Alfred sudah lama sekali tak mengunjungi tempat itu. Mungkin satu atau dua tahun yang lalu.
"Ah, akhirnya kau memiliki waktu luang lagi, ya," ujar Paula, yang merupakan temannya sejak kecil. Orang tua mereka juga saling mengenal. Sampai saat ini, wanita itu tentu saja masih menyimpan rasa kepada Alfred, entahlah hanya sekadar gurauan saja atau bersungguh-sungguh, ia tak peduli.
Alfred memang menerima ajakan bersantai dari Paula. Wanita itu tentu saja merasa sangat senang setelah sekian lama ia menunggu waktu tersebut.
"Apalagi mendengar berita jika kau dan juga Gwen telah resmi bercerai," tambah Paula seraya terkekeh.
Alfred lantas menatap ke arah pantai yang saat ini menjadi perhatian mereka semua, "Aku juga merasa senang."
"Lalu, bagaimana dengan Katy? Apakah hak asuhnya berada di tanganmu?" tanya Paula yang merasa penasaran, walaupun sebenarnya ia telah menbetahhui berita itu dari segala sumber yang ada.
"Tentu," jawab Alfred singkat. Pikirannya cukup tenang kali ini saat melihat pemandangan tersebut, apalagi dengan segelas matcha hangat yang menjadi favoritnya.
Paula menatapnya dan tersenyum penuh arti, "Lalu, bagaimana dengan ibu pengganti bagi Katy? Kau tahu, anak itu masih terlalu kecil untuk tak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu."
Alfred tak menjawabnya. Sebenarnya ia cukup malas jika obrolan ini terhanyut secara terus menerus menuju ke arah privasinya, apalagi tentang keluarganya.
"Tapi tak masalah, aku tahu bagaimana kalutnya, tenanglah, ada aku di sini. Kau bisa menghubungiku jika ingin mengasuh Katy saat kau sedang sibuk," ujar Paula kemudian.
Sesaat kemudian, saat Paula masih asyik berbicara seorang diri tanpa sahutan dari Alfred, pria itu seketika tersenyum simpul saat melihat kehadiran Nick di antara mereka. Sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuk kembali pulang mengingat waktu telah menunjukkan pukul 1 siang. Sudah banyak sekali orang yang ia temui pagi ini dan berakhir bertemu dengan Paula.
"Aku harus pergi sekarang, terima kasih atas waktumu," ujar Alfred seraya pergi berlalu tanpa menunggu lagi jawaban dari Paula.
Wanita itu hanya menatapnya dan menghela napas panjang, "Sepertinya ia masih bersedih karena mendiang Nyonya Lily sudah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Ia tak memiliki siapa pun lagi selain Katy dan juga aku."
Paula juga berharap jika Alfred akan meliriknya sedikit saja. Sulit sekali untuk mendapatkan perhatian pria itu.
***
Alfred berjalan memasuki rumah megahnya itu. Terletak di dekat pedesaan lantas membuatnya sangat tenang, apalagi ia tak memerlukan banyak bodyguard untuk berjaga di sana. Memang, beberapa di antaranya telah ia perintah untuk menjaga rumah tersebut, tapi mereka hanya berada di luar halaman saja dan berada di belakang rumah itu.
Satu lagi, tak ada asisten rumah tangga karena semua ini memang murni keinginannya. Ia membiarkan Amanda untuk terbebas dari siapa pun dan membiarkan pula wanita itu untuk membersihkan semuanya sendiri. Itu lebih baik.
Ia tak melihat Amanda saat ini, tapi ia melihat beberapa perubahan di bagian ruang tengah, sepertinya semakin bersih dan tertata rapi.
"Nona Amanda yang melakukan semuanya sejak pagi tadi, Sir," ujar Nick yang mencoba untuk menjelaskannya.
Alfred mengangguk paham, menurutnya itu adalah hal yang bagus. Membiarkan wanita itu mandiri.
