Alfred berjalan memasuki ruang sidang itu. Ia masih tak melihat Gwen atau pun antek-anteknya di sana.
"Apakah mereka belum tiba juga?" tanya Alfred kepada sang pengacara pribadinya itu.
"Belum, Tuan. Sepertinya mereka tidak hadir lagi kali ini," jawab sang pengacara kembali.
Alfred tersenyum senang. Kemenangan akan berada di depan matanya. Hak asuh itu pun akan berada di tangannya.
Tentu saja Gwen tak memiliki bukti apa pun untuk menjatuhkannya di dalam persidangan kali ini. Maka dari itu, ia sama sekali tak memberikan jawaban apa pun atas kehadirannya saat ini. Sudah dua kali ia tak menghadirinya.
"Kita akan menunggunya di dalam," ujar Alfred dan terlihat sang pengacaranya itu yang mengangguk.
Alfred lantas terdiam di posisinya saat ini. Ia membaca beberapa berkas penting yang selalu ia bawa sejak pertama kali sidang berlangsung.
"Sepertinya mereka memang tidak akan hadir lagi, Tuan," bisik pengacara Alfred saat ini.
Pria itu menatap ke arah depan dan tentu saja tersenyum, "Bagus kalau begitu. Kita tak perlu bersusah payah untuk mencari keadilan dan melawan kelicikannya."
"Anda benar sekali."
Setelah tiga jam menunggu dan tak ada kabar yang di berikan, seketika putusan pun dibuat. Tentu saja semua itu di menangkan oleh Alfred dan juga pengacaranya. Pria itu terlihat senang dengan seulas senyum kemenangannya.
"Kita berhasil melakukannya," ujar sang pengacara kepada Alfred.
"Tentu saja. Tak ada lagi yang perlu di bahas dan di selesaikan. Terima kasih."
Setelah menyelesaikan semuanya, Alfred pun kembali ke dalam limusinnya. Ia harus pergi menuju ke rumahnya. Rasanya beban pikirannya seketika terasa ringan.
"Selamat siang, Sir. Hari ini anda memiliki jadwal untuk pengukuran cincin," ujar Nick kepadanya.
Alfred menatapnya dan mengangguk, "Terima kasih karena telah mengingatkanku, Nick. Kalau begitu suruh mereka semua bersiap-siap. Kita akan menjemput Amanda terlebih dahulu."
"Tentu, Sir."
Setelah itu, Alfred kembali termenung dengan pemikirannya sendiri. Setelah resmi bercerai dan juga memiliki hak asuh Katy, Alfred merasa bahwa ucapan Lily sangatlah benar. Ia bahkan benar-benar membantu Alfred selama ini.
Pria itu seketika tersenyum saat ia melihat apa yang sedang ia tatap saat ini.
Seorang anak kecil laki-laki yang sedang bergandengan tangan bersama dengan Ibunya.
Alfred tersenyum simpul melihat pemandangan itu.
"Sebentar lagi, aku akan melihatnya."
***
Amanda tengah melemparkan bola karet itu ke arah depan. Kali ini ia bersama dengan Julie dan juga Katy di halaman samping. Mereka terlihat senang sekali, apalagi saat Amanda melemparkan bola itu ke arah depan dengan sangat keras.
"Baiklah, ayo kita mulai lagi, Katy. 1, 2, 3," teriak Amanda seraya melemparkan bola karet itu kembali dengan kencang.
Seketika itu juga Amanda terkesiap. Begitu pula dengan Julie. Tapi tidak untuk Katy yang lantas semakin senang dan bertepuk tangan ricuh seorang diri karena Amanda telah berhasil memantulkan bola karet itu tepat ke arah wajah Alfred yang tengah berdiri di hadapan mereka saat ini.
"Maafkan saya, Tuan. Maaf," ujar Amanda seketika dan berdiri setelahnya.
Alfred menghela napas panjang. Untung saja ia cukup sabar kali ini, apalagi setelah memenangkan semua persidangan itu, "Lupakan, ikut aku sekarang, Amanda."
