Amanda mengetuk pintu kamar itu. Ia yakin jika kamar yang berada di lantai dua satu-satunya itu adalah kamar milik majikannya, Alfred.
"Masuklah."
Amanda mendengarnya dengan jelas. Ia pun membuka pintu kamar itu seraya melihat ke arah Alfred yang saat ini tengah duduk di tepi tempat tidurnya itu.
"Tutup pintunya kembali, Amanda," ujar Alfred seketika.
Amanda melakukannya, walaupun ia merasa kikuk kali ini, apalagi dengan cahaya yang sangat terang di dalam kamar tersebut.
"Apakah kau menangis?" tanya Alfred seketika saat ia melihat kedua mata hazel milik Amanda.
Wanita itu terkesiap. Apakah nampak jelas?
"Ehm, maafkan aku, abaikan saja. Apakah Katy tertidur?" tanya Alfred kemudian.
Amanda tersenyum dan mengangguk, "Ya, Katy sedang tertidur."
"Baiklah."
Setelah itu di antara keduanya terlihat sangat kikuk. Bahkan, Amanda berpikir jika semuanya sudah selesai.
"Amanda.."
Setelah menunggu kurang lebih sepuluh menit lamanya, ia pun menatap ke arah Alfred kembali, "Iya?"
"Kau belum menandatangi kontrak," ujar Alfred seraya mengambil sebuah amplop yang menurut Amanda adalah sebuah kontrak untuknya.
Memang benar, Julie juga mengatakan jika ia harus menunggu kontrak itu dari Alfred atau pun Gwen nantinya. Ini dia waktunya.
"Benar sekali, Tuan," jawab Amanda kemudian.
"Ini dia. Kau bisa memberikannya kepadaku besok pagi di lapangan golf. Aku menunggumu di sana setelah sarapan," ujar Alfred seraya memberikan amplop cokelat itu.
Amanda pun menerimanya dan tersenyum, "Baik, Tuan. Saya akan segera menandatanganinya. Terima kasih."
Setelah itu, ia pun pergi berlalu dari dalam kamar Alfred. Rasanya begitu kikuk saat bertemu di dalam kamar pria tersebut.
"Apakah tak ada tempat lain untuk bertemu?" gumam Amanda seketika. Tidak etis sekali rasanya bertemu di dalam kamar.
Ia juga merasa bersalah karena telah pergi berlalu begitu saja. Tapi, tak masalah karena tak ada lagi yang perlu di jelaskan, bukan?
Di lain sisi saat ini Alfred tengah menatap ke arah meja yang berada di sampingnya itu. Tentu saja di sana terlihat sebuah kertas putih yang merupakan kontrak untuk Amanda. Ya, itu adalah kertas kontrak yang seharusnya di tandatangi oleh Amanda.
Pria itu seketika tersenyum simpul dan kembali merebahkan tubuhnya yang terasa sangat lelah.
Di lain sisi, saat ini Amanda telah merebahkan tubuh Katy di ranjangnya. Ia tersenyum dan setelah itu berjalan menuju ke arah pintu yang menyambungkan kamarnya dengan kamar Katy.
Amanda masih mengingat semua kejadian siang tadi yang berada di mall tersebut. Ia tak tahu apakah penglihatannya itu benar-benar menunjukkan yang sesungguhnya? Atau semua itu hanya halusinasi dari Amanda saja?
Amanda yang masih memegang amplop cokelat itu pun mengambil ponselnya seraya memeriksa sebuah pesan di sana, tapi ternyata tak ada satu pun yang berasal dari Andrew.
"Ia pasti sedang sibuk," gumam Amanda kemudian.
Amanda lalu memutuskan untuk memberikan sebuah pesan singkat kepadanya, seperti biasanya. Ia pasti akan melakukan hal tersebut lebih dulu.
Amanda lalu melihat ke arah amplop cokelat yang berada di genggamannya saat ini. Sepertinya lebih baik ia segera menandatangani surat kontraknya itu agar tidak lupa.
"Baiklah, ayo kita mulai membacanya," gumam Amanda seketika.
