Alfred tengah duduk seorang diri di sebuah kursi tunggu yang berada di hadapan ruang rawat Lily, ibunya itu.
Sudah hampir enam bulan belakangan ini ia selalu di sibukkan oleh pekerjaannya dan juga mengurus Ibunya yang terkena gagal ginjal.
Maka dari itu, Alfred mencari tenaga lainnya untuk membantu para asisten rumah tangganya dalam menjaga Katy selama enam bulan belakangan ini.
Gwen tentu tak bisa melakukannya karena wanita itu selalu mengedepankan karier dan juga hobinya yang sangat mewah tersebut. Bahkan, satu hal yang baru saja Alfred ketahui adalah ternyata Katy bukanlah putri kandungnya. Entahlah wanita itu membuatnya dengan pria mana, ia tak ingin mengetahuinya lebih lanjut. Semua kesibukannya ini tentu saja membuat Alfred semakin jarang untuk mencari tahu istrinya itu. Bahkan sekarang tak ada kehadiran Gwen di sisinya. Ia begitu menyesal menerima perjodohan dari mendiang Ayahnya dua tahun yang lalu. Lihatlah, bayangkan saja jika ia menolaknya, mungkin Alfred masih bisa mencari seorang istri atau mungkin tak akan seperti ini.
Pintu kamar rawat Lily terbuka, memperlihatkan seorang dokter dan juga dua orang suster di belakangnya.
"Nyonya Lily memanggil anda untuk masuk ke dalam, ia ingin mengobrol," ujar sang dokter kepadanya.
Tanpa berpikir panjang lagi, Alfred pun bangkit dan berjalan memasuki kamar rawat Lily.
Di sana, terlihat seorang wanita paruh baya yang telah tergeletak lemas sampai detik ini. Alfred segera duduk di sebelah ranjang itu. Ia melihat Lily yang menoleh ke arahnya sambil mengelus pelan tangan putra semata wayangnya tersebut.
"Apakah Ibu menginginkan sesuatu? Katakanlah, aku akan segera memenuhinya sekarang juga," tanya Alfred seraya mencoba untuk tetap tenang.
Satu hal yang tak di ketahui oleh Lily adalah tentang masalah rumah tangganya yang sangat rumit selama ini. Bahkan dengan status Katy yang ternyata bukan anak kandungnya itu. Ia memang tak mempermasalahkan Katy, tapi mempermasalahkan kejujuran istrinya itu dan juga tanggung jawabnya selama ini.
"Ibu menginginkan cucu laki-laki darimu, nak," jawab Lily seraya terkekeh pelan.
Alfred tersenyum mendengarnya, "Ibu akan mendapatkannya secepat mungkin."
"Kau benar, Ibu akan mendapatkannya secepat mungkin. Tapi, kau harus menikah lagi, terutama dengan wanita yang sangat mencintaimu dan juga semua kekuranganmu, nak."
"Ibu.."
"Ibu tahu, selama dua tahun ini kau tak merasakan kebahagiaan sedikit pun, maaf, saat itu Ibu tak memiliki pilihan lain selain menyetujuinya, itu karena Ayahmu sangat percaya betul dengan keluarga Gwen, apalagi mereka telah mengenal akrab sejak muda," lanjut Lily dengan terbata-bata.
"Apakah Ibu menginginkan yang lainnya lagi? Ayo, katakan kepadaku," tanya Alfred yang mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan itu. Ia cukup muak mendengar nama Gwen kali ini.
"Menikahlah dengan wanita yang sederhana dan mencintai anak-anak," jawab Lily kemudian.
"Apakah Ibu merestuiku?" goda Alfred sambil menggenggam tangan Lily dengan erat.
Lily tersenyum lemah saat ini, "Tentu saja, maka dari itu Ibu menyuruhmu untuk melakukannya. Jangan lupa, tunjukkan istri barumu itu di depan makam Ibu nantinya."
Alfred menggeleng, "Aku tak akan menikah lagi kalau Ibu terus berbicara seperti itu. Kita semua sangat yakin kalau Ibu akan kembali sehat seperti sedia kala."
Lily menggeleng, "Lakukanlah tetap. Ibu menunggu semua janjimu itu."
