Amanda melihat butik itu dengan sangat takjub. Sungguh ia merasa seperti seorang putri saja kali ini. Mereka semua terlihat melayani Alfred dan juga Amanda dengan sangat sopan dan sabar. Bahkan mereka semua juga sangat ramah dengannya.
"Tidak usah, biar aku saja," ujar Amanda seraya melepaskan sepatu yang ia pakai saat ini.
Mereka semua tentu merasa terkejut. Tak ada yang seperti Amanda sampai detik ini. Mereka semua pasti menyuruh para pegawai butik itu untuk melakukannya. Bahkan tak segan untuk menyuruh-nyuruh mereka semua.
"Anda baik sekali, nona. Tapi, biarkan kami bekerja," ujar salah satu di antaranya kepada Amanda.
Amanda tersenyum. Ia pun melepaskan sepatunya di bagian sebelah saja dan setelah itu membiarkan mereka semua melakukan tugasnya, seperti keinginannya tadi.
Alfred tentu saja tak terlihat, sepertinya pria itu berada di luar ruangan ini. Entahlah, ia sama sekali tak bisa melihat keadaan di luar sana.
"Anda sangat beruntung, nona," ujar salah satu di antara mereka.
Amanda hanya tersenyum simpul sambil menunduk saja. Ia pun tengah menggunakan sebuah gaun terbuka pada bagian atasnya dan bermodel kelelawar pada bagian lengannya.
"Lihatlah, anda cantik sekali," pujinya kembali kepada Amanda.
"Terima kasih, cantik," jawab Amanda ramah.
Tak lama kemudian, Alfred berjalan masuk dan ia cukup tertegun saat ini ketika menatap Amanda.
"Lihatlah, gaun rancanganku bagus, bukan?" ujar Daisy, yang merupakan seorang designer dari gaun tersebut.
Alfred mengangguk dan tak memalingkan wajahnya dari hadapan Amanda saat ini, "Kau memang luar biasa."
"Tentu saja, calon istrimu ini sangat luar biasa. Ia sangat cocok dengan rancanganku," ujar Daisy kembali.
Alfred seketika menatap ke arahnya, "Dia hanyalah.."
Daisy terlihat menunggu ucapan selanjutnya, namun Alfred menggeleng seketika, "Lupakan saja. Lanjutkan semuanya. Aku tak punya banyak waktu lagi."
Daisy terlihat mengernyit dan setelah itu membiarkan Alfred pergi berlalu, "Maafkan Alfred, ya. Pria itu memang sangat gengsi. Aku heran dengannya."
Amanda yang menatapnya lantas tersenyum, "Tak masalah, sifatnya memang seperti itu."
"Kau sangat sabar dari pada Gwen. Semoga pernikahan kalian selalu di berkati, ya. Kami semua sangat setuju denganmu," ujar Daisy seraya pergi berlalu.
Amanda merasa senang mendengarnya, ia hanya bisa tersenyum saat ini.
"Kuharap juga begitu. Tapi, kenyataannya tidak seperti itu karena kita menikah hanya karena ia meminjam rahimku untuk mengandung anaknya, apalagi ia meminta anak laki-laki," gumam Amanda di dalam hatinya.
Tak ada yang bisa Amanda ceritakan kepada Julie, padahal ia sangat ingin menceritakan semuanya. Tapi, sesuai dengan perjanjian di antara keduanya, Amanda harus merahasiakan pernikahannya ini dari siapa pun. Aneh sekali memang. Hari yang paling berbahagia untuk semua pasang huan yang ada di dunia ini ternyata adalah hari yang paling menyedihkan untuk dirinya.
Ia tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.
***
Untuk saat ini mereka telah sampai di rumah, Amanda terlihat sangat antusias karena ia tak sabar untuk bertemu dengan Katy.
"Amanda."
Lagi-lagi pria itu memanggilnya, hanya namanya saja, tidak dengan perintah atau pun yang lainnya.