Wanita itu terlihat membacanya secara perlahan. Ia juga telah menyiapkan bolpoin yang berada di sebelahnya saat ini.
Terdapat dua kertas di sana tapi sepertinya Alfred salah memberikan berkas untuknya. Kedua kertas itu sama sekali bukan berisi kontrak untuknya.
"Ini adalah surat perceraiannya dengan istrinya," gumam Amanda setelahnya. Ia pun segera memasukkan semuanya kembali tanpa membaca kertas yang lainnya.
Ia tak boleh membaca dan merasa penasaran dengan semua kertas yang nyatanya salah itu. Pasti Alfred merasa sangat marah jika ia tak segera mengembalikannya.
"Di mana Tuan Alfred?" tanya Amanda kepada salah satu asisten di sana.
"Mungkin di kamarnya, kau bisa mencarinya di sana, atau pun di bar yang berada di sebelah kamarnya," jawabnya kemudian.
Amanda tersenyum dan mengangguk, "Terima kasih. Aku akan segera memenuhinya."
Setelah Amanda pergi berlalu, sang asisten itu lantas menggeleng takjub, "Amanda memang memiliki keberanian yang luar biasa untuk bertemu dengan Tuan Alfred secara langsung."
Mereka semua sebenarnya tak merasa takut untuk bertemu dengan Alfred, tapi aura yang terpancar dari dalam diri pria itu membuat mereka semua merasa segan dan hormat, apalagi dengan ketampanannya.
Di lain sisi, saat ini Amanda masih tak mendapatkan jawabannya. Ternyata Alfred tak menyahuti ketukan pintunya itu.
"Jika ia tidak berada di kamarnya, berarti Alfred berada di barnya itu," gumam Amanda dan setelah itu berjalan mendekat ke sebuah sinar yang cukup terang dan terlihat di sana Alfred yang tengah meneguk segelas minuman yang entah apa itu. Ia menatap ke arah kirinya. Tentu saja ia menyadari kehadiran Amanda saat ini.
"Ada apa?" tanya Alfred kemudian.
Amanda pun berjalan mendekatinya, "Maaf sebelumnya karena telah mengganggu waktumu, Tuan. Tapi, di sini saya ingin mengembalikan ini."
Alfred menatap ke arah amplop cokelat itu saat ini, "Oh, kau telah menandatanganinya? Bagus."
Amanda mengernyit, tentu saja ia belum melakukannya, "Maaf Tuan, tapi saya belum melakukannya. Anda mungkin salah memberikan berkas ini karena isinya bukanlah tentang kontrak kerja, tapi.."
Amanda merasa tenggorokannya cukup sekat untuk melanjutkan pembicaraannya itu, "Surat perceraian anda."
Alfred meletakkan gelas sloki itu di hadapannya. Ia pun masih tak menatap ke arah Amanda sama sekali saat ini, "Semua itu memang benar untukmu, Amanda. Kau harus membaca semuanya secara perlahan."
"Tapi, Tuan, berkas ini-"
"Menikahlah denganku karena aku sangat memerlukan rahimmu untuk mengandung anakku. Aku akan memberikanmu apa saja," potong Alfred seketika.
Amanda yang mendengarnya tentu saja merasa terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika pria itu akan mengatakan hal tersebut kepadanya.
Menikah dengan Alfred? Itu tak pernah ada di dalam bayangannya sama sekali.
"Maaf, saya tidak bisa. Disini, saya hanyalah seorang pengasuh untuk putri kesayangan anda, Tuan," jawab Amanda kemudian.
"Menikahlah denganku," ujar Alfred kembali.
"Saya sudah memiliki seorang kekasih," jawab Amanda seketika. Ia mungkin sudah tak sopan kali ini.
Alfred tersenyum sambil memainkan gelas sloki miliknya itu, "Aku akan mendengar jawabannya besok pagi, di lapangan golf, dan setelah sarapan."
Setelah mengatakan hal tersebut, Alfred lalu bangkit berdiri dan pergi meninggalkan barnya itu.
