalam. Lama ia tak meminum minuman beralkohol. Ia baru menyadari kalau semenjak menikah dengan Ambar hidupnya begitu teratur dan cenderung lebih sehat.Ia menatap lama bekas ciuman Rosemala di tubuhnya. Entah kenapa ia malah membayangkan seperti apa rasanya dicium seperti itu oleh Ambar. Ia mendengus geram. Ini hari ke 3 semenjak Ambar menghilang. Masih tak ada kabar. Ponselnya juga masih tak aktif. Ia langsung menggeleng menghilangkan fantasi liarnya dengan Ambar. Ia kembali merasakan Hangover. Lebih baik ia segera minum atau makan sesuatu yang bisa meredakannya. Ia melihat Rosemala di dapur. "Aku sudah buatkan kopi. Minumlah," kata Rosemala yang masih berkutat dengan pastanya. Ia hampir tak pernah memasak. Selama 3 tahun di luar negeri tak mau membuatnya terbiasa mengolah makanan. Ia mengandalkan makanan p
Makan malam pun berlangsung santai dan penuh perbincangan seru. Sandy dan ayahnya hanya sesekali terlibat. Para perempuan lagi bersemangat membicarakan brand kosmetik baru mereka. Baru kali ini perusahaan Sudiro terjun ke bisnis kosmetik. Tiba-tiba Sandy merasa sangat pusing. Pandangannya memburam. Mungkin dia memang masih belum fit benar. Ia masih sering diserang rasa mual aneh itu. Ia melihat Rosemala mendekatinya dan ia tak mampu lagi mengingat dengan benar. Tubuhnya terasa gerah dan panas. Sandy mengernyitkan dahinya. Matanya tak ingin terbuka karena silaunya matahari dari jendela kamar. Ingatannya mulai berputar samar-samar. Semalam ia tengah makan malam dan kemudian ia sempoyongan ke kamar dengan Rosemala yang memapahnya. Beberapa scene membuatnya merasa bukan dirinya. Ia melihat Rosemala yang mulai menggodanya. Kemudian ia jatuh dan tenggelam dalam renjana birahi yang berasal dari rasa panas di tubuhnya. Ia tersentak bangun begitu sadar sepenuhnya apa yang telah diperbuatn
Ada banayak harapan di mata Kemuning saat Ambar ada dalam pelukannya. "Ambar, aku lihat rumah tanggamu dengan Sandy tidak berlangsung baik-baik saja. Yang menculikmu dulu itu memang bukan suamimu, tapi aku tahu ada yang menginginkan dirimu celaka. Aku tak tahu yang terbaik untukmu. Aku ingin tahu apa yang akan kamu rencanakan? Apa kau serius ingin bercerai dengan Sandy?" tanya Kemuning tatkala mereka saling melepaskan diri dan kembali duduk. "Aku ingin bercerai dengan Sandy dan memulai hidupku sendiri, ibu," jawab Ambar singkat. Sungguh ia merasa enggan menceritakan masalah rumah tangganya pada ibunya yang baru saja dekat dengannya. "Aku tak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tanggamu. Menikah dengan orang kaya ternyata juga tak menjamin semuanya. Aku hanya ingin menawarkan padamu sebuah pekerjaan. Kalau kau bersedia, kau bisa bekerja di perusahaan kosmetik MaryGold. Kebetulan aku punya teman di sana," tawar Kemuning berharap Ambar akan bisa segera move -on dari masalah ru