"Iya, Tuan?" tanya Amanda yang saat ini tengah menatapnya.
Alfred terdiam sejenak, "Ikut denganku. Ada yang ingin aku bicarakan."
Amanda mengangguk dan tersenyum. Ia bahkan tak berani menatap wajah pria itu saat ini.
Alfred menatapnya sejenak sebelum ia pergi berlalu. Di lain sisi, saat ini pria itu tentu merasa bingung karena dirinya selalu saja mencari celah untuk memanggil wanita itu. Tentu saja terhadap suatu hal yang tak terlalu penting.
Ia lalu berjalan menuju ke arah lapangan golf. Satu-satunya tempat yang sangat membuatnya tenang jika sedang memikirkan banyak permasalahan.
Amanda juga ikut berjalan di belakangnya. Ia masih tak melihat Julie di mana pun saat ini, bahkan mereka semua juga terlihat sedang bersantai. Sepertinya Alfred memang memberikannya sebuah cuti.
Sesampainya di lapangan golf, terlihat Alfred yang duduk di hadapan lapangan itu. Amanda pun seketika memilih untuk duduk di hadapan pria tersebut.
"Tak ada yang menyuruhmu untuk duduk di hadapanku," ujar Alfred seketika.
Amanda pun bangkit berdiri dan meminta maaf karena telah bertindak tak sopan.
"Duduklah di sampingku," ujar Alfred kemudian.
Amanda menatapnya sejenak, terlihat mata hazel itu menatapnya juga, "Baik, Tuan."
Wanita itu pun memilih untuk menarik kursi itu sedikit menjauh dari sisi Alfred. Setelah itu ia pun duduk.
"Ada apa?" tanya Alfred seketika dengan ekspresi yang seolah-olah sangat tak suka dengannya.
Amanda menatapnya sejenak dan setelah itu.menunduk, "Maaf, Tuan. Tapi ada apa? Apakah saya melakukan kesalahan lagi?"
Seketika Alfred menarik kursi itu yang saat ini telah di duduki olehnya agar mendekat kepadanya, "Begini lebih baik. Apakah kau alergi denganku?"
Ah, jadi karena itu. Amanda hanya bisa mengulum senyumannya itu dan kembali mengangguk untuk meminta maaf, "Maaf, Tuan."
Alfred lalu menatap ke arah lapangan golf itu. Tak ada yang ia bicarakan kepada Amanda sampai dua puluh menit ke depan. Hal tersebut lantas membuat Amanda cukup bingung dengannya.
"Siapa namamu?" tanya Alfred seketika.
Amanda menatapnya. Apakah ia harus memperkenalkan dirinya? Nama panjang?
"Apakah anda bertanya tentang nama panjang saya?" tanya Amanda kemudian.
Alfred menatapnya, "Tentu saja, Amanda."
Amanda mengangguk. Baiklah, mungkin ia harus memperkenalkan dirinya saat ini. Apalagi ia sama sekali belum pernah mengobrol seperti ini dengannya, "Amanda Jean Heather."
"Berapa usiamu?" tanya Alfred seketika. Mereka seperti sedang melakukan percakapan anak sekolah saat ini.
"25 tahun."
"Apakah kau berasal asli dari Kanada?" tanya Alfred kemudian. Ia sama sekali tak menatap Amanda sampai saat ini, justru Amanda yang menatapnya sambil menunduk sesekali.
"Tidak, aku berasal dari Canberra, Australia," jawab Amanda kemudian.
Alfred seketika menatapnya, "Lalu, untuk apa kau datang kesini?"
"Tentu saja untuk bekerja," jawab Amanda dengan gemas tapi tetap dengan nada yang sopan.
Alfred memejamkan kedua matanya. Baiklah, ia memang tak salah saat menjawabnya, "Baiklah, kau boleh pergi sekarang."
Amanda menatapnya sejenak. Hanya itu? Membuat sedikit percakapan tentang dirinya?
