"Apa sekretarismu yang baru itu Rosemala?” tanya Ambar menatap Sandy memastikan. Sandy yang tak ingin Ambar menyinggung soal Rosemala lagi langsung mengiyakan. Tumben istrinya itu peduli dengan urusannya di kantor. Menurutnya Ambar hanya tertarik dengan urusan domestik saja.Wajah Ambar memerah. Ia tak senang. Ia tahu Rosemala adalah cinta pertama suaminya. Kabarnya sebulan ini baru pulang dari pendidikannya di luar negeri. Kebetulan ia punya seorang teman yang bekerja di perusahaan suaminya. Temannya itu sering bercerita tentang gosip yang sedang beredar di perusahaan.“Apa tak ada kandidat lainnya? kenapa harus dia?” tukasnya menatap Sandy sendu.“Ya daripada repot interview banyak orang. Kebetulan Rosemala bersedia. Aku tahu kompetensinya. Jangan curiga macam-macam,” ucap Sandy cepat. Ia pikir alasannya itu masuk akal. “Buat apa aku cemburu. Kau masih mencintainya. Lantas aku mau apa? Kakek Murtopo juga sudah tak ada. Kau bebas sekarang mau kembali padanya,” seru Ambar mati-matia
Ambar terpaksa menyewa kamar kos yang murah untuk sementara waktu. Ia merasa miris. Suaminya seorang CEO perusahaan besar dan ia tak punya tabungan yang banyak. Ia bebas berbelanja di toko grocery milik keluarga Sudiro begitupun kebutuhan lainnya. Ia juga memilik pakaian, tas dan juga sepatu mahal. Semuanya dipesan oleh Sandy khusus untuknya. Hanya saja ia tak pernah pegang uang banyak. Suaminya hanya memberinya uang sebesar gaji seorang IRT setiap bulan. Itupun sebagian ia kirimkan untuk neneknya di kampung. Setelah merapikan koper dan juga barang-barangnya di kamar kos, Ambar keluar. Siang itu ia akan bertemu Sita, sahabatnya yang bekerja di perusahaan suaminya. Mungkin ia bisa memberikan info soal pekerjaan. Mereka bertemu di sebuah pujasera. Kebetulan Sita sekalian makan siang disela jeda ia bekerja."Kau betulan keluar dari Villa Arum Dalu?" mata Sita melebar menatap Ambar."Memang aneh? Aku sudah tak kuat dengan perilakunya. Aku sudah menanyakan masalah Rosemala. Ia tak menyan
Ambar terpaksa kembali ke Villa Arum Dalu. Ia tak mau membongkar kopernya. Ia masih berharap bisa meninggalkan rumah mewah yang sudah ia tempati hampir 3 tahun itu. Ia kini hanya berbaring tidur-tiduran malas melakukan apapun. Ia hanya bermain game di ponselnya.Sandy melakukan aktivitasnya membersihkan diri setelah lelah bekerja seharian. Lagi-lagi ia tak mendapatkan air hangat dan juga baju ganti yang biasanya disiapkan Ambar. Hatinya kesal. Setelah memilih sendiri pakaian dan mengenakannya ia melangkah ke dapur dan berharap ada makan malam. Tak ada makanan apapun yang tersaji di sana. Ia pun bergegas pergi ke kamar Ambar. Ia melihat istrinya itu sudah ketiduran dengan ponsel ada di dekatnya. "Bangun Ambar! buatkan aku makan malam," ujar Sandy mengguncang tubuh Ambar. Ambar terbangun dengan gelagapan."Oh iya aku belum memasak hari ini," ujarnya masih belum terlalu sadar. Namun begitu melihat Sandy dengan jelas wajahnya langsung murung."Kita akan cerai. Belajarlah untuk memenuhi k