"Untuk malam ini aku membatalkan semua meetingku. Kalian tak perlu mempersiapkan apa pun," ujar Alfred kepada Nick, salah satu tugas pria itu adalah memberitahukan informasi seputar pekerjaan Alfred kepada sektretaris pribadi Alfred nantinya.
"Baik, Sir," jawab Nick kemudian.
Alfred lalu berjalan menuju ke dalam lift, ia harus membersihkan tubuhnya dan setelah itu mungkin akan memilih untuk beristirahat sejenak.
Saat pintu lift itu terbuka, terlihat kamar Amanda yang tertutup rapat. Alfred telah mengira bahwa wanita itu sedang beristirahat akibat kegiatannya sejak pagi. Tentu saja ia tak mempermasalahkan hal itu.
Alfred memutuskan untuk kembali kepada kegiatannya dan tak memusingkan soal Amanda. Wanita itu sudah mandiri menurutnya sehingga ia tak terlalu mementingkannya untuk saat ini.
***
Malam harinya, Amanda pun memutuskan untuk keluar kamar. Ia harus memasak makan malam untuknya dan juga Alfred, jika pria itu sudah kembali pulang.
Saat melihat ke arah pintu kamar Alfred, tapi ternyata masih dalam posisi terkunci rapat seperti pagi tadi. Ia bahkan belum melihat pria itu hampir seharian ini. Amanda sejak tadi memang beristirahat dan setelah itu melanjutkan kegiatan bersih-bersihnya di dalam kamarnya itu sehingga membuatnya tak bisa keluar kamar.
"Baiklah, aku akan memutuskan untuk memasak porsi lebih malam ini, jika memang Alfred belum kembali pulang maka aku akan menyantapnya lagi sebelum tidur," gumam Amanda dan setelah itu memutuskan untuk pergi berlalu menuju ke arah dapur yang berada di lantai satu.
Ia tak melihat Nick, semuanya sangat sepi dan hanya dirinya saja yang menguasai dapur itu. Amanda sebenarnya tak merasa takut, tapi hampa sekali rasanya berada seorang diri saja di rumah megah itu.
Seketika itu juga ia teringat dengan Katy. Apa kabar gadis kecil itu? Apakah ia tak menangis?
Amanda tersenyum dan setelahnya memasukkan potongan sosis itu ke dalam wajan. Ia memasak nasi goreng, seperti masakannya selama enam bulan terakhir bersama dengan Julie saat itu.
Ah, ia juga merindukan Julie. Bagaimana mereka semua? Apakah mereka sudah menyantap sarapan masing-masing?
Amanda lantas menghela napas panjang. Ia sebenarnya sangat ingin bertanya tentang Katy kepada Alfred, tapi rasanya sungkan sekali dan ia juga tak memiliki nyali yang besar untuk itu. Apalagi, ia dan juga Alfred belum bertemu selama hampir seharian ini.
"Oh, aromanya lezat sekali."
Amanda terdiam mendengarnya. Ia pun membalikkan tubuhnya dan melihat seorang pria yang tingginya setara dengan Alfred tengah berdiri di ambang pintu dapur. Memiliki rambut hitam dan berwajah khas Asia. Sepertinya salah satu rekan kerja Alfred yang berkunjung ke sana.
Pria itu melongo saat Amanda menatapnya kali ini, "Wow, hai. Siapa kau?"
Amanda terdiam sejenak. Ia tak mungkin mengatakan jika dirinya adalah seorang istri dari Alfred. Apalagi dengan semua ucapan Alfred yang masih ia ingat sampai detik ini.
"Tak boleh ada yang mengetahui tentang status kita, apalagi dengan Julie dan siapa pun itu. Untuk saat ini hanya Daisy dan juga Nick saja yang mengetahuinya."
Amanda mengingat pesan lisan itu. Seketika ia tersenyum dan kembali menatapnya, "Aku adalah teman masa kecil Alfred."