"Baik, Tuan. Terima kasih," jawab Amanda dan setelah itu pergi berlalu dari lapangan golf tersebut.
Alfred menatap kepergiannya saat ini. Ia menghela napas panjang karena tentu saja rasanya sangat sungkan sekali ketika berbicara dengan Amanda.
Ia memang telah menbetahhui semuanya, bahkan ia juga menbetahhui ternyata Andrew bermain api di belakang Amanda selama ini. Tapi, ia hanya ingin mendengar semuanya secara langsung dari yang bersangkutan.
"Sudahlah, sepertinya aku memang sedang merasa sangat lelah dan kesepian sehingga memerlukan teman mengobrol," gumam Alfred seorang diri.
Ia memang memilih cuti selama dua minggu kedepan, apalagi pernikahannya yang akan tiba dua hari lagi. Semua persiapan telah ia lakukan, tentunya dengan bantuan dari wedding organizer pribadinya berserta dengan orang-orang kepercayaannya. Hanya saja para asisten yang ada di rumah ini tak menbetahhui apa pun soal semua pernikahan antara Amanda dengan dirinya.
Daisy memang ia beritahu, tapi tentunya dengan sogokan juga agar mereka tak membeberkan apa pun tentang berita ini. Tapi, Alfred tentunya tak memberitahukan Daisy dan yang lainnya soal misi dari pernikahan mereka.
Alfred melirik ke arah arloji miliknya saat ini. Sebentar lagi ia harus menghadiri sidang perceraiannya itu. Ia harus datang lebih awal dari pada Gwen. Bahkan, Alfred telah menyewa jasa seorang pengacara handal untuk menyelesaikan masalah tersebut.
"Satu jam lagi sebelum pergi menuju ke sidang private itu," gumam Alfred kemudian. Ia pun seketika bangkit dari posisinya dan segera pergi menuju ke kamarnya untuk mengambil beberapa berkas penting sebelum menuju ke tempat itu. Ia harus membawa semua bukti yang telah ia kumpulkan.
Di lain sisi, saat ini Amanda tengah berjalan menuju ke arah kamarnya. Ia melihat Katy di sana yang sedang bermain seorang diri di salam ranjangnya itu.
"Ya, Tuhan. Kenapa kau hanya seorang diri saja?" gumam Amanda seraya berjalan mendekatinya.
Untung saja Katy tak nakal selama berada di dalam ranjangnya itu.
Terlihat pula semua kamar yang telah tertata rapi, ia yakin semua ini adalah ulah dari Julie. Tapi, di mana wanita itu? Kenapa Katy hanya seorang diri saja saat ini?
***
Alfred berjalan memasuki ruang sidang itu. Ia masih tak melihat Gwen atau pun antek-anteknya di sana. "Apakah mereka belum tiba juga?" tanya Alfred kepada sang pengacara pribadinya itu. "Belum, Tuan. Sepertinya mereka tidak hadir lagi kali ini," jawab sang pengacara kembali. Alfred tersenyum senang. Kemenangan akan berada di depan matanya. Hak asuh itu pun akan berada di tangannya. Tentu saja Gwen tak memiliki bukti apa pun untuk menjatuhkannya di dalam persidangan kali ini. Maka dari itu, ia sama sekali tak memberikan jawaban apa pun atas kehadirannya saat ini. Sudah dua kali ia tak menghadirinya. "Kita akan menunggunya di dalam," ujar Alfred dan terlihat sang pengacaranya itu yang mengangguk. Alfred lantas terdiam di posisinya saat ini. Ia membaca beberapa berkas penting yang selalu ia bawa sejak pertama kali sidang berlangsung. "Sepertinya mereka memang tidak akan hadir lagi, Tuan," bisik pengacara Alfred saat in