Ambar jadi tak bisa untuk melanjutkan tidur kembali. Ia pun kemudian mencari informasi tentang perceraian di mesin pencarian. Ia harus mempunyai alasan yang kuat agar gugatan cerai segera di terima. Akan mudah lagi jika pasangan juga kompak dan tidak mempersulit. Maka dalam tempo sebulan ia akan resmi bercerai. Pukul 4 dini hari ia beranikan diri untuk menghubungi salah satu pengacara di layanan hukum online. Dan yang keluar adalah nasehat agar ia berpikir ulang dan melakukan hal-hal manis yang mungkin bisa membuat pernikahannya bertahan. Misalnya saja peringatan hari pernikahan. Ya kebetulan hari ini adalah hari ulang tahun pernikahanya dengan Sandy yang 3 tahun. Ia sedikit ragu apa ia akan mengikuti saran pengacara itu atau tidak. Jadi ia menghubungi Sita. "Sit gimana menurutmu?" "Sifat seseorang itu tak akan berubah Mbar. Siapa yang bisa merubah sifat arogan Sandy. Bos muda pewaris Sudiro grup. Kecuali mungkin kau bisa jadi orang yang paling dicintainya. Orang yang dicintai ak
Angin malam dan rintik hujan menimpa wajah Ambar membuatnya segera sadar dari pingsannya. Entah berapa lama ia tak sadarkan diri. Ia melihat langit hitam. Tubuhnya terikat dan kini ia sedang berada di atas kapal boat yang sedang meluncur di tengah lautan. Ada dua orang yang tengah menyeretnya ke pinggir kapal. Ia langsung berteriak."Kalian siapa? mau dibawa kemana aku?""Cepat kita ceburkan dia. Dia sudah sadar lagi," kata seorang pria dengan wajah sangar pada temannya."Diam kau! kau akan segera jadi makanan hiu," ucap pria satunya mencekeram tubuh Ambar dengan kuat. Ambar meronta sekuat tenaga."Jangan lakukan! aku tak bisa berenang!" seru Ambar menjadi ketakutan."Apa urusan kamu. Tugas kami hanya melenyapkanmu tanpa bekas dan kami dapat bayaran," seringai salah satu pria."Siapa yang menyuruh kalian? aku salah apa?" ucap Ambar masih berusaha melepaskan diri."Kau ingi tahu? buat apa? tubuhmu akan dimakan hiu," tawa pria yang lainnya. Mereka berancang-ancang akan melemparkan tubuh
Ambar membuka matanya. Ia terbaring di sebuah klinik dengan kepala pusing dan dada terasa sesak. Ia mencoba bangun. Seorang wanita paruh baya tersenyum lembut padanya."Jangan banyak bergerak. Kau sudah sadar rupanya. Aku akan panggilkan perawat dulu," Wanita itu pun berjalan ke ruang medis. Tak berapa lama seorang dokter dan perawat datang.Dokter itu pun segera memeriksa Ambar. "Semuanya bertambah baik. Jangan banyak aktivitas dulu. Istirahat yang banyak," saran dokter itu tersenyum."Jadi aku boleh pulang?" seru Ambar tak ingin terlalu lama ada di klinik."Ya anda bisa berobat jalan," jawab dokter itu kemudian beranjak ke pasien yang lain. "Berhubung anda sudah sadar anda bisa memberitahu saya identitas dan alamat anda? Ibu ini membawa anda pingsan dan tak tahu kartu identitas anda," kata perawat siap menulis di papan klip yang ia bawa. Ambar pun memberikan identitas dan alamatnya."Nak Ambar bisa istirahat di rumah saya untuk sementara," tawar wanita paruh baya yang menolongny
Saat pulang Ambar memutuskan tak kembali ke Villa Arum Dalu. Bagaimana ia bisa kembali tinggal serumah dengan Sandy yang menginginkannya lenyap dari dunia? paling tidak ia harus memiliki rencana untuk menghadapi semuanya. Sita menawarkan tempatnya untuk Ambar bisa beristirahat dan memulihkan diri. "Apa? Ini tidak bisa dipercaya. Sandy menyuruh orang untuk melenyapkanmu? Tak masuk akal." Sita mengernyitkan dahinya begitu Ambar menceritakan semua yang telah menimpanya. Malam itu mereka sedang tidur-tiduran di sofa ruang tengah dengan TV menyala. "Dia pernah mengatakan kalau ia ingin aku tak pernah ada di dunia ini. Aku percaya Sandy bisa melakukannya," tukas Ambar dengan hati sakit. Ia harus menerima kemungkinan yang terburuk tentang Sandy. Dari dulu ia selalu mencoba berprasangka baik tapi ujungnya selalu kecewa. "Saat ini kemungkinan besar memang dia. tapi kau belum tahu tentang apa yang beredar di media sodial sejak kemarin kau menghilang diculik." Kini giliram Sita yang mulai me