Pria itu menaikkan kedua alisnya dan mengangguk paham, "Ah, ternyata Alfred memiliki teman masa kecil yang sangat cantik. Siapa namamu, nona?"
"Amanda," jawab Amanda dengan ramah.
"Nama yang indah untuk seorang wanita cantik sepertimu, senang bertemu denganmu, namaku David," ujar pria yang bernama David itu. Tatapannya sungguh nakal menurut Amanda, tapi sebisa mungkin ia tak memperdulikannya.
"Salam kenal, David," jawab Amanda dan seketika itu berbalik untuk segera melanjutkan kegiatannya saat ini.
David masih menatapnya lekat, tentu saja ia merasa tertarik dengan Amanda saat ini, "Apakah kau memasak nasi goreng? Berisi potongan sosis di dalamnya?"
Amanda terkesiap mendengarnya, ia menatap ke arah David yang ternyata saat ini telah berdiri di samping kirinya, "Kau benar sekali. Bagaimana bisa kau mengetahuinya?"
David terkekeh mendengarnya, "Aku cukup sering menyantap nasi goreng, apalagi ini adalah khas dari Asia, tidak semua Asia tapi beberapa di antaranya mengetahui makanan ini. Kau menyukai cita rasa khas Asia rupanya. Menarik sekali."
Amanda tersenyum sambil mengaduk nasi goreng itu, "Kau benar, makanan khas Asia memang sangat lezat. Sebenarnya aku mengetahui resep ini dari internet. Mencobanya dan ternyata sungguh lezat."
"Baru pertama kali aku melihat seorang wanita yang memasak makanan Asia dan menyukainya. Langka sekali menurutku selama berada di Kanada sampai saat ini," gumam David dan menatapnya.
Amanda merasa kikuk saat pria itu terus saja menatapnya. Namun, di lain sisi Amanda juga senang karena pada akhirnya ia mendapatkan teman mengobrol. Hampa sekali rasanya saat ia hanya seorang diri saja sejak pagi tadi.
"Ngomong-ngomong, apakah aku boleh ikut makan malam juga?" tanya David kepadanya.
"Tentu, kenapa tidak? Aku bahkan telah-"
"David."
Panggilan itu lantas membuat ucapan Amanda terpotong. Mereka menatap ke arah sumber suara, tentu saja itu adalah Alfred yang saat ini tengah menatap Amanda lekat. Seperti terkejut dan juga takut, entahlah. Amanda tak yakin dengan penglihatannya.
***
"Hai, Alfred. Kau tak pernah bercerita tentang teman masa kecilmu ini yang menyukai makanan khas Asia," ujar David seketika. Amanda hanya menahan senyumannya sambil terus melanjutkan kegiatannya saat ini. Ia pun melangkah pergi untuk membawa tiga piring nasi goreng itu ke arah meja makan yang letaknya cukup jauh dari dapur itu. Sekalian ia harus menyiapkan yang lainnya di meja makan, apalagi dengan kehadiran David yang tiba-tiba malam ini. Alfred membiarkan Amanda pergi, mereka hanya saling melirik saja beberapa saat sebelum wanita itu pergi berlalu. "Kenapa kau datang kemari? Bukankah Nick sudah memberitahumu jika meeting malam ini aku batalkan?" tanya Alfred yang tentu saja merasa terkejut karena melihat kehadiran David, sekretaris pribadinya itu yang datang tiba-tiba di rumahnya. Hanya David yang mengetahui rumah ini karena mereka terkadang mengerjakan pekerjaan di sana. "Aku tahu, tapi rasanya sangat bosan ketika berada di rumah sendiri dan tak me