Seketika saja genggaman itu terasa lemas. Alfred merasa jika detak jantungnya berpacu dengan sangat kuat kali ini. Perasaannya seketika menjadi tidak enak.
"Ibu? Apakah kau mendengarku?" tanya Alfred seketika tapi ia sama sekali tak mendapatkan jawabannya.
"Ibu, aku akan menuruti semua keinginanmu, kumohon, sadarlah," ujar Alfred kembali, tapi tetap saja ia tak mendapatkan jawabannya.
Seketika para dokter dan juga suster pun berdatangan saat Alfred berteriak memanggil mereka semua.
Alfred memundurkan langkahnya dan membiarkan mereka semua melakukan tugasnya.
Alfred akan merasa sangat terpukul jika hal yang ia pikirkan saat ini benar-benar terjadi.
Seorang dokter menatapnya dan berjalan mendekati Alfred, "Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Nyonya Lily tak bisa di selamatkan. Kami semua turut berduka cita."
Seketika Alfred merasa sesak dan juga lemas. Semua yang ia pikirkan tadi ternyata benar-benar terjadi.
***
Alfred menatap ke arah makam mendiang Lily yang telah ia lewati. Untuk kali ini ia masih termenung bahkan ketika berada di dalam limusinnya.
Pemakaman itu dilakukan secara tertutup dan juga cepat. Alfred tak ingin semuanya melihat kesedihannya yang sangat mendalam. Bahkan tak ada Gwen selama seharian ini. Wanita itu benar-benar tak menunjukkan sisi kemanusiaannya.
Perjalanan hidupnya sangat panjang. Ia bahkan masih mengurus semua perceraiannya dengan Gwen. Semuanya memang ia lakukan sendiri, bahkan bisa saja Alfred membuat berita buruk tentang wanita itu, tapi ia mengurungkan niatnya sejenak.
"Bagaimana dengan Katy? Apakah kalian sudah mendapatkannya kembali?" tanya Alfred seketika.
"Tentu, Sir. Mereka telah mendapatkannya dan saat ini tengah berada di perjalanan menuju ke Kanada," jawab sang supir sekaligus asisten pribadi yang sangat di percayai oleh Alfred, ia bernama Nick.
Alfred tersenyum senang, hak asuh akan berada di tangannya. Ia sangat menyayangi anak itu, Katy tak menbetahhui apa pun di sini, ia tak bersalah sama sekali. Begitu menurut Alfred selama ini.
"Kita akan kembali pulang, aku sangat lelah," ujar Alfred kepada Nick kemudian.
"Baik, Sir. Kita akan segera sampai di rumah sebentar lagi."
***
Amanda tengah mengambil semua pakaian yang telah ia cuci tadi. Selagi tak ada pekerjaan apa pun, ia suka sekali membantu para asisten di rumah itu. Mereka juga senang dengan kehadiran Amanda yang sangat baik dan juga suka menolong mereka.
"Hei, ini bukan pekerjaanmu, pergilah ke kamar dan beristirahat," ujar Julie kemudian.
Amanda yang tengah membawa banyak pakaian bersih itu lantas menatapnya dan tersenyum, "Santai saja, aku sangat bosan berada di dalam kamar selama seharian. Lebih baik aku membantumu dan juga para asisten di sini. Lagi pula hanya mengangkat jemuran ini. Tak sulit, tenanglah."
Julie tersenyum mendengarnya, "Terima kasih, Amanda. Kalau begitu, ini keranjangnya. Kau bisa menggunakan ini untuk meletakkan semuanya."
Amanda pun menatap ke arah keranjang putih itu dan mengangguk, "Ah, terima kasih, Julie."
Setelah memberikan keranjang tersebut, Julie pun kembali menuju ke halaman depan untuk memotong rumput yang kebetulan sudah sangat panjang.
Amanda pun meletakkan semuanya di sana. Ia tersenyum lebar karena pekerjaannya kali ini sudah terselesaikan.
"Baiklah, setelah ini aku akan membantu yang lainnya untuk memasak atau mungkin berbelanja," gumam Amanda, ah, ia bingung untuk memilihnya karena mereka semua sangat baik kepada Amanda. Maka dari itu, Amanda akan membalas kebaikan mereka dengan cara membantunya mengerjakan pekerjaan rumah yang mereka kerjakan. Amanda lalu mencoba untuk membawa keranjang putih yang penuh dengan pakaian bersih itu. Tapi, ternyata cukup sulit untuk melakukannya. Ia tak pantang menyerah dan terus mencobanya.