Amanda hanya mengangguk dan membiarkan Alfred pergi lebih dulu. Ia pun menatap ke arah Katy dan juga Julie saat ini.
"Pergilah," ujar Julie seraya menggodanya.
Namun, seketika saja Katy menangis. Amanda pun kembali kepadanya dan menggendongnya kembali. Sepertinya Katy tak ingin jika ia pergi berlalu.
"Kau tak bisa ikut, Katy, ayo, kemarilah," ujar Julie namun Katy tak menginginkan gendongannya itu. Tumben sekali.
"Biarkan Katy ikut bersama denganku," ujar Amanda kemudian.
"Amanda, tapi Tuan Alfred tak akan menyetujuinya, kami pernah melakukan itu," jawab Julie kemudian.
Amanda tersenyum, "Aku akan mencobanya. Semoga saja Tuan Alfred memberikan Katy izin untuk ikut."
Setelah mengatakan hal tersebut, Amanda lalu berjalan mengajak Katy ke arah mobil yang telah terparkir di halaman depan. Terlihat Alfred yang menatap keduanya saat ini.
"Maaf Tuan, izinkan Katy untuk ikut kali ini. Ia menangis sejak tadi," ujar Amanda kepadanya.
Alfred menatap gadis kecil itu yang saat ini juga menatapnya, tak ada pilihan lain selain menganggukkan kepalanya.
Amanda tersenyum, ia dan juga Katy pun akhirnya masuk ke dalam limusin tersebut yang saat ini telah pergi berlalu dari pekarangan rumah itu.
Amanda sejak tadi terlihat sibuk memangku Katy yang kelihatannya sangat suka dengan limusin itu. Bahkan, ia juga terlihat menatap ke arah Alfred sejenak. Entahlah, apa yang ia pikirkan ketika melihat pria itu.
Alfred hanya memandanginya, terkadang, ia juga memandangi Amanda yang sangat sibuk mengajak Katy selama di perjalanan. Ini berbeda sekali karena biasanya Gwen selalu membawa asisten pribadinya itu untuk mengurus Katy selama di perjalanan. Ia bahkan tak pernah melakukan hal seperti yang tengah di lakukan oleh Amanda selama ini.
Alfred masih menatapnya, bahkan sampai wanita itu menatapnya juga. Tatapan mereka pun seketika bertemu.
Entah mengapa Alfred tersenyum simpul kepadanya. Amanda tentu saja merasa kikuk melihatnya.
"Aaaaaa.."
Alfred menaikkan kedua alisnya saat Katy ternyata telah menarik kerah bajunya saat ini. Ia juga berteriak senang karena telah berhasil melakukannya.
"Sayang, hei, jangan seperti itu," ujar Amanda seraya menariknya. Katy pun kembali kepada pangkuannya itu dan menyenderkan tubuhnya di bagian dada Amanda.
Pandangan Alfred juga tertuju kepadanya. Alfred merasakan hal aneh saat ini. Pemandangan itu lantas membuatnya merasa berdesir.
"Alfred, sudahlah," gumamnya seorang diri dan setelah itu mengalihkan tatapannya menuju ke arah depan. Ia begitu tak fokus kali ini dengan bagian dada Amanda.
"Sadarlah," gumam Alfred kemudian.
***
Katy terlihat tersenyum saat Nick menggendongnya kali ini. Amanda dan juga Alfred tengah mengukur jari mereka masing-masing seraya memilih beberapa model cincin yang telah di sediakan.
"Kami memiliki model cincin berlian terbaru dan hanya terdapat 5 di dunia," ujar sang pegawai kepada mereka berdua.
Mendengarnya saja membuat Amanda menjadi pusing. Oh, ayolah, siapa yang akan menggunakan cincin mahal itu?
"Aku akan mengambilnya. Bisa kau tunjukkan?" tanya Alfred seketika.