Amanda tak habis pikir dengan ucapan Alfred tadi. Apa ini? Kenapa terdapat ajakan menikah di dalamnya?
"Memangnya apa saja isi dari amplop ini?" gumam Amanda kemudian. Ia lalu berjalan menuju ke arah lift dan memutuskan untuk memeriksa semuanya di dalam kamarnya setelah ini.
***
Amanda membaca semuanya. Ternyata tidak hanya berkas dari perceraiannya saja, tapi di sana juga terlihat beberapa hal mengenai kesehatan Alfred. Ia dinyatakan sehat dan tak mandul. Begitu menurutnya secara singkat.
"Lalu, gunanya ia memasukkan semua ini untuk apa?" gumam Amanda kemudian.
Ia lalu membaca sebuah lembaran yang lainnya. Di sana terlihat sebuah kontak yang aneh menurut Amanda.
"Kontrak untuk menikah?" gumam Amanda kemudian. Ia lalu mencoba untuk membacanya secara perlahan.
1. Bisa meminta apa pun yang di inginkan.
2. Bebas melakukan apa pun setelah menikah dengan orang lain.
3. Bebas memiliki seorang kekasih setelah menikah.
4. Tak ada larangan apa pun.
5. Menikah karena saling membutuhkan. Tanpa adanya cinta, sentuhan khusus, atau pun ciuman seperti pada umumnya.
Amanda tak habis pikir dengan kelima syarat itu. Ia bahkan masih merasa tak mengerti dengan apa yang tengah di berikan oleh Alfred untuknya.
"Bagaimana jika aku menolaknya? Aku tak mungkin menerima semua ini begitu saja, apalagi aku tak mengenalnya, aku juga tak tahu siapa Alfred sebenarnya. Lagi pula aku telah memiliki seorang kekasih selama ini," gumam Amanda seketika, bersamaan dengan deringan ponselnya. Ternyata Andrew.
"Ya, sayang?"
"Sayang? Ah, kau adalah kekasihnya? Atau simpanan Andrew yang lainnya?"
Seketika Amanda terdiam saat mendengar suara seorang wanita di seberang sana.
"Siapa kau?"
"Tak perlu mengetahuiku. Lebih baik kau tak usah mengirimkan pesan atau sejenisnya kepada Andrew. Kami akan segera menikah, benar begitu, sayang?"
Amanda juga mendengar suara Andrew yang membenarkan ucapan wanita itu. Apa lagi ini?
"Halo, Amanda. Terima kasih atas dua tahun ini, aku merasa menyesal karena telah menjalin hubungan denganmu, kau memang tak seperti wanita kebanyakan. Terlalu menjual mahal. Satu lagi, aku akan mengakhiri hubungan kita sekarang juga."
Seketika Amanda memutuskan panggilan tersebut. Ia mendengar semuanya, itu adalah suara Andrew. Tega sekali pria itu melakukannya.
Amanda merasa sesak, sedih, dan juga kesal di saat yang bersamaan.
Cobaan apa lagi ini? Belum cukupkah semuanya?