Di lain sisi, saat ini Julie tengah berdiri dan menunduk hormat kepada seseorang yang telah lama tak kembali pulang, Alfred.
"Selamat siang, Tuan Alfred."
Alfred hanya mengangguk saja dan seketika pandangannya pun tertuju kepada Julie.
"Julie, ikut aku ke dalam. Ada yang ingin kutanyakan," ujar Alfred kepadanya. Ia memang mengetahui Julie karena mendiang Lily yang sangat dekat dengan wanita itu.
"Baik, Tuan," jawab Julie dan setelah itu berjalan membuntuti Alfred di belakangnya. Ia cukup was-was jika Alfred telah memanggilnya.
"Ibu sudah meninggal."
Julie seketika membulatkan kedua matanya, "A-apa?"
Alfred memberhentikan langkahnya tepat di depan ruang tamu. Ia menatap ke arah Julie dan mengangguk, "Pagi tadi sudah di makamkan. Acara tertutup dan aku memang sengaja melakukannya."
"Kami semua turut berduka cita, Tuan," ujar Julie kemudian.
"Terima kasih, Julie. Oh ya, aku dengar Katy memiliki seorang pengasuh selama enam bulan terakhir. Siapa dia?" tanya Alfred kemudian.
Alfred dan juga Gwen memang sempat menyuruhnya untuk mencari seorang pengasuh anak, tapi mereka belum mengetahuinya sampai saat ini karena begitulah.
"Tentu, Tuan. Namanya adalah-"
Brak!
Seketika mereka semua menoleh ke arah samping masing-masing. Terlihat di sana keranjang putih yang penuh dengan pakaian bersih tersebut jatuh ke lantai.
"Maaf, aku akan segera mengambilnya," ujar Amanda seraya melakukannya.
Alfred menatapnya seketika. Ia tak pernah melihat Amanda sebelumnya. Walaupun ia hanya mengetahui Nick dan juga Julie saja di rumah ini, tapi setidaknya ia mengingat semua wajah asistennya itu.
"Ini dia, Tuan. Amanda, pengasuh untuk Katy selama ini. Ia bahkan sangat dicintai oleh asisten di sini," lanjut Julie kemudian.
Amanda menatap ke arah mereka dan tersenyum ramah. Ia juga tak tahu siapa yang tengah mengobrol dengan Julie saat ini karena Amanda tak begitu mendengarnya.
"Baiklah kalau begitu, tolong bantu dia mengambil semua pakaian itu. Setelah semuanya selesai, maka suruh Amanda menemuiku di lapangan golf," ujar Alfred kepadanya.
Julie mengangguk hormat dan setelah itu membiarkan Alfred pergi berlalu.
"Amanda, apakah kau baik-baik saja?" tanya Julie seraya membantunya.
"Aku baik-baik saja, maafkan aku karena telah membuat kesalahan," jawab Amanda kemudian. Ia merasa malu kali ini.
Julie terkekeh, "Tak masalah, Tuan Alfred bahkan menyuruhku untuk membantumu. Lihatlah, ia sangat perhatian denganmu, hm?"
Ah, jadi seperti itu bentukan majikannya selama ini?
Bagi Amanda tentu saja parasnya terlalu tampan untuk menjadi seorang duda nantinya.