Malam itu Sandy minum banyak. Rosemala sengaja tidak ikut minum. Ia kemudian membawa Sandy pulang ke Villa Arum Dalu. Pria itu setengah sadar dan masih bisa menjawab ketika ia bertanya kode pintu rumah. Seluruh rumah di Villa Arum Dalu telah memakai teknologi canggih. Semuanya bisa dikontrol lewat ponsel. Seluruh ruangan pun telah dilengkapi CCTV.Rosemala membawa Sandy ke kamarnya. Ia senang tak melihat barang milik Ambar di kamar Sandy. Ia pun segera melepas sepatu dan juga dasi Sandy. Pria itu terus menggumam dan menyebut nama Ambar. Hatinya sakit dan geram. Pikiran Sandy rupanya telah dipenuhi oleh wanita itu. Ia tak akan membiarkan itu terjadi. Ia akan memanfaatkan semua situasi untuk merebut Sandy. Sandy adalah miliknya. Selamanya begitu. Sekaranglah kesempatan itu. Saat Ambar telah difitnah dan kini menghilang entah ke mana. Rosemala segera ikut berbaring di samping Sandy dan mulai menggodanya.Pagi harinya Sandy terbangun dengan kepala yang sangat berat. Ia terkejut melihat
Makan malam pun berlangsung santai dan penuh perbincangan seru. Sandy dan ayahnya hanya sesekali terlibat. Para perempuan lagi bersemangat membicarakan brand kosmetik baru mereka. Baru kali ini perusahaan Sudiro terjun ke bisnis kosmetik. Tiba-tiba Sandy merasa sangat pusing. Pandangannya memburam. Mungkin dia memang masih belum fit benar. Ia masih sering diserang rasa mual aneh itu. Ia melihat Rosemala mendekatinya dan ia tak mampu lagi mengingat dengan benar. Tubuhnya terasa gerah dan panas. Sandy mengernyitkan dahinya. Matanya tak ingin terbuka karena silaunya matahari dari jendela kamar. Ingatannya mulai berputar samar-samar. Semalam ia tengah makan malam dan kemudian ia sempoyongan ke kamar dengan Rosemala yang memapahnya. Beberapa scene membuatnya merasa bukan dirinya. Ia melihat Rosemala yang mulai menggodanya. Kemudian ia jatuh dan tenggelam dalam renjana birahi yang berasal dari rasa panas di tubuhnya. Ia tersentak bangun begitu sadar sepenuhnya apa yang telah diperbuatn
Ada banayak harapan di mata Kemuning saat Ambar ada dalam pelukannya. "Ambar, aku lihat rumah tanggamu dengan Sandy tidak berlangsung baik-baik saja. Yang menculikmu dulu itu memang bukan suamimu, tapi aku tahu ada yang menginginkan dirimu celaka. Aku tak tahu yang terbaik untukmu. Aku ingin tahu apa yang akan kamu rencanakan? Apa kau serius ingin bercerai dengan Sandy?" tanya Kemuning tatkala mereka saling melepaskan diri dan kembali duduk. "Aku ingin bercerai dengan Sandy dan memulai hidupku sendiri, ibu," jawab Ambar singkat. Sungguh ia merasa enggan menceritakan masalah rumah tangganya pada ibunya yang baru saja dekat dengannya. "Aku tak tahu apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tanggamu. Menikah dengan orang kaya ternyata juga tak menjamin semuanya. Aku hanya ingin menawarkan padamu sebuah pekerjaan. Kalau kau bersedia, kau bisa bekerja di perusahaan kosmetik MaryGold. Kebetulan aku punya teman di sana," tawar Kemuning berharap Ambar akan bisa segera move -on dari masalah ru