Amanda lantas melongo mendengarnya. Apakah Alfred yakin?
Terlihat sebuah cincin berlian yang sangat mewah dan terlihat sangat mahal tentu saja. Saat Amanda mencobanya, seketika saja ia terpukau, apalagi saat melihat bahwa ukurannya begitu pas dengan jari manisnya.
"Apakah kau menyukainya?" tanya Alfred kemudian.
Amanda tersenyum, "Saya menyukainya, tapi lebih baik kita pesan yang lain saja. Ini terlalu mahal menurut saya."
"Aku akan mengambilnya. Memangnya kenapa jika harganya mahal?" tanya Alfred kemudian seraya menatapnya.
Amanda lantas melihat cincin tersebut, tapi ia menggeleng seketika, "Tetap saja itu sangat percuma. Menurut saya jika ada model lainnya yang lebih sederhana dan murah, maka kenapa tidak mengambil yang itu saja? Menikah bukan berarti harus terlihat mewah. Lebih baik bahagia dan berkecukupan dari pada mewah tapi tak berkecukupan, apalagi soal keharmonisan rumah tangga."
Amanda terdiam mendengarnya. Oh, apa yang telah ia katakan?
Seketika ia melihat ke arah Alfred yang saat ini menatap cincin itu, "Kau benar."
Amanda menatapnya lekat, "Maaf, saya sudah-"
"Kita akan mengambil semuanya, bagaimana?" ujar Alfred seketika.
Amanda menatapnya melongo. Apa lagi ini?
"Aku akan mengambil ketiganya. Dua cincin berpasangan, satu lagi adalah cincin berlian ini," ujar Alfred kepada pegawainya itu.
"Baik, Tuan."
Amanda masih tak menyangka dengan semua ini. Alfred terlalu menghamburkan uangnya.
"Maaa.."
Amanda menatap ke arah Katy yang ternyata memanggil kata "Mama" kepadanya.
Alfred menatap ke arah Katy yang terlihat memanggil Mama kepada Amanda. Entah mengapa ia menyukainya.
"Kemarilah," ujar Amanda dan terlihat Katy yang ingin berada di dalam dekapannya itu.
"Terima kasih, Paman Nick karena telah menjagaku," ujar Amanda yang seolah-olah menjadi Katy.
Nick tersenyum dan mengangguk, "Dengan senang hati, Nona Amanda."
Alfred menatap semuanya. Ia pertama kalinya melihat seorang wanita yang sangat keibuan seperti Amanda selama ini.
"Apakah sifatnya itu asli? Atau hanya berpura-pura saja?" gumam Alfred seketika. Pikirannya seketika kalut dan negatif.
***
Amanda telah merapikan semua pakaiannya. Besok adalah hari pernikahannya dengan Alfred. Tentu saja semuanya di adakan secara tertutup dan juga private. Bisa di bilang tak ada siapa pun yang mengetahuinya. Amanda menghela napas panjang. Pukul 2 pagi nanti, saat semuanya tertidur pulas, ia harus segera bersiap-siap ikut bersama dengan Nick. Tak ada pilihan lain selain menyetujuinya. Amanda tersenyum pahit saat mengingat semua momen menyedihkannya selama ini. Keluarganya yang hancur berantakan dan pergi meninggalkannya sejak ia berusia 8 tahun, merantau seorang diri ke Kanada dan bekerja sebagai seorang pengasuh anak untuk keluarga kaya raya, hubungan yang kandas karena ia tak pernah memberikan Andrew tubuhnya, selain itu, yang paling utama bahkan masih ia rasakan adalah menikah secara terpaksa dengan majikannya sendiri, karena atas dasar saling memerlukan, lebih tepatnya memerlukan rahimnya untuk melahirkan anak laki-laki untuk Alfred. "Miris sekali," gumam Ama