***
Amanda menghela napas panjang sebelum ia membuka pintu yang menghubungkannya langsung dengan lapangan golf yang berada di rumah megah itu.Terlihat lapangan yang sangat luas saat ini. Ia bahkan baru pertama kali melihatnya. Ternyata rumah itu sangat megah.Wanita itu pun melihat Alfred yang saat ini tengah memukul bola itu dengan sangat keras. Seketika Amanda terkejut, tentu saja semua itu sangat luar biasa. Ternyata Alfred adalah pemain yang hebat.Alfred memberhentikan permainannya itu sejenak. Ia menatap ke arah tepi lapangan dan di sana terlihat Amanda yang tengah berdiri sambil menatapnya. Seketika Alfred berjalan mendekati wanita itu."Berapa luas lapangan ini? Berapa pula mereka membayar tagihan listriknya?" gumam Amanda seraya memikirkan semuanya."Amanda?" panggil Alfred kemudian.Amanda tersenyum kikuk dan menunduk hormat kepadanya, "Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"Alfred terdiam sejenak, entah ia seketika lupa dengan
Amanda mengetuk pintu kamar itu. Ia yakin jika kamar yang berada di lantai dua satu-satunya itu adalah kamar milik majikannya, Alfred. "Masuklah." Amanda mendengarnya dengan jelas. Ia pun membuka pintu kamar itu seraya melihat ke arah Alfred yang saat ini tengah duduk di tepi tempat tidurnya itu. "Tutup pintunya kembali, Amanda," ujar Alfred seketika. Amanda melakukannya, walaupun ia merasa kikuk kali ini, apalagi dengan cahaya yang sangat terang di dalam kamar tersebut. "Apakah kau menangis?" tanya Alfred seketika saat ia melihat kedua mata hazel milik Amanda. Wanita itu terkesiap. Apakah nampak jelas? "Ehm, maafkan aku, abaikan saja. Apakah Katy tertidur?" tanya Alfred kemudian. Amanda tersenyum dan mengangguk, "Ya, Katy sedang tertidur." "Baiklah." Setelah itu di antara keduanya terlihat sangat kikuk. Bahkan, Amanda berpikir jika semuanya sudah selesai. "Amanda.." Setelah menunggu kura
Kedua mata Amanda menjadi sembab akibat semalam. Ia tak bisa tidur sama sekali karena memikirkan semuanya.Ia memang telah resmi putus dari Andrew. Pikirannya menjadi kacau pagi ini, namun sebisa mungkin Amanda tetap mengerjakan tugasnya sesuai dengan tugasnya sebagai seorang pengasuh bagi Katy.Untuk saat ini sarapan akan berjalan, biasanya mereka tak akan sibuk seperti itu, apalagi selama enam bulan waktu itu mereka selalu bersantai di pagi hari karena tak perlu memasak apa pun.Amanda bersama dengan Katy telah siap, anak itu juga telah menyantap buburnya untuk sarapan."Ramai sekali suasana di luar," gumam Amanda kepada Katy saat ini. Ia juga tak melihat Julie sejak tadi. Itu karena pasti wanita tersebut tengah berada di antara mereka semua."Apakah kita harus keluar kamar sekarang?" tanya Amanda kepada Katy.Terlihat Katy yang sangat ingin keluar kamarnya itu. Amanda tersenyum dan setelahnya berjalan untuk membuka pintu itu secara
Amanda terlihat tengah bersama dengan Katy kembali saat ini. Anak itu terlihat mengantuk dan tentu saja membuat mereka harus pergi kembali menuju ke dalam kamarnya."Amanda."Ia mendengar panggilan itu lagi. Untung saja dari Julie. Wanita itu berjalan menghampirinya."Hm, kedua matamu telah menjelaskan semuanya soal Andrew," ujar Julie seketika.Amanda hanya tersenyum saja mendengarnya, "Aku akan kembali setelah ini."Julie melihat ke arah Katy yang setengah tertidur. Seketika ia terkekeh dan berjalan beriringan bersamanya, "Aku akan ikut menjaganya sekarang. Ayo."Amanda mengangguk, mungkin itu lebih baik. Mereka lalu berjalan menuju ke arah kamar Katy untuk membiarkan anak itu tidur di ranjangnya yang nyaman."Jadi, apakah ia telah memberikan klarifikasi?" tanya Julie dengan nada yang setengah berbisik.Amanda yang saat ini tengah menatap ke arah Katy pun hanya bisa tersenyum saja. Ia lalu mengalihkan pandangannya kepada Juli