***
Kedua mata Amanda menjadi sembab akibat semalam. Ia tak bisa tidur sama sekali karena memikirkan semuanya.Ia memang telah resmi putus dari Andrew. Pikirannya menjadi kacau pagi ini, namun sebisa mungkin Amanda tetap mengerjakan tugasnya sesuai dengan tugasnya sebagai seorang pengasuh bagi Katy.Untuk saat ini sarapan akan berjalan, biasanya mereka tak akan sibuk seperti itu, apalagi selama enam bulan waktu itu mereka selalu bersantai di pagi hari karena tak perlu memasak apa pun.Amanda bersama dengan Katy telah siap, anak itu juga telah menyantap buburnya untuk sarapan."Ramai sekali suasana di luar," gumam Amanda kepada Katy saat ini. Ia juga tak melihat Julie sejak tadi. Itu karena pasti wanita tersebut tengah berada di antara mereka semua."Apakah kita harus keluar kamar sekarang?" tanya Amanda kepada Katy.Terlihat Katy yang sangat ingin keluar kamarnya itu. Amanda tersenyum dan setelahnya berjalan untuk membuka pintu itu secara
Amanda terlihat tengah bersama dengan Katy kembali saat ini. Anak itu terlihat mengantuk dan tentu saja membuat mereka harus pergi kembali menuju ke dalam kamarnya."Amanda."Ia mendengar panggilan itu lagi. Untung saja dari Julie. Wanita itu berjalan menghampirinya."Hm, kedua matamu telah menjelaskan semuanya soal Andrew," ujar Julie seketika.Amanda hanya tersenyum saja mendengarnya, "Aku akan kembali setelah ini."Julie melihat ke arah Katy yang setengah tertidur. Seketika ia terkekeh dan berjalan beriringan bersamanya, "Aku akan ikut menjaganya sekarang. Ayo."Amanda mengangguk, mungkin itu lebih baik. Mereka lalu berjalan menuju ke arah kamar Katy untuk membiarkan anak itu tidur di ranjangnya yang nyaman."Jadi, apakah ia telah memberikan klarifikasi?" tanya Julie dengan nada yang setengah berbisik.Amanda yang saat ini tengah menatap ke arah Katy pun hanya bisa tersenyum saja. Ia lalu mengalihkan pandangannya kepada Juli
Amanda melihat butik itu dengan sangat takjub. Sungguh ia merasa seperti seorang putri saja kali ini. Mereka semua terlihat melayani Alfred dan juga Amanda dengan sangat sopan dan sabar. Bahkan mereka semua juga sangat ramah dengannya. "Tidak usah, biar aku saja," ujar Amanda seraya melepaskan sepatu yang ia pakai saat ini. Mereka semua tentu merasa terkejut. Tak ada yang seperti Amanda sampai detik ini. Mereka semua pasti menyuruh para pegawai butik itu untuk melakukannya. Bahkan tak segan untuk menyuruh-nyuruh mereka semua. "Anda baik sekali, nona. Tapi, biarkan kami bekerja," ujar salah satu di antaranya kepada Amanda. Amanda tersenyum. Ia pun melepaskan sepatunya di bagian sebelah saja dan setelah itu membiarkan mereka semua melakukan tugasnya, seperti keinginannya tadi. Alfred tentu saja tak terlihat, sepertinya pria itu berada di luar ruangan ini. Entahlah, ia sama sekali tak bisa melihat keadaan di luar sana. "Anda sangat berunt
Alfred berjalan memasuki ruang sidang itu. Ia masih tak melihat Gwen atau pun antek-anteknya di sana. "Apakah mereka belum tiba juga?" tanya Alfred kepada sang pengacara pribadinya itu. "Belum, Tuan. Sepertinya mereka tidak hadir lagi kali ini," jawab sang pengacara kembali. Alfred tersenyum senang. Kemenangan akan berada di depan matanya. Hak asuh itu pun akan berada di tangannya. Tentu saja Gwen tak memiliki bukti apa pun untuk menjatuhkannya di dalam persidangan kali ini. Maka dari itu, ia sama sekali tak memberikan jawaban apa pun atas kehadirannya saat ini. Sudah dua kali ia tak menghadirinya. "Kita akan menunggunya di dalam," ujar Alfred dan terlihat sang pengacaranya itu yang mengangguk. Alfred lantas terdiam di posisinya saat ini. Ia membaca beberapa berkas penting yang selalu ia bawa sejak pertama kali sidang berlangsung. "Sepertinya mereka memang tidak akan hadir lagi, Tuan," bisik pengacara Alfred saat in
