Share

Bukan Sekedar Istri Pengganti
Bukan Sekedar Istri Pengganti
Author: dwi23end

Bab 1. Minta Cerai

"Apa sekretarismu yang baru itu Rosemala?” tanya Ambar menatap Sandy memastikan.

Sandy yang tak ingin Ambar menyinggung soal Rosemala lagi langsung mengiyakan. Tumben istrinya itu peduli dengan urusannya di kantor. Menurutnya Ambar hanya tertarik dengan urusan domestik saja.

Wajah Ambar memerah. Ia tak senang. Ia tahu Rosemala adalah cinta pertama suaminya. Kabarnya sebulan ini baru pulang dari pendidikannya di luar negeri. Kebetulan ia punya seorang teman yang bekerja di perusahaan suaminya. Temannya itu sering bercerita tentang gosip yang sedang beredar di perusahaan.

“Apa tak ada kandidat lainnya? kenapa harus dia?” tukasnya menatap Sandy sendu.

“Ya daripada repot interview banyak orang. Kebetulan Rosemala bersedia. Aku tahu kompetensinya. Jangan curiga macam-macam,” ucap Sandy cepat. Ia pikir alasannya itu masuk akal.

“Buat apa aku cemburu. Kau masih mencintainya. Lantas aku mau apa? Kakek Murtopo juga sudah tak ada. Kau bebas sekarang mau kembali padanya,” seru Ambar mati-matian menahan perasaannya.

“Maksudmu apa?” teriak Sandy mulai terpancing.

“Kau boleh tak menganggapku, tapi bukan berarti aku mau suami resmiku menjalin hubungan dengan wanita lain. Jadi ceraikan aku!” ucap Ambar menentang mata elang Sandy.

Mulut Sandy langsung terasa pahit. Cerai! kalimat apa ini? Ambar tak pernah mengeluh sama sekali dengan pernikahan mereka selama 3 tahun ini. Keberadaan Rosemala tak akan mengganggunya.

“Katakan sekali lagi! hanya karena ini kau ingin cerai?” ujar Sandy maju mendekati Ambar. Tatapannya sedingin es.

Ambar mundur sampai menabrak di dinding di belakangnya. Ia sedikit ragu. Tapi ia segera menguatkan dirinya. Saatnya ia pergi dari pernikahan palsu ini.

“Kita cerai! Ada banyak alasan Sandy. Sudah cukup. Bagimu aku hanya perempuan pengganti. Cintamu telah kembali. Bahkan keluarga dan temanmu pun mendukung kalian. Bukankah kau juga sudah tak tahan untuk segera bersama dengan Rosemala,” tukas Ambar masih tak ingin mundur dengan keputusannya. Ia melihat api berkobar di mata elang pria itu. Rahangnya yang tegas dan wajahnya yang tampan terlihat mengeras. Ambar merasakan tangannya yang besar meraih tengkuknya dengan kuat. Ambar berjengit.

“Jangan sok tahu. Aku yang memutuskannya. Bukan dirimu Ambar! Mau aku bersama Rosemala itu bukan urusanmu” bisiknya dengan sarkas. Ambar tahu suaminya sedang marah. Ia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tangan pria itu.

"Aku juga berhak memutuskan. Ternyata apa yang aku lakukan selama ini tak ada artinya bagimu dan juga keluargamu,” ucapnya sambil meronta.

“Kau mengajukan cerai? Ajukan kalau kau bisa!” ujar Sandy menggertakkan gigi.

“Terserah! aku sudah lelah dengan semua sandiwara ini. Besok kita ke pengacara. Aku ingin kita bercerai tanpa ada insiden dan berjalan secara baik-baik,” ucap Ambar kini mulai menenangkan hatinya. Ia mengelus tangan Sandy agar pria itu mau melepaskannya.

Bukannya mereda amarah Sandy kian tersulut. Matanya mulai menggelap. Dadanya bergemuruh mendengar Ambar yang masih ingin cerai.

“Aku juga sudah lelah. Kau pikir aku punya pilihan saat kakek menyuruhku menikahimu dan meninggalkan Rosemala. Rosemala harus tersingkir keluar negeri hanya karena wanita sepertimu," ucap Sandy menekan tulang selangka Ambar.

Dada Ambar terasa sesak. Sandy masih membela wanita itu.

"Lantas apa yang kulakukan selama 3 tahun ini? Melayanimu bak raja. Menjadi apa yang menurut ibumu istri yang baik begitu? meninggalkan pekerjaan dan cita-citaku," ucap Ambar mengusap dadanya.

"Itu masalahmu. Aku tak pernah memintanya. Perlu kau tahu aku selalu berharap kau tak pernah hadir di hidupku. Aku ingin kau lenyap dari mataku. Kau membuat hidupku berantakan,,” serunya kemudian langsung mencium Ambar dengan membabi buta.

“Kau tak bisa lakukan ini Sandy!” teriak Ambar meronta ketika Sandy langsung menyergapnya dan membawanya ke tempat tidur.

"Hentikan! tolong," ronta Ambar dalam kungkungan Sandy. Matanya mulai membasah.

Sandy tak bisa mendengarkan apapun dalam situasi ini.

"Kau menginginkan ini, bukan? Kau melakukan semuanya hanya agar aku menyentuhmu!" dengus Sandy makin ganas membuka akses tubuh Ambar.