"Jangan menyebut Rosemala lagi. Mari kita fokus dengan pernikahan kita. Hentikanlah permainan ini. Mari kita bersikap lebih dewasa," seru Sandy berbisik di telinga Ambar. Ambar sedikit merinding. Sandy dengan cepat mengambil kesempatan untuk segera menciumnya. Buru-buru ia menjauhkan tubuhnya dari Sandy. "Tidak lagi Sandy," sentak Ambar waspada. tak boleh ia terpedaya lagi oleh bujuk rayu pria itu. Bayangan betapa mesranya Sandy saat memberikan kalung berlian itu pada Rosemala membuat hatinya perih. "Mengapa?" tanya Sandy kembali mendekat. Kali ini ia berhasil memagut leher jenjang Ambar. Ambar langsung tersengat. Sentuhan Sandy sulit untuk ditolak. "Please Sandy," rintih Ambar memberontak dalam pelukan Sandy yang kian erat. Otaknya mulai berkabut ketika Sandy kembali memciumnya dengan penuh sinar gairah. Tidak ketika ia sudah membulatkan tekad untuk berpisah. Ia harus segera pindah kalau tidak maka selamanya ia akan terjebak dalam hubungan menyakitkan tanpa akhir."Awc!" pekik Sa
"Sudah berapa tahun berlalu, sejak terakhir kali Kemuning datang untuk mengambilmu," seru Nenek dengan tatapan menerawang. Ambar tak bisa berkata-kata. Nama ibunya selalu membuatnya sesak. Ada keinginan untuk dekat dengannya, ada juga keinginan untuk membencinya. "Nenek sudah tua. Kamu juga jauh lebih dewasa sekarang. Saatnya menyerahkan semua keputusan padamu Mbar. Maafkan nenek, selama ini yang terlalu mengekangmu dan banyak memberimu larangan," ucap neneknya dengan tangan membelai lembut rambut Ambar. "Nenek jangan berkata begitu," tukas Ambar seraya memeluk neneknya dengan haru. "Temui ibumu. Perbaiki hubungan kalian," ucap nenek tersenyum. Ambar mengangguk dengan penuh kelegaan. Kini tidak ada lagi yag membuatnya ragu untuk bertemu dengan ibunya. Ia akan menghadapi ibunya apapun yang terjadi.Terakhir kali ia bertemu ibunya, tatkala pemakamam ayahnya. Ayahnynya meninggal saat Ambar berusia 10 tahun. Ayahnya ditemukan mati karena minum minuman keras oplosan. Dari dulu ayahnya
Malam itu Ambar menunggui Sandy menginap di klinik. Sandy ingin malam ini hubungannya dengan Ambar bisa mengalami kemajuan. "Mbar tolong, aku kedinginan. Naikkan selimutku," ucap Sandy pura-pura menggigil kedinginan. Ambar kini tak bisa membedakan apakah Sandy hanya pura-pura atau memang kedinginan. Dengan enggan ia segera membenah selimut Sandy. "Mbar apa kau tak penasaran, kenapa aku mual terus?" tanya Sandy melhat Ambar yang begitu cuek. "Dokter sudah mengatakan kau hanya salah makan," kata Ambar tak bisa menebak jawaban lain. Ia kembali fokus pada ponselnya "Kau tahu apa kata dokter pribadiku?" tanya Sandy lagi menatap Ambar. "Tentu saja aku tak tahu." Ambar berusaha tak peduli "Mbar, apa kau hamil?" tanya Sandy. Ambar langsung sedikit terkejut. Darimana Sandy tahu kalau dia hamil? Mungkinkah rumah sakit tempatnya kemarin di rawat, bisa membocorkan informasi seorang pasien. "Memang kenapa kalau aku hamil?" tanya Ambar bertanya balik. Ia masih tak ingin kehamilannya diket
Ambar melihat Sandy memejamkan matanya di ranjang. Ia tak yakin Sandy benar-benar sakit."Minumlah, air oralit ini," ujarnya meletakkkan segelas campuran gula dan garam di meja samping ranjang. Sandy tak menyahut. Ia mencoba mengamati Sandy lebih dekat. Wajah pria itu tampak pucat dan bibirnya kelihatan kering. Ia memutuskan untuk mengguncang bahunya pelan. Ada kekhawatiran di hatinya, jangan-jangan suaminya itu pingsan."Sandy," serunya. Pria itu sama sekali tak bereaksi."Jangan bersandiwara," ujarnya sedikit panik. Nenek yang sejak tadi memerhatikan dari ambang pintu, kemudian masuk."Apa yang terjadi pada suamimu. Sejak datang kemari tampaknya sudah kurang sehat," kata Nenek kini meletakkan tangannya di dahi Sandy."Suhu tubuhnya sangat dingin.""Dia baik-baik saja Nek," sahutnya mencoba menghibur diri."Apa kalian bertengkar?" tanya Nenek menatapnya. Ia tak ingin menjawab."Nek aku sakit," ucap Sandy tiba-tiba, yang lebih mirip rengekan. Mata pria itu sedikit terbuka. Ambar langs
