"Aku tak mengira seorang CEO grup Sudiro ternyata lumayan bebal dan tak mengerti bahasa. Aku bilang minta cerai. Aku ke sini hanya akan mengambil koper dan juga sedikit barang-barangku," tukas Ambar beranjak berdiri untuk pergi ke kamarnya."Tak perlu mengambil barang-barang. Semua itu pemberianku. Kau ke sini hanya dengan pakaian kampungmu itu. Memangnya apa yang kau banggakan dengan kehidupanmu setelah menjadi janda nanti. Kau akan jadi office girl seperti sahabatmu itu?" Sandy bersedekap dengan tersenyum mengejek. "Bahkan kau akan menarik semua pemberianmu? Sungguh tak bermartabat. Aku adalah orang yang tahu menghargai seseorang jadi aku akan mengambil semua pemberianmu. Aku akan menjualnya. Semua pakaian dan juga tas mahal itu akan bisa menopang hidupku untuk sementara. Barang-barang itu pasti lebih mahal daripada uang jatah bulananku. Aku bukan lagi istri orang kaya. Aku tak membutuhkannya. Satu lagi, tentang rumah ini. Rumah ini pemberian kakek Murtopo untuk pernikahan kita. Be
Dengan tubuh sempoyongan Ambar keluar dari kamar mandi. Mulutnya terasa pahit dan kepalanya berputar. Sandy telah menghilang dari dapur. Ia melihat bungkusan burger di tempat sampah. Pria itu benar-benar menghabiskannya. Sialnya kini ia sama sekali tak berselera makan. Ia akan kembali ke tempat tidurnya saja.Saat berjalan ke kamar tampak Sandy sedang sibuk bertelpon. Ia tak peduli. Tubuhnya tak bisa di toleransi lagi. Ia pun langsung berbaring sambil memejamkan mata. Semoga bisa meringankn perasan tak enak dalam sistem pencernaannya. Tanpa terasa ia tertidur sejenak. Ia terbangun oleh dering ponsel. Ternyata Sita menghubunginya."Ada apa Sita?""Aku hanya ingin memberitahumu, kalau kau serius dengan perceraian jangan asal cari pengacara. Kau ingat satu nama, kan?" Ambar mencoba mengingat beberapa nama tapi ia menggeleng."Nama apa?" "Astaga, kau ingat Panji? Dalam reuni kemarin ia muncul. Ahh sudahlah, kau memnag tak pernah hadir dalam acara semacam itu," keluh Sita."Ya tentu sa
Ambar membuka matanya dan ia sadar, kini ia ada di sebuah klinik atau rumah sakit. Ia pun mulai mengingat apa yang telah terjadi. Ia pingsan ketika bersama Panji di restoran. Ia pun mengedarkan pandangan mencari keberadaan Panji. Dari korden yang memisahkan dengan pasien lain, ia bisa mendengar sebuah suara yang ia kenal. Itu bukannya suara Sandy, suaminya? Ada suara lain yang juga dikenalnya. Kelihatannya yang menjadi pasien adalah si perempuan. Sebuah suara perempuan. Mungkinkah itu Rosemala? Memang dia sakit apa? batinnya. Ambar pun segera bangkit untuk duduk. Kepalanya masih sedikit berdenyut. Ia mrlighta jarum infus menembus pergelangan tangannya.. Tepat saat itu Panji muncul dari arah pintu keluar dengan membawa air mineral di tangannya. "Kau sudah sadar?" ujar Panji langsung mendekati ambar. Ambar merasa sungkan sudah merepotkan Panji. "Terima kasih sudah membawaku ke sini. Aku sudah baikan. Bailknya kita pulang saja," kata Ambar paling tidak suka terlalu lama di rumah sakit
"Untuk memastikannya anda harus tes kehamilan. Bisa di sini atau dengan dokter pribadi anda," Ambar masih tak mengira ada kemungkinan kejadian hubungan intim beberapa minggu lalu akan berefek seperti ini. Ia berharap semoga saja ia tak mengandung. Ia sudah memutuskan untuk bercerai. Akan jadi lebih sulit, jika ia memang benar-benar hamil. "Putuskanlah Ambar," seru Panji membuyarkan lamunan Ambar."Sekalian tes di sini saja. Aku ingin segera tahu," kata Ambar merasa tak ada gunanya menunda-nundanya lagi. Dokter memberi isyarat pada perawat. Perawat itu pun memberikan alat tes kehamilan dan mengantarkan Ambar ke toilet. Beberapa saat kemudian Ambar keluar dan membawa hasil tes itu dengan raut wajah muram. Panji tak bisa menduga kalau kemuraman Ambar berasal dari hasil tes itu. Ambar kemudian memberikan hasil tes itu pada dokter. Dokter melibat alat tes itu dan kemudian tersenyum."Selamat ya Bu Ambar anda akan dikaruniai seorang anak. Bu Ambar bisa memeriksakan kandungan ibu secara