Beberapa menit kemudian Sandy telah mengejang nikmat di atas tubuh Ambar. Ambar tak menangis atau berontak lagi. Sandy bangkit sambil menyeringai.

"Mau cerai? Paling juga akan jadi gelandangan," ujarnya seraya mengenakan bajunya. Ambar tak menyahut. Air matanya kian membanjir.

Begitu Sandy keluar Ambar langsung terisak. Ia tak rela tubuhnya dijamah tanpa cinta. Ia merasa begitu rendah.

Paginya di Villa Arum Dalu. Sandy bangun seperti biasa. Ia bergegas ke kamar mandi. Ada yang berbeda pagi ini. Tak ada air hangat di bak mandinya. Ia ingat istrinya. Paling juga ngambek. Ia pun segera mandi. Saat akan berganti baju ia juga tak menemukan setelan baju kerja yang selalu disiapkan Ambar seperti biasa. Sandy menahan kesal. Ia pun memilih setelannya sendiri.

Belum cukup sampai disitu saat turun ke meja makan tak ada masakan rumahan untuk sarapan.

"Ambar mana sarapanku?" teriaknya berjalan menuju kamar Ambar. Mereka memang selalu tidur terpisah selama ini. Alangkah terkejutnya ia melihat Ambar yang telah rapi tengah menutup kamarnya sambil memegang koper besar.

"Kita akan bercerai. Aku tak akan membuatkanmu sarapan. Cari saja pembantu atau pesan saja," sahut Ambar menatap dingin Sandy. Ia bergegas menyeret kopernya untuk pergi.

Hati Sandy mencelos. Selama 3 tahun pernikahan mereka, Ambar tak pernah seserius ini. Paling juga tak bertegur sapa, keluar beberapa jam lantas ia akan kembali dan melayani semua kebutuhan sauminya.

"Pergi saja kalau bisa. Paling juga bakal kembali," ujar Sandy tersenyum mengejek. Dengan keadaan istrinya saat ini mana bisa ia hidup tanpa dirinya. Ambar tak punya keluarga yang akan dijadikannya singgah. Sahabat pun mana dia punya. Seingatnya istrinya itu cuma diam di dalam Villa. Tampak begitu menikmati pekerjaan rumah.

Sandy membenahi dasinya dan menegakkan tubuh. Tak ada waktu untuk membujuk wanita itu. Ia akan pergi bekerja. Ia segera menghubungi asisten sekaligus sopirnya.

"Awasi Nyonya pergi ke mana. Hubungi aku bila dia berani nekad," ujarnya langsung memutuskan panggilan.

Ambar menyeret kopernya yang besar keluar dari Villa Arum Dalu. Jalanan sepi. Ini kawasan elit. Ia harus berjalan cukup jauh untuk sampai di jalan besar. Sebuah mobil mewah melintas cepat di sampingnya meriapkan rambut dan mengibarkan bajunya. Ia menggigil sesaat seraya menatap mobil yang menjauh. Itu mobil suaminya. Pria yang merenggut semua energinya selama 3 tahun ini. Tangannya mengepal penuh amarah.

"Nyonya naiklah!" sapa pria yang ada di sebuah mobil yang tengah melaju pelan.

Ambar menatap pria di belakang kemudi. Dia adalah sopir sekaligus asisten Sandy. Pak Karim. Ia malah mempercepat langkahnya.

"Nyonya ini jauh. Anda tak pernah berjalan jauh," bujuk Pak Karim. Ia tahu wanita itu sedang ngambek.

Mobil itu terus mengikuti Ambar. Pak Karim juga tak berhenti membujuknya. Pak Karim adalah pria tua yang telah mengabdi pada keluarga Sudiro puluhan tahun. Ia seorang yang menghargai orang lebih tua. Ambar tak mungkin terus mengabaikannya. Dasar Sandy! Teganya memanfaatkan pria tua macam pak Karim.

"Baiklah Pak. Antarkan aku ke jalan besar saja. Aku akan bercerai dengan Sandy. Jadi setelah ini berhenti mengurusi dan mengawasiku. Kami pisah rumah selama proses perceraian," tukas Ambar yang akhirnya naik juga ke atas mobil.

Sebenarnya cukup sering juga Ambar marah dan meninggalkan Villa. Tapi ia akan teringat neneknya dan pak Murtopo Sudiro kakek Sandy yang begitu baik. Pernikahannya terjadi karena kesepakatan dari mereka berdua. Mereka berdua punya hubungan persahabatan yang erat.

"Turun di sini Pak," sahut Ambar begitu mereka sampai di jalan besar.

Ambar mendengus. Ia menatap ke sekeliling. Sungguh sangat asing. Ia jarang keluar rumah. Ia berasal dari pelosok. Sejak menikah ia jarang keluar sendirian. Kecuali bersama Sita sahabatnya.

Sementara itu di kantornya Sandy mendapatkan laporan dari pak Karim.

"Nyonya mencari kos-kosan Pak," lapor pak Karim.

"Biarkan saja," ujarnya dengan sudut bibir meremehkan. Hanya mampu cari kos, pikirnya.

Pria itu tersenyum sambil terus menelaah dokumen. Ia tak perlu serius memikirkan istrinya itu. Ia selalu memenuhi semua kebutuhan istrinya tapi ia tak pernah memberinya uang berlebih. Ambar tidak akan mampu hidup mandiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status