"Kurasa aku memasukkan pakaian milik Julie," gumam Amanda kemudian.Ah, ia merasa menyesal karena memasukkan lingerie merah itu ke dalam kopernya saat mengemas semua pakaiannya itu.Tapi, tak ada pakaian lain yang bisa ia gunakan malam ini, apalagi cuaca sangat panas. Memang, di dalam kamarnya sudah tersedia AC, tapi Amanda tak begitu biasa dengan udara dingin AC tersebut."Aku akan menggunakannya khusus untuk malam ini. Besok pagi, aku akan mencuci semua pakaianku dan juga mencuci lingerie ini," gumam Amanda dan setelah itu menggantinya. Ia cukup terbebas karena hanya seorang diri saja di kamar itu. Tak ada Alfred atau siapa pun itu.Amanda melihat ke arah pantulan cermin yang ada di hadapannya saat ini. Ternyata tubuhnya sangat molek dan terkesan cukup seksi."Ya Tuhan, untuk apa Julie menyimpan pakaian sejenis ini?" gumam Amanda seraya terkekeh. Ia cukup takjub dengan bagian tubuh dalamnya itu.Tok! Tok!Amanda membulatkan ke
"Daaar!"Amanda tentu saja merasa terkejut karena kehadiran David saat ini yang berada di sampingnya."Hei, untung saja piring ini tidak terjatuh," ujar Amanda seraya tersenyum. Ia lalu kembali membawa semua piring itu ke dalam rak kaca yang berada di hadapannya saat ini.David tersenyum geli mendengarnya, "Memangnya jika pecah apa yang akan terjadi?""Kau harus menggantinya," jawab Alfred yang seketika masuk ke dalam dapur itu. Mereka berdua memang telah siap dengan pakaian kantornya."Kau ini, datang di saat yang tidak tepat," geruru David kepadanya."Ayolah, kita memiliki jadwal meeting hari ini, kenapa kau melupakannya?" ujar Alfred kepadanya.David membulatkan kedua matanya. Ia benar-benar lupa dengan pesan dari Alfred semalam, "Ah, maafkan aku. Baiklah, ayo."Sebelum itu, David juga terlihat mengelus pelan pipi Amanda dan tentunya membuat wanita itu terkejut bukan main."Jaga dirimu baik-baik, cantik. Setelah makan
Amanda memulai pekerjaannya kembali. Untuk saat ini ia memang tak memiliki jadwal kencan dengan Andrew, kekasihnya itu.Ya, ia memang memiliki seorang kekasih, yang bahkan sangat ia cintai. Mereka saling mencintai dan bertekad untuk menunjukkan cintanya itu di depan altar nantinya.Andrew adalah pria yang manis dan juga perhatian kepadanya. Mereka telah menjalin hubungan selama dua tahun lamanya. Cukup matang bisa di katakan.Amanda lalu berjalan mendekati ranjang Katy, seorang bayi perempuan yang berusia satu tahun. Ini adalah pekerjaannya selama enam bulan terakhir, menjadi seorang pengasuh anak untuk keluarga yang sangat kaya raya.Amanda memang tak berasal dari keluarga yang bergelimang harta seperti majikannya ini. Ia hanyalah seorang wanita yang di lahirkan dan di besarkan di keluarga yang berkecukupan. Tapi semua itu tak membuatnya merasa malas untuk bekerja atau pun merasa malu."Lihatlah, siapa yang pintar dan tak suka menangis, hm?" goda
"Amanda, apakah kau tak pergi berkencan?" goda Julie kepadanya.Amanda terkekeh, "Mungkin lain kali saja. Aku akan membantumu mengerjakan semua ini."Selama satu minggu ini, Andrew memang tak memberikannya kabar seperti biasanya. Amanda yakin bahwa pria itu sedang sibuk dengan pekerjaannya tersebut."Ah, sayang sekali. Kau sama sekali belum berkencan selama seminggu ini, Amanda. Apakah Andrew sedang sibuk?" tanya Julie yang saat ini sedang membersihkan guci mahal yang berada di hadapannya saat ini, di bantu oleh Amanda tentu saja."Ya, begitulah. Ia salah satu pewaris tunggal di keluarganya, bahkan semua pekerjaan itu ia lakukan seorang diri," jawab Amanda.Julie melongo mendengarnya. Ia lalu mendekati Amanda, "Wow, lihatlah, kau adalah calon istri dari salah satu billionaire Kanada. Kapan kalian akan segera menikah, hm?"Amanda yang mendengarnya lantas terkekeh, "Doakan saja, mungkin secepatnya.""Aku selalu mendoakanmu, berkat senan