"Anda cantik sekali, nona," bisik seseorang kepadanya. Amanda membuka kedua matanya. Ia melihat dirinya saat ini di pantulan cermin. Ah, apakah itu adalah dirinya? "Luar biasa, aku bahkan sampai tak bisa mengenalinya," ujar salah satu di antara mereka. Kali ini Amanda telah selesai dengan semua riasannya itu. Bahkan, ia telah menggunakan gaun pengantin miliknya. "Terima kasih," ujar Amanda dan tentu saja ia suka sekali dengan hasil riasannya itu. "Bagaimana jika kita mengambil satu gambar saja sebelum pergi menemui pengantin prianya?" ujar salah satu di antara mereka kembali. Untuk saat ini, di dalam ruangan itu terdapat empat orang wanita yang sejak tadi sibuk untuk membantu dirinya. "Ide yang bagus. Ayo." Amanda hanya mengikuti mereka dan saat ini berdiri di antara mereka semua. Setelah itu, tak lupa untuk mereka mengucapkan selamat atas hari yang berbahagia saat ini. Amanda seketika tersenyum. Ya, ini sangat bahagia,
Alfred sudah lama sekali tak mengunjungi tempat itu. Mungkin satu atau dua tahun yang lalu. "Ah, akhirnya kau memiliki waktu luang lagi, ya," ujar Paula, yang merupakan temannya sejak kecil. Orang tua mereka juga saling mengenal. Sampai saat ini, wanita itu tentu saja masih menyimpan rasa kepada Alfred, entahlah hanya sekadar gurauan saja atau bersungguh-sungguh, ia tak peduli. Alfred memang menerima ajakan bersantai dari Paula. Wanita itu tentu saja merasa sangat senang setelah sekian lama ia menunggu waktu tersebut. "Apalagi mendengar berita jika kau dan juga Gwen telah resmi bercerai," tambah Paula seraya terkekeh. Alfred lantas menatap ke arah pantai yang saat ini menjadi perhatian mereka semua, "Aku juga merasa senang." "Lalu, bagaimana dengan Katy? Apakah hak asuhnya berada di tanganmu?" tanya Paula yang merasa penasaran, walaupun sebenarnya ia telah menbetahhui berita itu dari segala sumber yang ada. "Tentu," jawab Alfred singka
"Hai, Alfred. Kau tak pernah bercerita tentang teman masa kecilmu ini yang menyukai makanan khas Asia," ujar David seketika. Amanda hanya menahan senyumannya sambil terus melanjutkan kegiatannya saat ini. Ia pun melangkah pergi untuk membawa tiga piring nasi goreng itu ke arah meja makan yang letaknya cukup jauh dari dapur itu. Sekalian ia harus menyiapkan yang lainnya di meja makan, apalagi dengan kehadiran David yang tiba-tiba malam ini. Alfred membiarkan Amanda pergi, mereka hanya saling melirik saja beberapa saat sebelum wanita itu pergi berlalu. "Kenapa kau datang kemari? Bukankah Nick sudah memberitahumu jika meeting malam ini aku batalkan?" tanya Alfred yang tentu saja merasa terkejut karena melihat kehadiran David, sekretaris pribadinya itu yang datang tiba-tiba di rumahnya. Hanya David yang mengetahui rumah ini karena mereka terkadang mengerjakan pekerjaan di sana. "Aku tahu, tapi rasanya sangat bosan ketika berada di rumah sendiri dan tak me
"Kurasa aku memasukkan pakaian milik Julie," gumam Amanda kemudian.Ah, ia merasa menyesal karena memasukkan lingerie merah itu ke dalam kopernya saat mengemas semua pakaiannya itu.Tapi, tak ada pakaian lain yang bisa ia gunakan malam ini, apalagi cuaca sangat panas. Memang, di dalam kamarnya sudah tersedia AC, tapi Amanda tak begitu biasa dengan udara dingin AC tersebut."Aku akan menggunakannya khusus untuk malam ini. Besok pagi, aku akan mencuci semua pakaianku dan juga mencuci lingerie ini," gumam Amanda dan setelah itu menggantinya. Ia cukup terbebas karena hanya seorang diri saja di kamar itu. Tak ada Alfred atau siapa pun itu.Amanda melihat ke arah pantulan cermin yang ada di hadapannya saat ini. Ternyata tubuhnya sangat molek dan terkesan cukup seksi."Ya Tuhan, untuk apa Julie menyimpan pakaian sejenis ini?" gumam Amanda seraya terkekeh. Ia cukup takjub dengan bagian tubuh dalamnya itu.Tok! Tok!Amanda membulatkan ke