Amanda telah merapikan semua pakaiannya. Besok adalah hari pernikahannya dengan Alfred. Tentu saja semuanya di adakan secara tertutup dan juga private. Bisa di bilang tak ada siapa pun yang mengetahuinya. Amanda menghela napas panjang. Pukul 2 pagi nanti, saat semuanya tertidur pulas, ia harus segera bersiap-siap ikut bersama dengan Nick. Tak ada pilihan lain selain menyetujuinya. Amanda tersenyum pahit saat mengingat semua momen menyedihkannya selama ini. Keluarganya yang hancur berantakan dan pergi meninggalkannya sejak ia berusia 8 tahun, merantau seorang diri ke Kanada dan bekerja sebagai seorang pengasuh anak untuk keluarga kaya raya, hubungan yang kandas karena ia tak pernah memberikan Andrew tubuhnya, selain itu, yang paling utama bahkan masih ia rasakan adalah menikah secara terpaksa dengan majikannya sendiri, karena atas dasar saling memerlukan, lebih tepatnya memerlukan rahimnya untuk melahirkan anak laki-laki untuk Alfred. "Miris sekali," gumam Ama
"Anda cantik sekali, nona," bisik seseorang kepadanya. Amanda membuka kedua matanya. Ia melihat dirinya saat ini di pantulan cermin. Ah, apakah itu adalah dirinya? "Luar biasa, aku bahkan sampai tak bisa mengenalinya," ujar salah satu di antara mereka. Kali ini Amanda telah selesai dengan semua riasannya itu. Bahkan, ia telah menggunakan gaun pengantin miliknya. "Terima kasih," ujar Amanda dan tentu saja ia suka sekali dengan hasil riasannya itu. "Bagaimana jika kita mengambil satu gambar saja sebelum pergi menemui pengantin prianya?" ujar salah satu di antara mereka kembali. Untuk saat ini, di dalam ruangan itu terdapat empat orang wanita yang sejak tadi sibuk untuk membantu dirinya. "Ide yang bagus. Ayo." Amanda hanya mengikuti mereka dan saat ini berdiri di antara mereka semua. Setelah itu, tak lupa untuk mereka mengucapkan selamat atas hari yang berbahagia saat ini. Amanda seketika tersenyum. Ya, ini sangat bahagia,
Alfred sudah lama sekali tak mengunjungi tempat itu. Mungkin satu atau dua tahun yang lalu. "Ah, akhirnya kau memiliki waktu luang lagi, ya," ujar Paula, yang merupakan temannya sejak kecil. Orang tua mereka juga saling mengenal. Sampai saat ini, wanita itu tentu saja masih menyimpan rasa kepada Alfred, entahlah hanya sekadar gurauan saja atau bersungguh-sungguh, ia tak peduli. Alfred memang menerima ajakan bersantai dari Paula. Wanita itu tentu saja merasa sangat senang setelah sekian lama ia menunggu waktu tersebut. "Apalagi mendengar berita jika kau dan juga Gwen telah resmi bercerai," tambah Paula seraya terkekeh. Alfred lantas menatap ke arah pantai yang saat ini menjadi perhatian mereka semua, "Aku juga merasa senang." "Lalu, bagaimana dengan Katy? Apakah hak asuhnya berada di tanganmu?" tanya Paula yang merasa penasaran, walaupun sebenarnya ia telah menbetahhui berita itu dari segala sumber yang ada. "Tentu," jawab Alfred singka
"Hai, Alfred. Kau tak pernah bercerita tentang teman masa kecilmu ini yang menyukai makanan khas Asia," ujar David seketika. Amanda hanya menahan senyumannya sambil terus melanjutkan kegiatannya saat ini. Ia pun melangkah pergi untuk membawa tiga piring nasi goreng itu ke arah meja makan yang letaknya cukup jauh dari dapur itu. Sekalian ia harus menyiapkan yang lainnya di meja makan, apalagi dengan kehadiran David yang tiba-tiba malam ini. Alfred membiarkan Amanda pergi, mereka hanya saling melirik saja beberapa saat sebelum wanita itu pergi berlalu. "Kenapa kau datang kemari? Bukankah Nick sudah memberitahumu jika meeting malam ini aku batalkan?" tanya Alfred yang tentu saja merasa terkejut karena melihat kehadiran David, sekretaris pribadinya itu yang datang tiba-tiba di rumahnya. Hanya David yang mengetahui rumah ini karena mereka terkadang mengerjakan pekerjaan di sana. "Aku tahu, tapi rasanya sangat bosan ketika berada di rumah sendiri dan tak me