"Jangan menyebut Rosemala lagi. Mari kita fokus dengan pernikahan kita. Hentikanlah permainan ini. Mari kita bersikap lebih dewasa," seru Sandy berbisik di telinga Ambar. Ambar sedikit merinding. Sandy dengan cepat mengambil kesempatan untuk segera menciumnya. Buru-buru ia menjauhkan tubuhnya dari Sandy. "Tidak lagi Sandy," sentak Ambar waspada. tak boleh ia terpedaya lagi oleh bujuk rayu pria itu. Bayangan betapa mesranya Sandy saat memberikan kalung berlian itu pada Rosemala membuat hatinya perih. "Mengapa?" tanya Sandy kembali mendekat. Kali ini ia berhasil memagut leher jenjang Ambar. Ambar langsung tersengat. Sentuhan Sandy sulit untuk ditolak. "Please Sandy," rintih Ambar memberontak dalam pelukan Sandy yang kian erat. Otaknya mulai berkabut ketika Sandy kembali memciumnya dengan penuh sinar gairah. Tidak ketika ia sudah membulatkan tekad untuk berpisah. Ia harus segera pindah kalau tidak maka selamanya ia akan terjebak dalam hubungan menyakitkan tanpa akhir."Awc!" pekik Sa
"Sudah berapa tahun berlalu, sejak terakhir kali Kemuning datang untuk mengambilmu," seru Nenek dengan tatapan menerawang. Ambar tak bisa berkata-kata. Nama ibunya selalu membuatnya sesak. Ada keinginan untuk dekat dengannya, ada juga keinginan untuk membencinya. "Nenek sudah tua. Kamu juga jauh lebih dewasa sekarang. Saatnya menyerahkan semua keputusan padamu Mbar. Maafkan nenek, selama ini yang terlalu mengekangmu dan banyak memberimu larangan," ucap neneknya dengan tangan membelai lembut rambut Ambar. "Nenek jangan berkata begitu," tukas Ambar seraya memeluk neneknya dengan haru. "Temui ibumu. Perbaiki hubungan kalian," ucap nenek tersenyum. Ambar mengangguk dengan penuh kelegaan. Kini tidak ada lagi yag membuatnya ragu untuk bertemu dengan ibunya. Ia akan menghadapi ibunya apapun yang terjadi.Terakhir kali ia bertemu ibunya, tatkala pemakamam ayahnya. Ayahnynya meninggal saat Ambar berusia 10 tahun. Ayahnya ditemukan mati karena minum minuman keras oplosan. Dari dulu ayahnya
Malam itu Ambar menunggui Sandy menginap di klinik. Sandy ingin malam ini hubungannya dengan Ambar bisa mengalami kemajuan. "Mbar tolong, aku kedinginan. Naikkan selimutku," ucap Sandy pura-pura menggigil kedinginan. Ambar kini tak bisa membedakan apakah Sandy hanya pura-pura atau memang kedinginan. Dengan enggan ia segera membenah selimut Sandy. "Mbar apa kau tak penasaran, kenapa aku mual terus?" tanya Sandy melhat Ambar yang begitu cuek. "Dokter sudah mengatakan kau hanya salah makan," kata Ambar tak bisa menebak jawaban lain. Ia kembali fokus pada ponselnya "Kau tahu apa kata dokter pribadiku?" tanya Sandy lagi menatap Ambar. "Tentu saja aku tak tahu." Ambar berusaha tak peduli "Mbar, apa kau hamil?" tanya Sandy. Ambar langsung sedikit terkejut. Darimana Sandy tahu kalau dia hamil? Mungkinkah rumah sakit tempatnya kemarin di rawat, bisa membocorkan informasi seorang pasien. "Memang kenapa kalau aku hamil?" tanya Ambar bertanya balik. Ia masih tak ingin kehamilannya diket
Ambar melihat Sandy memejamkan matanya di ranjang. Ia tak yakin Sandy benar-benar sakit."Minumlah, air oralit ini," ujarnya meletakkkan segelas campuran gula dan garam di meja samping ranjang. Sandy tak menyahut. Ia mencoba mengamati Sandy lebih dekat. Wajah pria itu tampak pucat dan bibirnya kelihatan kering. Ia memutuskan untuk mengguncang bahunya pelan. Ada kekhawatiran di hatinya, jangan-jangan suaminya itu pingsan."Sandy," serunya. Pria itu sama sekali tak bereaksi."Jangan bersandiwara," ujarnya sedikit panik. Nenek yang sejak tadi memerhatikan dari ambang pintu, kemudian masuk."Apa yang terjadi pada suamimu. Sejak datang kemari tampaknya sudah kurang sehat," kata Nenek kini meletakkan tangannya di dahi Sandy."Suhu tubuhnya sangat dingin.""Dia baik-baik saja Nek," sahutnya mencoba menghibur diri."Apa kalian bertengkar?" tanya Nenek menatapnya. Ia tak ingin menjawab."Nek aku sakit," ucap Sandy tiba-tiba, yang lebih mirip rengekan. Mata pria itu sedikit terbuka. Ambar langs