"Daaar!"Amanda tentu saja merasa terkejut karena kehadiran David saat ini yang berada di sampingnya."Hei, untung saja piring ini tidak terjatuh," ujar Amanda seraya tersenyum. Ia lalu kembali membawa semua piring itu ke dalam rak kaca yang berada di hadapannya saat ini.David tersenyum geli mendengarnya, "Memangnya jika pecah apa yang akan terjadi?""Kau harus menggantinya," jawab Alfred yang seketika masuk ke dalam dapur itu. Mereka berdua memang telah siap dengan pakaian kantornya."Kau ini, datang di saat yang tidak tepat," geruru David kepadanya."Ayolah, kita memiliki jadwal meeting hari ini, kenapa kau melupakannya?" ujar Alfred kepadanya.David membulatkan kedua matanya. Ia benar-benar lupa dengan pesan dari Alfred semalam, "Ah, maafkan aku. Baiklah, ayo."Sebelum itu, David juga terlihat mengelus pelan pipi Amanda dan tentunya membuat wanita itu terkejut bukan main."Jaga dirimu baik-baik, cantik. Setelah makan
Amanda memulai pekerjaannya kembali. Untuk saat ini ia memang tak memiliki jadwal kencan dengan Andrew, kekasihnya itu.Ya, ia memang memiliki seorang kekasih, yang bahkan sangat ia cintai. Mereka saling mencintai dan bertekad untuk menunjukkan cintanya itu di depan altar nantinya.Andrew adalah pria yang manis dan juga perhatian kepadanya. Mereka telah menjalin hubungan selama dua tahun lamanya. Cukup matang bisa di katakan.Amanda lalu berjalan mendekati ranjang Katy, seorang bayi perempuan yang berusia satu tahun. Ini adalah pekerjaannya selama enam bulan terakhir, menjadi seorang pengasuh anak untuk keluarga yang sangat kaya raya.Amanda memang tak berasal dari keluarga yang bergelimang harta seperti majikannya ini. Ia hanyalah seorang wanita yang di lahirkan dan di besarkan di keluarga yang berkecukupan. Tapi semua itu tak membuatnya merasa malas untuk bekerja atau pun merasa malu."Lihatlah, siapa yang pintar dan tak suka menangis, hm?" goda
"Amanda, apakah kau tak pergi berkencan?" goda Julie kepadanya.Amanda terkekeh, "Mungkin lain kali saja. Aku akan membantumu mengerjakan semua ini."Selama satu minggu ini, Andrew memang tak memberikannya kabar seperti biasanya. Amanda yakin bahwa pria itu sedang sibuk dengan pekerjaannya tersebut."Ah, sayang sekali. Kau sama sekali belum berkencan selama seminggu ini, Amanda. Apakah Andrew sedang sibuk?" tanya Julie yang saat ini sedang membersihkan guci mahal yang berada di hadapannya saat ini, di bantu oleh Amanda tentu saja."Ya, begitulah. Ia salah satu pewaris tunggal di keluarganya, bahkan semua pekerjaan itu ia lakukan seorang diri," jawab Amanda.Julie melongo mendengarnya. Ia lalu mendekati Amanda, "Wow, lihatlah, kau adalah calon istri dari salah satu billionaire Kanada. Kapan kalian akan segera menikah, hm?"Amanda yang mendengarnya lantas terkekeh, "Doakan saja, mungkin secepatnya.""Aku selalu mendoakanmu, berkat senan