Amanda telah merapikan semua pakaiannya. Besok adalah hari pernikahannya dengan Alfred. Tentu saja semuanya di adakan secara tertutup dan juga private. Bisa di bilang tak ada siapa pun yang mengetahuinya. Amanda menghela napas panjang. Pukul 2 pagi nanti, saat semuanya tertidur pulas, ia harus segera bersiap-siap ikut bersama dengan Nick. Tak ada pilihan lain selain menyetujuinya. Amanda tersenyum pahit saat mengingat semua momen menyedihkannya selama ini. Keluarganya yang hancur berantakan dan pergi meninggalkannya sejak ia berusia 8 tahun, merantau seorang diri ke Kanada dan bekerja sebagai seorang pengasuh anak untuk keluarga kaya raya, hubungan yang kandas karena ia tak pernah memberikan Andrew tubuhnya, selain itu, yang paling utama bahkan masih ia rasakan adalah menikah secara terpaksa dengan majikannya sendiri, karena atas dasar saling memerlukan, lebih tepatnya memerlukan rahimnya untuk melahirkan anak laki-laki untuk Alfred. "Miris sekali," gumam Ama
"Anda cantik sekali, nona," bisik seseorang kepadanya. Amanda membuka kedua matanya. Ia melihat dirinya saat ini di pantulan cermin. Ah, apakah itu adalah dirinya? "Luar biasa, aku bahkan sampai tak bisa mengenalinya," ujar salah satu di antara mereka. Kali ini Amanda telah selesai dengan semua riasannya itu. Bahkan, ia telah menggunakan gaun pengantin miliknya. "Terima kasih," ujar Amanda dan tentu saja ia suka sekali dengan hasil riasannya itu. "Bagaimana jika kita mengambil satu gambar saja sebelum pergi menemui pengantin prianya?" ujar salah satu di antara mereka kembali. Untuk saat ini, di dalam ruangan itu terdapat empat orang wanita yang sejak tadi sibuk untuk membantu dirinya. "Ide yang bagus. Ayo." Amanda hanya mengikuti mereka dan saat ini berdiri di antara mereka semua. Setelah itu, tak lupa untuk mereka mengucapkan selamat atas hari yang berbahagia saat ini. Amanda seketika tersenyum. Ya, ini sangat bahagia,
Alfred sudah lama sekali tak mengunjungi tempat itu. Mungkin satu atau dua tahun yang lalu. "Ah, akhirnya kau memiliki waktu luang lagi, ya," ujar Paula, yang merupakan temannya sejak kecil. Orang tua mereka juga saling mengenal. Sampai saat ini, wanita itu tentu saja masih menyimpan rasa kepada Alfred, entahlah hanya sekadar gurauan saja atau bersungguh-sungguh, ia tak peduli. Alfred memang menerima ajakan bersantai dari Paula. Wanita itu tentu saja merasa sangat senang setelah sekian lama ia menunggu waktu tersebut. "Apalagi mendengar berita jika kau dan juga Gwen telah resmi bercerai," tambah Paula seraya terkekeh. Alfred lantas menatap ke arah pantai yang saat ini menjadi perhatian mereka semua, "Aku juga merasa senang." "Lalu, bagaimana dengan Katy? Apakah hak asuhnya berada di tanganmu?" tanya Paula yang merasa penasaran, walaupun sebenarnya ia telah menbetahhui berita itu dari segala sumber yang ada. "Tentu," jawab Alfred singka
"Hai, Alfred. Kau tak pernah bercerita tentang teman masa kecilmu ini yang menyukai makanan khas Asia," ujar David seketika. Amanda hanya menahan senyumannya sambil terus melanjutkan kegiatannya saat ini. Ia pun melangkah pergi untuk membawa tiga piring nasi goreng itu ke arah meja makan yang letaknya cukup jauh dari dapur itu. Sekalian ia harus menyiapkan yang lainnya di meja makan, apalagi dengan kehadiran David yang tiba-tiba malam ini. Alfred membiarkan Amanda pergi, mereka hanya saling melirik saja beberapa saat sebelum wanita itu pergi berlalu. "Kenapa kau datang kemari? Bukankah Nick sudah memberitahumu jika meeting malam ini aku batalkan?" tanya Alfred yang tentu saja merasa terkejut karena melihat kehadiran David, sekretaris pribadinya itu yang datang tiba-tiba di rumahnya. Hanya David yang mengetahui rumah ini karena mereka terkadang mengerjakan pekerjaan di sana. "Aku tahu, tapi rasanya sangat bosan ketika berada di rumah sendiri dan tak me