Sebenarmya Ambar tak berniat untuk pulang kampung. Ia tak ingin memnuat neneknya khawatir bila mengetahui keadaannya yang sekarang. Ia sedikit menyesal, kenapa ia tak mengumpulkan semua hasil karyanya dalam satu map praktis. Terakhir ia pulang kampung setahun yang lalu. Itu pun dengan diantar pak Karim. Nenek tahu kondisi pernikahannya Hanya saja ia memberikan kebebasan pada Ambar untuk meneruskan atau tidak. Neneknya cukup memahami setelah kematian Pak Murtopo tak ada yang menjamin kalau keluarga Sandy tidak akan menyia-nyiakan pernikhan cucunya.Setelah hampir setengah jam naik gojek, Ambar turun di halaman rumah neneknya. Neneknya kini tinggal bersama keluarga besar yang tinggal di sekita rumahnya. Kehidupan nenek tak pernah kesepian karena kehadiran para keponakan, dan sepupu Ambar. Tampak pintu rumah nenek terbuka lebar. Ambar pun segera berjalan masuk. Di rumah tua inilah ia melewatkan awal kehidupannya sa,mpai hampir 17 tahun. "Nenek!" panggilnya terus berjalan ke arah dalam
Sandy ingin segera memastikan apakah benar Ambar hamil atau tidak. Ia segera menghubungi Tama asistennya."Tama segera pergi ke rumah sakit! Dapatkan informasi mengenai kondisi Ambar dan diagnosanya saat ia ada di rumah sakit tempo hari. Aku ingin cepat tahu hasilnya," perintah Sandy.Sandy kini mulai ingat tentang kondisi Ambar belakangan ini. Perdebatan dan pertengkaran mereka. Semuanya akan berbeda jikalau memang Ambar betulan hamil. Memikirkan Ambar, ia jadi tak sabar. Segera ia memeriksa CCTV yang ada di rumah. Sialnya Ambar kini sudah lumayan cerdas. Wanita itu tahu posisi mana yang bisa di sorot kamera CCTV. Jadi, ia tak bisa melihat gambaran jelas kegiatan Ambar di rumah. Yang bisa ia tangkap hanyalah Ambar keluar rumah sekita jam 9 siang. Tak puas karena tak bisa memantau Ambar, Sandy pun segera menekan nomor ponsel istrinya. Panggilannya tak ada respon. Ia mencoba lagi. Panggilannya di luar jangkauan. Pergi ke mana Ambar, sampai ia sangat sulit untuk menghubunginya. Ia pun
Dokter hanya mengerutkan dahinya penuh keheranan. Ia baru saja memeriksa kondisi Sandy.“Kenapa Dok?” tanya Sandy penasaran melihat reaksi dokter Murda.“Tak ada diagnosa yang pasti. Cek in terakhirmu semuanya normal,” kata dokter Murda masih berpikir.“Aku tak biasa dengan makanan luar. Kebetulan istriku berhalangan masak beberapa minggu ini. Jadi aku makan masakan luar. Apa itu mungkin bisa jadi penyebab Dok,” Sandy bangkit dari posisi berbaringnya setelah dokter selesai memeriksa tubuhnya. “Itu bisa saja terjadi. Namun biasanya itu akan disertai diare. Ini hanya mual dan muntah saja. Seperti gejala orang hamil. Apakah ini terjadi setiap pagi?” tanya dokter mulai menyimpulkan.“Kau benar. Aku tak pernah merasakan seperti ini, kalau aku makan makanan di luar. Paling aku akan muntah diikuti diare tapi itu hanya sebentar,” terang Sandy mulai ikut berpikir.“Apa istrimu hamil?” Dokter langsung ingin memastikan.Sandy sejenak bingung. Ia ingat beberapa minggu lalu saat ia memaksa Ambar