Amanda melihat butik itu dengan sangat takjub. Sungguh ia merasa seperti seorang putri saja kali ini. Mereka semua terlihat melayani Alfred dan juga Amanda dengan sangat sopan dan sabar. Bahkan mereka semua juga sangat ramah dengannya. "Tidak usah, biar aku saja," ujar Amanda seraya melepaskan sepatu yang ia pakai saat ini. Mereka semua tentu merasa terkejut. Tak ada yang seperti Amanda sampai detik ini. Mereka semua pasti menyuruh para pegawai butik itu untuk melakukannya. Bahkan tak segan untuk menyuruh-nyuruh mereka semua. "Anda baik sekali, nona. Tapi, biarkan kami bekerja," ujar salah satu di antaranya kepada Amanda. Amanda tersenyum. Ia pun melepaskan sepatunya di bagian sebelah saja dan setelah itu membiarkan mereka semua melakukan tugasnya, seperti keinginannya tadi. Alfred tentu saja tak terlihat, sepertinya pria itu berada di luar ruangan ini. Entahlah, ia sama sekali tak bisa melihat keadaan di luar sana. "Anda sangat berunt
Alfred berjalan memasuki ruang sidang itu. Ia masih tak melihat Gwen atau pun antek-anteknya di sana. "Apakah mereka belum tiba juga?" tanya Alfred kepada sang pengacara pribadinya itu. "Belum, Tuan. Sepertinya mereka tidak hadir lagi kali ini," jawab sang pengacara kembali. Alfred tersenyum senang. Kemenangan akan berada di depan matanya. Hak asuh itu pun akan berada di tangannya. Tentu saja Gwen tak memiliki bukti apa pun untuk menjatuhkannya di dalam persidangan kali ini. Maka dari itu, ia sama sekali tak memberikan jawaban apa pun atas kehadirannya saat ini. Sudah dua kali ia tak menghadirinya. "Kita akan menunggunya di dalam," ujar Alfred dan terlihat sang pengacaranya itu yang mengangguk. Alfred lantas terdiam di posisinya saat ini. Ia membaca beberapa berkas penting yang selalu ia bawa sejak pertama kali sidang berlangsung. "Sepertinya mereka memang tidak akan hadir lagi, Tuan," bisik pengacara Alfred saat in
Amanda telah merapikan semua pakaiannya. Besok adalah hari pernikahannya dengan Alfred. Tentu saja semuanya di adakan secara tertutup dan juga private. Bisa di bilang tak ada siapa pun yang mengetahuinya. Amanda menghela napas panjang. Pukul 2 pagi nanti, saat semuanya tertidur pulas, ia harus segera bersiap-siap ikut bersama dengan Nick. Tak ada pilihan lain selain menyetujuinya. Amanda tersenyum pahit saat mengingat semua momen menyedihkannya selama ini. Keluarganya yang hancur berantakan dan pergi meninggalkannya sejak ia berusia 8 tahun, merantau seorang diri ke Kanada dan bekerja sebagai seorang pengasuh anak untuk keluarga kaya raya, hubungan yang kandas karena ia tak pernah memberikan Andrew tubuhnya, selain itu, yang paling utama bahkan masih ia rasakan adalah menikah secara terpaksa dengan majikannya sendiri, karena atas dasar saling memerlukan, lebih tepatnya memerlukan rahimnya untuk melahirkan anak laki-laki untuk Alfred. "Miris sekali," gumam Ama
"Anda cantik sekali, nona," bisik seseorang kepadanya. Amanda membuka kedua matanya. Ia melihat dirinya saat ini di pantulan cermin. Ah, apakah itu adalah dirinya? "Luar biasa, aku bahkan sampai tak bisa mengenalinya," ujar salah satu di antara mereka. Kali ini Amanda telah selesai dengan semua riasannya itu. Bahkan, ia telah menggunakan gaun pengantin miliknya. "Terima kasih," ujar Amanda dan tentu saja ia suka sekali dengan hasil riasannya itu. "Bagaimana jika kita mengambil satu gambar saja sebelum pergi menemui pengantin prianya?" ujar salah satu di antara mereka kembali. Untuk saat ini, di dalam ruangan itu terdapat empat orang wanita yang sejak tadi sibuk untuk membantu dirinya. "Ide yang bagus. Ayo." Amanda hanya mengikuti mereka dan saat ini berdiri di antara mereka semua. Setelah itu, tak lupa untuk mereka mengucapkan selamat atas hari yang berbahagia saat ini. Amanda seketika tersenyum. Ya, ini sangat bahagia,