Alfred tengah duduk seorang diri di sebuah kursi tunggu yang berada di hadapan ruang rawat Lily, ibunya itu.Sudah hampir enam bulan belakangan ini ia selalu di sibukkan oleh pekerjaannya dan juga mengurus Ibunya yang terkena gagal ginjal.Maka dari itu, Alfred mencari tenaga lainnya untuk membantu para asisten rumah tangganya dalam menjaga Katy selama enam bulan belakangan ini.Gwen tentu tak bisa melakukannya karena wanita itu selalu mengedepankan karier dan juga hobinya yang sangat mewah tersebut. Bahkan, satu hal yang baru saja Alfred ketahui adalah ternyata Katy bukanlah putri kandungnya. Entahlah wanita itu membuatnya dengan pria mana, ia tak ingin mengetahuinya lebih lanjut. Semua kesibukannya ini tentu saja membuat Alfred semakin jarang untuk mencari tahu istrinya itu. Bahkan sekarang tak ada kehadiran Gwen di sisinya. Ia begitu menyesal menerima perjodohan dari mendiang Ayahnya dua tahun yang lalu. Lihatlah, bayangkan saja jika ia menolaknya, mungkin Al
Amanda menghela napas panjang sebelum ia membuka pintu yang menghubungkannya langsung dengan lapangan golf yang berada di rumah megah itu.Terlihat lapangan yang sangat luas saat ini. Ia bahkan baru pertama kali melihatnya. Ternyata rumah itu sangat megah.Wanita itu pun melihat Alfred yang saat ini tengah memukul bola itu dengan sangat keras. Seketika Amanda terkejut, tentu saja semua itu sangat luar biasa. Ternyata Alfred adalah pemain yang hebat.Alfred memberhentikan permainannya itu sejenak. Ia menatap ke arah tepi lapangan dan di sana terlihat Amanda yang tengah berdiri sambil menatapnya. Seketika Alfred berjalan mendekati wanita itu."Berapa luas lapangan ini? Berapa pula mereka membayar tagihan listriknya?" gumam Amanda seraya memikirkan semuanya."Amanda?" panggil Alfred kemudian.Amanda tersenyum kikuk dan menunduk hormat kepadanya, "Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"Alfred terdiam sejenak, entah ia seketika lupa dengan
Amanda mengetuk pintu kamar itu. Ia yakin jika kamar yang berada di lantai dua satu-satunya itu adalah kamar milik majikannya, Alfred. "Masuklah." Amanda mendengarnya dengan jelas. Ia pun membuka pintu kamar itu seraya melihat ke arah Alfred yang saat ini tengah duduk di tepi tempat tidurnya itu. "Tutup pintunya kembali, Amanda," ujar Alfred seketika. Amanda melakukannya, walaupun ia merasa kikuk kali ini, apalagi dengan cahaya yang sangat terang di dalam kamar tersebut. "Apakah kau menangis?" tanya Alfred seketika saat ia melihat kedua mata hazel milik Amanda. Wanita itu terkesiap. Apakah nampak jelas? "Ehm, maafkan aku, abaikan saja. Apakah Katy tertidur?" tanya Alfred kemudian. Amanda tersenyum dan mengangguk, "Ya, Katy sedang tertidur." "Baiklah." Setelah itu di antara keduanya terlihat sangat kikuk. Bahkan, Amanda berpikir jika semuanya sudah selesai. "Amanda.." Setelah menunggu kura