Setelah kepergian Sandy, Ambar segera memesan makanan dalam aplikasi dengan uang terakhirnya. Ambar kesal setelah melihat saldo di rekeningnya tak bertambah bulan ini. Rupanya Sandy malah tak memberinya jatah bulanannya. Saat ia memutuskan ingin bercerai, Sandy langsung menghentikan pemberian dananya. Dasar pria pelit. Sandy ingin menguasainya lewat dominasi keuangannya. Ambar membuka tas misterius itu. Ia meraih kartu itu menimbang-nimbang. Setelah tubuhnya fit, ia akan langsung mencari rumah Bi Inah.Ponselnya tiba-tiba berdering. Ia melihat Sandy yang menelpon. "Ya ada apa lagi?""Aku sudah memesankan makanan. Wajahmu pucat," seru Sandy singkat."Aku mampu membeli sendiri makananku. Kita akan bercerai aku,...." Ambar melihat panggilan telah diputus. Ia mendengus. Membelikannya makanan, tapi tak memberinya uang? Sandy makin tak bisa dimengerti. Yang jelas mulai hari ini, ia tak akan makan pemberian dari Sandy. Syarat perceraian adalah tidak memberi nafkah selama 2 tahun berturut-tu
Pagi itu Sandy terbangun dengan rasa mual. Saat ia menggosok gigi beberapa kali ia nyaris muntah. Pasti ini gara-gara makanan luar. Ia harus membiasakannya. Ia pun kembali meminum pil anti mual sebelum berangkat kerja. Ia melihat pintu kamar Ambar tertutup. Pasti Ambar kondisinya masih belum pulih. Biarlah dia beristirahat dahulu. Ia segera menghubungi Tama asistennya saat dalam perjalanan ke kantor."Tama tolong pesankan aku masakan di katering khusus untuk sarapan di kantor. Kirimkan juga umtuk Ambar di rumah," perintah Sandy. Ia berharap kali ini katering tempat Tama membeli masakan akan cocok dengan perutnya. "Ya Pak. Apakah itu saja, tak ada yang lain," seru Tama."Oh iya apakah tadi malam apa yang aku suruh sudah beres?" tanya Sandy teringat tugas yang ia berikan tadi malam mengenai Panji."Pak seperti yang Pak Sandy inginkan. Pria bernama Panji itu tidak akan lagi bisa menjadi pengacara Nyonya Ambar. Pak Sunarto selaku kepala law firm telah memindahkannya untuk mengurusi kasus
Dokter hanya mengerutkan dahinya penuh keheranan. Ia baru saja memeriksa kondisi Sandy.“Kenapa Dok?” tanya Sandy penasaran melihat reaksi dokter Murda.“Tak ada diagnosa yang pasti. Cek in terakhirmu semuanya normal,” kata dokter Murda masih berpikir.“Aku tak biasa dengan makanan luar. Kebetulan istriku berhalangan masak beberapa minggu ini. Jadi aku makan masakan luar. Apa itu mungkin bisa jadi penyebab Dok,” Sandy bangkit dari posisi berbaringnya setelah dokter selesai memeriksa tubuhnya. “Itu bisa saja terjadi. Namun biasanya itu akan disertai diare. Ini hanya mual dan muntah saja. Seperti gejala orang hamil. Apakah ini terjadi setiap pagi?” tanya dokter mulai menyimpulkan.“Kau benar. Aku tak pernah merasakan seperti ini, kalau aku makan makanan di luar. Paling aku akan muntah diikuti diare tapi itu hanya sebentar,” terang Sandy mulai ikut berpikir.“Apa istrimu hamil?” Dokter langsung ingin memastikan.Sandy sejenak bingung. Ia ingat beberapa minggu lalu saat ia memaksa Ambar
Sandy ingin segera memastikan apakah benar Ambar hamil atau tidak. Ia segera menghubungi Tama asistennya."Tama segera pergi ke rumah sakit! Dapatkan informasi mengenai kondisi Ambar dan diagnosanya saat ia ada di rumah sakit tempo hari. Aku ingin cepat tahu hasilnya," perintah Sandy.Sandy kini mulai ingat tentang kondisi Ambar belakangan ini. Perdebatan dan pertengkaran mereka. Semuanya akan berbeda jikalau memang Ambar betulan hamil. Memikirkan Ambar, ia jadi tak sabar. Segera ia memeriksa CCTV yang ada di rumah. Sialnya Ambar kini sudah lumayan cerdas. Wanita itu tahu posisi mana yang bisa di sorot kamera CCTV. Jadi, ia tak bisa melihat gambaran jelas kegiatan Ambar di rumah. Yang bisa ia tangkap hanyalah Ambar keluar rumah sekita jam 9 siang. Tak puas karena tak bisa memantau Ambar, Sandy pun segera menekan nomor ponsel istrinya. Panggilannya tak ada respon. Ia mencoba lagi. Panggilannya di luar jangkauan. Pergi ke mana Ambar, sampai ia sangat sulit untuk menghubunginya. Ia pun