Sebenarmya Ambar tak berniat untuk pulang kampung. Ia tak ingin memnuat neneknya khawatir bila mengetahui keadaannya yang sekarang. Ia sedikit menyesal, kenapa ia tak mengumpulkan semua hasil karyanya dalam satu map praktis. Terakhir ia pulang kampung setahun yang lalu. Itu pun dengan diantar pak Karim. Nenek tahu kondisi pernikahannya Hanya saja ia memberikan kebebasan pada Ambar untuk meneruskan atau tidak. Neneknya cukup memahami setelah kematian Pak Murtopo tak ada yang menjamin kalau keluarga Sandy tidak akan menyia-nyiakan pernikhan cucunya.Setelah hampir setengah jam naik gojek, Ambar turun di halaman rumah neneknya. Neneknya kini tinggal bersama keluarga besar yang tinggal di sekita rumahnya. Kehidupan nenek tak pernah kesepian karena kehadiran para keponakan, dan sepupu Ambar. Tampak pintu rumah nenek terbuka lebar. Ambar pun segera berjalan masuk. Di rumah tua inilah ia melewatkan awal kehidupannya sa,mpai hampir 17 tahun. "Nenek!" panggilnya terus berjalan ke arah dalam
Sandy ingin segera memastikan apakah benar Ambar hamil atau tidak. Ia segera menghubungi Tama asistennya."Tama segera pergi ke rumah sakit! Dapatkan informasi mengenai kondisi Ambar dan diagnosanya saat ia ada di rumah sakit tempo hari. Aku ingin cepat tahu hasilnya," perintah Sandy.Sandy kini mulai ingat tentang kondisi Ambar belakangan ini. Perdebatan dan pertengkaran mereka. Semuanya akan berbeda jikalau memang Ambar betulan hamil. Memikirkan Ambar, ia jadi tak sabar. Segera ia memeriksa CCTV yang ada di rumah. Sialnya Ambar kini sudah lumayan cerdas. Wanita itu tahu posisi mana yang bisa di sorot kamera CCTV. Jadi, ia tak bisa melihat gambaran jelas kegiatan Ambar di rumah. Yang bisa ia tangkap hanyalah Ambar keluar rumah sekita jam 9 siang. Tak puas karena tak bisa memantau Ambar, Sandy pun segera menekan nomor ponsel istrinya. Panggilannya tak ada respon. Ia mencoba lagi. Panggilannya di luar jangkauan. Pergi ke mana Ambar, sampai ia sangat sulit untuk menghubunginya. Ia pun
Dokter hanya mengerutkan dahinya penuh keheranan. Ia baru saja memeriksa kondisi Sandy.“Kenapa Dok?” tanya Sandy penasaran melihat reaksi dokter Murda.“Tak ada diagnosa yang pasti. Cek in terakhirmu semuanya normal,” kata dokter Murda masih berpikir.“Aku tak biasa dengan makanan luar. Kebetulan istriku berhalangan masak beberapa minggu ini. Jadi aku makan masakan luar. Apa itu mungkin bisa jadi penyebab Dok,” Sandy bangkit dari posisi berbaringnya setelah dokter selesai memeriksa tubuhnya. “Itu bisa saja terjadi. Namun biasanya itu akan disertai diare. Ini hanya mual dan muntah saja. Seperti gejala orang hamil. Apakah ini terjadi setiap pagi?” tanya dokter mulai menyimpulkan.“Kau benar. Aku tak pernah merasakan seperti ini, kalau aku makan makanan di luar. Paling aku akan muntah diikuti diare tapi itu hanya sebentar,” terang Sandy mulai ikut berpikir.“Apa istrimu hamil?” Dokter langsung ingin memastikan.Sandy sejenak bingung. Ia ingat beberapa minggu lalu saat ia memaksa Ambar