"Kurasa aku memasukkan pakaian milik Julie," gumam Amanda kemudian.Ah, ia merasa menyesal karena memasukkan lingerie merah itu ke dalam kopernya saat mengemas semua pakaiannya itu.Tapi, tak ada pakaian lain yang bisa ia gunakan malam ini, apalagi cuaca sangat panas. Memang, di dalam kamarnya sudah tersedia AC, tapi Amanda tak begitu biasa dengan udara dingin AC tersebut."Aku akan menggunakannya khusus untuk malam ini. Besok pagi, aku akan mencuci semua pakaianku dan juga mencuci lingerie ini," gumam Amanda dan setelah itu menggantinya. Ia cukup terbebas karena hanya seorang diri saja di kamar itu. Tak ada Alfred atau siapa pun itu.Amanda melihat ke arah pantulan cermin yang ada di hadapannya saat ini. Ternyata tubuhnya sangat molek dan terkesan cukup seksi."Ya Tuhan, untuk apa Julie menyimpan pakaian sejenis ini?" gumam Amanda seraya terkekeh. Ia cukup takjub dengan bagian tubuh dalamnya itu.Tok! Tok!Amanda membulatkan ke
"Daaar!"Amanda tentu saja merasa terkejut karena kehadiran David saat ini yang berada di sampingnya."Hei, untung saja piring ini tidak terjatuh," ujar Amanda seraya tersenyum. Ia lalu kembali membawa semua piring itu ke dalam rak kaca yang berada di hadapannya saat ini.David tersenyum geli mendengarnya, "Memangnya jika pecah apa yang akan terjadi?""Kau harus menggantinya," jawab Alfred yang seketika masuk ke dalam dapur itu. Mereka berdua memang telah siap dengan pakaian kantornya."Kau ini, datang di saat yang tidak tepat," geruru David kepadanya."Ayolah, kita memiliki jadwal meeting hari ini, kenapa kau melupakannya?" ujar Alfred kepadanya.David membulatkan kedua matanya. Ia benar-benar lupa dengan pesan dari Alfred semalam, "Ah, maafkan aku. Baiklah, ayo."Sebelum itu, David juga terlihat mengelus pelan pipi Amanda dan tentunya membuat wanita itu terkejut bukan main."Jaga dirimu baik-baik, cantik. Setelah makan
Amanda memulai pekerjaannya kembali. Untuk saat ini ia memang tak memiliki jadwal kencan dengan Andrew, kekasihnya itu.Ya, ia memang memiliki seorang kekasih, yang bahkan sangat ia cintai. Mereka saling mencintai dan bertekad untuk menunjukkan cintanya itu di depan altar nantinya.Andrew adalah pria yang manis dan juga perhatian kepadanya. Mereka telah menjalin hubungan selama dua tahun lamanya. Cukup matang bisa di katakan.Amanda lalu berjalan mendekati ranjang Katy, seorang bayi perempuan yang berusia satu tahun. Ini adalah pekerjaannya selama enam bulan terakhir, menjadi seorang pengasuh anak untuk keluarga yang sangat kaya raya.Amanda memang tak berasal dari keluarga yang bergelimang harta seperti majikannya ini. Ia hanyalah seorang wanita yang di lahirkan dan di besarkan di keluarga yang berkecukupan. Tapi semua itu tak membuatnya merasa malas untuk bekerja atau pun merasa malu."Lihatlah, siapa yang pintar dan tak suka menangis, hm?" goda